BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Kajian Juridis Terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Ponografi Terhadap Perlindungan Anak Sebagai objek Tindakan Pornografi (Child Pornography)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak sebagai generasi penerus bangsa adalah bagian dari masyarakat. Citra anak yang berada di tengah-tengah masyarakat mempengaruhi citra

  masyarakat tersebut di masa yang akan datang. Citra inilah yang kemudian mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap seseorang untuk ikut serta dalam usaha perlindungan anak. Hal ini dikarenakan anak adalah pihak yng sangat rentan terhadap berbagai macam ancaman mental, fisik, dan sosial.

  Di Indonesia, perlindungan terhadap anak tertuang dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Masing-masing bertujuan untuk melindungi kepentingan anak yang terdapat dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupannya di tengah keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara. Sebab dalam kenyataannya, anak tidak mampu melaksanakan dan mempertahankan kepentingannya karena situasi dan kondisi yang mempengaruhinya.

  Perkembangan zaman yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai masalah dan ancaman baru bagi anak baik secara fisik maupun psikis. Media internet yang dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tidak jarang menyajikan hal-hal yang tidak sepatutnya diketahui oleh seorang anak, seperti situs porno. Bahkan, tontonan sehari-hari dan film-film kartun yang seharusnya khas dunia anak mulai dibumbui dengan ucapan-ucapan yang tidak patut. Tragisnya, di zaman sekarang ini, anak tidak lagi bertindak sebagai penonton saja, namun juga turut menjadi pelaku.

  Ada banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah meluasnya pornografi, diantaranya UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bahkan dikeluarkan suatu peraturan yang khusus membahas tentang perlindungan anak yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapi, Undang undang ini pun tidak mengatur tentang perlindungan anak dari tindakan pornografi yang melibatkan anak (pornografi anak).

  Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi adalah produk hukum berbentuk undang undang yang tidak hanya mengatur mengenai pornografi secara umum, namun juga mengatur tentang perlindungan anak dari tindakan pornografi anak (Bab III). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 30 Oktober 2008. Namun, aturan hukum ini sedari awal sudah memancing kontroversi yang sedemikian besar di berbagai lapisan masyarakat. Ada pihak yang mendukung dengan alasan karena ancaman terkikisnya moral bangsa ini oleh paparan pornografi dan pornoaksi semakin mengkhawatirkan . Sebaliknya, berbagai pihak khawatir lahirnya Undang-undang ini mengakibatkan terusiknya kepentingan profesionalitas, budaya, sosial dan terutama ekonomi menjadi terancam.

  Bila disimak lebih cermat dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mungkin undang-undang ini berkontribusi dalam melindungi kepentingan hak anak yang terabaikan. Kontroversi tersebut seharusnya dapat lebih diminimalkan bila harus melihat kepentingan yang lebih besar yaitu untuk melindungi moral bangsa dari ancaman pornografi terutama usia anak yang cenderung menjadi objek pornografi (child pornography).

  Sebuah konvensi Hak Anak tanggal 25 Mei 2000 yang diberi nama

  Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of

Children, Child Prostitution and Child Pornography yang telah ditandatangani

  Indonesia pada September 2001 mendefenisikan pornografi anak sebagai “Setiap

  

representasi , dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit

dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap

representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual.” Protokol

  Optional Konvensi Hak Anak ini menegaskan tidak adanya toleransi untuk pornografi anak. Secara eksplisit dalam konvensi ILO No.182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak hal ini kembali ditegaskan , di antaranya adalah pelibatan anak dalam materi pornografi yang juga juga merupakan salah satu bentuk

  

  pekerjaan terburuk bagi anak Menurut UU No. 44 Tahun 2008, pengertian pornografi diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :

  “Pornogrfi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

  Sedangkan dalam penjelasan Pasal 4 ayat(1) huruf f UU No. 44 Tahun 2008 dikatakan bahwa pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang

  diakses tanggal 31 januari melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

  Saat ini di Indonesia, pornografi anak semakin marak dan semakin mengkhawatirkan. Kemajuan sistem informasi dan teknologi yang demikian pesat selain memberi manfaat yang cukup besar, ternyata juga memiliki dampak negatif yang luar biasa. Media pornografi anak semakin mudah diakses melalui media elektronik dan cetak. Begitu mudahnya setiap anak untuk melihat materi

   pornografi melalui internet, hand phone, buku bacaan atau VCD.

  Kemudahan mengakses materi pornografi menyebabkan anak dapat mencontoh aktivitas seksual sesuai dengan adegan yang ditontonnya. Inilah yang menyebabkan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh sesamanya. Bahkan ada gambar atau film serta video yang menjadikan anak sebagai model aktivitas seksual.

  Anak yang dijadikan model pornografi mengalami kerusakan perkembangan fisik dan psikis yang dapat mengahancurkan masa depannya.

  Mereka seringkali menjadi rendah diri bahkan mendapat masalah kesehatan mental yang parah. Terlebih lagi, mereka umumnya dikucilkan oleh masyarakat lingkungannya, dan diberi label sebagai anak yang tidak bermoral bahkan kehilangan haknya untuk memeproleh pendidikan. Pornografi anak yang menyebar luas akan meningkatkan berbagai kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa atau oleh sesama anak.

2 Ibid

  Pemanfaatan pornografi anak yang paling jelas adalah untuk menimbulkan gairah dan kepuasan seksual. Dengan karakteristik perbuatan child pornografi yang seperti itu, maka kedudukan anak-anak yang dieksploitasi adalah korban, seluruh korban child pornography mesti dilindungi seperti korban kesploitasi seksual komersial anak lainnya

  Kekhawatiran ancaman pornografi terhadap anak yang sedemikian besar tersebut bila tidak dicermati, dapat merusak moral anak Indonesia. Hal ini bila berlangsung lama tanpa ada yang membentengi maka dapat dibayangkan akibatnya. Berapa banyak lagi anak Indonesia yang akan menjadi pelaku sekaligus korban kekerasan seks. Karena jika dibiarkan, akan terjadi efek domino dan mata rantai yang diakibatkan oleh perbuatan pornografi anak dan akan menimbulkan persoalan bangsa yang lebih besar lagi.

  Hal-hal yang telah dipaparkan di atas, menjadi dasar bagi penulis untuk membahas kajian juridis terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi terhadap perlindungan anak sebagai objek tindakan pornografi.

B. PERUMUSAN MASALAH

  Adapun permasalahan yang akan diangkat penulis dalam skripsi ini antara lain :

1. Bagaimana pengaturan pornografi menurut hukum positif di Indonesia.

  2. Bagaimana UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi objek pornografi anak

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a.

  Mengetahui bagaimana pengaturan pornografi menurut hukum positif di Indonesia.

  b.

  Mengetahui bagaimana UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi objek pornografi anak.

2. Manfaat

  Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa gambaran atau bahan pemikiran yang berguna bagi semua pihak.

  a.

  Secara teoritis, penulisan skripsi ini dibuat agar dapat menjadi bahan kajian untuk memberikan informsi-informasi dalam bidang pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana khususnya.

  b.

  Secara praktis, penulisan skripsi ini ditujukan sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan kalangan praktisi hukum untuk menambah wawasan tentang tindak pidana yang disebabkan oleh pornografi, khususnya pornografi anak

  D. KEASLIAN PENULISAN

  Skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengkaji data-data yang ada pada buku-buku, literatur- literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Judul ini juga diambil setelah melihat bahwa tidak ada judul skripsi yang sama di Perpustakaan Besar Universitas Sumatera Utara maupun di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Jika terbukti bahwa hal tersebut tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi atas tindakan tersebut.

  E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Pengertian Anak

  Dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang anak. Akan tetapi, betapa pentingnya memahami hukum anak dapat disimpulkan dalam konsiderans UU No. 3 Tahun 1997, dimana dikatakan “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa.” Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis atau mempunyai ciri atau sifat yang khusus. Oleh karena itu, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial

   secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. 3 Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Hukum, USU Press, Medan,1989, hal.13 Namun, terdapat batasan usia yang memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batasan usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang dilakukan anak itu. Di Indonesia, pengertian atau batasan seorang anak tidak sama dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

  Dalam Pasal 330 KUH Perdata dikatakan : ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana tertentu dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan

  

  keenam bab ini.” Dari ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa belum dewasa menurut KUH Perdata adalah : belum berusia 21 tahun

  • belum pernah kawin
  • Menurut Hukum Adat tidak ada batasan usia seseorang dikatakan dewasa.

  Teer Haar dalam bukunya “Beginsellen en Stelsel van Het Adatrecht” mengatakan : “Seseorang sudah dewasa menurut hukum adat di dalam persekutuan hukum yang kecil adalah pada saat seseorang baik perempuan maupun laki-laki apabila dia sudah kawin dan disamping itu telah meninggalkan orang tuanya ataupun 4 R. Subekti, KUH Perdata (Burgelijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-Undang

  Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1984, hal. 98 rumah mertua dan pergi pindah mendirikan kehidupan rumah keluarganya

  

  sendiri.” Kemudian Soepomo mengatakan bahwa : “Seseorang sudah dewasa apabila dia sudah kuat gawe (sudak kuat bekerja) dalam mengurus harta benda dan kepentingan sendiri. Bahwa seseorang yang sudah berumur 21 tahun belum berarti apa- apa, orang yang sudah dewasa tidaklah berarti bahwa dia tinggal

  

  bersama orang tuanya.” Dari kedua pengertian tersebut terdapat perbedaan. Teer Haar mengatakan apabila seseorang sudah bekerja namun belum kawin, maka ia belum dapat dikatakan dewasa, dan sebaliknya, Soepomo mengatakan seseorang sudah dapat dikatakan dewasa apabila ia sudah bekerja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam Hukum Adat tidak ada batasan usia yang tetap mengenai dewasa.

  Dalam Hukum Pidana, pengertian anak-anak ini diatur dalam Pasal 45 KUH Pidana, yang berbunyi :

  “ Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersangka itu dikembalikan pada orang tuanya, wali atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yaitu jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 perbuatan itu dilakukannya sebelum dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan suatu pelangaran ini atau sesuatu kejahatan atau

  

  menghukum anak yang bersalah itu.”

  5 6 Datuk Uzman, Hukum Adat . Bina Sarana Balai Pemnas SU, Medan, 1984, hal.18 7 Ibid, hal 12 R. Soesilo, KUH Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1986, hal.61

  R. Soesilo dalam penjelasannya mengatakan bahwa hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan terhadap anak yang melakukan tindak pidana :

   1.

  Anak itu dikembalikan pada orang tuanya atau walinya dengan tidak dijatuhi hukuman.

  2. Anak itu tidak dijatuhi hukuman tapi diserahkan pada rumah pendidikan anak-anak nakal untuk dididik sampai usia anak itu berumur 18 tahun.

  3. Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa dalam hal ini dikurangi dengan sepertiganya.

  Namun berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketentuan tersebut telah dicabut

  Selain bebrapa peraturan yang telah disebutkan di atas, ada berbagai macam jenis peraturan perundang-undangan yang menetapkan batasan masing- masing tentang usia seseorang dikatakan dewasa, di antaranya : 1.

  Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menyebutkan bahwa anak adalah belum mencapai umur 19 tahun untuk anak laki-laki sedangkan bagi anak perempuan belum mencapai umur 16 tahun.

  2. Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Anak adalah yang dalam perkara anak nakal mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

  3. Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak adalah seseorang di bawah usia 18 Tahun.

8 Ibid

  4. Konvensi Hak-Hak Anak, pada bagian 1 Pasal 1 menyebutkan anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun berdasarkan undang- undang yang berlaku.

  5. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.

  2. Pengertian Pornografi

  Pornografi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu porne (yang berarti pelacur) dan graphe (yang berarti tulisan atau gambar). Jadi, kata pornografi menunjuk pada segala karya baik dalam bentuk tulisan atau gambar yang melukiskan

   pelacur.

  Kemudian, ada beberapa pengertian pornografi menurut beberapa sarjana : a.

  HB. Jassin mengatakan pornografi adalah setiap tulisan atau gambar yang ditulis atau digambar dengan maksud sengaja untuk merangsang seksual.

  Pornografi menimbulkan fantasi pembaca menjdi bersayap dan mengelayap ke daerah-daerah kelamin yang menyebabkan syahwat

   berkobar-kobar.

  b.

  Azumah Subagio ( Sekretaris Umum Masyarakat Anti Pornografi Indonesia). Pornografi adalah semua materi yang bisa merangsang hasrat

9 Ade Armando, Mengupas Batas Pornograf,. Kementrian Pemberdayaan Perempuan

  Republik Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1 10 Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa Cet.I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 1995, hal.109 seksual orang pada umumnya, baik dalam bentuk gambar, bayangan,

   pembicaraan dan tulisan .

  

c.

  Andi Hamzah. Pornografi adalah : 1.

  Suatu ungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacuran atau prostitusi,

  2. Suatu ungkapan dalam bentuk tulisan tentang kehidupan erotik dengan hanya untuk menimbulkan rangsangan seks kepada pembacanya atau yang melihatnya. Berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa pengertian pornografi mengalami perkembangan. Jika awalnya pornografi hanya mencakup karya tulis atau gambar seiring dengan perkembangan teknologi media massa, pengertiannya juga mencakup media lain seperti lagu dalam kaset atau CD, acara Televisi, acara Radio, film, komik, iklan dan sebagainya. Begitu pula objeknya, bukan lagi hanya pelacur, tetapi dapat diartikan sebagai segenap materi melalui media yang berfungsi sebagai pelacur, yaitu memberikan pelayanan seks.

  Kemudian, dalam Bab I angka 1 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dikatakan :

  “ Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartu, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di media umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melangar

  

  norma kesusilaan dalam masyarakat.”

  11 12 akses tangga 31 Januari 2009 13 Andi Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Bina Mulia, Jakarta, 1987, hal. 8 Undang-Undang Pornografi dan Penjelasannya Dilengkapi Dengan Pendapat- Pendapat Pro Kontra, Indonesiatera, Yogyakarta,2008, hal.8

3. Pengertian Pornografi Anak

  Sebuah konvensi Hak Anak tanggal 25 Mei 2000 yang diberi nama

  Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of

Children, Child Prostitution and Child Pornography yang telah ditandatangani

  Indonesia pada September 2001 mendefenisikan pornografi anak sebagai “Setiap

  

representasi , dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit

dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap

representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual.” Protokol

  Optional Konvensi Hak Anak ini menegaskan tidak adanya toleransi untuk pornografi anak. Secara eksplisit dalam konvensi ILO No.182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak hal ini kembali ditegaskan , di antaranya adalah pelibatan anak dalam materi pornografi yang juga juga merupakan salah satu bentuk

  

  pekerjaan terburuk bagi anak Menurut UU No. 44 Tahun 2008, pengertian pornografi diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi :

  “Pornogrfi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

  Sedangkan dalam penjelasan Pasal 4 ayat(1) huruf f UU No. 44 Tahun 2008 dikatakan bahwa pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang

   diakses tanggal 31 januari melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

  Pornografi anak termasuk foto, pertunjukan visual dan audio dan tulisan dan dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, kaset video, film, hand phone, serta disket atau file computer.

F. METODE PENELITIAN

  Metode penelitian dalam pembuatan skripsi ini menggunakan ; 1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian berupa jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah dan norma-norma dalam hukum positif.

2. Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan adalah library research yaitu melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah, internet dan bahan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

3. Jenis Data

  Adapun jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-Undang dan lain sebaginya. b.

  Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana pornografi seperti seminar hukum majalah-majalah, karya ilmiah yang terkait dengan pornografi dan pornografi anak dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

  c.

  Bahan Hukum Tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

4. Analisa Data

  Data-data yang diperoleh harus dianalisa secara kualitatif untuk kemudian dirangkum secara cermat untuk mendapatkan hasil yang akurat agar dapat menghasilkan karya tulis ilmiah yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah yang dapat dipertanggungjawabkan , dan juga harus didukung dengan fakta-fakta/ dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian.

C. SISTEMATIKA PENULISAN Skripsi ini terdiri dari 4 (empat) Bab.

  Bab I membahas tentang latar belakang , permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan ( yang terdiri dari pengertian anak, pengertian pornografi dan pornografi anak), metode penelitian serta sistematika penulisan.

  Bab II berisi tentang pengaturan pornografi dalam hukum positif di Indonesia yang terdiri dari KUHP, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan beberapa peraturan lainnya yang memuat pengaturan tentang pornografi. Bab III membahas tentang perlindungan bagi anak yang menjadi korban pornografi anak menurut UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bab IV akan memuat tentang kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini serta saran dari penulis mengenai permasalahan dalam skripsi ini.