BAB I PENDAHULUAN I. A. LATAR BELAKANG - Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri

  diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan sosial ini terbagi atas lima dimensi, yaitu instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial (Orford, 1992). Menurut Rook & Dooley (dalam Kuntjoro, 2002) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu sumber artificial yang merupakan dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial, dan sumber natural yang merupakan dukungan sosial yang natural diterima individu melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya: anak, istri, suami, rekan kerja dan kerabat.

  Menurut Fleming & Baum (dalam Sarafino, 2006), seseorang senantiasa membutuhkan dukungan sosial di dalam segala aspek kehidupannya. Apabila seseorang mendapatkan dukungan sosial yang banyak, maka ia akan memperoleh kehidupan yang baik (seperti kesehatan yang baik), dan sebaliknya kekurangan dukungan sosial akan menyebabkan hal yang tidak baik (seperti stres). Dengan kata lain, dukungan sosial dapat menyebabkan seseorang memiliki pandangan yang lebih baik terhadap dirinya sehingga dapat menjalani kehidupan dengan baik pula. Aspek negatif dapat muncul dari dukungan sosial apabila diberikan kepada orang yang salah, dengan cara yang salah dan pada waktu yang salah, namun secara umum dukungan sosial merupakan hal yang positif di dalam suatu hubungan, salah satunya dalam hubungan keluarga (Sarafino, 2006).

  Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak untuk memperoleh pelajaran dasar mengenai perilaku, perkembangan sikap, nilai kehidupan dari keluarga, belajar menghormati orang yang lebih tua, serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Menurut Gina dan Segal (dalam Helpguide, 2009) hal yang terjadi di zaman sekarang justru keluarga sering menjadi sumber konflik bagi sejumlah orang, yang membuat suasana keluarga menjadi tidak harmonis dan sering mendorong pada terjadinya konflik antara kedua orangtua. Adapun salah satu akibat dari konflik tersebut adalah perceraian. Perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa yang menegangkan dalam kehidupan keluarga. Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam, seperti dapat menimbulkan stres, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik, dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, yaitu ayah, ibu, dan anak.

  Menurut Hetherington (dalam Dagun, 2002), peristiwa perceraian menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah. Dalam menghadapi masalah ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan hal tersebut. Ada kecenderungan sikap yang berbeda pada ayah dan ibu setelah ayah dan ibu mengalami perceraian. Ibu menjadi kurang memperlihatkan kasih sayang kepada anak-anak, khususnya anak laki-laki. Ibu memperlakukan anak laki-laki lebih keras, memberi tugas disertai ancaman dan mendidik anak juga tidak sistematis serta bersifat memaksa (Dagun, 2002). Ayah akan bersikap berbeda. Ayah lebih cenderung bersikap ramah, tertawa ria, memberikan kebebasan pada anaknya, dan muncul sikap tertarik pada anak. Perbedaan sikap ayah dan ibu tampak jelas pada reaksi anak laki-laki. Reaksi anak laki-laki terhadap ibu yang mengasuh akan lebih bersikap acuh tak acuh dan akan lebih bersikap agresif dibandingkan anak lain (Dagun, 2002).

  Sebagian besar dalam kasus perceraian, anak berada di bawah pengasuhan ibu, namun tidak menutup kemungkinan anak juga dapat tinggal di bawah pengasuhan ayah. Kaum pria yang mengambil alih tanggung jawab pada kasus perceraian umumnya mendidik anak secara lebih efektif. Anak laki-laki yang diasuh oleh ayah menunjukkan sikap yang menguntungkan, berkembang lebih matang, memiliki interaksi sosial yang lebih baik, dan memperlihatkan kesadaran diri yang lebih tinggi (Dagun, 2002). Anak perempuan yang tinggal dengan ayah akan memperlihatkan sikap yang kurang menguntungkan. Anak perempuan akan lebih cenderung kurang memiliki sikap kerja sama, kurang jujur, dan sangat berbeda dengan anak perempuan yang diasuh oleh pihak ibu (Dagun, 2002).

  Kesulitan salah satu pihak orangtua dalam pengasuhan anak sering menimbulkan keinginan dari pihak orangtua untuk mencari pendamping hidup yang baru untuk membantu dalam hal pengurusan anak, sehingga anak tidak merasa kehilangan perhatian atau kasih sayang dari pihak orangtua yang tidak tinggal bersama mereka. Sebagian besar orangtua yang bercerai akan mulai berkencan dalam beberapa bulan setelah perpisahan atau bahkan menikah lagi (Hetherington & Henderson dalam Degarmo, 2002). Hal inilah yang menyebabkan munculnya keluarga tiri yang di dalamnya akan ada orangtua tiri dan saudara tiri.

  Anak dalam keluarga tiri dapat berasal dari beragam usia, mulai dari anak- anak, remaja, sampai dewasa, yang kesemuanya memiliki cara penyesuaian yang berbeda dalam menghadapi keluarga tiri. Faktor usia anak akan mempengaruhi reaksi anak terhadap orangtua tiri. Menghadapi anak tiri yang masih kecil, tentu akan berbeda dengan anak tiri yang sudah beranjak dewasa.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ferrer (dalam Ferrer, 2006) mengindikasikan bahwa anak-anak usia 9 sampai 15 tahun merupakan waktu yang paling sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga tiri. Dalam melakukan pendekatan pada anak tiri yang sudah usia sekolah dan remaja ke atas, dibutuhkan tingkat kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita. Anak-anak berusia 15 tahun ke atas mengkhawatirkan pertumbuhan kemandirian dari keluarga.

  Hubungan ibu tiri dan anak tiri kurang dekat dibanding hubungan ayah tiri dan anak tiri dalam tahap kehidupan selanjutnya. Suatu penelitian yang dilakukan oleh White et al. (dalam Stewart, 2006) menguji hubungan orangtua tiri dan anak tiri pada masa remaja dari perspektif anak tiri. Partisipan melaporkan bahwa partisipan memiliki tingkat kelekatan yang lebih rendah dengan ibu tiri dibanding ibu kandung, tetapi memiliki tingkat kelekatan yang sama pada ayah kandung dan ayah tiri.

  Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang anak tiri mengenai pandangan mereka tentang ibu tiri mereka:

  “Kalo mamak tiri ku kan kak sama aja kayak yang ada di TV-TV itu.

  Kejam dan gak peduli sama ku. Kalo ada salahnya sama bapak atau dia buat kesalahan aja baru dia baek-baekin aku. Aku pun cuma makan sama tidur aja di rumah. Mamak (ibu tiri) mana mau ngasi uang sama ku, aku pun malas mintanya. Kalau misalnya aku buat salah kak, aku bisa ditampar atau dipukul, tapi bapak ku gak tau itu kak. Untung aja adek- adek tiriku anak baik. Pokoknya ada atau gak ada mamak tiri itu gak ada bedanya sama ku kak.”(Wawancara Personal, 18 Maret 2010) “Aku punya ibu tiri yang usianya hampir dekat sama ku, cuma beda 4 tahun, jadi aku ngerasa kurang cocok aja sama dia. Kerjanya dia itu cuma bergaya aja, gak perduli sama aku atau Deva (adik kandung). Kalo ada papa aja baru dia baik-baik sama kami. Aku pun udah gak tahan di rumah itu. Pengen keluar dari rumah, tapi gak tega sama papa yang sekarang agak sering sakit-sakitan. Saling sapa pun kali jarang, malah kalo bicara gak jarang jadinya kami berantem. Untung aja aku berani ngelawan, kalo gak, mau lah aku disiksanya kayak Cinderella. Sorry-sorry aja nech, mana berani dia nyiksa kami. Habis lah dia kami buat. Karena masih menghargai papa lah makanya kami diam aja. Aku itu biasanya keluar rumah pagi, baru pulang malam-malam, Deva pun kayak gitu. Untung aja ada pembantu di rumah, kalo gak, siapa lagi yang beresin rumah. Dia (ibu tiri) mana mau, takut dia dandanannya rusak. Kami pun jarang ngumpul-ngumpul. Aku lebih suka ngumpul sama saudara- saudara. Dan saudara-saudara ku juga gak suka ama dia (ibu tiri), sok kali pula dia. Lebih baek lagi mama kandung ku.” (Wawancara Personal,

  Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat terlihat perbedaan dukungan yang diberikan oleh ibu tiri. Pada kutipan wawancara pertama, anak tiri menggambarkan sosok ibu tiri sebagai orang yang kejam dan jahat. Pada kutipan wawancara kedua ditemukan hal yang tidak jauh berbeda. Anak tidak menyukai ibu tiri karena menganggap ibu tiri tidak perduli terhadap dirinya dan adiknya, apalagi jarak usia anak tiri dan ibu tiri yang tidak terlalu jauh, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik dan ketidakpuasan terhadap ibu tiri.

  Peran ibu tiri dapat menjadi lebih sulit dibanding ayah tiri karena ibu memiliki tanggung jawab perawatan langsung kepada anak-anak (Hetherington dan Stanley-Hagan; Sauer dan fine, dalam DeGenova, 2008). Satu penelitian yang dilakukan oleh Pruett, Calsyn, dan Jensen (dalam Stewart, 2006) menemukan bahwa mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan ibu tiri menerima dukungan sosial yang sedikit (misalnya lebih banyak konflik atau kurangnya kedekatan) dari ibu tiri dibanding dengan yang berasal dari keluarga utuh.

  Dukungan sosial yang diterima oleh anak tiri dari ibu tiri mereka juga akan berbeda satu sama lain. Dari kelima dimensi dukungan sosial, yaitu dimensi intrumental, instrumental, penghargaaan, emosi, dan integrasi sosial, anak tiri bisa saja menerima kelima dukungan sosial tersebut ataupun tidak.

  Hal tersebut diungkapkan oleh Fuad (17 tahun) yang merasa tidak terpenuhi dalam dimensi dukungan instrumental.

  

“Mana pernah aku dikasi uang sama dia kak. Dia (ibu tiri) pun tau nya

minta uang aja sama Bapak. Dulu pernah aku coba minta uang sama dia, dimaki-makinya aku kak.” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Fuad tidak menerima dukungan instrumental dari ibu tirinya yang berupa uang. Ibu tiri malah memarahi Fuad ketika Fuad meminta uang padanya.

  Pemberian dukungan informasional, seperti pemberian nasehat atau informasi tertentu juga penting bagi diri anak tiri. Ketika dukungan tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya, misalnya ketika anak tiri mengalami masalah dan ibu tiri tidak memperdulikan keadaan anak tiri, maka anak tiri lebih memilih untuk menyimpan semuanya, sehingga semakin menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya.

  Fuad (17 tahun) lebih memilih menyimpan semua masalahnya daripada menceritakannya dengan ibu tirinya.

  

“Malas lah kok ngomong-ngomong sama dia. Diam-diam aja awak kak.

Kalo ada masalah, ya diam aja aja kak. Simpan sendiri..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Ibu tiri perlu memberikan penilaian yang positif terhadap diri anak tiri, sehingga anak merasa dihargai dalam keluarga. Hubungan ibu tiri dan anak tiri yang tidak baik sering membuat ibu tiri mengabaikan anak tiri atau berkata tidak baik pada anak tiri, sehingga membuat anak tiri sama sekali merasa tidak dihargai.

  Fuad (17 tahun) merasa ibu tirinya sering membicarakan hal yang tidak baik tentang dirinya kepada orang lain, sehingga membuat Fuad merasa malu pada orang tersebut.

  

“Seneng kali dia itu kak kalo udah jelek-jelekin awak.. Apalagi sama uwak

yang tingga deket rumah, suka kali dia ceritain awak yang jelek-jelek..

Tapi malas awak ngurusin nya.. Biar aja lah situ..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Perasaan emosional sering menjadi faktor utama dalam suatu hubungan. Dukungan emosi yang menyangkut perasaan emosional seringkali mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Dukungan emosi ini bisa berkaitan dengan rasa sayang, cinta kasih, dan emosi, yang membuat seseorang itu merasa dihargai dan dicintai. Ketika dukungan emosi ini tidak terpenuhi, dapat memancing timbulnya pertengkaran yang dapat semakin menjauhkan hubungan ibu tiri dan anak tiri.

  Fuad (17 tahun) merasa ibu tirinya sama sekali tidak menyayanginya, malah ibu tiri sering melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya, seperti memukul atau memarahi dirinya, sehingga menyulut pertengkaran dan rasa amarah pada diri Fuad terhadap ibu tirinya.

  

“Itulah kak.. Kalo awak minta uang dulu sering dimakinya awak.. Kalo

awak berantam sama anaknya pun langsung awak dimarahinnya.. Suka-

suka dia aja kak marahin awak..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Berkumpul bersama dengan anggota keluarga dapat meningkatkan kedekatan dengan sesama anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan diberikannya dukungan integrasi sosial terhadap anak tiri yang dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama, misalnya menonton TV bersama ataupun berekreasi pada waktu senggang.

  Fuad (17 tahun) sangat jarang melakukan kegiatan bersama-sama dengan ibu tirinya. Fuad lebih memilih menghindari ibu tiri yang sering memarahi dirinya.

  

“Enggak kak. Malas awak dekat-dekat dia, apalagi kumpul sama-sama..

  Bagus awak keluar rumah aja kak.. Lebih tenang awak di luar sama kawan-kawan daripada di rumah dimaramarahinnya awak..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Pemberian dukungan sosial dari ibu tiri kepada anak tiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain keintiman, harga diri, dan keterampilan sosial.

  Semakin dekat hubungan ibu tiri dengan anak tiri, maka anak tiri juga akan memperoleh dukungan sosial yang besar dari ibu tiri.

  Hal ini diungkapkan oleh Wina (16 tahun) yang berhubungan dekat dengan ibu tirinya dan sering menghabiskan waktu bersama, sehingga membuat hubungan mereka semakin dekat.

  

“Mama (ibu tiri) sering ajak jalan-jalan kak, kadang shopping bareng,

makan bareng di kafe, mama orangnya asik lah kak..” (Wawancara Personal, 15 Maret 2011)

  Faktor kedua yang mempengaruhi pemberian dukungan sosial adalah harga diri. Ketika seseorang menganggap bahwa pemberian dukungan sosial merupakan penurunan terhadap harga dirinya, maka ia tidak akan menerima dukungan sosial yang diberikan oleh siapapun. Anak tiri biasanya memerlukan pemenuhan dukungan sosial, sehingga tidak mempengaruhi harga dirinya ketika dukungan sosial tersebut terpenuhi, namun ketika ibu tiri tidak memberikan dukungan sosial dan melakukan hal sebaliknya seperti memarahi anak tiri juga dapat mempengaruhi harga diri anak tiri.

  Fuad (17 tahun) merasa ibu tiri sama sekali tidak menghargai dirinya karena sering memarahi dirinya dan membuat dirinya sakit hati, sehingga mempengaruhi penilaian terhadap dirinya sendiri yang merasa diabaikan.

  

“Jahat lah dia kak.. Enggak pernah perduli sama awak.. Marah-marah

aja kerjanya.. Sama aja kayak enggak punya mamak awak kak..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Faktor ketiga adalah keterampilan sosial. Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan sosial yang luas pula. Ketika anak tiri tidak memperoleh dukungan sosial dari ibu tirinya, mereka akan cenderung mencarinya dari pihak luar, seperti dari saudara yang lain ataupun teman-teman.

  Fuad (17 tahun) memiliki banyak teman yang perduli pada dirinya, sehingga ketika ibu tirinya tidak memberikan dukungan yang dibutuhkan, Fuad akan beralih kepada saudara atau teman-temannya.

  

“Untung masih ada kawan-kawan awak kak yang baek-baek.. Dikawanin

orang itu aja awak kalo awak lagi suntuk.. Baek kali lah orang itu kak

sama awak..” (Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

  Perbedaan dukungan sosial yang diberikan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Setiap anak tiri pasti akan mengalami hal yang berbeda dalam hal pemberian dukungan sosial. Hal ini dirasakan menarik oleh peneliti yang ingin melihat secara mendetail bagaimana pemberian dukungan sosial pada anak tiri dan faktor yang mempengaruhinya.

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran dukungan sosial yang diberikan ibu tiri terhadap anak tiri.

  I. B. PERUMUSAN MASALAH

  Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri?”

  I. C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri.

  I. D. MANFAAT PENELITIAN

  I. D. 1. Manfaat Teoritis

  Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam bidang psikologi, khususnya mengenai dukungan sosial ibu tiri pada anak tiri, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

  I. D.2. Manfaat Praktis

  Hasil dari penelitian ini secara khusus diharapkan agar ayah ataupun ibu tiri mampu memahami perasaan anak tiri berdasarkan sudut pandang dukungan sosial yang diterima dari ibu tiri.

  I. E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Penulisan ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:

  BAB I : Pendahuluan Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya. BAB II : Landasan Teori Berisikan teori dan dinamika yang menjelaskan data penelitian yaitu mengenai dukungan sosial, ibu tiri, dan anak tiri. BAB III : Metode Penelitian Berisikan pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

  BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini menguraikan mengenai data pribadi partisipan, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data partisipan dan pembahasannya.

  BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan saran mengenai dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.