Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

  Newsletter interfidei Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Tim Redaksi Setting/ Layout Keuangan Sekretaris Distributor

  32

  panik. Listrik padam sehingga tidak ada informasi yang jelas baik melalui radio ataupun televisi mengenai gempa tersebut. Hanya satu atau dua stasiun radio yang mengudara memberikan informasi. Belakangan diketahui gempa tersebut berkekuatan 5,9 skala richter. Dalam hitungan detik ribuan bangunan porak poranda dan ribuan nyawa melayang serta banyak yang luka-luka. Setelah itu bantuan dari berbagai pihak berdatangan, baik dari pemerintah maupun kelompok- k e l o m p o k m a s y a r a k a t d e n g a n berbagai latar belakang agama, etnis, bangsa dan sebagainya.

  tsunami telah membuat masyarakat

  kejadian goro-goro (bencana) dalam pewayangan. Namun bumi Mataram (Jogja dan Jawa Tengah) yang terguncang pada 27 Mei 2006 kurang lebih jam 06.00 WIB, bukanlah kejadian goro-goro dalam pertunjukan wayang tetapi nyata. Pagi itu kepanikan yang luar biasa terjadi ketika semua manusia dari bumi Jogja Selatan bergerak serentak ke arah Utara, bahkan ada yang sampai ke daerah Magelang dan sekitarnya. Isu

  B

  Sang Dalang menggambarkan

  EDITORIAL KETIKA AGAMA-AGAMA DIGUNCANG GEMPA umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” begitulah ketika

  The surprising number of aids from various religious institutions, in forms of logistics, medic, education, infrastructure, etc, shows that the values of religions are not merely kept nicely in their holy books, but also applied in the real life of the community. Holy books of all religions teach human being to do

  life event. That morning, panic stroke when the people from southern part of Jogja moved up north, even also shook Magelang and its surrounding area. The issue that there would be a tsunami has caused panic in the community. The electricity was put out for quite a long time and there was no single information from radio or TV on the earthquake. Only one or two radio station still aired, providing information. Eventually, the world saw that the earthquake was 5.9 in the Richter scale. In seconds, thousands of buildings were brought down and thousands of lives taken. Several other thousands were injured. In the aftermath of the earthquake, aids from numerous parties come, whether from the government or from communities with different religion, ethnic, and national backgrounds.

  goro in a puppetry world, but a real

  was the way the puppet master depicted a goro-goro (disaster) in puppetry world. Nevertheless, Mataram land (Jogja and Central Java) shaken on May 27 2006 at around 06.00 a.m., was not a goro-

  B

  1 WHEN RELIGIONS WERE SHAKEN BY QUAKE umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” (The earth shaking, the sky moving…)

  29

  Elga Sarapung Amin Ma'ruf Listia, Lian Gogali, Suhadi, Leo CE

  25

  20

  12

  8

  3

  1

  Edisi September 2006 Newsletter Interfidei No. 2/I September 2006 Editorial Fokus Opini Aktifitas Potret Fitur Refleksi Agenda

  Daftar Isi

Institute fo r Interfaith Dialo gue in Indo nesia

  Website: www.interfidei.or.id Bilingual Newsletter

  Phone:+62-274-880149 Fax.:+62-274-887864 E-mail: [email protected]

  Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia

  Diterbitkan oleh: Institut DIAN/ Interfidei

  Sarnuji SR Eko Putro Mardiyanto Dian Mutianingrum Susanto, Supriyanto

  Banyaknya kegiatan bantuan gempa dari berbagai lembaga keagamaan, seperti bantuan logistik, medis, pendidikan, infrastruktur dan lain-lain, menunjukkan bahwa nilai- nilai agama tidak hanya tersusun rapi dalam kitab sucinya tapi juga d i t e r a p k a n d a l a m k e h i d u p a n masyarakat. Kitab suci dari semua Edisi September 2006 Interfidei newsletter Editorial

  2

  good deeds for fellow human beings, to aid each other and be empathic about others' suffering. Here, religious values coincides each other, i.e. a mission to care about others' suffering and uphold teachings that hold values of humanity.

  There are always touching moments in midst of disaster. When one experiences a disaster, one or two other people will be moved to help. No matter what religions, ethnics, or nations they are from, they would voluntarily aid the survivors. It's true that the very tragic situation of the victims demand hands from all parties, moreover religious communities that are always taught to care of others' suffering.

  The application of these religious values is not without problem in the practical sphere. Aid programs for survivors of earthquake implemented by religious institutions do not always receive positive response from all communities. The issue of religious proselytization becomes sensitive when related to the aid program. The issue rose due to the prejudice towards one group. Such prejudice will only raise antipathy towards other groups which were actually just trying to help the victims without any side motive to try to convert people into their religions. Moreover if the prejudice is spread through media with the absence of accurate investigation, it will then be very risky in interaction among religious followers. It is at this point that religious maturity and the dialogue process among religious believers must be free from prejudice.

  Taking into consideration the significance of the problem in the relationship among religious believers, this problem will be the main focus in this edition. The edition will also have the experience of an activist (Norma Susanti Rambe Manalu) in management of survivors of Aceh tsunami and quake. Next, the column 'Portrait' will introduce an activist of pluralism (Muslich). In addition, information on activities implemented by Interfidei from the month of June until September 2006 and agenda of activities in the future can also be found in this edition. Hope it is useful. Happy Reading! [AM] agama mengajarkan manusia untuk melakukan kebajikan terhadap sesama manusia, yaitu untuk tolong-menolong dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Disinilah, agama-agama mempunyai titik temu, yaitu misi untuk peduli akan penderitaan sesama dan menjunjung tinggi ajaran- ajaran kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan.

  Inilah yang mengharukan ketika ada yang mengalami musibah, orang lain, entah satu, dua atau lebih, akan tergerak untuk membantu. Tidak peduli apa agamanya, dari etnis apa, dari bangsa apa, mereka dengan sukarela membantu para korban. Memang kondisi para korban yang sangat mengenaskan menuntut uluran tangan semua pihak, lebih-lebih umat beragama yang senantiasa diajarkan untuk peduli akan penderitaan orang lain.

  Hanya saja penerapan nilai-nilai agama tersebut bukannya tanpa masalah dalam wilayah praksis. Kegiatan bantuan untuk korban gempa yang dilakukan lembaga-lembaga keagamaan tidaklah selalu menerima respon positif dari semua kelompok masyarakat. Isu penyebaran agama menjadi sensitif ketika dikaitkan dengan kegiatan bantuan tersebut. Isu tersebut timbul karena adanya belenggu prasangka pada suatu kelompok. Prasangka tersebut akan menimbulkan sikap antipati terhadap kelompok lain yang sebetulnya hanya ingin membantu para korban tanpa motif untuk meng-konversi orang lain ke dalam agama mereka. Lebih-lebih jika prasangka itu disebarluaskan melalui media tanpa adanya penyelidikan yang akurat maka itu akan menjadi sangat riskan dalam interaksi antar pemeluk agama. Disinilah kedewasaan dalam beragama dan pintu dialog antar pemeluk agama menjadi begitu penting untuk merdeka dari prasangka.

  Mengingat masalah ini sangat penting dalam kehidupan antar pemeluk agama maka permasalahan tersebut akan menjadi fokus utama dalam newsletter edisi ini. Edisi ini juga akan menampilkan pengalaman seorang aktifis (Norma Susanti Rambe Manalu) dalam penanganan korban gempa tsunami Aceh. Kemudian rubrik 'potret' menampilkan seorang aktifis pluralisme (Muslich). Selain itu informasi tentang kegiatan- kegiatan yang pernah dilakukan oleh Interfidei dari bulan Juni sampai dengan September 2006 serta agenda kegiatan ke depan akan menghiasi

  newsletter edisi ini. Semoga bermanfaat. [AM] Kedewasaan dalam beragama dan dialog antar pemeluk agama menjadi begitu penting untuk merdeka dari prasangka.

SENTIM EN KEAGAM AAN DI TENGAH BENCANA

RELIGIOUS PREJUDICE

  sosial yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Beragam bantuan dalam berbagai bentuk ini, seperti mengisyaratkan pernyataan (yang menjadi klise bila dirumuskan), “sakitmu, adalah sakitku juga…”. Ya, inilah yang paling mudah dipahami sebagai bentuk nyata solidaritas masyarakat. Sesuatu yang membuat semua orang merasa terharu dan bersyukur, bahwa selalu ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

  3 Edisi September 2006

  Focus

  Listia Edisi September 2006

  Konon rasa percaya masyarakat Indonesia satu dengan yang lain cukup rendah. Benar tidaknya penilaian ini bisa dilihat dari kecurigaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Kecurigaan ini bila direnungkan muncul beriringan dengan perubahan nilai-nilai dan tatanan sosial yang tidak dilalui dengan baik, sehingga memunculkan rasa tidak aman terhadap lingkungan. Dengan sangat menyesal, kita menyaksikan bahwa di Indonesia, ada juga kecurigaan dalam masyarakat yang hadir karena 'rekayasa'. Salah satu bentuk rekayasa yang

  Masalah Saling tidak Percaya

  Fokus newsletter edisi September ini akan menyajikan beberapa kasus yang berhasil diteliti oleh tim redaksi.

  Di luar persoalan solidaritas sosial ini, ada juga isu keagamaan yang menggelitik. Sebuah koran nasional memberi judul berita tentang gempa tektonik dengan ungkapan “Patahan yang menyatukan” menceritakan bagaimana warga masyarakat biasa di beberapa tempat di Jogja membuat nasi bungkus untuk dibagikan pada para pengungsi korban gempa yang dilakukan serentak tanpa komando. Secara umum solidaritas kemanusiaan tampak dengan gegap gempita. Tetapi menyangkut masalah perbedaan agama para relawan atau dermawan yang ingin membantu, peristiwa bencana (setidaknya yang terjadi di beberapa tempat di kabupaten Bantul Jogjakarta) menunjukkan ada pengerasan batas- batas identitas agama yang membuat relasi-relasi antara korban dengan orang luar daerah bencana kadangkala berjalan tidak rileks.

  IN M IDST OF DISASTER

  ne of the dimensions exposed by the media from a natural disaster is strong social solidarity from various levels of the

  alah satu sisi yang terekspos media dari peristiwa bencana alam adalah solidaritas

  We regretfully also witness that in Indonesia, there is contrived wariness toward the other. One form of it easily witnessed is the efforts to delineate differences in midst of the community which eventually would put a halt on communication

  It is said that the level of trust between one Indonesian to another is quite low. Whether it is true or not could be perceived from sense of suspicion that emerges in daily life. This suspicion, if contemplated, appears in line with changes in values and social order that are not undergone well, raising sense of insecurity towards environment.

  Low Trust Situation

  The Focus of this September edition presents some cases investigated by the editor team.

  VAULT that Puts US Together”, tells how common people in numerous places in Jogja cooked “wrapped rice” to be distributed to the refugees; all done at once without the need of any coordination. In general, solidarity for humanity seems very loud. Nevertheless, on religious diversity among volunteers, the disaster (at least what took place in some places in Bantul regency, Jogjakarta) shows firming on religious identity resulting in restrained relationship between victims and people from outside of disaster area.

  Without regard to the problem of social solidarity, there i s a l s o a r e l i g i o u s i s s u e consuming our attention. A national paper wrote as the heading for news on the tectonic quake: “The

  society. The various forms of aids seem to state (which becomes a cliché if formulated), “your pain is my pain too …” Indeed, it is s o m e t h i n g m o s t e a s i l y understood as the real form of people solidarity. It is something that makes all people feel touched and grateful that there will always be hope for a better life.

  O

  S among members of the community. Minimum communication is the most rational factor resulting in lack of understanding and sensitivity in different groups in the community towards numerous aspects of differences supposedly be managed together as the main part of living in one community.

  T h e initiative to open channel o f communicatio n is proven to b e a v e r y s i g n i f i c a n t means to lose any wariness and suspicion. I n t e r f i d e i ' s N e w s l e t t e r editors heard some rumor that there was a g r o u p o f church activists calling themselves Indonesia

  Prayer Network that planted the Bible (Christian Holy Book) among the aids submitted to the quake victims in Bantul. Other religious communities (In general Moslems and Hindus) understand such news as part of Christian missionary efforts.

  Members of our editor try to track down the source of this rumor.

  Eventually, our Newsletter editor found a source directly related to this news. Didin, a student of UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, an activist at Islamic Student Union, explained that there were Bibles in their post because those Bibles were procured intentionally, provided for Christians around the post of Islamic Student Union. Didin further elaborated that some volunteers at the post have long been cooperating with Theology School (STT) Apostolos Jakarta, including when coming to the aid with the victims of the quake in Bantul. They ordered Bibles to their friends at STT Apostolos, while for Moslems, they have also been able to provide al Qur'an.

  From the afore-mentioned case, we should be able to see that news/rumors are at times not appropriate with the real event. If the community does not have any initiative to ask about such news that could bring in problems in the life of the mudah disaksikan adalah adanya upaya-upaya mempertegas perbedaan dalam masyarakat yang pada akhirnya menutup komunikasi satu dengan yang lain. Minimnya komunikasi adalah hal paling rasional yang menyebabkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat menjadi saling tidak paham, tidak mengerti dan peka terhadap berbagai unsur perbedaan yang harus dikelola bersama sebagai bagian paling utama dalam bermasyarakat.

  Inisiatif untuk membuka komunikasi terbukti menjadi sarana yang sangat penting untuk m e n g h i l a n g k a n k e c u r i g a a n . Redaksi Newsletter Interfidei sempat mendapat kabar bahwa ada sekelompok aktivis Gereja yang menamakan diri Jaringan Do`a Indonesia menyisipkan al Kitab (kitab suci umat Kristiani) di antara bantuan-bantuan yang akan diserahkan pada para korban gempa di Bantul. Kelompok- kelompok umat beragama di luar Kristiani (umumnya muslim dan umat Hindu) banyak yang mudah memahami berita seperti ini sebagai bagian dari upaya-upaya misionaris Kristen. Beberapa anggota redaksi mencoba menelusuri sumber berita.

  Akhirnya redaksi Newsletter menemukan narasumber yang berhubungan langsung dengan berita ini. Didin, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, aktifis HMI menjelaskan bahwa al Kitab tersebut ada di posko mereka karena sengaja diadakan, disediakan untuk warga Kristiani di daerah sekitar posko HMI. Selanjutnya Didin menjelaskan bahwa sebagian relawan di posko ini telah lama menjalin kerjasama dengan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Apostolos Jakarta, termasuk ketika membantu korban gempa di Bantul. Al kitab mereka pesan pada kawan-kawan dari STT Apostolos, sementara untuk warga yang beragama Islam mereka sudah bisa menyediakan al Quran.

  Demikianlah sebuah berita acapkali beredar tidak sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Andaikan masyarakat tidak mempunyai inisiatif untuk bertanya tentang berita yang sekiranya bisa menimbulkan masalah dalam bermasyarakat, seperti ini maka cerita tentang

  4 Anak-anak korban gempa belajar di tenda darurat. Sumber: Dokumentasi Interfidei Interfidei newsletter Fokus community, the rumor about Bibles planted in the aids could be spread like fire and twisted to be an unhealthy source of suspicion in midst of various problems existing already.

  The issue of Christianization, as what rose once during the recovery process of the tsunami victims in Aceh also emerged in the aftermath of the earthquake in Jogja and Central Java. A Protestant priest 'entrusted' aid from his church through Interfidei's volunteer post with argumentation 'so that people wouldn't consider it Christianization'.

  GKI, an abbreviation from Gereja Kristen Indonesia (Indonesian Christian Church), in i t s e f f o r t s i n humanitarian aid for the people in Bantul and Klaten changed its a b b r e v i a t i o n t o Gerakan Kemanusiaan Indonesia (Indonesian H u m a n i t a r i a n Movement). Such a c h a n g e i s h a r d l y n e c e s s a r y i f o u r community is used to thinking clearly in responding to different news or rumors. In an emergency situation in which anybody having the capacity to aid is expected to do anything necessary to lighten the burden of the people surviving the disaster, in reality there is still much work to be done to rid of various prejudice.

  The desperately low trust among different religious communities seems to be a homework we are yet to face. On one side, various circles in Christianity recognize that Christians are not just one, as there are many at-times-different religious understandings, including in understanding the meaning of 'living the Gospels and consoling souls'. Most Christians interpret this understanding by living to the values upholding and embracing humanitarian values, but a few people interpret it by rounding up Church members. Perhaps there was an event where one tried to convert another into a Christian, and this news was then developed in such a way that a thought then was shared that all Christians are missionaries looking forward to converting others into Christians as well. adanya al Kitab yang terselip di antara bantuan yang diberikan bisa beredar dan terus dipelintir menjadi sumber kecurigaan yang sangat tidak sehat di tengah berbagai persoalan.

  Isu Kristenisasi, sebagaimana pernah mencuat saat pemulihan korban bencana tsunami di Aceh terjadi pula paska musibah gempa di Jogja dan Jawa Tengah ini. Seorang Pendeta Kristen Protestan sempat 'menitipkan' bantuan dari gereja melalui posko relawan Interfidei dengan alasan 'biar tidak dianggap kristenisasi'. GKI yang sehari- hari adalah singkatan Gereja Kristen Indonesia, dalam upaya membantu masyarakat di Bantul dan K l a t e n m e n g g a n t i s i n g k a t a n m e n j a d i Gerakan Kemanusiaan Indonesia. Pergantian arti s i n g k a t a n i n i sesungguhnya tidak perlu t e r j a d i s e a n d a i n y a masyarakat kita terbiasa b e r f i k i r j e r n i h menghadapi berbagai b e r i t a . P a d a s i t u a s i tanggap darurat dimana s i a p a s a j a y a n g mempunyai kemampuan u n t u k m e m b a n t u diharapkan bisa melakukan apa saja untuk segera meringankan beban masyarakat yang tertimpa bencana, kenyataannya masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjernihkan cara berfikir, mengusir berbagai prasangka.

  Minimnya rasa percaya antar pemeluk agama yang berbeda tampaknya menjadi PR yang masih harus dihadapi. Di satu sisi beberapa kalangan Kristiani mengakui bahwa umat Kristiani pun tidak satu, ada banyak paham keagamaan yang adakalanya berbeda di antara mereka, termasuk dalam memahami makna 'memashurkan Injil atau memenangkan jiwa'. Sebagian besar umat Kristiani menghayati paham ini dengan cara menghidupi nilai-nilai yang m e n i n g g i k a n d a n m e m e k a r k a n h a r k a t kemanusiaan, namun ada juga oknum atau kelompok kecil yang memaknainya dengan cara memperbanyak warga Gereja. Barangkali pernah ada kejadian seseorang “meng-kristen-kan” yang lain, kemudian berita ini dikembangkan

  Edisi September 2006 Focus Edisi September 2006

Simpati dari Umat Budha Korea untuk korban gempa Jogja. Sumber: Dokumentasi Interfidei Ironically, if there is one thing most often responded by religious communities other than Christians, it would be this small group's movement, as religious communities other than M o s l e m s v e r y o f t e n respond to intolerant and radical movements done by a small group of M o s l e m s . T h u s , t h e situation invented the labels 'missionary' for Christians and 'intolerant and radical' for Moslems that have proven to destroy trust among members of the community.

  If only there is w i l l i n g n e s s a m o n g religious communities to o p e n a n i n t e n s i v e communication, then we could see a great possibility that wariness emerging due to this lack of trust to others will also disappear.

  Hidden Agenda and Sentiment

  In midst of post-disaster suffering, one interesting phenomenon is the number of 'banners' put out by the donors. If we could read the mind behind this crowd of a banner, it was as if they cried out “Look, we whose names are written here have done something to help out”. Or perhaps (this is another 'if'), “Don't forget, we are generous, keep that in mind!” This all of course does not mean that we have to have bad thought about these donors: that they have a hidden agenda so that they are memorized for their good names, or so that people they helped would in the future be supporters of the donors. The reality is that the survivors of the disaster really need the donors' hands, and we of course also feel relieved when we see the victims' burdens be lightened. So, critical thoughts must not always be uttered blatantly as it could provoke interpretation that considers critical thoughts as unproductive talkative attitude.

  The emergence of any critical thought when seeing any symbol, signs, or writings about the donors attached to cars or packages of aids, or banners saying that this is group A's region, or association B's area, and so on should be able to be ended by an understanding that all people or groups sedemikian rupa sehingga beredar pikiran seolah- olah semua orang Kristiani adalah misionaris yang ingin membaptis umat lain. Ironisnya yang sering direspon penganut agama diluar Kristiani a d a l a h g e r a k a n kelompok kecil ini, sebagaimana umat di luar muslim yang s e r i n g k a l i l e b i h merespons gerakan yang tidak toleran dan keras yang dilakukan oleh kelompok kecil umat Islam. Tidak urung cap misionaris untuk umat Kristiani dari umat lain dan cap tidak toleran dan keras untuk umat Islam dari umat lain terbukti telah menghancurkan rasa saling percaya diantara warga masyarakat.

  Seandainya ada kemauan di antara umat beragama untuk membuka komunikasi yang intensif, maka besar kemungkinan kecurigaan yang timbul karena rendahnya rasa percaya pada yang lain ini akan hilang.

  Pamrih dan Sentimen

  Di tengah derita paska bencana, fenomena yang menarik adalah banyaknya 'bendera' yang dibentangkan oleh para penyumbang. Kalau boleh berandai-andai membaca pikiran dibalik maraknya bendera itu seolah-olah hendak menyatakan “lihatlah, kami yang namanya tertera disini, sudah membantu”. Atau mungkin saja (ini pengandaian lagi) terdapat pikiran seperti ini, “jangan lupa, kami adalah dermawan, ingat baik-baik!”. Ini semua tentu bukan bermaksud buruk sangka bahwa para penyumbang ini mempunyai pamrih agar dikenang mempunyai nama baik, atau agar orang-orang yang dibantu kelak menjadi simpatisan si pemberi bantuan. Kenyataannya masyarakat yang mengalami bencana sangat membutuhkan uluran tangan mereka itu dan kita turut lega ketika para korban diringankan bebannya. Jadi pikiran kritis tidak selalu harus dikemukakan dengan lugas, karena bisa memancing munculnya penafsiran yang menganggap pikiran kritis sebagai sikap nyinyir yang tidak produktif.

  Interfidei newsletter Fokus

  gempa di Dusun Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro,Kabupaten Bantul, Yogyakarta Sumber: Dokumentasi Interfidei bersama anak-anak korban

6 Membangun semangat baru

  have the right to have an interest, as long as the mentioned interest does not position those suffering as the result of a disaster as an object of the interest. Nevertheless, we should also ask ourselves about the indicator that one interest brought by one person or group does not make other parties as objects.

  A proverb says, 'If you are really kind- hearted, you would not be upset with people who do not thank you for what you have done for them'. How about the donors with their enormous banners discrediting others who just want to help? An example of the case is the spread of a rumor “Watch out, be careful with the aid given by this group, they are just trying to gain your sympathy so that you would follow their faith”. It seems that these banner men trying to discredit others just plunge themselves in the hole of shame. It is impossible for people who try to give their hearts to dirt them at the same time.

  Sincerity towards Life

  In the end of this article, it is not too much to re-raise the theme of sincerity which now seems not to be as interesting to discuss. Traditional teachings of religions say “If your right hand gives, don't let your left hand see”. In other words, the phenomenon exhibiting kindness or generosity is something worthy to notice, observe, and reflect, that this is the portrait of our maturity in living in the community, where kindness is not done for

  M u n c u l n y a pikiran kritis saat melihat simbol, tanda atau tulisan-tulisan tentang si penyumbang tertempel di mobil- mobil atau menempel pada dos-dos berisi barang bantuan, atau bendera-bendera yang seolah-olah mematok ini wilayah kelompok A , s e b e l a h n y a k e l o m p o k B , d a n seterusnya, cukup bisa d i a k h i r i o l e h pemahaman bahwa s e m u a o r a n g a t a u kelompok berhak untuk m e m p u n y a i s u a t u kepentingan, sepanjang kepentingan ini tidak memposisikan masyarakat yang tertimpa bencana sebagai obyek dari kepentingan tersebut. Namun apa yang menjadi ukuran bahwa suatu kepentingan yang dibawakan oleh seseorang atau kelompok tidak meng-obyek- kan pihak lain?

  Sebuah pepatah mengatakan, 'bila engkau sungguh-sungguh baik hati, kau tidak akan marah dengan orang yang tidak tahu berterima kasih padamu'. Bagaimana dengan para pemberi bantuan yang mengibarkan bendera besar-besar dan mendiskreditkan kelompok lain yang juga ingin membantu? Misalnya dalam konteks tema ini adalah, sambil menghembuskan isu “awas, hati- hati dengan bantuan yang diberikan kelompok ini, mereka hanya ingin mengambil hati agar mengikuti keyakinan mereka”. Tampaknya para pengibar bendera yang mencoba mendiskreditkan kelompok lain hanya menjatuhkan diri sendiri pada lubang aib. Orang yang berusaha memberi hati, tidak mungkin pada saat yang bersamaan mengotori hatinya.

  Tulus Bagi Kehidupan

  Di akhir tulisan ini tidaklah berlebihan bila mengangkat kembali terma ketulusan yang agaknya sekarang menjadi sesuatu yang tidak menarik untuk didiskusikan. Ajaran tradisional agama-agama menyatakan “jika tangan kananmu memberi, hendaknya tangan kirimu tidak melihat”. Dengan kata lain fenomena memamerkan

  Bangunan sekolah darurat SD Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakartal Sumber: Dokumentasi Interfidei

  Focus Edisi September 2006 Edisi September 2006

  Total Togetherness: Learning from Humanitarian Solidarity for Survivors of Disaster

  umane value (hablun min al-nas) is put as second highest priority in Islamic teaching, right after spirit of Divinity (hablun min

  H Allah). These two teachings have strong correlation

  to the point where both can no longer be distinguished. It is as if humanitarian spirit can never be in the opposite of religious spirit, and vice versa. Religions were not descended as a constraint to humanity, let alone as a shackle to humanitarian values (Qs. 22: 78). Thus, anything that agrees with humanitarian values (of use for human being) will never cease to exist on earth, whereas those not concur with the values (worthless for people, as foam in the sea) will not exist (Qs. 13-17). Thus, despite the say that Islam originates from God, compliance to Islam itself is not for the interest of God, but for the humanity of human being itself, as God's keridhaan (willing) depends on how far human beings do their best for themselves (Qs. 47:38). Real appreciation towards the divine values will automatically result in real appreciation towards humane values (Qs.31:12). Absence of either one of the two aspects will create fakeness, 1 false, in the other aspect. Human being has very respected position in this world. Thus, all kinds of deeds destroying the existence of human life directly or indirectly, is an attitude that denies the destiny of human being as khalifah on the face of this earth assigned to create kemaslahatan (benefiting) and to add to riches of earth (Qs. 11: 61).

  There are at the very least two behaviors devastating these humane values. First is through direct actions: acts of violence such as warfare, eviction, rape, oppression, etc that occur incidentally or systematically. Second is by means

  Kebersamaan Yang Utuh: Belajar Dari Solidaritas Kemanusiaan Untuk Korban Bencana Alam.

  ilai kemanusiaan (hablun min al-nas) menempati posisi yang sangat tinggi di

  N

  dalam ajaran Islam setelah semangat ketuhanan (hablun min Allah). Kedua ajaran ini memiliki korelasi yang sangat kuat sehingga tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Padanannya semangat kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan semangat keagamaan, demikian pula semangat keagamaan mustahil bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Agama tidak diturunkan sebagai penghalang bagi kemanusiaan, apalagi sebagai pemasung nilai-nilai kemanusiaan( Qs. 22: 78). Maka sesuatu yang sejalan dengan nilai kemanusiaan (fungsional untuk manusia) tentu akan tetap eksis di bumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna untuk manusia, muspra bagaikan buih) tentu tidak akan eksis di bumi,--(Qs. 13-17). Untuk itu, walau Islam berasal dari Tuhan, tetapi ketaatan terhadap Islam itu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kemanusiaan manusia itu sendiri, karena keridhaan Tuhan tergantung sejauh mana manusia berbuat sebaik-baiknya untuk dirinya sendiri. (Qs. 47:38). Apresiasi sejati nilai ketuhanan dengan sendirinya menghasilkan apresiasi sejati nilai kemanusiaan (Qs.31:12). Ketiadaan salah satu dari kedua aspek itu akan membuat aspek lainnya 1 palsu, tidak sejati. Posisi manusia yang sangat terhormat di dunia ini, maka segala bentuk perbuatan yang menghancurkan eksistensi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan sikap yang mengingkari kodrat manusia itu sendiri sebagai khalifah di muka bumi yang punya tugas menciptakan kemaslahatan dan memakmurkan bumi (Qs. 11: 61).

  Paling tidak terdapat dua perilaku yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, pertama; secara langsung, yaitu melalui tindak kekerasan seperti peperangan, penggusuran, pemerkosaan, penindasan dll. yang terjadi secara 1

  . See Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan , (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.

  Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.

  Interfidei newsletter Opini Abidin Wakano of indirect actions: destruction of environment / nature, since such action will have direct effect on human being in the form of natural disaster. That's why God tells human beings not to do damage to earth, “ do not make any damage on

  earth, after (God) mends it and pray to Him with fear and hope. God is truly close to those dong good deeds." (QS. 7:56). Human being has the

  responsibility to care for this life as damage occurring in land and sea, whether on natural resources or social one is the doing of humans.(Qs. 16:13).

  Both aforementioned behaviors are animal-like conducts resulting in tendency in humans to try to control and prey each other. Such animal craze has stained the history of human being with bloodshed ever since the fight between Cain and Abel. Unavoidably, violence after violence kept on going from time to time. Aggression never leaves human life. As a snow ball that keeps on rolling, the more modern human life, the more complex and improved the aggression born of human conduct. We could all witness this historical reality when humans worship a new, “adiluhung” civilization, which gives birth to the myth of modernism with high civilization. Tragically, it is in this peak era modernism that brutal and systematic warfare th started. The beginning of the 20 century commenced with World War I (1914-1918) in Europe, upon which even a greater war occurred, World War II (1939-1949) that extended to all corners of earth. Two big wars apparently were not enough. After World War II, 155 wars have taken place in all over the world. The history recorded wars in Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, the Malvinas, and the Gulf war that caused tragedy for the world of humanity, not to mention aggressions of the US to Nicaragua, El- Salvador, Iraq, Libya, and Afghanistan chapter

  III at present. In some records, these open wars have at least made victims of 20 million lives, most of which were civilians, especially women and children. (Republika, Sunday, 21October

  2001: Ideologi Perang, by Haedar Nashir).

  Indonesia is not an exception. In the last few years we have witnessed numerous conflicts and violence taking thousands of lives. These social disasters taking place repeatedly have caused disintegration in our almost perfect Indonesia: how each and every citizen of this country coerces and slays each other to sustain insidentil maupun sistematik. Kedua, secara tidak langsung yaitu melalui pengrusakan terhadap lingkungan/ alam, karena yang demikian bisa berdampak langsung terhadap manusia berupa bencana alam. Untuk itu Tuhan menyerukan agar umat manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi, “janganlah kamu

  membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik." (QS. 7 : 56). Manusia

  punya tanggung jawab untuk merawat kehidupan ini karena kerusakan yang terjadi di darat dan lautan, baik terhadap sumber daya alam maupun sumber daya sosial adalah karena perbuatan manusia.(Qs. 16:13).

  Kedua perilaku di atas merupakan perilaku hewani yang membuat manusia punya kecenderungan untuk saling menguasai dan memangsa. Nafsu kebinatangan seperti ini dalam sejarah kehidupan manusia telah menoreh sejarah kekerasan abadi sejak terjadi perkelahian antara Habil dan Kabil. Tak pelak lagi kekerasan demi kekerasan terus terjadi dari satu zaman ke zaman berikutnya. Kekerasan tak pernah luput dari kehidupan manusia. Seperti bola salju yang terus berputar semakin modern kehidupan manusia, tindak kekerasan yang lahir dari perilaku manusia pun semakin meningkat dan kompleks. Tak pelak lagi realitas-historis itu dapat kita saksikan ketika manusia memuja peradaban baru yang “adiluhung”, yang melahirkan mitos modernisme yang berkeadaban tinggi (high civilization). Namun sungguh tragis, di era puncak kemodernan itulah perang yang brutal sekaligus sistematik telah dimulai. Awal abad ke-20 justru dimulai dengan Perang Dunia Pertama (1914-1918) di Eropa. Setelah itu, perang yang lebih dahsyat hadir kembali yaitu Perang Dunia Kedua (1939-1949), yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. Dua perang besar ternyata tak cukup. Pasca Perang Dunia Kedua itu, ternyata lebih dari 155 perang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita mencatat perang di Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, Malvinas, dan perang Teluk begitu menonjol dan menimbulkan jejak tragis bagi dunia kemanusiaan. Belum terhitung agresi Amerika Serikat ke Nikaragua, El-Salvador, Irak, Libya, dan ke Afganistan jilid tiga saat ini. Dalam sebagian catatan, perang-perang terbuka itu tidak kurang telah menelan korban 20 juta nyawa manusia. Sebagian besar korban adalah rakyat sipil, khususnya anak-anak dan perempuan. (Republika Minggu, 21 Oktober 2001

  Id eologi Perang, oleh Haedar Nashir).

  Tak terkecuali di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi sejumlah konflik dan kekerasan sosial yang memakan korban ribuan manusia. Bencana sosial yang terjadi secara beruntun ini telah mengakibatkan disintegrasi keindonesiaan kita menjadi

  Opinion Edisi September 2006 Edisi September 2006 his/her own existence instead of our collective existence; as if one's existence will never be recognized if s/he does not negate the existence of others of course by means of finding grounds for legitimacy, i.e. religion and ethnic in specific.

  On the other side, awareness of collective life in “unity in diversity” has been a commitment of our Indonesia. Even far before thoughts of having Indonesia as an independent state, this nation had been blessed with plural existence, in terms of ethnics, religions, features, and language. Nevertheless, this state of pluralism was reflected by our Founding Fathers as one nation, one land, one language, and one birth land, in “Youth Pledge”, 28 October 1928. Unfortunately, historically and realistically, based on existing social disintegration it could be said that the process in becoming Indonesia is more of political nature and is still in the state of territorial claim, whereas the whole process still has not been complete culturally.

  The problem of our nation lies on the perception “I, you, they, s/he” instead of “we” that makes this nation lacks of capacity to face national problems totally as a collective problem. Conflicts in Moluccan Islandr and Poso between Moslems and Christians not only result in segregation between the two communities in the areas but also greatly affect social segregation in this very country. The effect of disintegration in the wider community could be seen from this case: when a hampir sempurna. Betapa setiap anak bangsa saling menindas dan berbunuh- bunuhan untuk mengokohkan eksistensinya masing-masing, b u k a n u n t u k e k s i s t e n s i b e r s a m a . S e a k a n eksistensinya tidak akan diakui dan punya peran tanpa menegasikan eksistensi orang lain tentu dengan mencari pelbagai legitimasi, yaitu terutama dari agama dan etnis.

  Padahal kesadaran h i d u p b e r s a m a d a l a m “kebinekaan tetapi tetap satu” telah menjadi salah satu k o m i t m e n b e r s a m a keindonesiaan kita. Bahkan jauh sebelum adanya imajinasi tentang negara Indonesia, pada dasarnya keberadaan bangsa ini sudah plural, sebagai anugerah Ilahi--dari aspek etnis, agama, warna kulit, dan bahasa. Kenyataan pluralitas bangsa ini kemudian diimajinasikan oleh para Founding Fathers sebagai satu bangsa, Satu tanah air, satu bahasa, dan satu tumpah darah, pada “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. Hanya saja secara historis dan berdasarkan realitas disintegrasi sosial yang ada dapat dikatakan bahwa proses menjadi Indonesia ini lebih dominan bersifat politis serta masih berada pada klaim teritori, sedangkan secara kultural proses menjadi Indonesia belum selesai.

  Problem kebangsaan kita yang masih tersekat dalam cara pandang “saya, kamu, mereka, dia” sebagai bukan “kita” secara vis-à-vis membuat bangsa ini kurang mampu menghadapi masalah-masalah kebangsaan ini secara total sebagai masalah bersama. Konflik SARA di Maluku dan Poso antara komunitas Islam dan Kristen bukan hanya mengakibatkan segregasi antara kedua komunitas pada daerah tersebut tapi justru berdampak luas pada segregasi sosial di negera ini. Dampak disintegrasi yang terjadi pada masyarakat yang luas dapat kita saksikan ketika orang Islam di serang dan terbunuh di Ambon atau Poso, maka orang Islam di wilayah lain mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari orang Islam di Ambon atau Poso, sedangkan orang Kristen di wilayah lain juga mengidentifikasikan diri sebagai orang yang menang, demikian pula

  Interfidei newsletter Opini Anak-anak korban gempa Jogja di Dusun Turi, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul sedang memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Sumber: Dokumentasi Interfidei. Moslem is attacked or murdered in Ambon (Moluccan Islandr) or Poso, Moslems in other regions identify themselves as a part of Moslem in Ambon or Poso, whereas Christian from other regions also identify themselves as the winners, and vice versa. Thus, the terms “our people and their people”, “their victims and our victims”, “our loss and their loss”, “our victory and their victory”, “our area and their area”, “our happiness and their happiness”, “our suffering and their suffering”, etc emerged. This segregating point of view occurred also when we responded to the conflict between Iraq and USA, and conflict between Israel vs. Palestine and the Hezbollah in Lebanon.

  The pattern “we and they” which is segregated so distantly bring about tearing apart of meaning of humanity. Wariness and distrust of citizens of this nation towards humanitarian solidarity and aid provided for survivors of disasters in Aceh, Nias and Yogyakarta, and the issue of Christianization and Islamization are the effects of this segregation. The social segregation we helped build would not only have impact on social disintegration but also add to traumatic burdens of the victims. Would not it be better to look at those volunteers and donors of humanity, whoever and wherever they are or come from, as a true response for humanity? Would not it be more meaningful if solidarity for humanity comes from different people, yet firmly invites and states that we are one for humanity? Would not discrediting each other weaken this solidarity for humanity? Is it not true that true kindness does not need labeling and hidden agenda?

  The response towards true universal humanity will have to go beyond the geographical, ethnic, ideological, and religious boundaries. Thus, humanitarian tragedies that occur one after the other in various regions in this very land or in other countries with different ethnic, religious, and language background serve as valuable lessons for us all to respond truly and sincerely to the meaning of this universal humanity. Sympathy and perhaps empathy to the victims disregard to their backgrounds is a significant stage for us all to end this social segregation and do social reintegration. Drawing lessons from humanitarian work in Aceh, Yogyakarta, Sinjai all the way to Pangandaran is a valuable and irreplaceable momentum for this very nation to build trust and break down prejudice among people in this nation in order to be able to live together in the true bond of civilization. [AW] sebaliknya. Tersebutlah “orang kita dan orang mereka”, “korban mereka dan korban kita”, kekalahan kita dan kekalahan mereka”, “kemenangan kita dan kemenangan mereka”, “wilayah kita dan wilayah mereka”, “kebahagiaan kita dan kebahagiaan mereka”, “penderitaan kita dan penderitaan mereka”, dst. Cara pandang yang segregatif ini pun terjadi ketika kita merespon konflik Iraq dan USA, serta konflik antara Israel vs Palestina dan Hizbollah di Libanon.