Makalah Teori Kebudayaan Teori Kebudayaa

Makalah Teori Kebudayaan
“Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”

Disusun oleh :
Aprilyanti Sirait
1306353745

Program Pasca Sarjana, Departemen Linguistik
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
2013

1

Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya

Pendahuluan
Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang menggunakan alam sebagai objek kajiannya, ilmu
pengetahuan budaya menggunakan manusia sebagai subjek maupun objek untuk meneliti fenomena
budaya yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Dengan ancangan yang bersifat ideografis, ilmu
pengetahuan budaya tidak berupaya untuk menemukan kaidah-kaidah seperti hukum- hukum alam yang

tidak dapat diubah oleh manusia, melainkan melihat hal-hal apa saja yang terdapat dalam diri manusia
sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, serta faktor-faktor yang mendorong manusia dalam
berperilaku dan bertindak menurut pola-pola tertentu. Namun, kepopuleran ilmu pengetahuan alam yang
hasilnya sudah dapat dibuktikan dan lebih dulu dikenal masyarakat mendorong munculnya aliran-aliran
yang meniru metodologi ilmu pengetahuan alam untuk mecapai keberhasilan yang serupa, termasuk
kajian ilmu pengetahuan budaya.

Ilmu Pengetahuan Budaya, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Humaniora
Pengaruh positivisme Auguste Comte tampak pada bidang ilmu pengetahuan sosial dan ilmu
pengetahuan budaya. Pada umumnya, batasan antara ilmu pengetahuan budaya dan ilmu pengetahuan
sosial tidak begitu jelas. Oleh karena itu, kedua cabang ilmu ini dinamakan dengan satu istilah yang
disebut dengan ilmu pengetahuan manusiawi atau human sciences. Kesulitan dalam membedakan kedua
bidang ilmu ini bersumber pada perbedaan sudut pandang antara sistem budaya dan sistem sosial dalam
tataran inklusivitas, yaitu apakah sistem budaya mencakup sistem sosial atau sebaliknya. Disisi lain,
menurut

pandangan

pendidikan.keterampilan


para
dan

filsuf

Yunani

pengetahuan

dan

yang

Romawi,

diperolah

dari

humaniora

pendidikan

berkaitan

dengan

bertujuan

untuk

mengembangkan manusia dan potensi kemanusiannya yang berbudi dan bijaksana secara sempurna.
Konsep kebudayaan sendiri bersifat relatif, artinya definisi yang digunakan untuk memahami
ilmu pengetahuan budaya bergantung pada aliran teoritis yang dianut tiap-tiap kelompok. Budaya sendiri
merupakan nilai-nilai atau adat kebiasaan, sedangan kebudayaan adalah suatu kompleks gejala termasuk
adat kebiasaan yang memperlihatkan suatu kesatuan sistemik. Perbedaan lainnya terdapat pada hubungan
antara peradaban dan budaya. Menurut Albion Small (1905:59-60 yang dikutip oleh Kroeber and
Kluckhohn, 1963:21), kebudayaan berarti “pengendalian alam oleh ilmu pengetahuan dan kesenian.”

2


Dengan demikian, persepsi menurut pengertian peradaban mengikuti dimensi hubungan sosial, sedangkan
persepsi menurut pengertian kebudayaan mengikuti dimensi individual, sehingga penguasaan ilmu
pengetahuan dan kesenian adalah penyempurnaan budi manusia.

Objek Kajian Ilmu Pengetahuan Budaya
Manusia merupakan sasaran observasi konkret pada kajian ilmu budaya. Terdapat lima jenis data
yang dapat digunakan sebagai bahan analisis, yaitu artefak, perilaku kinetis, perilaku verbal, tuturan, dan
teks. Dari sudut pandang ini, perilaku verbal dapat dikategorikan sebagai perilaku kinesik. Perbedaannya
terletak pada hal yang lebih difokuskan. Pada perilaku kinesik adalah gerakan kinesik itu sendiri,
sedangkan pola perilaku verbal adalah hasil gerakan otot yang berupa bunyi, yang menjadi kajian pada
tataran ilmu fonetik dalam linguistik.

Keragaman Teori
Keragaman teori budaya ditinjau dari perspektif perkembangan sejarah, yang merupakan akibat
langsung dari pergeseran paradigma pada peralihan abad ke-19 ke abad-20, dan perspektif konseptual,
yang didasarkan pada pandangan yang berbeda-beda. Evolusionisme budaya terjadi pada abad 19 dengan
menganut positivisme yang mengganggap metodologi
pendekatan yang dianggap

ilmu pengetahuan alam sebagai satu-satunya


ilmiah. Berkaitan dengan keterikatan pada hukum alam, dasar prinsip

rasionalitas dan kegunaan menjadi dasar pemikiran evolusi budaya. Melalui pemikiran rasional, maka
paranata-pranata yang diciptakan dan dikembangkan manusia sesuai kegunaannya.
Franz Boaz (1858-1942) mengembangkan konsep kebudayaan yang bertolak belakang dengan
evolusi budaya. Aspek-aspek yang mencakup konsep tersebut menyatakan bahwa kebudayaan bersumber
pada emosi, bukan pada rasio; kebudayaan bersifat sui generis, berkembang atas prinsipnya sendiri dan
mampu bermodifikasi; tiap budaya adalah hasil perkembangan sejarah yang kompleks sehingga
menghasilkan keunikan tersendiri; secara subjektif, budaya memperlihatkan dinamika dan kreatifitas,
namun dibatasi oleh faktor lingkungan alam. Beranjak dari konsep yang dikemukakan oleh Boaz, Koeber
(1876-1960) membedakan dua aspek kebudayaan menjadi kebudayaan nilai (value culture) dan
kebudayaan realitas (reality culture) yang berhubungan dengan usaha mempertahankan hidup melalui
pengelolaan lingkungan dengan ekonomi dan teknologi.

3

Sesuai perkembangannya, kini teori Boaz dan Koeber dipertentangkan menurut sifat materialistis,
yaitu budaya sebagai sistem yang adaptif sebagai manifestasi materialisme budaya dengan yang terkait
dengan idealisme budaya; dan sifat idealis (karangan Keesing dalam Casson, 1981: 42-65). Kebudayaan

sebagai sistem kognitif yang dipengaruhi teori linguistik yang terungkap melalui gagasan gramatika
budaya (grammar culture). Kebudayaan sebagai sistem struktural pada penggunakan oposisi dwipihak
(binary opposition) yang dikembangkan Levi-Strauss dalam aspek-aspek budaya seperti kekerabatan dan
mitos. Kebudayaan sebagai sistem simbolis yang menurut uraian teoritis Geertz melalui semiotik dan
interpretasi teks.
Pada dasarnya teori Saussure, Pierce, dan teori interpretasi teks menjadi dasar yang dijadikan
pemahaman teori kebudayaan. Selanjutnya menurut Austin, interpretasi dibentuk oleh penilaian yang
sifatnya subjektif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangannya. Kebudayaan merupakan
suatu teks maupun tanda pada tataran semiotik, yang harus mampu ditafsirkan oleh masyarakat budaya.

Perkembangan Teori
Ketidakpuasan atas aliran rasionalitas sejak masa pencerahan (enlightenment), mengarah pada
munculnya aliran pascastukturalisme dan pascamoderisme. Kedua paham ini menyatakan bahwa realitas
sebagai sesuatu yang konkret diluar subjek tidak berdiri sendiri, tetapi terbentuk oleh wacana (discourse)
yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini yang pada akhirnya dikembangkan oleh Foucault tentang
hubungan antara pengetahuan dan kuasa dalam membentuk suatu wacana yang terstruktur dengan baik,
bahwa wacana dengan sengaja dibentuk untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sarat dengan ideologi
yang tersembunyi dan digerakkan oleh kekuasaan kelompok-kelompok tertentu. Selanjutnya, Derrida
,dengan teori dekonstruksi, membongkar wacana maupun teks dan kelemahan dalam teks yang diteliti
dengan unsur-unsur yang terlihat seperti suatu kesatuan yang dapat menghasilkan interpretasi dari sisi

yang berbeda.

4

Pengaruh Media Massa Terhadap Budaya Konsumerisme Masyarakat Indonesia
Munculnya iklan-iklan produk yang menarik mendorong fenomena budaya konsumerisme dalam
masyarakat Indonesia. Indonesia dianggap sebagai pasar potensial bagi perusahaan-perusahaan asing
karena tingginya tingkat daya beli masyarakat terhadap suatu produk yang ditawarkan. Hal ini juga tidak
dapat dilepaskan dari karakteristik masyarakat yang mudah terbawa trend dan memiliki tendensi membeli
barang yang tidak didasarkan pada kebutuhan. Budaya konsumtif menjadi sebuah budaya baru yang
kehadirannya tidak banyak disadari tetapi berdampak begitu besar terhadap pola kehidupan masyarakat
sekarang ini. Media turut berperan dalam keberhasilan penjualan suatu produk. Melalui iklan yang
disajikan secara atraktif dan persuasif, pesan yang disampaikan membentuk suatu ideologi atau budaya
baru, baik dari segi bahasa maupun simbol-simbol yang digunakan. Pada akhirnya, penjualan produk
meningkat seiring ketertarikan masyarakat atas produk yang ditawarkan melalui iklan, terlepas dari fungsi
utamanya.
Fenomena ini dapat dikaitkan dengan ciri kapitalisme modern yang bertujuan memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya yang realisasinya diperoleh dari uang hasil penjualan komoditi.
Kemudian, siapa yang pada akhirnya diuntungkan dengan fenomena ini? Ideologi apa yang sebenarnya
ingin ditanamkan dengan penggunaan produk-produk ini? Sayangnya, budaya hidup konsumtif semakin

bertumbuh subur seiring derasnya arus globalisasi yang membentuk suatu hegemoni global. Sebagai
contoh, penjual produk-produk pemutih badan dari Korea yang banyak dibeli kalangan remaja dan
perempuan dewasa didasari pada sebuah wacana cantik itu putih., sehingga memiliki kulit putih
merupakan salah satu indikator bahwa perempuan itu cantik. Seiring dengan maraknya iklan pemutih dan
kepopuleran K-Pop, perempuan berlomba-lomba membeli produk yang dianggap sebagai penentu kelas
sosial pada level-level tertentu hanya dengan berkulit putih. Dalam hal ini, wacana iklan ikut bertanggung
jawab dalam membentuk ideologi yang kontras dengan kenyataan bahwa mayoritas perempuan Indonesia
berkulit sawo matang.
Fenomena budaya ini jelas memliliki dampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Bukan hanya
kehilangan identitas, tetapi juga berimbas pada ketergantungan ekonomi yang didasarkan pada
penggunaan produk-produk impor yang sukses mengkontaminasi pola pikir masyarakat kita. Budaya
konsumerisme dapat dihindari atau setidaknya dapat diredam apabila masyarakat Indonesia mampu
melestarikan kebudayaan nasional yang identitasnya sudah mulai tergantikan oleh budaya luar yang
masuk lewat media massa dan membawa kepentingan para pemodal dibalik fenomena ini. Dengan
mengembangkan daya kreasi dalam menciptakan produk lokal yang berkualitas dengan nilai rasa
Indonesia, serta lebih bijak dalam menentukan barang-barang yang dibeli sesuai dengan kebutuhan, dapat

5

ikut membantu mengurangi dampak negatif dari budaya konsumtif yang berkembang saat ini. Sebagai

pembeli yang cerdas, kita dituntut untuk lebih kritis menyikapi keberadaan produk-produk yang
menawarkan keunggulan yang justru bukan hanya mengambil keuntungan secara ekonomi, tetapi juga
dapat menghapus identitas asli masyarakat Indonesia baik dari segi budaya maupun adat-istiadat. melalui
produk-produk iklan yang sarat akan kepentingan-kepentingan tersembunyi.

Daftar Pustaka
Husen, Ida Sundari, et.al. 2001. Meretas Ranah. Yogyakarta: Bentang.

6