Sejarah Konstitusi Yunani Kuno Modern

SEJARAH KONSTITUSI DARI MASA YUNANI KUNO HINGGA MASA
MODERN DAN KONSTITUSI DALAM PENGERTIAN MODERN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi

Dosen Pengampu: Wiwik Budi Wasito S.H., M.H.

Disusun oleh: V/ICP
Izzatul Ulya

(15230082)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji bagi Allah seru sekalian alam dan rahmat serta salam untuk disanjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Atas nama

Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan melalui proses perjuangan yang cukup panjang,
maka makalah yang berjudul “Sejarah Konstitusi dari Masa Yunani Kuno Hingga
Masa Modern dan Konstitusi dalam Pengertian Modern” dapat diselesaikan
idengan baik. untuk itu kami sebagai penulis mensyukuri atas rahmat yang telah
diberikan oleh Allah.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari kesempurnaan,
banyak terdapat kejanggalan dan kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik dari
pembaca akan senantiasa kami terima dengan penuh rasa menghargai. Harapan kami
semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Semoga menjadi
amal pengabdian kami terhadap agama, bangsa, dan negara.
Malang, September 2017

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Apabila dilihat dari perkembangannya, makna konstitusi sering mengalami
perubahan makna. Hal tersebut tentu saja dilatarbelakangi oleh situasi pada masa itu.
Luasnya makna serta ruang lingkup konstitusi, khususnya jika dikaitkan dengan
paham konstitusionalisme, menjadikan beragamnya bentuk-bentuk konstitusi dalam
kehidupan politik dan bernegara modern.

Konstitusi sendiri telah dikenal sejak Yunani kuno, pada masa itu pemahaman
tentang konstitusi hanyalah suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan
semata-mata. Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Romawi kuno konstitusi
mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum,
negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Selanjutnya pada
abad VII lahirlah Piagam Madinah yang mana dianggap sebagai konstitusi modern
yang

dianggap

revolusioner.

Dari

beberapa

penjelasan

di


ataslah

yang

melatarbelakangi pembuatan makalah ini untuk mengetahui sejarah konstitusi yang
lebih rinci.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang permasalahan itu, kami menyusun beberapa rumusan
masalah, di antaranya:
1. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Yunani Kuno?
2. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Romawi Kuno?
3. Bagaimana sejarah konstitusi pada Piagam Madinah?
4. Bagaimana konstitusi dalam pengertian modern?
3. TUJUAN PENULISAN
Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan
penulisan, di antaranya:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi
2. Untuk mengetahui sejarah konstitusi dari Yunani Kuno hingga Modern

3. Untuk mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern
4. MANFAAT PENULISAN
Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan
penulisan, di antaranya:
1. Mengetahui sejarah konstitusi dari zaman Yunani Kuno hingga modern
2. Mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Konstitusi Yunani Kuno
Awal muncul istilah konstitusi, dalam catatan sejarah klasik terdapat dua
perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian sekarang tentang konstitusi, yaitu
dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’ yang
juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Dalam kedua perkataan ‘politeia’ dan ‘constitutio’
itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia
beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah
tersebut dibandingkan, dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata
‘politeia’ yang berasal dari kebudayaan Yunani.1
Pada masa Yunani Kuno, pengertian konstitusi masih bersifat materiil, dalam
arti belum berbentuk seperti yang dapat dimengerti di zaman modern. Namun,

perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian politeia dan nomoi. Pengertian
politeia dapat disepadankan dengan arti konstitusi, sedangkan nomoi adalah undangundang biasa. Politeia cenderung mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada
nomoi karena politeia mempunyai kekuasaan pembentuk sedangkan nomoi tidak ada
karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk. Dalam kebudayaan Yunani,
istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Republica Constituere yang
melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Suprema Lex, yang artinya,
‘Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi Negara karena dialah satusatunya pembuat undang-undang.’2
Menurut Sir Paul Vinogradoff
“The Greeks recognized a close analogy between the organization of the
State and the organism of the individual human being. They thought that the
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 1
2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) h.
71

two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter,
had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the
ruled.”
Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme
manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian

(center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno.
Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is
an imitation of the best and noblest life”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus
ataupun dalam Areopagiticus menyebut bahwa “the politeia is the ‘soul of the polis’
with power over it like that of the mind over the body”. Keduanya sama-sama
menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya
Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase “in a sense the life
of the city”3
Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada: (i) the end persued
by states, dan (ii) the kind of authority exercise by their government. Tujuan tertinggi
Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga
masyarakat. Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan
wrong constitution. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan
bersama, maka disebut sebagai konstitusi yang benar. Jika sebaliknya, konstitusi
tersebut merupakan konstitusi yang salah (prevent constitution). Konstitusi yang
terakhir ini diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang tamak.
Ukuran baik buruknya atau normal-tidaknya konstitusi terletak pada prinsip bahwa,
‘political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the
ruled.’4
Konstitusionalisme Yunani sendiri dapat dimaknai dari tulisan-tulisan dari

Plato dan Aristoteles. Menurut filosuf ini, ujian atas kewarganegaraan yang

baik

adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau konstitusi. Dengan pernyataan
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 5
4 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 77

tersebut tersirat bahwa pada waktu itu telah berkembang suatu pemikiran tentang
kehidupan bernegara yang baik yaitu warga negaranya dituntut untuk mematuhi
konstitusi. Upaya

untuk

membangun

suatu

kehidupan negara


konstitusional

dapat diketahui dari penjelasannya mengenai konstitusi ideal yang menekankan
pentingnya

pendidikan

politik, sebab melalui warga yang terdidik negara dapat

dilindungi dari timbulnya anarki.5
Di antara karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog
Plato yang berjudul ‘Politicus’ atau statesman’ yang memuat tema-tema yang
berkaitan erat dengan gagasan konstitualisme. Jika dalam Republic, Plato
menguraikan gagasan the best possible state, maka dalam buku ‘Politicus’ (statesman)
sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul ‘nomoi’. Dalam buku tersebut
Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh Negara sehingga ia
menerima Negara dalam bentuknya sebagai the second best dengan menekankan
pentingnya hokum yang bersifat membatasi.
Aristoteles sendiri membayangkan keberadaan seorang pemimpin Negara
yang ideal yang kuat dan berbudi luhur. Pada masa Yunani kuno ini, dapat dikatakan

bahwa belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespon keadaan atau tindakantindakan

revolusioner

yang

dalam

pengertian

sekarang

disebut

sebagai

inkostitusional. Selain itu, revolusi-revolusi semacam itu tidak hanya mengubah
corak public law, tetapi juga mengubah segala institusi secara besar-besaran, bahkan
juga terhadap segala tatanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Yang terakhir
yaitu, bahwa revolusi yang demikian itulah yang selalu dianggap diiringi dengan

kekerasan.6
Selanjutnya, Aristoteles juga menyatakah bahwa, ‘seorang tiran gemar
berperang sebagai cara untuk memelihara agar anak buahnya terus mengabdi dan
melayani kebutuhannya sebagai seorang komandan.’ Namun demikian, harus juga
5 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah". Fakultas Ilmu
Sosial Vol. X No.1 Th. 2011, h. 76
6 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 79

dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics7, orang Yunani Kuno
memmang belum membedakan sama sekali antara konsep Negara (state) dan
masyarakat (society), maupun antara civil dan social. Oleh karena itu, para filosof
Yunani cenderung melihat hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam
pembicaraan mereka tentang polity, tentang Negara. Pemikiran filosof pada masa ini
juga tidak atau belum membayangkan hokum sebagai sesuatu yang berada di luar
pengertian polity (Negara) atau sesuatu yang terpisah dari Negara di mana Negara
harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang telah ditentukan.8
2. Sejarah Konstitusi Romawi Kuno
Konstitusionalisme Romawi sendiri muncul dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan
bahwa Romawi juga merupakan negara kota seperti juga di Yunani, tetapi sejak
tahun pertama keberadaannya telah dikelilingi dan terancam oleh negara-negara

yang memusuhinya, mendorong munculnya politik

ekspansi yang tidak pernah

lenyap sampai kekaisaran Romawi terkalahkan oleh dunia beradab. Pentingnya
Romawi dalam sejarah konstitusinalisme menurut CF.Strong adalah terletak pada
fakta bahwa peranan konstitusinya dalam dunia kuno dapat diperbandingkan dengan
peranan konstitusi Inggris dalam dunia modern.
Tentang konstitusi Romawi pada awalnya merupakan sebuah instrument
pemerintahan yang sangat mantap, walaupun tidak ditemukan dalam bentuk tertulis.
Ia merupakan sekumpulan preseden yang dibawa dalam ingatan seseorang atau
tercatat secara tertulis, kumpulan keputusan pengacara atau negarawan, kumpulan
adat istiadat, kebiasaan, pengertian, dan keyakinan yang berhubungan dengan metode
pemerintahaan, disatukan sejumlah tertentu undang-undang. Ide konstitusionalisme
dapat ditangkap ditangkap dari perubahan pemerintahan Romawi yang semula
sebuah monarki, tetapi kemudian raja-rajanya diturunkan dengan paksa. Dijelaskan,

7 Kelompok penganut paham stoicism yang sangat cocok dengan karakteristik budaya di Romawi
8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 80

sekitar 500 S.M, bentuk republik mulai muncul secara jelas, disusul dengan
perebutan kekuasaan antar golongan.9
Gagasan mengenai konstitusionalisme pada masa Romawi Kuno diawali dari
seorang filsuf, yakni Cicero. Karyanya yaitu, ‘De Re Republica’ dan ‘De Legibus’
adalah pemikiran tentang hokum yang sangat berbeda sekali dengan pemikiran pada
masa Yunani Kuno. Pada abad ke-6, konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang
berada di luar dan bahkan di atas Negara. Tidak seperti pada masa sebelumnya,
konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law. Prinsip
hierarki hokum juga semakin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan.10
Di samping itu, para filososf Romawi jugalah yang secara tegas membedakan
dan memisahkan antara pengertian hokum public dan hokum privat, sesuatu hal yang
baru yang belum dikembangkan sebelumnya. Biasanya keduanya dibedakan dari
sudut kepentingan yang dipertahankan. Hokum public membela kepentingan umum
yang tercermin dalam kepentingan Negara, the civitas, sedangkan hokum privat
menyangkut kepentingan per orang.
Kemudian, Cicero juga menegaskan bahwa Tuhan tak ubahnya bagaikan Tuan
dan Penguasa semua manusia, serta merupakan pengarang atau penulis, Penafsir, dan
Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hokum
dalam pemahamannya tentang persamaan antarmanusia. Baginya konsepsi tentang
manusia tidak bias dipandang hanya sebagai political animal atau insane politik.
Melainkan yang lebih utama adalah kedudukannya sebagai legal animal atau insane
hukum.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pengalaman sejarah konstitusi Romawi
Kuno, yaitu ilmu hokum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama
9 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah". Fakultas Ilmu
Sosial U. Vol. 3 No. 2, Summer 1991, 157
10 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 82

pentingnya dibandingkan hanya dengan pembicaraan materi hokum semata.
Selanjutnya, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan dari asal corak
Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat perhatian dan
prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi bukanlah absolute,
melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber
dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara. 11
3. Sejarah Konstitusi Islam: Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa
Rasulullah SAW bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang
tinggal di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama
kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti
kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu kewajiban
umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari
luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis.12
Para ahli ilmu pengetahuan , khususnya ahli sejarah menyebut naskah politik
yang dibuat oleh Muhammad SAW. itu dengan sebutan yang bermacam-macam. W.
Montgomery Watt menakanannya dengan ‘The Constitution of Medina’, R.A.
Nicholson ‘charter’, Majid Khadduri ‘treaty’, Phillip K. Hitti ‘agreement’, Zainal
Abidin Ahmad ‘piagam’. Sedangkan al-Shahifah adalah nama yang disebut dalam
naskah itu sendiri. Yang menurut Ahmad Sukardja, shahifah semakna dengan carter
dan piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu
hal.
11 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 83
12 Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 55

Dalam berbagai tulisan yang disusun oleh para ilmuwan muslim maupun nonmuslim, adanya piagam madinah tersebut tampak telah diakui. Montgomery
menyatakan, bahwa dokumen ini secara umum diakui otentik. Ia menambahkan
dokumen tersebut merupakan sumber ide yang mendasari Negara Islam pada awal
pembentukannya.13
Mengenai penyebutan konstitusi bagi Piagam Madinah, apakah Piagam
Madinah termasuk konstitusi atau bukan, dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah
tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab di dalamnya tidak ditemukan
mengenai pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hokum tertinggi. Namun demikian, Piagam
Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri yang terpenuhi,
di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan
masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang
oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang
bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah,
mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai
himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat, Piagam Madinah bercitacita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan
hidup berdampingan.14
Prinsip-prinsip Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai ide revolusioner
pada saat itu. Dari sudut tinjauan modern, Piagam Madinah dapat diterima sebagai
sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Dalam kaitan ini
Nurcholis menyatakan bahwa bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Piagam
madinah memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut pandang tinjauan modern pun
mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide
yang kini menjadi pandangan hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga tegaskan adanya suatu kewajiban
13 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 133
14 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 14

umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari
luar.15
4. Konstitusi Modern
Pada paruh kedua abad ke-17, kaum bangsawan Inggris yang menang di
dalam revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri absolutisme
kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai suatu
pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12
negara koloni Inggris pada tahun 1776, yang menetapkan konstitusi sebagai dasar
negara yang berdaulat.
Kemudian, pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan
di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di
Perancis ini yang memunculkan akan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September
1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis ke
16. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki
maupun republik, negara kesatuan maupun negara federal, yang sama sama
mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi. Di Perancis J. J.
Rousseau dengan karyanya Du Contract Social, yang mengatakan bahwa manusia
terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat di dalam hak haknya, sedangkan hukum
merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat
menjiwai hak hak dan kemerdekaan rakyat (De Declaratioan des Droit d I’Homme et
Du Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis
pada tahun 1791, khususnya yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia). Setelah
peristiwa ini, maka muncul kontitusi di dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh
Amerika.16
Dalam pengertian modern, Negara pertama yang dapat dikatakan menyusun
konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat
15 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 136
16 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi Dan
Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h.

pada tahun 1787. Kemudian, konstitusi tertulis model Amerika tersebut diikuti oleh
berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814) dan Belanda
(1815). Perlu dicatat bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum dasar
yang penting. Konstitusi sebagai UUD sering kali disebut dengan “Konstitusi
Modern” baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi
perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan atas kebutuhan rakyat
akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU
untuk membatasi dan mengurangi dominasi para raja. Alasan inilah yang
menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang memiliki posisi lebih
tinggi daripada raja.17
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks
hokum tata Negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood dan
Jackson sebagai:
Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan
susunan dan kekuasaan organ-organ Negara dan yang mengatur hubunganhubungan di antara berbagai organ Negara itu satu sama lain, serta
hubungan organ-organ Negara itu dengan warga Negara.
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu juga tercakup pengertian
peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensikonvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ Negara tersebut dengan warga
Negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hokum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Jika
Negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi
adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut dengan
constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di

17 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 93

atas system yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan Negara-negara demokrasi
liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.18
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui
referendum, seperti yang dilakukan oleh Irlandia (1937) atau dengan cara tidak
langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara tidak langsung ini juga dilakukan
di Amerika Serikat dengan cara menambahkan naskah perubahan undang-undang
dasar secara terpisah dengan naskah aslinya.
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga
legislative yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi
kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan
norma hokum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang
dasar itulah yang berlaku, sedang undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.19

18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 94
19 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 94

BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1. Pada masa Yunani Kuno belum dapat membedakan antara konsep Negara dan
masyarakat, maupun antara civil dan social. Para filosof Yunani cenderung melihat
hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang
polity, tentang Negara. Mereka belum membayangkan hokum sebagai sesuatu
yang berada di luar pengertian polity atau sesuatu yang terpisah dari Negara.
2. Pada masa Romawi Kuno, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan
dari asal corak Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat
perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi
bukanlah absolute, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat
merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara.
3. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri
yang terpenuhi, di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi
pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara
yang dipegang oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip
pemerintahan yang bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Madinah.
4. Konstitusi memiliki kedudukan yang tinggi yang ditetapkan oleh badan yang lebih
khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di
dalamnya bertentangan dengan norma hokum yang terdapat dalam undangundang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedang
undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.
SARAN
Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini saya berharap agar pembaca
mampu mengambil manfaat mengenai sejarah konstitusi. Untuk pemakalah
selanjutnya agar lebih lengkap dalam penulisan makalah.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,

Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2011
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015
Effendi, Syafnil. "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif
Sejarah". Fakultas Ilmu Sosial Vol. X No.1 Th. 2011
Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014
Ubaedillah,
A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,
Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group, 2015