STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DESA TANJUNG BERAKIT DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM THE ADAPTATION STRATEGIES OF TANJUNG BERAKIT FISHERMEN IN FACING CLIMATE CHANGE
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DESA TANJUNG BERAKIT DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM THE ADAPTATION STRATEGIES OF TANJUNG BERAKIT FISHERMEN IN FACING CLIMATE CHANGE
Sudiyono
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI [email protected]
Abstract
Climate change as a consequence of global warming has been discussed nationally, regionally and internationally. Most of the people, inclusing academicians, NGO activists, government as the policy makers, put great concerns on the impact of climate change. Indonesia as an archipelagic state consisting of 17000 islands with 81.000 km coastline has a high level of vurnerability. The fishermen is one the most vulnerable ones. This paper aims to draw the ways of Tanjung Berakit fishermen in Bintan-Riau islands in facing climate change in the recent days. The data were gathered qualitatively through interviews, observations and limited discussion with the fishermen as well as the related stakeholders. Result shows that they are very vulnerable to various environmental changes. They are also vulnerable because of low level health, education and skill, as well as lack of information, financial and means of production accesses; therefore, they have low capacity for adapting. In fact, they create their own adaptation strategies, including optimizing nonfisheries products, developing any grants and programs provided by the government or other stakeholders, as well as using their traditional networks to fulfill their basic needs.
Keywords: fishermen, adaptation, climate change
Abstrak
Perubahan iklim (climate change) sebagai dampak dari pemanasan global (global warming), telah menjadi bahan pembicaraan di berbagai forum, baik di tingkat nasional, regional, maupun di tingkat internasional. Dampak luas perubahan iklim terhadap kelangsungan hidup makluk di bumi, telah menarik perhatian orang dari berbagai kalangan masyarakat, para akademisi, pegiat lingkungan yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pejabat pemerintah terkait yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17000 pulau dan panjang pantai 81.000 km, memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Komunitas nelayan adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pertanyaannya, bagaimana strategi nelayan Tanjung Berakit Bintan Kepulauan Riau menghadapi perubahan iklim yang terjadi pada tahun-tahun terakhir ini? Penelitian terhadap masalah itu dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam, pengamatan dan diskusi terbatas kepada para nelayan dan para pihak lain yang terlibat dalam kehidupan para nelayan di Tanjung Berikat itu. Penelitian telah menemukan bahwa kehidupan mereka sangat rentan terhadap berbagai bentuk fenomena perubahan lingkungan. Mereka juga memiliki tingkat kerentanan yang tinggi akibat berbagai keterbatasan yang membelit dirinya, seperti rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, terbatasnya akses informasi yang dapat menolong dirinya, terbatasnya modal finansial, terbatasnya kepemilikan dan penguasaan aset produksi, kesemuanya telah berkontribusi terhadap rendahnya kemampuan adaptasi nelayan. Berbagai strategi menghadapi kerentanan itu dilakukan dengan cara, yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut selain ikan, mengembangkan secara maksimal bantuan dan program yang diberikan pihak pemerintah dan pihak lain, dan memanfaatkan jaringan tradisional dalam menjaga pemenuhan kebutuhan mereka mereka, walaupun masih sebatas pemenuhan kebutuhan pokok.
Kata kunci: nelayan, adaptasi, perubahan iklim
Pendahuluan
berbagai forum dan tingkatan, baik pada tingkat nasional,
regional, maupun internasional. Perubahan iklim (climate change) Pembicaraan tersebut melibatkan berbagai sebagai dampak dari pemanasan global (global kalangan, mulai dari kelompok pemerhati warming ) telah berdampak pada kelangsungan lingkungan, lembaga swadaya masyarakat hidup makluk di planet bumi. Dampaknya yang (LSM), kalangan akademisi, peneliti, sampai luas telah menjadi bahan pembicaraan di para pejabat instansi pemerintah terkait yang
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 263 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 263
tempat di dunia menyatakan bahwa terjadi global masih belum banyak diketahui orang.
kecepatan peningkatan konsentrasi gas rumah Bahkan, menurut hasil studi Laksmi Rachmawati
kaca. Pemanasan atmosfer diikuti oleh banyak dan Sri Sunarti Purwaningsih (2014: 148),
hal sebagai dampak kelanjutannya, antara lain pejabat pemerintah terkait yang memiliki
pelelehan tudung es di berbagai tempat, mencair kewenangan untuk merumuskan kebijakan
dan menjadi bagian dari air laut. Kejadian terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi
tersebut mengakibatkan air laut meningkat perubahan iklim masih belum banyak yang
relatif cepat dibanding dengan perubahan mengetahui. Sejauh ini pemahaman mereka
samudera. Akibatnya masih
volume
cekungan
permukaan laut relatif mengalami kenaikan mengalami kesulitan
sebatas wacana
sehingga
masih
dibanding dengan daratan (Bailey, 2010). kebijakan.
dalam merumuskan
Kecepatan kenaikan ketika daratan mengalami penurunan seperti yang terjadi di kawasan
Dalam tulisan ini perubahan iklim perairan Teluk Jakarta. Sebaliknya, turunnya diartikan dengan berlangsungnya perubahan suhu muka air laut akibat gangguan ikim juga terhadap parameter iklim seiring dengan berpengaruh negatif pada biota laut dan berjalannya waktu, tanpa membedakan apakah ekosisitem perairan (Hantoro, dkk., 2014: 29). perubahan tersebut disebabkan sebagai faktor
Bertolak dari uraian di atas, kiranya 2007: 104). Perubahan tersebut ditunjukkan
alam atau akibat dari perbuatan manusia 1 (IPCC,
tidak diragukan lagi bahwa perubahan iklim melalui distribusi statistik pola cuaca dalam
banyak disebabkan oleh ulah manusia. Literatur suatu periode waktu antara dekade hingga jutaan
ilmiah memperlihatkan kesepakatan yang tinggi tahun. Sejarah geologi menunjukkan bahwa
bahwa suhu permukaan bumi secara global telah perubahan iklim di muka bumi telah terjadi
meningkat dalam kurun waktu beberapa dekade sejak lama. Perubahan ini ditandai dengan
belakangan yang sering disebut sebagai terjadinya zaman glasial yakni mencairnya es
pemanasan global. Penyebab utamanya adalah yang berulang antara 2,5 –20 milyar tahun yang
peningkatan gas rumah kaca dari kegiatan lalu, pada saat suhu permukaan bumi masih di
manusia (IPCC, 2007: 66). Dengan demikian atas 5 ᵒ C (Zalaziewicz dan Williams, 2009:
terjawab sudah perdebatan publik mengenai 127-142).
penyebab terjadinya pemanasan global, karena sudah terjawab secara ilmiah.
Sumber data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2007) mencatat
Berlangsungnya perubahan iklim yang bahwa kenaikan suhu global 2 ᵒ C di atas suhu
ditandai dengan meningkatnya suhu air laut, rata-rata global tahun 1980 -1999 akan memberi
disertai dengan pemuaian air laut, berlanjut gangguan serius pada suatu perairan. Terjadinya
penguapan air laut, pemanasan global pada saat ini disinyalir sebagai
dengan
terjadinya
peningkatan permukaan air laut memicu hujan dampak rumah kaca akibat meningkatnya gas dan
lebat, gelombang tinggi, berubahnya arah dan partikulat di atmosfer yang terlepas dari hasil
Kesemuanya telah kegiatan manusia. Beberapa gas ditengarai
berdampak pada munculnya banjir rob, berasal dari karbondioksida, metana, kebakaran
terjadinya abrasi pantai yang berdampak pada hutan, penggundulan hutan, asap industri, dan
kerusakan berbagai infrastruktur, hancurnya lain-lain berpotensi membentuk lapisan di
persawahan dan pertambakan rakyat, rusaknya atmosfer. Kenaikan gas rumah kaca antropogenik
permukiman penduduk seperti yang terjadi di diduga mulai meningkat sejak dimulainya
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (Adhury revolusi industri di akhir abad ke-19.
dkk., 2014: 124). Data di tingkat makro, menunjukkan bahwa dari sejumlah 17.480 pulau di Indonesia, kini tinggal 13.667 pulau.
1 IPPC tidak membedakan penyebab dalam Kuat dugan bahwa hal ini disebabkan oleh definisi perubahan iklim. Sementara itu, UNFCCC
karena meningkatnya permukaan air laut yag mendefinisikan perubahan iklim sebagai terjadinya
diiringi dengan berlangsungnya proses abrasi perubahan terhadap iklim yang diakibatkan oleh
(http://bakohumas.cominfo.go.id/news. kegiatan manusia dalam bentuk kegiatan yang
pantai
phd?id=1000)
mengeluarkan gas rumah kaca atau kegiatan yang
menyebabkan berkurangnya kemampuan alam menyerap gas rumah kaca.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
Hasil studi Rachmawati, dkk., (2014: Kalau memungkinkan juga mengoptimalkan 152) menunjukkan bahwa di Provinsi Riau
dampak positif dari perubahan iklim, agar Kepulauan mengalami kekeringan yang cukup
kelangsungan hidupnya dapat dipertahankan, panjang pada bulan Desember 2013 –awal Maret
dimungkinkan juga untuk 2014. Cuaca panas ekstrim ini berdampak pada
bahkan
jika
meningkatkan kesejahteraannya. Studi yang ketersediaan air bersih di Kota Tanjung Pinang
oleh Mertz (2009: 347-752) dan pulau-pulau kecil yang selama ini
dilakukan
menyebutkan bahwa adaptasi perubahan iklim mengandalkan pada air hujan. Sudah barang
belum mendapat perhatian pada awal-awal studi tentu masih banyak contoh kasus lain yang
perubahan iklim oleh IPCC. Pada mulanya dialami di beberapa daerah sebagai akibat
pengurangan emisi karbon lebih mendapat terjadinya perubahan iklim. Selain korban
perhatian, barulah pada laporan IPCC yang ke material sebagaimana telah disebutkan pada
empat (2007) adaptasi mendapat perhatian yang uraian sebelumnya, korban juga telah menimpa
lebih besar.
kelompok nelayan
Menurut Barnett (2001: 977-993) ekonominya memang sudah rentan, sehingga adaptasi diartikan sebagai proses - sedikit saja terjadi perubahan lingkungan
“modifikasi” atau “mencocokkan/menyesuaikan”. Dalam konteks ekosistem perairan pesisir akan mampu
perubahan iklim, Barnett menyebutkan bahwa menenggelamkan kehidupan sosial ekonomi adaptasi berarti memodifikasi Sistem Sosial nelayan. Mereka akan masuk dalam perangkap Ekologi (SES) untuk mengakomodir dampak kemiskinan (deprivations trap), meminjam aktual dan prediksi dari perubahan iklim. istilah seorang ahli pembangunan pedesaan Gallopin (2006: 293) menyebutkan kegiatan berkebangsaan Inggris, Chambers. adaptasi merupakan proses yang dilakukan oleh
Dikatakan bahwa deprivations trap itu individu atau kelompok untuk mempertahankan terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit
tingkat kesejahteraan penghidupan pada kondisi kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidak-
lingkungan yang berubah. Dalam dokumen beruntungan itu ialah: (1) Kemiskinan itu sendiri,
IPCC (2007: 104), adaptasi didefinisikan (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan sosial, (4)
sebagai “adjustment in natural or human Kerentanan, dan (5) Ketidak- berdayaan. Dari
systems in response to actual or expected lima jenis ketidakberuntungan itu satu sama lain
climatic stimuli or their effects moderates harm saling terkait, dan kemudian melahirkan
and exploits beneficial opportunities ”, dan “ a deprivation trap itu. Selanjutnya Chambers
process by which individuals, communities and menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan
countries seek to cope with the consequences of yang dihadapi oleh keluarga miskin itu
climate change and variability ”. diperhatikan, yakni: (1) kerentanan, dan (2)
Berdasarkan kerangka pemikiran di Ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan oleh atas, tulisan ini bermaksud ingin mengetahui karena dua jenis ketidakberuntungan itu sering seperti apa fenomena perubahan iklim yang menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih diketahui dan dialami langsung oleh masyarakat miskin. Kerentanan
didefinisikan sebagai
nelayan Desa Tanjung Berakit. Pertanyaan ini ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk perlu diajukan untuk mengetahui pengetahuan/ menghadapi situasi darurat seperti datangnya kognitif masyarakat, karena pengetahuan ini bencana alam atau penyakit yang tiba-tiba akan menjadi dasar dalam menentukan tindakan menimpa keluarga itu (Chambers; 1987, 111), adaptasi yang dilakukan. Lalu bentuk-bentuk (Lihat Juga, Loekman Sutrisno; 1995, 19). adaptasi seperti apa yang telah dilakukan oleh Kelompok nelayan ditinjau dari kondisi sosial masyarakat. Adakah program-program pemerintah ekonominya
atau masyarakat yang peduli terhadap upaya dibanding dengan kelompok masyarakat lain,
kesejahteraan nelayan. Dari bahkan menduduki posisi paling miskin penelitian ini juga akan dicoba untuk mencari (Mubyarto, 1995: 160). Salah satu kelompok solusi alternatif dalam upaya penguatan adaptasi masyarakat itu adalah nelayan Desa Tanjung masyarakat nelayan terhadap dampak perubahan Berakit.
peningkatan
iklim.
Jika demikian, lalu strategi mitigasi dan Penelitian ini bersifat kualitatif, data adaptasi seperti apa yang telah dilakukan oleh
dengan melakukan kelompok masyarakat nelayan untuk meminimalkan wawancara mendalam kepada nelayan, tokoh resiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim?
primer
dikumpulkan
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 265 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 265
sejumlah 694 orang tidak sekolah/tidak tamat tema penelitian. Untuk keperluan tersebut, telah
SD, 503 orang tamat SD, tamat Sekolah dibuatkan instrumen pedoman wawancara. Data
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sederajat 291 sekunder dikumpulkan dengan penelusuran
orang, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas buku-buku literature, laporan-laporan hasil
(SLTA) sederajat 238 orang, dan tamat penelitian, dan penelusuran media internet.
akademi/S1 sebanyak 21 orang. Kendatipun Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 –28
demikian, di perkampungan nelayan banyak September 2016 dengan melibatkan peneliti dari
anak usia sekolah SD tidak sekolah, atau lebih Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
memilih putus sekolah, terutama anak laki-laki. (P2KK –LIPI), Pusat Penelitian Oseanografi
Alasannya karena sejak kecil sudah sering (P2O –LIPI, dan Lembaga Penerbangan dan
mencari uang dengan memancing, mencari siput Antariksa Nasional (LAPAN). Penelitian ini
gonggong, kerang bulu, dan ketam bakau. mengambil lokasi enam desa-desa Nelayan di
Begitu punya duit, anak-anak kemudian main Pesisir Pantai Pulau Bintan. Lokasi ini dipilih
Play Station (PS), sehingga enggan sekolah. secara purposif berdasarkan letak permukiman
Kebiasaan buruk lainnya di desa ini yakni nelayan yang berada tipis di pesisir pantai
perilaku anak-anak muda yang suka minum- sehingga rentan terhadap dampak perubahan
minuman keras. Hal yang cukup membanggakan iklim. Artikel ini merupakan bagian kecil dari
adalah ada diantara anak Suku Laut yang tema besar penelitian yang berjudul “Kajian
tinggal di Kampung Panglong yang merasa Dampak dan Adaptasi Perubahan Iklim Global:
terpanggil untuk memajukan kampungnya Studi Kasus di Perairan Bintan Kepulauan
dengan membuka kursus bahasa Inggris. Riau”.
Sarana lainnya yang tersedia di desa
ini, berupa sarana perhubungan laut yakni
Kondisi Desa Penelitian
Pelabuhan Internasional. Pelabuhan ini sudah Desa Tanjung Berakit, terletak di ujung
lama dibangun, tetapi bertahun-tahun belum paling utara dari desa-desa nelayan yang berada
difungsikan. Permasalahan utamanya adalah di wilayah pesisir Pantai Pulau Bintan. Luas
terjadinya sedimentasi yang begitu cepat, desa ini sekitar 53,25 ha, dihuni oleh penduduk
sehingga berakibat pendangkalan pada alur-alur yang berjumlah 1751 jiwa, terbagi kedalam 558
jalan kapal. Untuk menunjang aktivitas KK. Secara administratif desa ini terbagi ke
kenelayanan juga sudah dibangun Cold Storage, dalam 2 dusun, 4 RW, dan 8 RT. Sebagian besar
tetapi tidak bisa difungsikan karena aliran listrik penduduk memiliki matapencaharian sebagai
dari PLN sering matinya ketimbang nyalanya. nelayan 338 orang, petani 188 orang, dan buruh
Rumah-rumah penduduk nelayan sebagian besar tani 25 orang. Selebihnya adalah PNS 27, dan
70 unit berupa rumah permanen yang dibangun ABRI 3 orang yang menjaga di Pos AL Tanjung
melalui program permukiman kembali Suku Berakit (Monografi Desa Tanjung Berakit,
Laut oleh Dinas Sosial Kabupaten Bintan. 2015). Beberapa prasarana infrastruktur yang
Rumah-rumah ini sudah dilengkapi dengan ada di desa ini meliputi: sarana kesehatan, 3 pos
sanitasi lingkungan yang memadai, seperti pelayanan terpadu (Posyandu), 1 pusat kesehatan
sarana air bersih dari program perpipaan yang masyarakat (puskesmas), 1 pondok bersalin desa
dilakukan oleh PDAM setempat, juga sudah (polindes), dengan tenaga medis sejumlah 6
banyak dibanun MCK/WC umum. orang bidan desa. Sarana pendidikan terdapat
Adapun batas wilayah administrasi desa Paud 2 sekolah, 1 sekolah dasar negeri (SDN), meliputi: di sebelah utara berbatasan dengan madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) 1 sekolah, Laut Cina Selatan, di sebelah selatan dengan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) 1 Desa Malang Rapat, sebelah barat dengan Desa sekolah dan madrasah tsanawiyah (MTs) 1 Pengudang, dan di sebelah timur laut berbatasan sekolah. Untuk ukuran desa, boleh dibilang dengan Laut Cina Selatan. Untuk menuju desa sarana pendidikan sudah cukup memadai, Tanjung Berakit, dari Kota Tanjung Pinang bisa dengan tenaga guru sebanyak 10 orang guru ditempuh dengan kendaraan roda empat dengan taman kanak-kanak (TK), 11 orang guru SD, 16 carter moibil, atau naik ojek sepeda motor. Jarak guru SMP, 16 guru MIN dan 11 guru MTs tempuh dari Kota Tanjung Pinang sekitar 67 (Profil Desa Tanjung Berakit, 2015) km, dan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Wilayah
ini memiliki ketinggian sekitar 2 m dari
266
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 267
permukaan air laut. Topografi wilayahnya berupa tanah datar yang landai.
Di sepanjang perjalanan menuju Desa Tanjung Berakit, mulai dari Desa Sei Kawal sejauh kurang lebih 60 km menyusuri pesisir pantai Pulau Bintan, terdapat berbagai resort, restaurant, dan hotel. Sarana wisata tersebut berselang seling dengan kebun kelapa yang mulai menua, dan sebagian banyak yang sudah mati. Di lantai kebun tersebut tumbuh rumput ilalang, semak belukar, membentang luas bagai padang savanna. Bagi orang luar yang melihat pemandangan ini, kesan yang ada dibenaknya
adalah “tanah terlantar”, tetapi ada penguasanya yang tertera dengan plank papan nama. Paling
tidak dari perjalanan Desa Sei Kawal menuju Desa Tanjung Berakit terdapat beberapa perusahaan bisa disebut antara lain: tempat wisata Pantai Trikora Tanjung Uban, Hotel Harmes Agro Resort, Bintan Agro Resort, Bintan Laguna, Satria Bintan Resort, Resort Elly di Teluk Bakau, PT. Lakora Restaurant, Bintan Cabana Beach Resort, Bintan Prima Resort, Pondok Geby Pantai Putri, PT. Buana Megawisata, Serumpun Padi Emas Restaurant, Trikora Bintan, Brethoking Journey, dan PT. Corindo Group.
Tidak kalah meramaikannya papan- papan patok di pinggir jalan adalah tanah milik pribadi yang dijadikan sebagai ajang spekulan tanah, salah satunya terdapat di Desa Tanjung Berakit bertuliskan Tanah Milik Sumarno dijual. Hampir seluruh tanah penduduk sudah dikuasai oleh para investor. Selain hotel, restaurant, resort, di sepanjang peisir pantai Pulau Bintan juga terdapat bangunan rumah-rumah mewah yang dijejali dengan mobil-mobil mewah. Rumah tinggal ini umumnya adalah milik toke Cina. Penguasaan tanah oleh beberapa investor tersebut hanya menyisakan ruang-ruang sempit di pesisir pantai. Disitulah nelayan tinggal berjejal melangsungkan kehidupannya. Ketimpangan ekonomi bagai langit dan bumi. Sungguh sebuah ironi, tidak seindah gaung yang dikumandangkan dengan kebesaran program Siak Johor, Riau (SIJORI) di era Orde Baru. Nestapa kehidupan nelayan Pulau Bintan terus berlanjut hingga Era Reformasi
yang ditandai dengan
Poros
Maritimnya. Sementara orang berpesta pora dengan menikmati keindahan alam wisata bahari sambil
menikmati
masakan
khas siput
gonggong, nelayan hanya bisa menjalani hidup dengan mengais sumber daya biota laut yang tersisa.
Karakteristik Nelayan
Pola adaptasi masyarakat nelayan terhadap perubahan iklim, sangat ditentukan oleh karakteristik nelayan itu sendiri. Suatu kelompok masyarakat nelayan yang memiliki tingkat intensitas yang tinggi dalam berinteraksi dengan laut, mereka relatif akan lebih adaptif dibanding dengan kelompok nelayan yang tingkat intensitasnya rendah dalam berinteraksi dengan laut. Hal ini tampak misalnya dalam memilih lokasi permukiman. Suku Laut misalnya, lebih tahu dimana memilih tempat tinggal yang aman dari hantaman badai dan gempuran ombak. Mereka juga lebih tahu lokasi-lokasi tempat sumber daya ikan dan biota laut lainnya yang dapat menjamin kebutuhan pangannya. Mereka juga lebih tahu dengan menggunakan teknologi seperti apa suatu sumber daya dapat ditangkap. Karena itu pemahaman mengenai karakteristik nelayan dapat menjadi pintu masuk untuk memahami pola adaptasi terhadap perubahan iklim.
Menurut Data Desa Tanjung Berakit, 2015, disebutkan bahwa matapencaharian penduduk Desa Tanjung Berakit yang paling dominan adalah petani dan nelayan. Jumlah orang yang menggeluti pekerjaan sebagai nelayan sebesar 318 orang, sedang petani berjumlah 118 orang. Informasi yang diperoleh dari Ibu Merry Dago selaku anak Ketua Kelompok Nelayan di Kampung Panglong (almarhum Boncel) menyebutkan terdapat 70 unit rumah yang masing-masing unit rumah dihuni oleh 2 KK, artinya paling tidak terdapat 140 orang yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka menyebut dirinya sebagai orang Melayu Laut. Mereka bermukim di sebuah teluk yang cukup terlindung, yakni Teluk Tanjung Berakit. Keberadaan mereka sudah ada sejak tahun 1945. Keterangan Ibu Merry Dago ini, agaknya tidak jauh berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh Ibu Yankim (48). Dikatakan bahwa sejak saya masih berumur 7 tahun, kelompok permukiman penduduk Suku Laut/Melayu Laut sudah ada di situ. Mereka tinggal di rumah-rumah pondok yang dibangun dari bahan material yang ada di sekitarnya, seperti membangun tiang-tiang pondok dari kayu mangrove. Begitu pula dengan atap pondok, dibuat dari daun kelapa. Saat musim barat atau musim angin utara tiba, banyak atap pondok yang berterbangan. Pada saat-saat seperti itulah untuk sementara waktu mereka tinggal kembali di perahu-perahu Menurut Data Desa Tanjung Berakit, 2015, disebutkan bahwa matapencaharian penduduk Desa Tanjung Berakit yang paling dominan adalah petani dan nelayan. Jumlah orang yang menggeluti pekerjaan sebagai nelayan sebesar 318 orang, sedang petani berjumlah 118 orang. Informasi yang diperoleh dari Ibu Merry Dago selaku anak Ketua Kelompok Nelayan di Kampung Panglong (almarhum Boncel) menyebutkan terdapat 70 unit rumah yang masing-masing unit rumah dihuni oleh 2 KK, artinya paling tidak terdapat 140 orang yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka menyebut dirinya sebagai orang Melayu Laut. Mereka bermukim di sebuah teluk yang cukup terlindung, yakni Teluk Tanjung Berakit. Keberadaan mereka sudah ada sejak tahun 1945. Keterangan Ibu Merry Dago ini, agaknya tidak jauh berbeda dengan keterangan yang disampaikan oleh Ibu Yankim (48). Dikatakan bahwa sejak saya masih berumur 7 tahun, kelompok permukiman penduduk Suku Laut/Melayu Laut sudah ada di situ. Mereka tinggal di rumah-rumah pondok yang dibangun dari bahan material yang ada di sekitarnya, seperti membangun tiang-tiang pondok dari kayu mangrove. Begitu pula dengan atap pondok, dibuat dari daun kelapa. Saat musim barat atau musim angin utara tiba, banyak atap pondok yang berterbangan. Pada saat-saat seperti itulah untuk sementara waktu mereka tinggal kembali di perahu-perahu
Melayu adalah sagu dan ubi kayu. Tanah Kabupaten Pulau Bintan, mereka didaratkan dan
miliknya tersebut pada tahun 1980 diambil menempati
paksa oleh perusahaan tambang PT. Aneka
Tambang (ANTAM) dengan memberi ganti rugi (Wawancara dengan Ibu Merry Dago, Ibu
berukuran sekitar 36 m 2 sebanyak 60 unit.
sebesar Rp.500 per m 2 . Status tanah tersebut Yankim, 24 September 2016).
berupa Surat Alas Hak, sampai sekarang masih dipegangnya. (Wawancara dengan Bapak Sawal
Sejarah mencatat bahwa asal usul
26 September 2016),
penduduk Desa Tanjung Berakit berasal dari tiga kelompok suku, yakni Cina, Melayu Darat,
Nasib yang kurang lebih sama dialami dan Suku Laut. Profil Desa Tanjung Berakit
oleh masyarakat petani di Desa Tanjung Berakit, 2015, disebutkan bahwa pada tahun 1908 sudah
pada tahun 1990-an seluruh tanah kebun terdapat kelompok etnik Cina tinggal di
penduduk diambil alih oleh perusahaan yang P.Bintan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
bergerak di bidang industri pariwisata yakni PT berbagai benda peningalan sejarah serta
Buana Megawisata (PT. BMW) yang kantor aktivitas yang mereka lakukan. Beberapa
pusatnya di Lagoi. Ada tiga saudara dekatnya peninggalan tersebut meliputi; pecahan keramik,
yang tinggal di Desa Tanjung Berakit, antara tempayan, dan kuburan Cina. Aktivitas yang
lain yakni Samad, Umar dan Seril. Ketiganya mereka lakukan adalah pertanian lahan kering
petani kebun kelapa. dengan mengusahakan tanaman karet, pembuatan
dulu
adalah
Matapencahariannya adalah membuat kopra, gambir, dan kapur. Sementara itu Suku Melayu
yang sekarang hidup sebagai buruh nelayan datang lebih awal ke wilayah Desa Tanjung
Kelong. Tinggal tipis di bibir pantai langsung Berakit pada tahun 1908. Meraka datang dari
menghadap perairan terbuka Laut Cina Selatan. daerah Lingga dan Dabo Singkep. Setiba di
Modus pengambilan tanahnya sama, yakni kelak Tanjung Berakit, mereka membuka hutan,
kalau perusahaan sudah beroperasi mau kemudian dijadikan sebagai areal pertanian
dipekerjakan di perusahaan. Sampai saat ini kebun kelapa. Melihat perairan ini banyak
nyatanya tidak pernah diwujudkan janji itu, terdapat pulau-pulau kecil yang tersebar di
bahkan sampai anak-anak mereka sudah dewasa sepanjang perairan pesisir Pulau Bintan, maka
sekalipun.
wilayah ini kemudian disebut sebagai Tanjung Informasi yang sama disampaikan oleh Berakit. (Profil Desa Tanjung Berakit; 2015, 1). Abdul Ali (65) nelayan pendatang dari Buton Bapak Yankim (51) sendiri selaku warga yang bermukim di Kelurahan Sei Kawal. Ia Kampung Panglong, semula adalah hidup datang ke Pulau Bintan ini sudah sejak tahun sebagai petani karet di Ekang Darat, Batam. 1970-an. Pada tahun-tahun itu ia membangun Tahun 1995 pindah di kampong Panglong pondok menumpang dikebun penduduk orang bergabung dengan kelompok etnik Cina lainnya Melayu. Bahkan sebegitu baiknya pemilik menempati wilayah Kampung Panglong di kebun tersebut, ia diizinkan untuk turut ujung paling utara. Permukiman orang-orang menggarap kebunnya seluas 5 ha dengan menanami Cina bergabung dalam satu permukiman tanaman pangan seperti ubi kayu, jagung, penduduk Suku Laut.
seperti nangka, Selebihnya adalah nelayan dari orang-
memetik
buah-buahan
cempedak, durian, kalau mau, kecuali buah orang penduduk asli Melayu Daratan yang
kelapa. Dari tahun 1970-an –1990-an bisnis bermukim di Kampung Semelor. Orang-orang
kelapa sawit memang sangat menjanjikan. Melayu Daratan ini semula bekerja sebagai
Tahun-tahun 1970-an belum ada orang yang petani pekebun. Banyak saksi hidup yang dapat
menjadi nelayan, karena tidak ada tempat memberikan informasi mengenai masa lalu
menjualnya. Ikan banyak sekali di sepanjang kehidupan nelayan Melayu Daratan Pulau
pesisir perairan pantai Pulau Bintan mulai dari Bintan umumnya dan khususnya di Desa
Sei Kawal sampai Tanjung Berakit. Dengan cara Tanjung Berakit. Pak Sawal (55) penduduk
memancing di pinggir pantai saja, orang bisa warga Desa Sei Enam, waktu masa mudanya
dapat 5-10 kg, pada hal ikannya besar-besar. hidup sebagai petani kebun. Ia memiliki tanah
Baru kemudian mulai pada tahun 1980-an seluas 2 ha. Kebun tersebut ditanami dengan
pendatang mulai banyak, toke-toke Cina mulai berbagai jenis tanaman seperti cempedak,
banyak, dan mereka banyak yang membeli tanah durian, nangka, pisang, kelapa, ubi kayu, dan
di sini. Waktu itu harga tanah baru sekitar
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
Rp.80 –Rp.100. Engkok (bukan nama sebenarnya) kesengsaraan rakyat (Wawancara dengan Bapak Cina dari Singapura membeli tanah seluas 6 ha,
Ali, 24 September 2016)
dengan harga Rp 80 per m 2 , sekarang 1 ha sudah
Keterangan Pak Ali mendapat tanggapan ditawar 3,5 milyar tidak dijual. Demikian juga lain dari mantan Wakil Bupati Pulau Bintan dengan kebun dan pekarangan yang ditempati yang pernah menjabat pula sebagai Kepala Pak Abdul Ali, karena sudah dijual, terpaksa Dinas Pariwisata di Kabupaten Pulau Bintan. tahun 1990-an awal harus pindah rumah di atas Tanah seluas 23.000 ha itu waktu itu baru laut, pemukiman penduduk nelayan Buton di Sei pencadangan, sedangkan yang telah dibebaskan Kawal yang sekarang. Dengan kehadiran banyak baru seluas 17.000 ha, sisanya belum orang di Pulau Bintan dan toke-toke mulai dibebaskan. Dari tanah seluas 23.000 ha tidak membuka usaha, maka tahun 1980-an baru dialihfungsikan menjadi kebun, tetapi dijadikan mulai ada aktivitas kenelayanan secara kecil-
pengembangan Agrowisata kecilan yang dilakukan oleh orang-orang (Wawancara dengan Bapak Mantan Wakil Melayu (Wawancara dengan Bapak Abdul Ali, Bupati, Mantan Kepala Dinas Pariwisata
sebagai
areal
25 September 2016) Kabupaten Bintan, 24 September 2018). Benarkah
Informasi lain diperoleh dari Bapak Ali, demikian ? Dari penelusuran di hampir seluruh satu-satunya seorang penampung ikan bilis
Pulau Bintan sepengetahuan penulis tidak pribumi di Desa Tanjung Berakit. Awalnya dia
diketemukan areal Agrowisata, yang ada semak adalah seorang pedagang kopra mulai dari tahun
belukar yang ditumbuhi ilalang, dan pohon- 1994 –2003. Waktu itu hampir semua penduduk
pohoin kelapa yang sudah menua dan sebagian Tanjung Berakit bermatapencaharian sebagai
sudah banyak yang mati. Melihat kondisi petani penggarap kopra, termasuk seluruh anak
bentang alam dan tumbuhan yang ada, siapa pun buahnya yang 10 orang buruh ABK Kelong
akan mengatakan bahwa lahan tersebut adalah yang ada sekarang. Harga kopra saat itu sangat
“tanah terlantar”.
menguntungkan petani, perbandingannya 1 kg Dari uraian singkat latar belakang kopra bisa untuk membeli 4 kg beras. Setelah sejarah asal usul penduduk Desa Tanjung tahun 2003 harga kopra jatuh, perbandingannya Berakit tersebut, jelas terdapat dua kelompok terbalik menjadi 4 kg kopra baru dapat beras 1 masyarakat nelayan, yakni nelayan orang kg. Hal ini mendorong Pak Ali beralih usaha Melayu Daratan yang asal usulnya adalah menjadi nelayan Kelong. Dengan sisa usaha petani, mereka bermukim di pesisir pantai Desa sebesar Rp.45.000 ia membeli 2 unit Kelong Tanjung Berakit sebelah Timur menghadap beserta perahu pompongnya. Sampai sekarang perairan terbuka Laut Cina Selatan. Kelompok kelong tersebut sudah berkembang menjadi 5 nelayan lainnya adalah nelayan yang berasal unit kelong, 2 unit kelong yang lain sudah dijual dari orang-orang Suku Laut, atau mereka lebih tahun 2015 untuk menutupi kerugian usaha
tahun 2014 suka disebut dengan “Melayu Laut”. Mereka
–1015 akibat musim panas yang bermukim di pesisir Teluk Tanjung Berakit
berkepanjangan. menempati wilayah peisir pantai Desa Tanjung
Hampir bersamaan dengan menurunnya Berakit bagian barat. Kedua kelompok nelayan harga kopra tahun 1990-an di Pulau Bintan ada
ini memiliki alat tangkap yang berbeda, rencana pengembangan kawasan Pulau Bintan
intensitas melaut yang berbeda, serta sasaran melalui kerja sama ekonomi antara tiga negara
tangkap yang berbeda.
yakni Singapura, Johor, dan Riau yang Berbagai jenis sarana dan alat tangkap kemudian lebih dikenal dengan SIJORI. Atas yang digunakan oleh nelayan Kampung Panglong nama pengembangan pariwisata tanah seluas antara lain; pancing rawai, jaring karang, bubu 23000 ha hampir 2/3 luas wilayah Pulau Bintan ikan, bubu ketam bakau (bubu korea), dan diambil alih penguasaannya oleh PT. Buana tombak. Sasaran tangkap utamanya adalah, Megawisata. Tanah-tanah penduduk dibebaskan ikan-ikan karang, kerapu merah, kerapu hitam, dengan harga Rp.125 termasuk tanah Penduduk bawal, tenggiri, tuna, tongkol, kakap merah, Desa Tanjung Berakit. Dalam kenyataannya ekor kuning, belanak, ketam bakau, ikan pari, tanah tersebut tidak seluruhnya dibangun sarana dan layur. Mereka juga melakukan pembesaran pariwisata, tetapi “dialihfungsikan” menjadi ikan kerapu dengan menggunakan media lahan perkebunan. Itulah salah satu bentuk
Apung (KJA). Untuk kejahatan aparat pemerintah yang mengakibatkan mengoperasikan alat tangkap tersebut, mereka
Keramba
Jaring
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 269 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 269
Semelor, mereka hanya menggunakan satu jenis
24 PK. Melalui bantuan dari Dinas Perikanan alat tangkap yakni bagan kelong, atau bagan dan Kelautan Provinsi Kepulauan, tahun 2015
tancap. Sasaran tangkap utamanya adalah ikan juga sudah diperkenalkan usaha budidaya ikan
bilis (ikan teri medan dan teri nasi). Lokasi kerapu tiger, dengan mengambil bibit dari Bali
penangkapannya berada di perairan pantai depan sebanyak 7000 ekor. Usaha ini terhenti karena
kampung Semelor yang jaraknya kurang lebih 1 terkendala pengadaan bibit, juga belum
mil laut. Untuk menuju ke lokasi pengoperasian dikuasainya tehnik budi daya, sehingga hasilnya
kelong, mereka menggunakan perahu pompong merugi.
berkekuatan mesin dongfeng 24 PK. Aktivitas matapencaharian utamanya, mereka juga mencari
Selain menncari
ikan
sebagai
melaut ini dilakukan mulai dari Jam 6 sore biota laut lainnya yang hidup di hutan bakau,
hingga pukul 6 pagi. Perahu pompong dan seperti ikan belanak, udang, dan ketam.
kelong, adalah milik toke, karena itu nelayan Binatang laut lainnya yang menjadi sasaran
yang terlibat dalam pengoperasian kelong lazim tangkap adalah gamat (tripang), siput gonggong,
disebut sebagai buruh Anak Buah Kapal (ABK) ranga, dan kerang bulu.
Kelong.
Jenis jenis alat tangkap berupa jaring Urain di atas menunjukkan bahwa karang, bubu ikan, pancing rawai, dan perahu
masyarakat nelayan Desa Tanjung Berakit pompong adalah milik toke, selebihnya bubu
tergolong sebagai nelayan tradisional. Berdasarkan ketam, tombak, dan media budi daya Keramba
jenis sarana dan alat tangkap yang digunakan, Jaring Apung, adalah milik nelayan sendiri.
wilayah perairan tempat aktivitas dilakukan, Waktu melaut untuk memancing, atau menjaring
pemanfaatan hasil tangkapan, terbatasnya akses ikan, biasanya dilakukan mulai pukul 5.00 pagi,
terhadap lembaga keuangan formal, keterbatasan hingga pukul 14.00 siang, atau sore sekitar
akses pasar, corak hubungan sosial yang pukul 5.00 dan pulang jam 12 malam, kadang
terbentuk dan kepemilikan alat tangkap, Arif sampai jam 5 pagi. Untuk pemasangan bubu
Satria (2002: 29) mengklasifikasikan nelayan ke ikan bisa dilakukan kapan saja, seminggu atau
dalam kelompok; peasant fisher, post peasant lima hari kemudian baru bisa diambil. Beberapa
fisher, commercial fisher , dan industrial fisher. lokasi tempat pemasangan bubu ikan diantaranya;
Karang Kaci, Karang Bungo, Karang Embel, Peasant Fisher, merupakan nelayan yang
pada pemenuhan dan Karang Sumpat. Dari sekian lokasi tersebut kebutuhan sendiri. Peasant Fisher dicirikan yang paling banyak ikannya adalah di lokasi oleh penggunaan teknologi alat tangkap Karang Sumpat. Jarak tempuh lokasi-lokasi yang masih sederhana, ukuran perahunya tersebut sekitar 2 –3 mil laut. Seluruh biaya kecil, daya jelajah dan daya muat terbatas, operasional ditanggung oleh bos pemilik alat jumlah anggota yang terlibat dalam tangkap atau toke. Seluruh hasil tangkapan ikan penangkapan kecil, pembagian kerja berlangsung harus dijual kepada toke, dengan harga yang secara kolektif, serta mengutamakan nilai- sudah ditentukan oleh toke. nilai kekeluargaan dan kekerabatan.
masih
berorientasi
Disaat air laut surut, ibu-ibu dan anak- (2) Post Peasant, merupakan nelayan yang lahir anak turun ke laut mencari siput gonggong,
terjadi modernisasi perikanan kerang bulu, ranga, dan gamat, carannya cukup tangkap. Nelayan Post Peasant dicirikan dengan memungut di pantai, atau bisa juga oleh penggunaan teknologi alat tangkap menyelam pada kedalaman antara 1 –2 m. yang lebih maju, berorientasi pasar, serta Aktivitas ini juga bisa dilakukan pada malam tidak lagi menggunakan tenaga kerja hari saat air laut surut, dengan menyuluh, yakni
setelah
keluarga.
memasang senter di kepala. Untuk mencari ketam bakau hanya dapat dilakukan pada saat
(3) Commercial Fisher, merupakan nelayan air laut pasang, waktunya pagi hari dipasang,
yang berorientasi pada peningkatan keuntungan. sore harinya diambil, atau bias juga sore
Commercial Fisher dicirikan oleh banyaknya dipasang pagi harinya diambil. Seluruh hasil
jumlah tenaga kerja yang digunakan, tangkapan akan
diferensiasi status awak kapal yang berbeda- sepenuhnya dan bebas untuk dijual kepada siapa
menjadi
milik nelayan
beda karena teknologi alat tangkap yang saja.
digunakan membutuhkan spesialisasi dalam pengoperasiannya.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
(4) Industrial Fisher, ditandai oleh pengorganisasian dipengaruhi oleh angin muson yang berubah proses produksi yang padat modal, dengan
arah sesuai dengan posisi mata hari terhadap manajemen yang mirip seperti perusahaan
bumi yakni musim hujan dan musim kemarau. agroindustri. Pendapatan yang dihasilkan
Musim hujan terjadi pada bulan Maret sampai jauh lebih tinggi, karena produk yang
dengan bulan Agustus, sedang musim kemarau dihasilkan adalah ikan kaleng dan ikan baku
berlangsung mulai bulan September sampai untuk eksport.
bulan Februari. Daerah Pulau Bintan dan sekitarnya memiliki temperatur suhu rata-rata
Sementara itu Kusnadi (2002: 160) juga
mengklasifikasikan nelayan berdasarkan; (1) ᵒ C–30ᵒ C. Selain ke dua musim tersebut,
masyarakat nelayan Pulau Bintan mengenal Penguasaan alat produksi atau alat tangkap, (2) empat musim angin. Keempat musim angin Besarnya investasi modal usaha (3) Penggunaan tersebut, yakni; (1) musim angin utara, teknologi alat tangkapnya. Berdasarkan pengguasaan berlangsung selama empat bulan mulai dari alat produksi, nelayan dapat digolongkan Bulan Nopember sampai dengan bulan Februari. sebagai nelayan pemilik dan buruh nelayan. Pada musim ini aktivitas kegiatan penangkapan Berdasarkan
ikan di laut tidak dapat dilakukan secara dikelompokkan ke dalam nelayan besar dan maksimal seperti pada musim-musim lainnya, nelayan kecil, dan berdasarkan alat tangkap yang karena pada musim ini angin bertiup sangat digunakan, nelayan dikelompokkan menjadi kencang dan laut berombak besar dengan nelayan tradisional, dan nelayan modern. ketinggian antara 3 –5 m, sehingga banyak
Atas dasar klasifikasi tersebut, maka nelayan yang tidak berani melaut. (2) Musim nelayan Kampung Panglong dan nelayan
angin timur, berlangsung selama tiga bulan Kampung Semelor termasuk dalam kategori
antara bulan Maret –Mei. Pada musim timur ini nelayan tradisional, karena hanya menggunakan
angin bertiup pelan dan laut relatif tidak alat tangkap dan perahu kecil pompong
berombak. Semua jenis alat tangkap dapat berukuran dibawah 5 GT, dengan kapasitas 2
dioperasikan pada musim ini. (3) Musim angin orang penumpang, dan wilayah jelajah sekitar 1
selatan, berlangsung selama tiga bulan, yakni mil laut dari pantai. Berdasarkan kepemilikan
bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Pada alat tangkapnya, termasuk sebagai buruh
musim angin ini, angin mulai agak kencang, nelayan, juga termasuk dalam kategori nelayan
demikian juga laut pun mulai berombak. “Peasant Fisher”, karena masih berorientasi
Kendatipun demikian, pada musim angin selatan pada pemenuhan kebutuhan subsisten.
nelayan masih berani pergi melaut. (4) Musim angin barat, berlangsung antara September
Perubahan Iklim dalam Perspektif
sampai dengan Oktober, pada musim ini angin
Masyarakat Nelayan
tidak stabil, kadang tenang, namun sering juga angin bertiup kencang dan laut berombak besar.
Studi mengenai fenomena perubahan iklim sudah banyak diungkapkan oleh para ahli.
Pada musim ini curah hujan relatif tinggi dan pengoperasian alat tangkap ikan mulai terbatas.
Kendatipun demikian, fenomena perubahan iklim menampakkan diri dalam berbagai bentuk
(Anonim, 2015: 5 –6)
perubahan lingkungan, sesuai dengan kondisi Keempat musim angin tersebut dahulu geografi dan ekologi yang berbeda. Demikian
bagi nelayan merupakan kalender yang lazim pula kondisi sosial budaya masyarakat yang
berulang setiap saat dan dapat dijadikan terdampak memiliki karakteristik yang sangat
menjalankan aktivitas spesifik wilayah, sehingga pola adaptasi
pedoman
dalam
kenelayanan. Kapan mereka harus berangkat, di terhadap perubahan iklim antara daerah yang
wilayah perairan mana mereka harus beroperasi, satu dengan yang lain juga menghasilkan
dan alat tangkap apa yang harus mereka bentuk-bentuk pola adaptasi yang berbeda.
gunakan seolah sudah baku. Namun demikian Karena itu memahami pengetahuan masyarakat
mulai sejak tahun 1990-an telah dirasakan nelayan setempat terkait dengan perubahan
terjadi perubahan cuaca yang berlangsung iklim menjadi penting guna merumuskan suatu
secara ekstrim. Masyarakat nelayan sendiri tidak kebijakan menghadapi perubahan iklim yang
dan faktor apa bersifat spesifik wilayah.
memahami
mengapa
sesungguhnya yang menyebabkan timbulnya Menurut kalender musim yang sudah
fenomena perubahan cuaca ekstrim itu. Di baku, wilayah perairan Pesisir Pulau Bintan
bulan-bulan tertentu yang semestinya ditandai
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 271 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 271
ditandai oleh munculnya fenomena alam dipredisksi
tersebut diduga kuat telah berdampak pada nelayan.
munculnya fenomena perubahan lingkungan yang lain. Dituturkan oleh Ibu Yankim,
Peristiwa perubahan
iklim
yang
berlangsungnya musim dingin sepanjang tahun menampakkan diri dalam bentuk fenomena alam membawa kemunculan ikan bilis (semacam teri yang mengerikan yakni gelombang air laut yang medan/teri nasi) yang sangat melimpah di tinggi disertai dengan suara gemuruh deburan perairan Desa Tanjung Berakit, hal ini berakibat ombak, hujan lebat disertai dengan angin badai ikan-ikan besar sulit ditangkap dengan pancing, yang kencang, cuaca mendung gelap, dan karena sudah banyak ikan-ikan kecil yang permukaan air laut yang bergolak dibalut menjadi sasaran mangsanya. Sebaliknya bagi dengan buih putih dan kabut gelap, terjadi pada nelayan kelong yang membawa berkah hari Rabu Sore tanggal 21 September 2016 sekaligus memunculkan masalah. Membawa berlangsung sekitar pukul 15.00 sampai 17.00 berkah karena dalam sekali melaut nelayan WIB. Keadaan tersebut menyebabkan semua kelong dapat menangkap ikan bilis dalam aktivitas di laut terhenti. Jangankan melaut jumlah puluhan ton. Jumlah hasil tangkapan untuk mencari ikan, kapal-kapal besar pun tersebut kalau hanya sekedar untuk makan, lebih merapat ke sebuah tanjung menghindari dari cukup, tetapi hasil tangkapan yang hantaman gelombang. Keadaan permukiman melimpah juga membawa masalah karena penduduk menjadi hening, tampak sepi, tidak seorang toke di Tanjung Pinang yang dipercaya ada satupun dijumpai orang yang berani keluar untuk menampung ikan, gudang penampungan rumah. produk olahan ikan bilis (teri medan dan teri
Menurut informasi sejumlah nelayan nasi) sudah tidak mampu menampung, sehingga mengatakan bahwa fenomena perubahan cuaca
banyak hasil tangkapan yang dibuang ke laut. yang baru saja berlalu, merupakan pertanda
Sebagai dampak permukaan air laut angin utara telah tiba. Hal ini menandai bahwa yang memanas sepanjang tahun 2014 musim utara berjalan maju, yang biasanya akan
–2015 juga memunculkan dampak lingkungan yang lain,
terjadi pada bulan Oktober-November. Pada menurut informasi Staf AL yang berjaga di POS bulan Oktober biasanya berlangsung musim Tanjung Berakit, telah terjadi fenomena pancaroba dan kemudian disusul dengan musim pemutihan terumbu karang (bleaching) di angin utara yang berlangsung antara bulan perairan Desa Sei Kawal. Kuat dugaan bahwa November-Februari. Pada bulan-bulan itulah peristiwa coral bleaching tersebut diakibatkan nelayan Kampung Panglong tidak berani keluar oleh berlangsungnya pemanasan permukaan air untuk
laut yang berlangsung dalam jangka waktu yang Demikian juga nelayan Kelong Kampung tidak cukup lama. Meningkatnya suhu permukaan air berani keluar mengoperasikan kelong (bagan laut juga berdampak pada hilangnya ikan bilis apung/tancap). Selama empat bulan penuh
nelayan kelong berhenti beroperasi. –2015. Selama hampir dua
pada tahun 2014
tahun nelayan kelong tidak dapat beroperasi, Fenomena perubahan iklim dalam
begitu pula yang dialami oleh nelayan Kampung bentuknya yang lain dituturkan oleh Pak Ali
Panglong, sulit mendapatkan ketam bakau pemilik kelong yang merangkap sebagai
sebagai sasaran tangkapnya. Menurut informasi pedagang pengumpul (toke). Sepanjang tahun
Pak Dago pada musim panas tahun 2014 –2015 2014 –2015, terjadi fenomena panas terik yang
yang lalu, saat air laut surut dalam dan menyengat
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, permukaan air laut. Peristiwa ini berlangsung
lumpur-lumpur berubah warna menghitam dan selama dua tahun secara terus menerus tanpa
keras seperti astphalt pengeras jalan. Dalam jeda. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai
kondisi lumpur yang demikian ketam sulit peristiwa Elnino. Sebaliknya hampir sepanjang
didapat (Wawancara dengan Bapak Dago Suku tahun 2016 berlangsung hujan terus menerus,
Laut dari Bata 24 September 2016) sehingga laut terasa dingin sepanjang tahun,
Fenomena perubahan alam yang akhir- atau lazim disebut sebagai Lanina (Wawancara akhir ini menyertai musim angin utara adalah dengan Bapak Ali, 22 September 2016) kuatnya arus laut. Sedemikian kuatnya arus laut,
mampu membongkar perakaran padang lamun,
272
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 273