Aspek Hukum Kerangka Hukum Jaminan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat
pula kebutuhan terhadap pendanaan, Kebutuhan pendanaan tersebut dapat
dilihat dan diperoleh melalui kegiatan perkreditan yang disediakan oleh
lembaga keuangan Bank ataupun lembaga keuangan bukan bank melalui
kegiatan pinjam-meminjam.
Dalam menyalurkan kredit, bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya harus
memperhatikan dan menganalisis secara mendalam setiap permohonan kredit
nasabahnya sehingga bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya memperoleh
keyakinan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjamannya sebagaimana yang
telah diperjanjikan pihak bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya
selanjutnya disebut

kreditur.

1.2 Rumusan Masalah

2. Apa pengertian Hukum Jaminan ?
3. Apa pengertian dari Hukum Jaminan Fidusia ?
4. Apakah ada ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan
jaminan?

1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM JAMINAN
Istilah Hukum Jaminan merupakan terjemahan dari isitlah security of law,
zekerheadsstelling, atau zekerheadsrecthen. Dalam keputusan seminar Hukum
Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 oktober 1978 di Yogyakarta
menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik
jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut,
pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis
lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum
jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan

itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literature
yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio hukum
jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan
piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan
adalah hukum yan mengatur tentang jaminan piutang seseorang (J. Satrio, 2002:
3). Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang megatur hubungan antara pemberi
dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
medapatkan fasilitas kredit (Salim HS, 2004: 6).

1
2

Dari dua pendapat perumusan pengertian hukum jaminan diatas
dihubungkan dengan kesimpulan Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, intinya
dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor) sebagai
akibat pembebanan suatu hutang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan
(benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur

perlindungan hukum terhadap kreditor sebagai pihak pemberi utang saja,
melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak
penerima hutang. Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hakhak kreditor yang berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu, namun
sama-sama mengatur hak-hak kreditor dan hak-hak debitur berkaitan dengan
jaminan pelunasan utang tertentu tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas, unsure-unsur yang terkandung didalam
perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1.

Serangkain ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan

hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
2.

Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum

antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor).
3.

Adanya jaminan yan diserahkan oleh debitur kepada kreditor


4.

Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan

sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan uang tertentu.

3

2.1.1

SUMBER PENGATURAN HUKUM JAMINAN

Istilah sumber hukum dapat dipergunakan dalam tiga pengertian berbeda
yang satu dengan yang lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang
satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat, bahkan menyangkut
substansi yang sukar dipisahkan, yakni:
1.

Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum


pisitif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan dari yang
berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan.
2.

Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan

ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang
ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu
tertentu.
3.

Sumber hukum dalam artian ketiga, yakni hal-hal yang seharusnya

dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti akan
menentukan isi hukum positifnya, juga harus memperhatikan faktor-faktor
politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya (Joeniarto, 1987: 1 dan
seterusnya).
Pengertian sumber hukum jaminan disini, yakni tempat ditemukannya
aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur

mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan
dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah
hukum positif, yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini.
Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat
ditemukan dalam:

4

1.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Ketentuan dalam Pasal-Pasal Buku II KUH Perdata yang mengatur

mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan
Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1232. Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata tersebut diatur mengenai piutangpiutang yang diistimewakan, gadai dan hipotek.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek

sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaa, dalam KUH Perdata diatur pula
mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggulangan utang (borghtocth)
dan perikatan tanggung menanggung. Jaminan hak perseorangan ini tidak diatur
dalam Buku II KUH Perdata, melainkan diatur dalam Buku KUH Perdata, yaitu
pada Title Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai
dari pasal 1820 sampai dengan p asal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur
mngenaipengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan
utang antara debitur (yang berhutang) dan penjamin (penanggung) utang serta
antara para penjamin utang dan hapusnya penanggungan utang.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH Perdata
tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan bersumber pada Buku III,
yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan.

5

2.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang)
KUH Dagang merupakan terjemahan dari wetboek van koophandel


sebagaimana termuat dalam staatsblad 1847 nomor 23, yang semua di
peruntukan bagi golongan penduduk Eropa, yang kemudian seluruhnya juga di
berlakukan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur Asing lainnya dan
bahkan diberlakukan kepada golongan penduduk pribumi. Pada dasarnya KUH
Dagang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum perdata khusus, yang
terdiri atas 2 (dua) buku, yaitu buku I tentang dagang pada umunya dan buku II
tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya
mengatur mengenai hukum pengangkutan laut.
3.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

pokok-pokok Agraria
Secara khusus ketentuan mengenai hypotheek dan peraturan credietverband
tetap dinyatakan masih berlaku sampai dengan diaturnya lembaga hak jaminan
atas tanah yang baru.
Sesuai dengan tujuan pokoknya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
bukan saja mencabut ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku II KUH Perdata,
juga mencabut beberapa ketentuan colonial lainnya sepanjang yang mengatur

bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dengan berdasarkan Surat Departemen
Pertanian dan Agraria Nomor Undang 10/3/29 tanggal 26 Februari 1961
memerinci berlakunya pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan dalam Buku II
KUH Perdata sebagai berikut:
a. Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya;

6

b.

Ada pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang

mengatur bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya;
c.

Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa

ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai
benda-benda lain (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981: 4).
Berkaitan dengan hukum jaminan, dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat
dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti
lembaga Hipotek (Hypotheek) dan credietverband, yang akan diatur dalam
suatu Undang-undang tersendiri. Namun selama belum ada Undang-undang
yang mengatur Hak Tanggungan tersebut sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 51
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka berdasarkan ketentuan peralihan
yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa
dalam kurun waktu tersebut masih diberlakukan ketentuan hipotek sebagaimana
dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan
credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang hal-hal yang belum ada
ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Oleh karena itu, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
pengertian hipotek dan credietverband disini hendaknya diartikan sebagai “Hak
Tanggungan” yang pengertiannya sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Staatsblad 1908 Nomor 542
sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190.


7

4.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dengan
ketentuan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan
bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai credietverband
sepenuhnya tidak diperlukan lagi. Sedangkan ketentuan mengenai hypotheek
yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebasan hypotheek atas
Hak atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 UndangUndang Nomor 4 Tahun1996 dengan dihubungkan dengan penjelasannya, maka
dapat disimpulkan:
1.

Dengan

sendirinya

ketentuan-ketentuan

mengenai

credietverband

seluruhnya tidak berlaku lagi;
2.

Ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek sepanjang yang menyangkut

pembebanan hipotek hak atas Tanah dengan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang
menyengkut pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak
atas beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap
berlaku sebagaimana adanya sampai dengan diperbaruinya (Buku II) KUH
Perdata tersebut.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak memerlukan terlalu banyak
peraturan pelaksanaannya sebagai tindak lanjutnya. Hal-hal yang perlu ditindak
lanjuti sebagaimana diperintahkan secara oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996, meliputi:
8

1.

Dalam bentuk peraturan perundang-undangan:

a.

Ketentuan tentang penentuan batas waktu berlaukunya Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk jenis kredit tertentu (pasal 15
ayat(5)).
b.

Ketentuan tentang penyesuaian buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan

(Pasal 24 ayat (2)).
c.

Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 4

Tahun 1996, sepanjang tidak ditentukan lain Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996.
2.

Dalam bentuk peraturan pemerintah:

a.

Ketentuan tentang pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas

Tanah Milik (Pasal 4 ayat(3)).
b.

Ketentuan tentang sanksi administrative pelanggaran atau kelalaian Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam memenuhi ketentuan Undangundang Nomor 4 Tahun 1996.
Dengan demikian, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996,
keseluruhan ketentuan mengenai lembaga Hak Jaminan Hak Tanggungan diatur
dalam suatu Undang-undang tersendiri diluar KUH Perdata.
Sejak saat itu tidak lagi berlangsung dualism Hak Tanggungan yang
menggunakan ketentuan hipotek dan lainnya Hak Tanggungan yang
menggunakan ketentuan credietverband, sehingga terciptalah unifikasi hukum
lembaga Hak Jaminan atas hak atas tanah, sesuai dengan tujuan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 yang berkeinginan menciptakan unifikasi hukum
pertanahan (tanah) nasional.

9

5.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Pada tanggal 30 september 1999, pemerintah telah mensahkan dan sekaligus

mengundang suatu Undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia,
yakni dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
Dari konsiderans menimbang undang-undang 42 Tahun 1999 tersebut, kita
dapat mengetahui falsafah yang melatarbelakangi kelahirannya yang berisikan
konstatering fakta-fakta secara singkat serta alas an-alasan dan pertimbanganpertimbangan perlunya membentuk undang-undang tentang jaminan fidusia.
Setidaknya memuat tiga pertimbangan, yaitu:
1)

Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha

atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang
“jelas” dan “lengkap” yang mengatur mengenai fidusia;
2)

Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai

saat ini masih didasarkan pada “yurisprudensi” dan belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan secara ”lengkap” dan “komprehensif”.
3)

Bahwa untuk ”memenuhi kebutuhan hukum” yang dapat melebihimemacu

pembangunan nasional dan untuk “menjamin kepastian hukum” serta mampu
“memberikan perlindungan hukum” bagi pihak yang berkepentingan, maka
perlu dibentuk ketentuan yang “lengkap” mengenai jaminan fidusia dan jaminan
tersebut “perlu didaftarkan” pada kantor pendaftaran fidusia.
Dengan demikian, kelahiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dalam penggunaan fidusia dan
menampung kebutuhan hukum bagi dunia usaha terhadap pendanaan
pembangunan ekonomi yang sebagian besar diperolehnya melalui kegiatan
pinjam meminjam atau kredit.
10

a.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah diadakan ketentuan

“penghubung” antara peraturan yang memuat pengaturan lembaga hak jaminan
atas hak atas tanah dengan ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang Nomor
4 Tahun 1996. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam pasal 27 undangundang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan:
Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak
jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Adapun penjelasan atas pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
menyatakan:
Dengan ketentuan ini Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Rumah Susun
dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan atas tanah Hak Pakai
atas tanah Negara.
b.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman
Dalam perspektif Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 memberikan
kemungkinan pembebanan pemilikan rumah dijadikan sebagai jaminan utang
secara terpisah dengan hak atas tanahnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 15
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 yang bunyinya:
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta autentik yang
dibuat oleh notaries sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

11

b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak
yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
Dalam rangkaian kelahiran Undang-Undang Penerbangan Nasional,

pemerintah juga telah merakit suatu ketentuan untuk memberikan kemungkinan
dibebaninya sebuah pesawat udara dengan hak jaminan, seperti tampak pada
pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Moch.
Isnaeni, 1996: 93).
Ketentuan dalam pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 memberikan
kemungkinan pembebanan pesawat udara dijadikan sebagai jaminan utang
dengan menggunakan hipotek. Pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992
menyatakan:
(1) Pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran
dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helicopter sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah.
d.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Demikian pula untuk meneguhkan eksistensi dan posisi kipotek atas kapal

laut sebagaiman diatur dalam KUH Dagang, maka ketentuan dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran menegaskan, bahwa
pembebanan atas kapal dijadikan sebagai jaminan utang dilakukan dengan
hipotek.
12

Ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992
meyatakan:
(1) Kapal yang terdaftar dapat dibebani hipotek.
(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

2.1.2 TEMPAT DAN SISTEM PENGATURAN HUKUM JAMINAN
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tempat pengaturan hukum
jaminan tidak hanya terdapat dalam KUH Perdata, yaitu Buku II KUH Perdata,
melainkan juga terdapat di luar KUH Perdata, sehingga tempat pengaturan
hukum jaminan berada didalam dan diluar KUH Perdata, termasuk dalam KUH
Dagang. Dengan demikian sumber pengaturan hukum jaminan terdapar dalam
KUH Perdata dan beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata,
disamping yang mengacu kepada ketentuan dalam hukum adat.
Buku II KUH Perdata mengatur jaminan kebendaan, yang meliputi piutangpiutang yang diistimewakan (Bab XIX), tentang gadai (Bab XX), dan tentang
Hipotek (Bab XXI). Adapun Buku III KUH Perdata mengatur mengenai
jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang (borgtoch) (Bab XVII).
Diluar KUH Perdata, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai
dalam:
1.

KUH Dagang

2.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

3.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman
4.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

13

5.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan

6.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

7.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
8.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang kaminan fidusia

Dengan demikian sesungguhnya secara parsial undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 dan undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mendahului
mengatur secara nasional sebagian tentang hukum jaminan, yang dalam hal ini
terbatas mengatur mengenai jaminan kebendaan Hak Tanggungan dan Findusia.
Pada prinsipnya kelahiran undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan
undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah menimbulkan pembaruan hukum
yang sekaligus memperbarui secara ulang perangkat hukum yang mengalami
pembaruan tersebut.

2.1.3

HUKUM KEBENDAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PERDATA (KUH PERDATA)
Hukum kebendaan berkaitan erat dengan hukum keperdataan, hal ini
disebabkan oleh hukum benda salah satu bidang hukum dari Hukum Perdata
(Frieda Husni Hasbullah, 2002:7).
Ditilik dari sistem perdata, hukum kebendaan merupakan salah satu
subsistem dari hukum harta kekayaan, yaitu segala ketentuan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan objek dari hak milik.
Dengan kata lain hukum kebendaan adalah ketentuan hukum yang mengatur
mengenai kebendaan.

14

Sistematika pembidangan hukumn perdata (materiil) dapat ditilik menurut
ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan dapat ditilik menurut KUH Perdata.
Berbeda dengan sistematika KUH Perdata, maka pembidangan hukum perdata
(materiil) menurut ilmu pengetahuan hukum meliputi 4 (empat) bidang, yaitu
sebagai berikut.
1.

Hukum perorangan (personenrecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai pribadi alamiah (manusia)
sebagai subjek hukum dalam hukum atau mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak (kewajiban) subjektif seseorang
serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai
subjek hukum, seperti jenis kelamin, status menikah, umur, domisili, status di
bawah pengampuan, atau pendewasaan serta mengatur mengenai register
pencatatan sipil.
2.

Hukum kekeluargaan (familierecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antarpribadi
alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan, seperti
perkawinan, perceraian, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian, atau periparan.
3.

Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum seseorang
dengan harta kekayaan yang dikuasainya, yang melahirkan hak atas kekayaan
yang bersifat absolut (diatur dalam hukum kebendaan, termasuk hukum
jaminan) dan melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat relatif (diatur dalam
hukum perikatan).
4.

Hukum kewarisan (erfrecht)

Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai peralihan (pemindahan) hak
kepemilikan harta kekayaan seseorang setelah yang bersangkutan meninggal
15

dunia (pewaris), menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa besar bagiannya masing-masing.
Sementara itu, KUH Perdata membagi bidang hukum perdata tersebut atas 4
bidang pula, yang dituangkan dalam 4 buku, yaitu:
1.

Buku I tentang Orang (van personen);

2.

Buku II tentang Kebendaan (van zaken);

3.

Buku III tentang Perikatan (van verbintenissen);

4.

Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijs en verjaring).

Sistematika di atas sebenarnya terpengaruh oleh sistematika Corpus Iuris
Civilis dari Institutiones Justinianus, Kaisar Romawi yang memerintah pada
abad VI Masehi atau tahun 524-565 Masehi yang merupakan kodifikasi hukum
perdata Romawi. Kodifikasi Justianus terbagi dalam empat bagian, yaitu:
1.

Institutions

Dalam bagian ini berisikan antara lain tentang pengertian-pengertian, lembagalembaga hukum, dan lain-lain yang terdapat dalam hukum Romawi.
2.

Pandecta

Berisikan himpunan pendapat dari ahli-ahli hukum Romawi yang terkenal pada
masa itu.
3.

Code

Berisikan himpunan perundang-undangan (leges lex) yang dibukukan oleh para
ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi.
4.

Novelles

Merupakan kumpulan atau himpunan penjelasan atau komentar atas Codex
tersebut (Frieda Husni Hasbullah, 2002: 8).
16

Pada prinsipnya pengaturan hukum kebendaan sebagian besar termuat
dalam Buku II KUH Perdata, disamping diatur beberapa peraturan perundangundangan diluar KUH Perdata, maka kandungan materi yang diatur di dalamnya
pada dasarnya meliputi kebendaan dan cara-cara membedakan benda, hak-hak
kebendaan dan kewarisan. Adapun secara rinci hal-hal yang diatur dalam Buku
II KUH Perdata tersebut sebagai berikut:
a.

Tentang kebendaan dan cara-cara membeda-bedakan benda

b.

Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan kenikmatan

c.

Tentang kewarisan

d.

Tetang piutang-piutang yang diistimewakan

e.

Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan

2.1.4

HUKUM

JAMINAN

DALAM

PERSPEKTIF

HUKUM

KEBENDAAN
Didalam pengembangan Usaha sarana yang mutlak adalah Modal. Jasa
Bank berupa kredit telah menjadi urat nadi para pngusaha. Oleh karena itu,
perangkat

hukum

jaminan

yang

memadai

dan

dapat

mengimbangi

perkembangan bidang ekonomi sangat dibutuhkan (Djuhaendah Hasan, 1996:
229).
Pentingnya pengaturan (hukum) lembaga hak jaminan ini dikarenakan
semakin

meningkatnya

kegiatan

pembangunan

pada

umumnya

dan

pembangunan dibidang ekonomi pada khususnya. Untuk itu dibutuhkan
tersedianya dana pembangunan yang cukup besar, yang sebagian besar
diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Dalam kaitan ini sudah semestinya jika
pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (debitur) serta pihak lainnya yang
17

terlibat di dalamnya mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan
seimbang melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan
kepastian hukum (Rachmadi Usman, 1999:23).
Oleh karena itu, dirasakan sangat mendesak adanya lembaga jaminan dan
hukum jaminan yang modern. Perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu
mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit,
dengan menjaminkan benda-benda yang akan dibelinya sebagai jaminan.
Peraturan-peraturan

demikian

kiranya

harus

cukup

meyakinkan

dan

memberikan kepastian bagi lembaga-lembaga pemberi kredit, baik dari dalam
maupun luar negeri.
Lembaga jaminan tergolong bidang hukum yang bersifat netral tidak
mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa,
sehingga terhadap bidang hukum ini tidak ada keberatannya untuk diatur
dengan segera. Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhirakhir ini secara popular disebut The Economic Law, Wiertschaftrecht atau Droit
Economique, yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan
pembangunan pada umumnya, sehingga bidang hukum demikian pengaturannya
dalam undang-undang perlu diprioritaskan (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
1980:1).
Dalam perspektif hukum kebendaan, lembaga hak jaminan merupakan hak
kebendaan, yaitu hak kebendaan yang memberi jaminan dan dengan
sendirinyapengaturannya terdapat di dalam Buku II KUH Perdata. Apabila
menilik sistematika KUH Perdata, terkesan hukum jaminan hanya merupakan
jaminan kebendaan saja, berhubung pengaturannya terdapat dalam Buku II
KUH Perdata. Padahal di samping jaminan kebendaan, dikenal pula jaminan
perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten, personal guaranty), yang
pengaturannya terdapat di dalam Buku III KUH Perdata.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa terdapat hubungan antara hukum
jaminan dengan hukum kebendaan. Pembentukan hukum jaminan nasional
18

dengan sendirinya harus tetap berpegang teguh pada prinsip dan sendi pokok
yang diatur dalam kerangka sistem hukum kebendaan nasional.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa mengenai benda tanah sudah
mendapat pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960,

sedangkan benda lainnya bukan tanah pengaturannya bersifat dualistis, yaitu
ada yang tunduk kepada KUH Perdata dan ada yang tunduk kepada hukum adat.
Dalam pembentukan hukum kebendaan nasional mendatang sudah tentu akan
bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan asas-asas serta
sendi pokok yang melandasi hukum kebendaan nasional. Selanjutnya dari sini
kita akan dapat merancang suatu (sistem) hukum jaminan nasional, baik itu
jaminan kebendaan (maupun jaminan perseorangan).
Menurut hukum adat yang dapat menjadiobjek jaminan itu bisa tanah atau
benda bukan tanah dengan lembaganya baik berupa tanggungan, jonggolan bagi
tanah, sedangkan bagi benda bukan tanah akan berlaku gaed, borg atau cekalan.
Di dalam kehidupan masyarakat adat dikenal istilah ngagade atau gade yang
berarti menjaminkan benda, tetapi ini bukan dalam arti jual gade atau adol
sende atau gadai tanah, Karena gadai tanah bukan perbuatan menjaminkan
tetapi perbuatan jual untuk waktu tertentu. Jual gade merupakan perjanjian
asesor terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian piutang(Iman Sudiyat,
1981 : 28).
Namun adanya perbankanisasi menyebabkan lembaga-lembaga jaminan
yang terdapat di dalam dan di luar KUH Perdata yang lebih dikenal masyarakat
dan dijadikan sebagai acuan dalam hubungan hukum antara pihak lembaga
keuangan bank dan bukan bank dengan calon debiturnya dalam penjaminan
kredit atau pinjaman.

2.1.5

KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN PADA UMUMNYA

19

1. Pengertian benda (Zaak) dinyatakan dalam pasal 499 KUH perdata,
sebaagi berikut:
Menurut paham undang-undang yang dinamakan dengan kebendaan ialah
tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian benda meliputi segala sesuatu
yang dapat di miliki oleh subjek hukum, baik itu berupa barang (goed) maupun
hak (recht), sepanjang objek dari hak milik itu dapat dikuasai oleh subjek
hukum artinya istilah benda bersifat abstrak, karena tidak hanya terbatas pada
benda yang berwjud saja yang dinamakan dengan barang, melainkan termasuk
pula benda yang tidak berwujud atau bertubuh, yang dapat berupa hak. Benda
yang demikian ini merupakan pengertian dalam arti luas, yang meliputi benda
berwujud dan benda tak berwujud. Adapun dalam arti sempit benda itu
hanyalah barang-barang yang berwujud atau bertubuh saja. Dengan demikian
presfektif hukum perdata berdasarkan KUH perdata, selain mengenal barangbarang yang berwujud yang merupakan bagian dari harta kekayaan seseorang,
yang juga bernialai ekonomi.

2. Cara Pembedaan Kebendaan
KUH perdata membeda-bedakan benda dalam beberapa cara. Pertama-tama
benda dibedakan atas benda tidak bergerak (onroerende zaken) dan benda
bergerak (roerende zaken) (pasal 504). Kemudian benda dapat di bedakan pula
atas benda yang berwujud atau bertubuh (lichamelike zaken) dan benda yang
tidak berwujud (onlichamelike zaken) (pasal 503). Selanmjutnya benda dapat
dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda
yang dapat digabiskan (overbruikbare zaken) (pasal 505), pembedaan
kebendaan demikian ini di atur dalam pasal-pasal 503,504, dan 505 KUH
Perdata.

20

2.1.6. HAK KEBENDAAN PADA UMUNYA
1. Hak Perdata
Untuk memahami hak kebendaan menurut sisitem KUHPdt, lebih dulu
dikaji tentang hak perdata. Hak perdata adalah hak seseorang yang diberikan
oleh hukum perdata. Hak perdata tersebut ada yang bersifat absolute dan ada
yang bersifat relatif. Hak yang bersifat absolute memberikan kekuasaan
langsung dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak yang
bersifat relative memberikekuasaan terbatas dan hanya dapat di pertahankan
terhadap lawan (pihak dalam hubungan hukum).
Hak perdata yang bersifat absolute meliputi:
a. Hak kebendaan (zakelijkrecht), di atur dalam buku II KUHPdt.
b.

Hak Kepribadian (persoonlijkheidscrecht), yang terdiri dari:

(1) Hak atas diri sendiri, misalnya hak atas nama, hak atas kehormatan, hak
untuk memiliki, hak untuk kawin.
(2) Hak atas diri orang lain yang timbul dalam hubungan hukum keluaraga
antara suami dan istri, antara orang tua dan anak.
Hak perdata yang bersifat relative ialah hak yang timbul karena adanya
hubungan hukkum berdasarkan perjanjian atau berdasakan ketentuan undangundang. Hak perdata yang bersifat relative di sebut”personoonlijkrecht” ,
umunya diatur dalam buku III KUHPdt.
3.

Hak kebendaan `

Hak yang melekat atas suatu bneda disebut “hak atas bneda”. Hak atas benda
lazim di sebut “hak kebendaan “ (zakelijkrecht). Hak kebendan ialah hak yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga. Setiap orang harus menghormati hak tersebut. Orang
yang berhak adalah bebas menguasai bendanya. Hak kebendaan bersifat
absolute (mutlak). Contoh hak kebendaraan ialah hak milik, hak memungut
hasil, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak hipotik, hak cipta.
4.

Asas-Asas Hak kebendaan
21

Dalam hukum benda (buku II KUHPdt) di atur mengenai beberapa asas
yangberlaku bagi hak-hak kebendaan. Asas-asas tersebut adalah seperti
diuaraikan berikut ini.
(1) Asas Hukum Pemaksa
(2) Asas dapat dipindahtangankan
(3) Asas individualitas
(4) Asas totalitas
(5) Asas tidak dapat di pisahkan
(6) Asas prioritas
(7) Asas Percampuran
(8) Pengaturan berbeda terhadap benda bergerak dan tak bergerak
(9) Asas Publisitas
(10)Asas mengenai sifat perjanjian
5.

Cara memperoleh Hak Kebendaan

Ada beberapa macam cara memperoleh hak kebendaan seperti yang di uraikan
berikut ini.
(1) Dengan pengakuan
(2) Dengan penemuan
(3) Dengan penyerahan
(4) Dengan cara daluarsa
(5) Dengan pewarisan
(6) Dengan cara penciptaan
(7) Dengan cara ikutan/turunan
6.

Hak Kebendaan Hapus/Lenyap

Hak kebendaan dapat hapus/lenyap karena hal-hal seperti diuraikan berikut ini.
(1) Karena bendanya lenyap
(2) Karena dipindahtangankan
(3) Karena pelepasan hak
22

(4) Karena daluarsa
(5) Karena pencabutan hak
Istilah dan pengertian jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dariistilah zekerheid atau cautie,yaitu
kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada
kreditor, yang di lakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai
ekonomis sebagai tanggungan ataspinjaman atau utang yang di terima debitur
terhadap kreditornya.
Dalam presfektif hukumperbankan,istilah “jaminan” ini di bedakan
dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang-Undang Nomor 14Tahun 1967
tentang pokok-pokok perbankan,tidak di kenal istilah agunan , yang ada istilah
“jaminan” , yang sementara dalamundang-undang nomor 7 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor 10 tahun
1998,memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah “Jaminan”menurut
undang-undang nomor 14 tahun 1967.
Arti Jaminan menurut undang-undang nomor14Tahun 1967 diberi istilah
“agunan” atau tanggungan, sedangkan jamianan” menurut undang-undang
nomor 10 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor
10 tahun 1998,di beri arti lain , yaitu “keyakinan atasitikad dan kemampuan
serta

kesanggupan

nasabah

debitur

untuk

melunasi

utangnya

atau

mengembalikan pembiyaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.
Pembedaan lembaga jaminan
Mengenai lemabaga jaminan,ketentuan dalam pasal 1131 KUHPerdata
mennnyatakan:
Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari,menjadi tangguangan untuk segala perikatan perseorangan.
Kemudian dalam pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan:

23

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang menguntungkan padanya;pendapatan penjualan benda-benda itu dibagibagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing,kecuali apabila di antara para berpiutang masing-masing,kecuali apabila
di antarapara aberpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat di ketahui pembedaan
(lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :
1.

Hak jaminan yangbersifat umum

2.

Hak jaminan yang bersifat khusus Jaminan

2.1.7 Pengertian Hukum Jaminan Firdusia
Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara
debitur dan kreditur. Jaminan fidusia diberikan oleh debitur kepada kreditur
untuk menjamin pelunasan hutangnya.
Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan

Fidusia.

Jaminan

fidusia

ini

memberikan

kedudukan

yang

diutamakan privilege kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari
Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk
fidusia.
1. Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur
yang diutamakan dari kreditur lainnya.Asas ini dapat ditemukan dalam
pasal 1 ayat (2) UUJF. Kedudukan yang diutamakan tersebut adalah hak
untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia.
24

2. Asas Hukum jaminan fidusia dapat mengikuti benda yang menjadi
objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan (inventory). Dalam ilmu hukum asas ini
disebut “droit de suite”. Adanya pengakuan asas ini di dalam UUJF
menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan
(zaakelijk recht) bukan merupakan hak perorangan (persoonlijtkrecht).
Hak Kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu
memberikan

kekuasaan

langsung

atas

suatu

benda

dan

dapat

dipertahankan terhadap siapapun juga. Jaminan kebendaan termasuk
jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan
hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat
melekat serta mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Karakter
kebendaan pada Jaminan Fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2),
Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan karakter kebendaan yang dimiliki
Jaminan Fidusia, penerima fidusia merupakan kreditur yang preferen.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Jaminan Fidusia memiliki
identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para
pemakainya.
3.

Asas

bahwa

jaminan

fidusia

adalah

perjanjian

asesoir.

Asas asesoir membawa konsekwensi terhadap pengalihan hak atas
piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi
hukum segala hak dan kewaji ban penerima fidusia kepada kreditur baru.
Beralihnya hak tersebut didaftarkan oleh kreditur baru kepada kantor
pendaftaran

fidusia.

4. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru
akan ada (kontinjen). UUJF mengatakan bahwa pembebanan Jaminan
Fidusia dapat berupa hutang yang telah ada maupun hutang yang akan
25

timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu.
Hutang yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), misalnya hutang
yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk
kepentingan

debitur

dalam

rangka

pelaksanaan

bank

garansi.

5. Asas yang mengatakan bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan
terhadap benda yang akan ada.
Ketentuan ini secara tegas membolehkan Jaminan Fidusia mencakup
benda yang diperoleh di kemudian hari. Hal ini menunjukkan undangundang ini menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ikhwal
benda yang dapat dibebani jaminan fidusia bagi pelunasan hutang.
5. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan
/rumah yang terdapat diatas tanah hak milik orang lain. Dalam ilmu
hukum asas ini dikenal dengan asas pemisahan horizontal.
Artinya benda-benda yang merupakan kesatuan dengan tanah menurut
hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutaan. Oleh
karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak
dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Pemilik suatu tanah
tidak selamanya berarti dia pemilik bangunan di atas tanah tersebut.
Misalnya mengenai rumah susun.
6. Asas jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subyek
dan obyek jaminan fidusia.Detail subjek jaminan fidusia berisi
identitas pemberi dan penerima fidusia. Detail objek jaminan fidusia
berisi uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia di
dalam ilmu hukum dikenal dengan asas spesialitas.

26

8. Asas jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia. Di dalam ilmu hukum disebut asas publisitas.Dengan adanya
asas publisitas ini maka melahirkan adanya kepastian hukum dari
jaminan fidusia. Asas Publisitas adalah asas bahwa semua hak, baik
hak tanggungan dan hak fidusia harus didaftarkan, hal ini bertujuan
agar pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda yang dijaminkan
sedang dilakukan pembebanan jaminan.
9. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat
dimiliki oleh kreditur penerima fidusia sekalipun ada janji untuk
memiliki benda tersebut apabila debitur cindera janji, maka batal demi
hukum.
10. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada
kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor
Pendaftaran Fidusia daripada kreditur yang mendaftar kemudian.
11. Asas bahwa jaminan fidusia mudah untuk dieksekusi. Kemudahan
eksekusi ini dapat dilihat dengan adanya irah-irah “Demi Keadilan
Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada Sertifikat
Jaminan Fidusia. Dengan title eksekutorial ini menimbulkan
konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum

yang

tetap.

2. Pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia
Fidusia

merupakan

salah

satu

lembaga

jaminan

kebendaan

berdasarkan kepercayaan, yaitu kreditur dan debitur sepakat mengikat
27

suatu benda sebagai agunan sebagai jaminan atas utang debitur
dimana objek jaminan tersebut pengalihannya secara constitutum
possesorium. Objek jaminan tetap berada pada kekuasaan nyata
debitur sedangkan hak milik objek jaminan berpindah kepada kreditur.
Kreditur yang berkedudukan sebagai penerima Fidusia selama
perjanjian jaminan Fidusia berlangsung memegang hak milik tersebut
hanya sebagai benda jaminan, bukan sebagai pemilik seterusnya.
Untuk memberikan kepastian hukum Pasal 11 Undang-Undang
JaminanFidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pendaftaran
dilaksanakan ditempat kedudukan pemberi fidusia dan pendaftarannya
mencakup benda, baik benda yang berada di dalam maupun diluar
wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas,
sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya
mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia.
Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman dengan pendaftaran
fidusia maka jaminan fidusia mendapatkan karakter sebagai "hak
barang" dan tidak lagi sebagai kesepakatan. Sebagai hak barang,
jaminan fidusia membawa prinsip- prinsip antara lain menjamin hak
berikut barang, memiliki posisi utama dalam kaitannya dengan
kreditur lainnya, dan jaminan tidak termasuk dalam aset bangkrut jika
debitur

tersebut

diputuskan

bangkrut

.

Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan pencatatan
jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia, dimana pencatatan ini
dianggap sebagai lahirnya jaminan fidusia. Ini berarti tiada jaminan
fidusia tanpa dilakukan pendaftaran pada Kantor Pendafataran
Fidusia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia
dan biaya pendafataran diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86
28

Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya
Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Sebagai bukti bagi kreditur bahwa
ia merupakan pemegang jaminan fidusia adalah Sertipikat Jaminan
Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendafataran Fidusia. Dan
sertipikat jaminan fidusia ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku
Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama dengan
data dan keterangan yang ada saat pernyataan pendaftaran.
Dengan mendaftarkan objek jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran
Fidusia, kedudukan kreditur menjadi kuat, hak kreditur merupakan
hak kebendaan yang dapat dipertahankan terhadap siapapun. Jadi
sesuai dengan UUJF, maka pendaftaran fidusia itu merupakan suatu
keharusan. Artinya kedudukan kreditur sebagai pemegang jaminan
fidusia barusah bila jaminan fidusia yang dipergunakan untuk
menjamin kredit yang disalurkannya sudah didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia. Namun dalam prakteknya para kreditur, baik itu
lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan lainnya (bukan
bank), seperti koperasi saat ini tidaklah melaksanakan ketentuan
tentang keharusan membuat akta jaminan fidusia dengan akta notaris
dan ketentuan keharusan mendaftarkan jaminan fidusia. Walau sudah
sangat dimaklumi bahwa tujuan pendaftaran fidusia adalah untuk
melindungi dan memberikan kepastian hukum bagi jaminan yang
dipegangnya.
Dalam beberapa penelitian bisa ditemukan fakta bahwa fidusia
sebagai jaminan tidak dilaksanakan sesuai dengan aturan yang sudah
ditentukan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia
tidak didaftarkan dan bahkan tidak dibuatkan akta notaris atau untuk
kredit dengan nilai tertentu dibuatkan akta jaminan fidusia oleh
notaris, tapi tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia,
misalnya di PT. Bank Rakyat Indonesia (Pesero) Tbk. Kantor Cabang
29

Sukoharjo dan di PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN )
Cabang

Boyolali

Demikian juga di Koperasi Simpan Pinjam Putra Utama Makmur
Sukoharjo akta jaminan fidusia tidak dituangkan dalam perjanjian
tersendiri tapi hanya dituangkan di dalam perjanjian kredit dan kuasa
menjual dengan hak susbstitusi yang diwaarmerking oleh notaris. Hal
ini

terjadi

karena

ketidak

tahuan

pihak

koperasi.

Demikian juga di Koperasi Primkopti Sukoharjo jaminan fidusia
dituangkan dalam perjanjian tersendiri dengan sebutan Fiduciare
Eigendom

Overdracht

yang

dibuat

dibawah

tangan

.

Dalam hal debitur wanprestasi, biasanya kreditur melakukan
pemaksaan dan pengambilan barang secara sepihak.Padahal tindakan
tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan dapat digugat ganti kerugian. Dalam konsepsi hukum pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana
Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan
ancaman

perampasan.

Dan hal ini, jaminan fidusia yang tidak didaftarkan ini hampir terjadi
di seluruh wilayah, tentu akan muncul pertanyaan ada apa dengan
Undang-Undang Jaminan Fidusia yang sudah disahkan dan berlaku
selama 13 tahun semenjak tahun 1999, namun masih belum
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah dengan tegas
mengatur lembaga jaminan fidusia.
3.

Hambatan-hambatan

Dalam

Pendaftaran

Jaminan

Fidusia

a) Hambatan Substantif
Unsur sistem hukum salah satunya adalah substansinya. Yang
dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku
30

nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Hambatan substantif
dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia dapat kita lihat di dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Jaminan Fidusia dan
Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia. Hambatan substantif itu
terjadi karena peraturan perundangan-undangan mengenai Jaminan
Fidusia dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia masih terdapat
banyak kekurangan dan kelemahan-kelemahannya, yang mana
kekurangan dan kelemahan-kelemahan itu dapat menghambat untuk
melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Pasal 11 ayat (1) UUJF, mengatakan ”benda yang dibebani dengan
Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. Dalam pasal ini hanya
menyebutkan bahwa benda yang dijaminkan fidusia wajib didaftarkan.
Pasal ini menimbulkan kerancuan. Judul dari bagian kedua Bab III
Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Dengan demikian, yang didaftarkan tentunya Jaminan Fidusia yang
dibebankan atas suatu benda. Namun bunyi Pasal 11 di atas
menunjukkan bahwa yang didaftarkan adalah bendanya, yaitu benda
yang

dibebani

Jaminan

Fidusia.

Demikian juga bunyi penjelasan dari Pasal 11 UUJF, menunjukan
bahwa yang didaftarkan adalah benda yang dibebani dengan Jaminan
Fidusia. Namun bunyi Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1),
menyebutkan bahwa yang didaftarkan adalah ”Jaminan Fidusia”
bukan

”benda”

yang

dibebani

dengan

Jaminan

Fidusia

Hal tersebut di atas akan menimbulkan kerancuan dan akan
menimbulkan pertanyaan. Apabila yang didaftarkan adalah bendanya,
bagaimana mungkin mendaftarkan benda yang berupa stock (untuk
keperluan persediaan atau untuk diperdagangkan) apabila benda
tersebut berubah-ubah dari waktu-kewaktu, baik mengenai banyaknya
atau volumenya maupun jenis dan merknya. Hendaknya Pasal 11 ayat
31

(1) UUJF menyebutkan yang wajib didaftarkan itu adalah Jaminan
Fidusianya bukan bendanya. Pendaftaran Jaminan Fidusia itu akan
mengakibatkan terdaftarnya juga benda yang dibebani dengan
Jaminan Fidusia. Di samping itu juga Pasal 11 ayat (1) UUJF,
menyebutkan benda yang dibebani oleh Jaminan Fidusia wajib
didaftarkan. Wajib didaftarkan dengan maksud agar terpenuhinya asas
publisitas di dalam Pendaftaran Jaminan Fidusia. Pasal ini tidak
dengan tegas menyebutkan kapan Jaminan Fidusia itu harus
didaftarkan. Apakah setelah Akta Jaminan Fidusia selesai dibuat,
kemudian penerima fidusia atau kuasanya harus pada saat itu juga
mendaftarkan Jaminan Fidusia atau bisakah Jaminan Fidusia itu
didaftarkan penerima fidusia atau kuasanya ketika diduga Jaminan
Fidusia

itu

akan

menimbulkan

masalah.

Berbeda dengan halnya pendaftaran benda jaminan di dalam Hak
Tanggungan. Hak Tanggungan menyebutkan dengan jelas di dalam
Pasal 13 yakni:
1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.
2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan
Akte Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat 2 (dua) UUHT, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut dengan PPAT) wajib mengirimkan akte pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan.
3. Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang
menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut.
4. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud
32

pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari
kerja ketujuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
tanggal hari kerja berikutnya.
5. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Karena tidak diatur dengan jelas dan tegas kapan harusnya Jaminan
Fidusia itu didaftarkan, bagaimana mungkin dapat terpenuhinya asas
dalam pendaftaran yakni asas publisitas, sehingga rawan terjadi
fidusia ulang, dan berpotensi konflik karena tidak ada jangka waktu
pendaftaran. Hendaknya mengenai kapan harus didaftarkannya
Jaminan Fidusia itu harus diatur dengan jelas dan tegas, agar pemberi
fidusia dan penerim