Conclusion: There was a moderate association between hypoglicemia and
HUBUNGAN ANTARA HIPOGLIKEMI DENGAN KEJADIAN HIPOTERMI PADA NEONATUS RUJUKAN DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Dio Dara Virgiansari G0009062
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta
ABSTRAK
Dio Dara Virgiansari, G0009062, 2013. Hubungan antara Hipoglikemi dengan Kejadian Hipotermi pada Neonatus Rujukan di RSUD Dr.
Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Hipoglikemi pada neonatus merupakan penyebab kematian dan gangguan perkembangan neurologis yang dapat dicegah. Neonatus yang mengalami hipoglikemi akan mengalami gangguan termoregulasi sehingga menyebabkan terjadinya hipotermi sekunder. Hipotermi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus terutama di negara berkembang termasuk di Indonesia, di mana sekitar 7 % bayi baru lahir mengalami hipotermi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 81 neonatus yang dipilih berdasarkan teknik fixed- disease sampling. Sampel merupakan pasien neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran kadar glukosa darah dan suhu aksila neonatus di Bagian IGD RSUD Dr. Moewardi. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji regresi logistik ganda dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for Windows .
Hasil Penelitian: Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi 1.98 kali lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi setelah mengontrol pengaruh faktor perancu seperti: usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan status asfiksia, akan tetapi hubungan tersebut dalam analisis secara statistik tidak bermakna. (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p = 0.305). Pada penelitian ini, neonatal dini (0-7 hari), berat badan lahir tidak cukup (< 2.500 gram), neonatus tidak cukup bulan (< 37 minggu), dan neonatus dengan status asfiksia juga merupakan faktor risiko kejadian hipotermi pada neonatus.
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan sedang antara hipoglikemi dengan prognosis kejadian hipotermi, meskipun hubungan tersebut dalam analisis secara statistik tidak bermakna. Neonatus yang hipoglikemi memiliki risiko mengalami hipotermi lebih tinggi daripada neonatus yang tidak mengalami hipoglikemi setelah mengontrol pengaruh faktor perancu usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan status asfiksia.
ABSTRACT
Dio Dara Virgiansari, G0009062, 2013. The Association between Hypoglicemia and Hypothermia on Referral Newborns at Dr. Moewardi
Hospital. Mini Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.
Background: Neonatal hypoglycaemia is an avoidable cause of mortality and neurodevelopmental impairment. Hypoglicemia may develop to hypothermia as a result of metabolic thermogenesis disturbance. Hypothermia during the newborns period is widely regarded as a major contributory cause of significant morbidity and mortality in developing countries including Indonesia, about 7% prevalence of hypothermia has been reported happens on newborns. The objective of this study was to determine the association between hypoglicemia and hypotermia in newborns.
Methods: An analytic observational using cross sectional approach was used in this study. A total of eighty one newborns was selected by fixed-disease sampling. Sample of this study were the newborns who referred to Dr. Moewardi Hospital. The data were collected by the measurement of blood glucose concentration and axillary temperature of newborns. The data was analyzed using multiple logistic regression test on SPSS 16 for Windows.
Result: Hypoglycemic newborns have a risk of hypothermia 2.381 times higher than non hypoglicemic newborns after controlling some confounding factors, such as: age, birth weight, gestational age, and status of asphyxia, altough it was statistically not significant (OR = 1.98; CI = 95%; 0.54, 7.73; p = 0.305). Early neonatal age (0-7 days), low birth weight (< 2.500 gram), early gestational age (<
37 weeks), asphyxia status were also risk factors of hypothermia in newborns.
Conclusion: There was a moderate association between hypoglicemia and hypothermia on referral newborns, altough it was statistically not significant. Hypoglycemic newborns have a higher risk of hypothermia than non hypoglicemic newborns after controlling some confounding factors, such as: age, birth weight, gestational age, and status of asphyxia.
Keywords: newborns, referral, hypoglicemia, hypothermia
PRAKATA
Alhamdulillahhirobbil’aalamin, segala puja dan puji sempurna hanya milik Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Hubungan antara Hipoglikemi dengan Hipotermi pada Neonatus Rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini juga tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dwi Hidayah, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Leli Saptawati, dr., Sp.MK selaku Pembimbing Pendamping yang tak henti- hentinya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
4. Ganung Harsono, dr., Sp.A (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Brian Wasita, dr., Ph.D selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 6. Annang Giri Moelya, dr., Sp.A, M.Kes dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Yuda, dr., Reza, dr., dan Yoga, dr., staf bagian HCU Neonatus, staf IGD Moewardi, bagian Rekam Medik Moewardi, dan Diklit Moewardi yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data dalam skripsi ini.
8. Yang tercinta kedua orang tua penulis, Ayahanda Muhdi Wijaya dan Ibunda Rima Diana Sari, serta adik-adik penulis, Viqi Panji Krisna, dan Rama Gian Syukron serta seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
9. Deka Rangers (Rizka, Cindy, Brenda, Andin, Dwi, Hana, Devi, Ami, Isna) dan Qonita Saja, sahabat setia yang senantiasa mendampingi dalam suka dan duka. 10. Keluarga besar Wisma Deka, adik-adik AAI Humaira dan Syifa, keluarga besar asisten Biologi 2009, teman-teman kelompok tutorial 18 dan Keluarga Besar Pendidikan Dokter angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti- henti dan waktu yang selalu tersedia.
11. Sahabat seperjuangan, Adik-adik SKI, adik-adik Nisaa’, teman-teman SKI, PHT SKI 2011-2012 yang selalu memberikan dukungan dan doa. 12. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, 10 Januari 2013 Dio Dara Virgiansari
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari (Stoll, 2007). Masa neonatus merupakan masa yang rentan untuk mengalami kematian. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tingginya morbiditas dan mortalitas neonatus masih menjadi masalah. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus di negara berkembang adalah asfiksia, sindrom gangguan napas, infeksi serta komplikasi hipotermi (Pasaribu, 2011), dimana sekitar 7 % bayi baru lahir banyak mengalami hipotermi (Afriani, 2010).
Hipotermi pada neonatus adalah suatu keadaan penurunan suhu tubuh yang disebabkan oleh berbagai keadaan terutama karena tingginya konsumsi oksigen dan penurunan suhu ruangan (Pasaribu, 2011). Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal sangat penting untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan bayi baru lahir terutama bagi bayi prematur (Pasaribu, 2011). Terdapat beberapa keadaan yang bisa menyebabkan hipotermi, salah satunya adalah kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat , misalnya pada bayi pre-term, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intrakranial hemorragia, hipoksia, dan hipoglikemia (Clade, 1980). Hipotermi pada neonatus meningkatkan risiko terjadinya kematian pada neonatus (Mullany, 2010).
Hipoglikemi pada neonatus merupakan penyebab kematian dan gangguan perkembangan neurologis yang dapat dicegah. Kematian neonatus yang terjadi merupakan 50-60% dari semua kasus kematian pada anak yang terjadi di negara berkembang (Pal et al., 2000). Hipoglikemia pada neonatus merupakan keadaan penurunan kadar glukosa darah, yaitu < 45mg/dl (IDAI, 2010). Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar dalam tubuh dan di dalam sel merupakan sumber energi (Iswantoro, 2009). Bagi neonatus glukosa adalah sumber energi utama. Keseimbangan kadar glukosa darah sangat penting bagi neonatus. Orang dewasa sehat memiliki kemampuan mempertahankan kadar glukosa darah tetap normal atau mendekati normal, kira-kira hingga satu minggu, bahkan pada obesitas glukosa darah dapat dipertahankan tetap normal hingga satu bulan. Sebaliknya pada neonatus dan anak sehat, tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Apabila neonatus dipuasakan selama 24 - 36 jam, setelah periode tersebut akan terjadi penurunan kadar glukosa darah progresif sampai ke kadar hipoglikemi (Susanto, 2007).
Tubuh hendaknya dapat mempertahankan konsentrasi gula darah (dalam bentuk glukosa) dalam batas tertentu supaya dapat berfungsi secara optimal. Bila glukosa memasuki sel, enzim-enzim akan memecahnya menjadi bagian- bagian kecil yang pada akhirnya akan menghasilkan energi, karbon dioksida, dan air (Iswantoro, 2009). Energi ini sangat penting untuk menghasilkan panas tubuh (Sherwood, 2001). Neonatus yang mengalami penurunan kadar glukosa Tubuh hendaknya dapat mempertahankan konsentrasi gula darah (dalam bentuk glukosa) dalam batas tertentu supaya dapat berfungsi secara optimal. Bila glukosa memasuki sel, enzim-enzim akan memecahnya menjadi bagian- bagian kecil yang pada akhirnya akan menghasilkan energi, karbon dioksida, dan air (Iswantoro, 2009). Energi ini sangat penting untuk menghasilkan panas tubuh (Sherwood, 2001). Neonatus yang mengalami penurunan kadar glukosa
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin meneliti sejauh mana hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian berikutnya, sehingga dapat mengurangi prevalensi hipotermi pada neonatus yang diakibatkan oleh hipoglikemi.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan informasi ilmiah dalam bidang ilmu kesehatan anak mengenai hubungan antara hipoglikemi dengan kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi.
b. Memberikan tambahan informasi ilmiah tentang salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian hipotermi pada neonatus rujukan di RSUD Dr. Moewardi.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat mengurangi angka kejadian hipotermi akibat hipoglikemi.
b. Diharapkan penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hipoglikemi
a. Definisi Definisi hipoglikemia hingga saat ini masih kontroversial, karena kurangnya korelasi yang bermakna antara kadar glukosa plasma, gejala klinis, dan gejala sisa jangka panjang. Hipoglikemia ditandai oleh nilai yang unik pada masing-masing individu neonatus dan bervariasi sesuai dengan kematangan fisiologis dan pengaruh patologisnya. Menurut Hassan dan Alatas (2007) hipoglikemi terjadi pada kondisi kadar glukosa darah < 30 mg/dl pada bayi cukup bulan dan < 20 mg/dl pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan menurut IDAI (2010) hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dl.
b. Faktor risiko Faktor risiko adalah faktor yang memperbesar kemungkinan neonatus untuk menderita hipoglikemi.
1) Bayi dari ibu dengan Diabetes
Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa darah tiba-tiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti, Ibu dengan diabetes yang tidak terkontrol memiliki kadar glukosa darah yang tinggi yang bisa melewati plasenta sehingga merangsang pembentukan insulin pada neonatus. Saat lahir, kadar glukosa darah tiba-tiba turun karena pasokan dari plasenta berhenti,
2) Bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
Bayi BMK biasanya lahir dari ibu dengan toleransi glukosa yang abnormal.
3) Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK).
Selama dalam kandungan, bayi sudah mengalami kekurangan gizi, sehingga tidak sempat membuat cadangan glikogen, dan kadang persediaan yang ada sudah terpakai. Bayi KMK mempunyai kecepatan metabolisme lebih besar sehingga menggunakan glukosa lebih banyak daripada bayi yang berat lahirnya Sesuai untuk Masa Kehamilan (SMK), dengan berat badan yang sama. Meskipun bayi KMK bugar, bayi mungkin tampak lapar dan memerlukan lebih banyak perhatian. Bayi KMK perlu diberi minum setiap 2 jam dan kadang masih hipoglikemia, sehingga memerlukan pemberian suplementasi dan kadang memerlukan cairan intravena sambil menunggu ASI ibunya cukup.
4) Bayi kurang bulan.
Deposit glukosa berupa glikogen biasanya baru terbentuk pada trimester ke-3 kehamilan, sehingga bila bayi lahir terlalu awal, persediaan glikogen ini terlalu sedikit dan akan lebih cepat habis terpakai.
5) Bayi lebih bulan
Fungsi plasenta pada bayi lebih bulan sudah mulai berkurang. Asupan glukosa dari plasenta berkurang, sehingga janin menggunakan cadangan glikogennya. Setelah bayi lahir, glikogen tinggal sedikit, sehingga bayi mudah mengalami hipoglikemia.
6) Pasca asfiksia
Pada asfiksia, akan terjadi metabolisme anaerob yang banyak sekali memakai persediaan glukosa. Pada metabolisme anaerob, 1 gram glukosa hanya menghasilkan 2 ATP, sedang pada keadaan normal 1 gram glukosa bisa menghasilkan 38 ATP.
7) Polisitemia
Bayi dengan polisitemia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia dan hipokalsemia, karena pada polisitemia terjadi perlambatan aliran darah.
8) Bayi yang dipuasakan
Termasuk juga pemberian minum pertama yang terlambat. Bayi dapat mengalami hipoglikemia karena kadar glukosa darah tidak mencukupi
9) Bayi yang mengalami stres selama kehamilan atau persalinan Misalnya ibu hamil dengan hipertensi. Setelah kelahiran, bayi mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi dan memerlukan energi yang lebih besar dibandingkan bayi lain.
10) Bayi sakit
Bayi kembar identik yang terjadi twin to twin tranfusion, hipotermia, distres pernapasan, tersangka sepsis, eritroblastosis fetalis, sindrom Beckwith-Wiedermann, mikrosefalus atau defek pada garis tengah tubuh, abnormalitas endokrin atau inborn error of metabolism dan bayi stres lainnya, mempunyai risiko mengalami hipoglikemia.
11) Bayi yang lahir dari ibu yang bermasalah
Ibu yang mendapatkan pengobatan (terbutalin, propanolol, hipoglikemia oral), ibu perokok, ibu yang mendapat glukosa intra vena saat persalinan, dapat meningkatkan risiko hipoglikemia pada bayinya (IDAI, 2010).
c. Skrining hipoglikemi
Skrining hipoglikemia mengenai kapan dilakukannya dan berapa lama pemantauannya, belum disepakati secara umum. Strip glukosa untuk skrining tidak mahal, praktis, dan hasilnya cepat. Jika didapatkan hipoglikemia harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium, karena hasil yang diperoleh sering berbeda sekitar 15% dari hasil laboratorium, atau tidak sesuai dengan varian yang signifikan dari kadar glukosa yang sesungguhnya.
Beberapa pedoman singkat skrining glukosa pada bayi baru lahir:
1) Pemantauan glukosa darah rutin bayi baru lahir cukup bulan yang asimtomatik tidak perlu dan mungkin merugikan.
2) Skrining glukosa darah harus dilakukan pada bayi dengan risiko hipoglikemia untuk mengetahui adanya hipoglikemia ataupun bayi yang menunjukkan manifestasi klinis hipoglikemia, dengan frekuensi dan lama pemantauan tergantung dari kondisi bayi masing-masing.
3) Pemantauan dimulai dalam 30-60 menit pertama bayi dengan dugaan hiperinsulinisme dan tidak lebih dari umur 2 jam pada bayi dengan risiko hipoglikemia kategori lainnya.
4) Pemantauan sebaiknya dilanjutkan setiap 3 jam sampai kadar glukosa darah sebelum minum mencapai normal. Kemudian lanjutkan tiap 12 jam.
5) Skrining glukosa dihentikan setelah 2 kali didapatkan kadar glukosa normal atau dengan pemberian minum saja, didapatkan 2 kali pemeriksaan kadar glukosa normal.
6) Konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah di laboratorium harus dilakukan jika hasil skrining glukosa darah abnormal. (IDAI, 2010)
d. Diagnosis hipoglikemi
1) Anamnesis
a) Riwayat bayi menderita asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan
b) Riwayat bayi prematur
c) Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK) c) Riwayat bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK)
e) Riwayat bayi dengan ibu Diabetes Melitus
f) Riwayat bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan
g) Bayi yang berisiko terkena hipoglikemia
h) Bayi dari ibu diabetes (Independen Diabetes Melitus)
i) Bayi prematur dan lewat bulan j) Bayi sakit atau stres (Respiratory Distress Syndrome,
hipotermia)
k) Bayi puasa l) Bayi dengan polisitemia m) Bayi dengan eritroblastosis n) Obat-obat yang dikonsumsi ibu, misalnya steroid, beta-
simpatomimetik dan beta-blocker
2) Gejala klinis hipoglikemi
a) Keringat dingin
b) Jitteriness
c) Sianosis
d) Kejang atau tremor
e) Letargi dan menyusui yang buruk
f) Apnea
g) Tangisan yang lemah atau bernada tinggi
h) Hipotermia h) Hipotermia
Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI perah dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk menyusui jika kondisi bayi baru lahir sudah memungkinkan.
Berikut ini tata laksana pemberian ASI pada bayi hipoglikemia menurut IDAI (2010):
1) Asimtomatik (tanpa manifestasi klinis)
a) Pemberian ASI sedini mungkin dan sering akan menstabilkan kadar glukosa darah. Teruskan menyusui bayi (kira-kira setiap 1-2 jam) atau beri 3-10 ml ASI perah tiap kg berat badan bayi, atau berikan suplementasi (ASI donor atau susu formula)
b) Periksa ulang kadar glukosa darah sebelum pemberian minum berikutnya sampai kadarnya normal dan stabil
c) Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya, hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa intra vena. Pada beberapa bayi c) Jika bayi tidak bisa menghisap atau tidak bisa mentoleransi asupannya, hindari pemaksaan pemberian minum, dan mulailah pemberian glukosa intra vena. Pada beberapa bayi
d) Jika kadar glukosa tetap rendah meskipun sudah diberi minum, mulailah terapi glukosa intra vena dan sesuaikan dengan kadar glukosa darah
e) ASI diteruskan selama terapi glukosa intra vena. Turunkan jumlah dan konsentrasi glukosa intra vena sesuai dengan kadar glukosa darah
f) Catat manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik bayi (misalnya respon dari terapi yang diberikan).
2) Simtomatik dengan manifestasi klinis atau kadar glukosa plasma
< 20-25 mg/dl atau < 1,1 – 1,4 mmol/l.
a) Berikan glukosa 200 mg tiap kilogram berat badan atau 2 ml tiap kilogram berat badan cairan dekstrosa 10%. Lanjutkan terus pemberian glukosa 10% intra vena dengan kecepatan (Glucose Infusion Rate atau GIR) 6-8 mg tiap kilogram berat badan tiap menit
b) Koreksi hipoglikemia yang ekstrim atau simtomatik, tidak boleh diberikan melalui oral atau pipa orogastrik.
c) Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada > 45 mg/dl atau >2.5 mmol/l c) Pertahankan kadar glukosa bayi yang simtomatik pada > 45 mg/dl atau >2.5 mmol/l
e) Dukung pemberian ASI sesering mungkin setelah manifestasi hipoglikemia menghilang
f) Pantau kadar glukosa darah sebelum pemberian minum dan saat penurunan pemberian glukosa intra vena secara bertahap (weaning) sampai kadar glukosa darah stabil pada saat tidak mendapat cairan glukosa intra vena. Kadang diperlukan waktu 24-48 jam untuk mencegah hipoglikemia berulang.
g) Lakukan pencatatan manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, kadar skrining glukosa darah, konfirmasi laboratorium, terapi dan perubahan kondisi klinik (misal respon dari terapi yang diberikan).
2. Hipotermi
a. Definisi Menurut Affandi (2007) suhu tubuh normal yang dapat menjamin kebutuhan oksigen neonatus secara individual adalah 36,5°C – 37,5°C. Sedangkan hipotermi adalah suatu kondisi abnormal dimana suhu tubuh neonatus turun di bawah 36,5°C (97,7°F) (Kumar, 2009).
b. Mekanisme terjadinya hipotermi
Hipotermi pada bayi baru lahir timbul melalui beberapa mekanisme:
1) Evaporasi
Merupakan kehilangan panas karena penguapan cairan ketuban yang melekat pada permukaan tubuh bayi. Oleh karena itu, bayi harus segera dikeringkan seluruhnya, termasuk kepala dan rambut sesegera mungkin setelah dilahirkan.
2) Konduksi
Merupakan kehilangan panas karena panas tubuh melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin seperti: meja, tempat tidur atau timbangan yang temperaturnya lebih rendah dari tubuh bayi akan menyerap panas tubuh bayi melalui mekanisme konduksi apabila bayi diletakan di atas benda tersebut.
3) Konveksi
Merupakan kehilangan panas tubuh melalui aliran udara sekitar bayi. Kehilangan panas juga terjadi jika konveksi aliran udara dan kipas angin, hembusan udara melalui ventilasi atau pendingin ruangan.
4) Radiasi
Merupakan kehilangan panas tubuh yang terjadi karena bayi ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih rendah dari suhu tubuh bayi karena benda tersebut akan menyerap Merupakan kehilangan panas tubuh yang terjadi karena bayi ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih rendah dari suhu tubuh bayi karena benda tersebut akan menyerap
c. Etiologi hipotermi
1) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin, basah, atau bayi yang telanjang, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.
2) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia dan hipoglikemi.
3) Ketidakmampuan menahan dingin, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Pasaribu, 2011; Ekaputra, 2011).
d. Patofisiologi hipotermi Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapai brown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol
dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah. Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolic thermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem saraf sentral, kecukupan dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen (Ohlson dan Cannon, 2003).
Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem saraf pusat antara lain: depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, EEG yang abnormal, depresi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunan yang progresif dari aktivitas EEG (Danzl dan Poros, 1994).
Pada jantung dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang progresif, konstriksi pembuluh darah, peningkatan cardiac output, dan tekanan darah. Selanjutnya, peningkatan aritmia atrium dan ventrikel, perubahan EKG dan sistole yang memanjang; penurunan tekanan darah yang progresif, dan denyut jantung (Parmet dan Horrow, 2008).
Pada pernapasan dapat terjadi takipnea, bronkhorea, bronkhospasma, hipoventilasi konsumsi oksigen yang menurun sampai 50 %, kongesti paru dan edema, konsumsi oksigen yang menurun sampai 75 %, dan apnea (Danzl dan Pozos, 1994).
Pada ginjal dan sistem endokrin, dapat terjadi cold diuresis, peningkatan katekolamin, steroid adrenal, T3 dan T4, menggigil, peningkatan aliran darah ginjal sampai 50 %, autoregulasi ginjal yang intak, dan hilangnya aktivitas insulin. Pada keadaan berat, dapat terjadi oliguria yang berat, poikilotermia, dan penurunan metabolisme basal sampai 80 % (Patel dan Drummond, 2005).
Pada otot saraf, dapat terjadi penurunan tonus otot sebelum menggigil, termogenesis, ataksia, hiporefleksia, dan rigiditi. Sedangkan keadaan berat, dapat terjadi arefleksia daerah perifer (Danzl dan Pozos, 1994).
e. Faktor risiko hipotermi Bayi baru lahir tidak segera dikeringkan, terlalu cepat dimandikan, setelah dikeringkan tidak segera diberi pakaian, tidak segera didekap pada tubuh ibu, bayi baru lahir dipisahkan dari ibunya, tidak segera disusui ibunya (Pasaribu, 2011).
f. Gejala dan tanda hipotermi Hipotermi memiliki gejala sebagai berikut :
1) Bayi tidak mau menetek.
2) Bayi tampak lesu atau mengantuk saja.
3) Tubuh bayi teraba dingin.
4) Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh
bayi mengeras (sklerema).
5) Bayi menggigil.
6) Suhu (aksila) bayi turun di bawah 36 o C.
7) Kulit pucat (Pasaribu, 2011). Hipotermi memiliki tanda sebagai berikut: Hipotermi sedang (stres dingin):
1) Aktifitas berkurang, letargis.
2) Tangisan lemah.
3) Kulit berwarna tidak rata (cutis marmorata).
4) Kemampuan mengisap lemah.
5) Kaki teraba dingin. Hipotermi lanjut:
1) Bibir dan kuku kebiruan.
2) Ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
3) Pernapasan lambat dan tak teratur.
4) Bagian tubuh lainnya pucat.
5) Bunyi jantung lambat.
6) Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung
kaki dan tangan (Pasaribu, 2011).
g. Klasifikasi hipotermi (Hassan dan Alatas, 2007)
1) Hipotermi sepintas, yaitu penurunan suhu tubuh 1 - 2 o
C sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali sesudah bayi berumur 4 - 8 jam, bila suhu lingkungan diatur sebaik-baiknya. Hipotermia sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi yang lama, ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi tidak segera dibungkus setelah lahir, terlalu cepat dimandikan (kurang dari 4 jam sesudah lahir), dan pemberian morfin pada ibu yang sedang bersalin.
2) Hipotermi akut, terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6 - 12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang tempat bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelalaian dari dokter, bidan, dan perawat terhadap bayi yang akan lahir, yaitu diduga mati dalam kandungan tetapi ternyata hidup dan sebagainya. Gejalanya ialah lemah, gelisah, pernapasan dan bunyi jantung lambat serta kedua kaki dingin.
3) Hipotermi sekunder, penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia atau hipoglikemia, perdarahan intra-kranial tranfusi tukar, penyakit jantung bawaan yang berat, dan bayi dengan BBLR serta hipoglikemia.
4) Cold injury, yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruangan dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak 4) Cold injury, yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruangan dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak
35 o
C, tak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan, kaki, dan muka seolah-olah bayi dalam keadaan sehat; pengerasan jaringan subkutis.
3. Hubungan antara kadar glukosa darah dengan kejadian hipotermi
Sistem termoregulasi pada manusia memiliki dua proses yaitu termoregulasi melalui mekanisme menggigil dan tidak menggigil (Arifah dan Kartinah, 2008).
Dalam proses termoregulasi pada neonatus tidak bisa dihasilkan melalui mekanisme menggigil seperti pada orang dewasa, bayi harus mengandalkan termogenesis tanpa menggigil atau kimiawi untuk memproduksi panas. Mekanisme utamanya adalah menggunakan lemak coklat. Sel lemak coklat hanya ada pada bayi dan jumlahnya menurun sesuai perkembangan usia. Lemak coklat memiliki banyak mitokondria yang bisa digunakan untuk melepaskan asam lemak melalui proses lipolisis. Lemak coklat membantu meningkatkan suhu tubuh. Sel lemak coklat berisi glikogen dan banyak mengandung mitokondria dengan multipel cristae untuk menghasilkan bahan bakar dan energi yang dibutuhkan guna produksi panas dengan cepat (Arifah dan Kartinah, 2008).
Bayi baru lahir mempunyai area permukaan besar terhadap masa dibanding orang dewasa (0,066m2/ kg untuk 3 kg bayi dibanding 0,025 m2/kg untuk 70 kg dewasa), yang menyebabkan bayi baru lahir kehilangan
panas lebih cepat. Bayi baru lahir juga mempunyai sedikit lemak untuk melindungi, (16% berat badan dalam 3,5 kg bayi baru lahir dibanding 20- 30% pada orang dewasa). Seorang bayi prematur, lahir tanpa simpanan penuh jaringan lemak coklat yang menghambat produksi panas dalam lingkungan dingin, menyebabkan bayi. Secara khusus, jaringan lemak coklat berjumlah sekitar 2-5% berat badan neonatus. Jaringan lemak coklat terutama terdistribusi pada bayi baru lahir untuk menghasilkan produksi panas yang paling efisien untuk kebutuhan bayi. Pada bayi, lemak coklat diyakini banyak terdapat pada bagian midskapula, leher posterior, di sekitar otot leher dan memanjang di bawah clavikula sampai aksila dan sekitar trakea, esofagus, interskapula dan arteri mamaria, aorta abdominal, ginjal dan kelenjar adrenal (Arifah dan Kartinah, 2008).
Jaringan lemak coklat terutama terdistribusi pada neonatus untuk menghasilkan produksi panas yang paling efisien untuk kebutuhan neonatus. Struktur jaringan lemak coklat secara khusus disesuaikan dengan fungsinya. Banyaknya vakuola lemak meningkatkan rongga sitoplasma terhadap lemak, membuat penggunaan lemak lebih efisien. Glikogen yang terdapat dalam sel lemak coklat menghasilkan glukosa untuk sejumlah mitokondria, yang digunakan untuk menghasilkan energi terutama untuk produksi panas (Arifah dan Kartinah, 2008).
Lemak coklat diaktivasi melalui sistem saraf simpatis melalui salah satu dari dua jalan yaitu melalui dingin atau melalui makanan. Saraf simpatis yang terangsang akan menyebabkan pelepasan norepinephrin pada Lemak coklat diaktivasi melalui sistem saraf simpatis melalui salah satu dari dua jalan yaitu melalui dingin atau melalui makanan. Saraf simpatis yang terangsang akan menyebabkan pelepasan norepinephrin pada
1 (zat termogenin) di membran mitokondria sel lemak coklat. Uncoupling protein 1 menyebabkan asam lemak dalam sel lemak dioksidasi menjadi panas yang kemudian dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah, sehingga tubuh bayi menjadi hangat. Stimulasi simpatis pada pembuluh darah lemak coklat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga panas lebih cepat dihantarkan ke seluruh tubuh (Arifah dan Kartinah, 2008).
Pada penurunan persediaan glukosa darah, hati akan mengubah sebagian glikogen menjadi glukosa dan mengeluarkannya ke dalam aliran darah. Glukosa ini akan dibawa oleh darah ke seluruh bagian tubuh yang memerlukan, seperti otak, sistem saraf, jantung dan organ tubuh yang lain (Iswantoro, 2009).
Neonatus memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolic thermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem saraf sentral, kecukupan dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen (Ohlson dan Cannon, 2003). Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan Neonatus memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolic thermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem saraf sentral, kecukupan dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen (Ohlson dan Cannon, 2003). Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka pemikiran
: Tidak diteliti
a. Sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia b. Perdarahan intra-kranial tranfusi tukar c. Sepsis d. Kehilangan Panas:
1) Evaporasi 2) Konduksi 3) Konveksi
4) Radiasi
Gangguan Mempertahankan
Suhu Tubuh
Keterbatasan dalam Merespon Dingin
Hipotermi
Gangguan Memproduksi
Asam Lemak
Gangguan Pelepasan Norefinefrin dan
Oksidasi Lemak Cokelat
ò Penggunaan Persediaan Glikogen
Keterbatasan dalam Merespon Dingin
ñ Metabolisme Glukosa Darah
Faktor-faktor yang mempengaruhi hipoglikemia
1. Besar masa kehamilan 2. Stres masa kehamilan 3. Neonatus sakit 4. Pasca asfiksia 5. Diabetes melitus 6. Neonatus kurang bulan 7. Neonatus lebih bulan 8. Neonatus kecil masa kehamilan 9. Neonatus puasa
10. Neonatus dari ibu bermasalah
Hipoglikemi
ò Persediaan Glikogen dalam Lemak Coklat ò Bahan Bakar Metabolisme
ñ Pemecahan dan Penggunaan Glikogen dalam Lemak Coklat
ò Persediaan Glukosa
ò Pengunanaan Persediaan Glikogen dalam dalam Darah Lemak Coklat
ò Bahan Bakar Metabolisme
ñ Pemecahan Simpanan Glikogen di Hati
C. Hipotesis
Neonatus dengan hipoglikemi memiliki risiko tinggi untuk mengalami hipotermi dibandingkan dengan neonatus yang tidak hipoglikemi.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian menggunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional .
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di bagian IGD dan HCU Neonatus RSUD Dr. Moewardi pada bulan Desember 2011 – Juni 2012.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah neonatus rujukan yang berada di Bagian IGD dan HCU Neonatus RSUD Dr. Moewardi, dengan:
1. Kriteria Inklusi: Neonatus rujukan yang baru tiba di IGD RSUD Dr. Moewardi
2. Kriteria Eksklusi: Data tidak lengkap
D. Teknik Sampling
Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode fixed- disease sampling . Fixed-disease sampling (Murti, 2010) merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status pengambilan subjek, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status pengambilan subjek yang sudah fixed. Pada pengambilan sampel ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol berasal dari satu populasi sumber, sehingga peneliti dapat melakukan perbandingan yang valid antara kedua kelompok studi dalam kelima variabel. Pada Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode fixed- disease sampling . Fixed-disease sampling (Murti, 2010) merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status pengambilan subjek, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status pengambilan subjek yang sudah fixed. Pada pengambilan sampel ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol berasal dari satu populasi sumber, sehingga peneliti dapat melakukan perbandingan yang valid antara kedua kelompok studi dalam kelima variabel. Pada
E. Besar Sampel
Menurut Thabane dalam Murti (2010), salah satu teknik untuk mengontrol pengaruh faktor perancu (confounding factor) adalah memperhitungkan pengaruh itu dengan model analisis multivariat ketika peneliti sudah mempunyai data.
Hair dalam Murti (2010) memberikan rumus sampel untuk analisis multivariat jumlah sampel 15 hingga 20 subjek per variabel independen. Pada penelitian ini didapatkan 5 variabel independen. Sehingga subyek yang diperlukan minimal 5 x 15 = 75 subyek.
F. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1 Rancangan penelitian
Populasi Neonatus di IGD dan
HCU Neonatus RSUD Dr.
Moewardi
Sampel Sesuai dengan Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Pemeriksaan Glukosa Darah
Tidak Hipoglikemi Hipoglikemi
Fixed-disease sampling
Pemeriksaan Suhu
Pemeriksaan Suhu
Analisis Statistik Data
Hipotermi
Hipotermi Tidak Hipotermi Tidak Hipotermi
G. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Kadar gukosa darah
2. Variabel terikat: Suhu tubuh neonatus
3. Variabel luar :
a. Dapat dikendalikan: usia, berat badan lahir, usia kehamilan, dan asfiksia.
b. Tidak dapat dikendalikan: faktor genetik, kondisi stres, sepsis, anomali kongenital, suhu neonatus saat dirujuk, dan lain-lain.
H. Definisi Operasional Variabel
1. Kadar glukosa darah Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa darah sewaktu yang diukur dengan menggunakan glucose strips test. Glukosa darah neonatus kadarnya berbeda-beda sesuai usia neonatus. Kadar glukosa darah diklasifikasikan menjadi hipoglikemi, normoglikemi, dan hiperglikemi. Hipoglikemi terjadi pada kondisi kadar glukosa darah < 30 mg/dl pada bayi cukup bulan dan < 20 mg/dl pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Hassan dan Alatas, 2007). Sedangkan menurut IDAI (2010) hipoglikemia pada bayi terjadi bila kadar glukosa darah < 45mg/dl. Pada penelitian ini kadar glukosa darah dikategorikan menjadi dua: 1) Tidak
hipoglikemi (GDS 45 mg/dl), 2) Hipoglikemi (GDS < 45 mg/dl) (IDAI, 2010). Skala yang digunakan adalah skala nominal.
2. Suhu tubuh neonatus Suhu tubuh adalah suhu yang diukur secara aksilar dengan menempelkan termometer pada ketiak dengan lengan atas diluruskan selama 3 menit. Pada penelitian ini pemeriksaan menggunakan termometer air raksa. Suhu tubuh diklasifikasikan sebagai hipotermi, normotermi, dan hipertermi. Suhu tubuh normal neonatus (normotermi) adalah 36,5°C – 37,5°C (Affandi, 2007). Sedangkan kondisi hipotermi terjadi jika suhu tubuh neonatus turun di bawah 36,5°C (Kumar, 2009). Pada penelitian ini suhu tubuh neonatus dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Tidak hipotermi (suhu 36,5°C), 2) Hipotermi (suhu < 36,5 °C ) (Kumar,2009). Skala yang digunakan adalah skala nominal.
3. Usia neonatus Usia neonatus merupakan jumlah waktu kehidupan yang telah dicapai, dihitung sejak tanggal lahir neonatus sampai saat dilakukan pengukuran. Usia neonatus terbagi dalam dua kategori, yaitu: 1) Neonatal dini (usia 0 -
7 hari ), 2) Neonatal lanjutan (usia 8 - 28 hari). Data usia neonatus diperoleh dari formulir dan rekam medik neonatus. Skala yang digunakan adalah skala nominal
4. Berat badan lahir Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam satu jam setelah lahir. Berat badan bayi terbagi menjadi empat kategori yaitu Berat Badan Lahir Lebih (BBLB) yaitu berat badan 4.000 gram, Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) yaitu berat badan < 4.000 gram dan 2.500 4. Berat badan lahir Berat badan lahir adalah berat badan bayi yang ditimbang dalam satu jam setelah lahir. Berat badan bayi terbagi menjadi empat kategori yaitu Berat Badan Lahir Lebih (BBLB) yaitu berat badan 4.000 gram, Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) yaitu berat badan < 4.000 gram dan 2.500
5. Usia kehamilan Usia kehamilan merupakan Usia kehamilan merupakan ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim. Usia janin dihitung dalam minggu dari Hari Pertama Menstruasi Terakhir (HPMT) ibu sampai hari kelahiran. Usia kehamilan dibagi ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a. Bayi kurang bulan (preterm) : bayi dengan masa kehamilan 37 minggu (259 hari). Dibedakan menjadi prematur (
37 minggu dan >
28 minggu) dan immatur (
28 minggu)
b. Bayi cukup bulan (aterm) : bayi dengan masa kehamilan mulai dari 37 minggu sampai 42 minggu (259 hari sampai 293 hari)
c. Bayi lebih bulan (postterm) : bayi dengan masa kehamilan mulai dari
42 minggu atau lebih (294 hari atau lebih) (Hassan dan Alatas, 2007). Pada penelitian ini usia kehamilan dibagi menjadi dua: 1) Tidak cukup bulan (usia kehamilan < 37 minggu), 2) Cukup bulan (usia kehamilan
37 minggu). Data diperoleh dari formulir dan rekam medik neonatus. Skala yang digunakan adalah skala nominal.
6. Asfiksia Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Asfiksia dinilai dengan menggunakan skor apgar yang didasari pengamatan klinis dari:
a. A (Appearance = warna kulit)
b. P (Pulse rate = frekuensi nadi)
c. G (Grimace = reaksi rangsangan)
d. A (Activity = tonus otot)
e. R (Respiration = pernapasan) Setiap penilaian diberi angka 0,1,2. Dengan demikian dapat diketahui
apakah bayi normal (vigorous baby, nilai apgar 7-10), asfiksia sedang- ringan (nilai apgar 4-6), atau asfiksia berat (nilai apgar 0-3) (Hassan dan Alatas, 2007). Pada penelitian ini status asfiksia dikategorikan menjadi dua yaitu : a) Asfiksia, b) Tidak asfiksia. Data tentang diagnosis didapat dari data formulir dan rekam medik pasien neonatus. Skala yang digunakan adalah skala nominal.
I. Instrumen Penelitian
1. Alat Alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Glucose strips, untuk mengukur kadar glukosa darah
b. Termometer air raksa, untuk mengukur suhu tubuh
2. Bahan Bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Formulir sampel pengukuran suhu tubuh dan kadar glukosa darah
b. Lembar persetujuan menjadi sampel
c. Hasil rekam medik
d. Alat tulis
J. Cara Kerja
1. Persiapan
a. Peneliti meminta surat izin penelitian ke bagian skripsi yang ditujukan ke Bagian Diklit, Kepala Bagian HCU Neonatus, Kepala Instalasi Gawat Darurat, dan Direktur RSUD Dr. Moewardi.
b. Setelah mendapatkan izin, peneliti mendapatkan surat pengantar dari Bagian Diklit ke IGD dan HCU Neonatus untuk melakukan pengambilan sampel dan ke Bagian Rekam medik untuk melengkapi karakteristik data sampel.
2. Pelaksanaan Neonatus yang baru datang di IGD RSUD Dr. Moewardi yang sesuai dengan kriteria langsung diukur kadar glukosa darah dan suhu tubuhnya.
a. Peneliti melakukan pengukuran kadar glukosa darah pada sampel dengan cara:
1) Mempersiapkan glucose strips test.
2) Membersihkan telapak atau jari dari kaki atau tangan sampel dengan kapas alkohol.
3) Menempelkan blood lancet ke bagian tersebut untuk menusuk kulit sampel.
4) Titik darah yang keluar diperbesar dengan cara memijit jari di sekeliling titik darah tersebut sehingga cukup untuk pengukuran.
5) Peneliti menyisipkan strip glukosa ke alat glucose strips test kemudian tetes darah pada sampel ditempelkan ke strip tersebut.
6) Peneliti menunggu sesaat sehingga muncul angka pada alat. Angka tersebut merupakan kadar glukosa darah sampel.
b. Peneliti melakukan pengukuran suhu tubuh pada sampel dengan cara:
1) Mempersiapkan termometer dan menurunkan air raksa sehingga pada termometer menunjuk angka 35°C atau di bawahnya.
2) Memasang termometer pada fosa aksila sampel.
3) Sampel menjepit termometer dengan merapatkan lengan sampel ke tubuhnya.
4) Peneliti menunggu 3-5 menit.
5) Peneliti membaca hasil yang tertera pada termometer. Angka tersebut merupakan suhu tubuh sampel.
K. Teknik Analisis Data
Analisis statistik dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik ganda. Analisis regresi logistik ganda adalah alat statistik yang sangat kuat Analisis statistik dalam penelitian ini adalah analisis regresi logistik ganda. Analisis regresi logistik ganda adalah alat statistik yang sangat kuat
Menurut Murti (1997), model regresi logistik selanjutnya dapat digunakan untuk: 1. Mengukur pengaruh antara variabel respon dan variabel prediktor setelah
mengontrol pengaruh prediktor (kovariat) lainnya. 2. Keistimewaan analisis regresi ganda logistik dibanding dengan analisis ganda linier adalah kemampuannya mengkonversi koefisien regresi (bi) menjadi Odds Ratio (OR). Untuk variabel prediktor yang berskala kategorikal, maka rumus OR = Exp (bi).
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Murti, 1997) :
ln
= a+b 1 X 1 +b 2 X 2 +b 3 X 3 +b 4 X 4 +b 5 X 5
di mana :
p : Probabilitas untuk hipotermi
1-p
: Probabilitas untuk tidak hipotermi
a : Konstanta
b 1 ..b 5 : Konstanta regresi variabel bebas X 1 …X 5
X 1 : Hipoglikemi (0: hipoglikemi; 1: tidak hipoglikemi)
X 3 : Berat badan lahir (0: berat tidak cukup; 1: berat cukup)
X 4 : Usia kehamilan (0: usia tidak cukup; 1: usia cukup)
X 5 : Asfiksia (0: ada; 1: tidak ada)
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian dilaksanakan di IGD dan HCU Neonatus RSUD Moewardi. Subjek penelitian ini adalah seluruh neonatus rujukan di RSUD Moewardi selama bulan Desember 2011 - Juni 2102. Pada penelitian ini didapatkan total sampel sebanyak
81 neonatus.
B. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
No
Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
81 100 Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatus laki-laki.
Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan usia neonatus
No
Usia
Frekuensi (n)
1. 0-7 hari (Neonatal dini)
2. 8-28 hari (Neonatus lanjutan)
Jumlah
81 100 Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatal dini.
Tabel 4.3. Distribusi sampel berdasarkan berat badan lahir neonatus
No
Berat Badan Lahir
Frekuensi (n)
81 100 Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatus berat badan lahir cukup (BBLC).
Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan usia kehamilan neonatus No
Usia Kehamilan
Frekuensi (n)
81 100 Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.4. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatus aterm.
Tabel 4.5. Distribusi sampel berdasarkan status asfiksia
No
Status Asfiksia
Frekuensi (n)
1. Asfiksia
2. Tidak asfiksia
Jumlah
81 100 Sumber : Data primer, 2012
Tabel 4.5. menunjukkan bahwa sebagian besar sampel neonatus yang diteliti merupakan neonatus yang tidak mengalami asfiksia.
Tabel 4.6. Distribusi sampel berdasarkan kadar Glukosa Darah Sementara (GDS) No
Kadar GDS
Frekuensi (n)
1. Hipoglikemi
2. Tidak hipoglikemi
Jumlah
81 100 Sumber : Data primer, 2012