BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TAERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit - Akibat Hukum Perbuatan Tidak Kooperatif Debitur Pailit Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit

  BAB II AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT TAERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU merupakan sita umum

  atas semua kekayaan debitur pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, sehingga debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Tujuan kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator atau kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur

  20 sesuai dengan hak masing-masing.

  Seorang debitur dapat dikatakan pailit apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK- PKPU, antara lain: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

  ” Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU

  

21

  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

  Syarat adanya dua kreditur atau lebih (concursus creditorum) Syarat bahwa debitur harus mempunyai minimal dua kreditur, sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Dengan adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitur kepada para kreditur dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditur (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitur. Jika debitur hanya mempunyai satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian, jelas bahwa debitur tidak dapat dituntut pailit, jika debitur tersebut hanya mempunyai satu kreditur.

2. Syarat harus adanya utang

  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda- beda (baik secara sempit maupun luas). Apakah pengertian „utang‟ hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam ataukan pengertian „utang‟ merupakan suartu prestasi/kewajiban yang tidak hanya lahir dari perjanjian utang-piutang saja. Dibawah ini diuraikan beberapa pendapat para pakar hukum mengenai pengertian utang, yaitu: a.

  Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pengertian utang di dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak seyogianya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang-piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditur, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  b.

  Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur.

  c.

  Menurut Setiawan, utang seyogianya diberi arti luas, baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu.

  Kontroversi mengenai pengertian utang, akhirnya dapat disatuartikan dalam Pasal 1 angka (6) UUK-PKPU, yaitu : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

  Dilihat dari definisi utang yang diberikan oleh UUK-PKPU, bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya meliputi utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.

3. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

  Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna. Dengan demikian jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah tidak dapat diajukan untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditur untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, meskipun debitur mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditur tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditur tidak berhak mengajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.

B. Proses Permohonan Pernyataan Pailit

  Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK-PKPU. Adapun tahap-tahap yang dilakukan untuk

  22

  mengajukan gugatan kepailitan, yaitu :

  1. Tahap pendaftaran permohonan pernyataan pailit Pendaftaran permohonan harus diajukan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, yaitu: a.

  Permohonan harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktik; b.

  Apabila diajukan oleh seorang debitur yang sudah menikah, maka permohonan didasarkan atas persetujuan suami atau isterinya; c.

  Wajib membayar panjar biaya perkara di kepaniteraan sebagaimana lazimnya suatu perkara perdata; Permohonan mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua

  Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU mewajibkan Panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU ini pernah diajukan Judicial Review di

  Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 071/PUU-

  II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  Pertimbangan-pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain : a.

  Bahwa Panitera walaupun merupakan jabatan di Pengadilan, tetapi kepada jabatan tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan hakim. Dalam Penjelasan Undang-Undang No 8 Tahun 2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah menangani administrasi perkara dan halhal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan dan tidak berkaitan dengan fungsi- fungsi peradilan (rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk ranah (domein) yustisial. Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.

  b.

  Menimbang pula bahwa sejak lama telah diakui asas hukum yang berbunyi bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini telah dimuat dalam Pasal 22 AB yang berbunyi, de regter die weigert regt te spreken onder voorwendsel van

  stilwigjen, duisterheid of onvolledigheid der wet, kan uit hoofed van regtsweigering vervolgd worden (Rv.859 v.; Civ 4). Terakhir asas ini

  dicantumkan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan menggunakan tafsiran argumentum a contrario, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang hukumnya jelas mengatur perkara yang diajukan kepada pengadilan; c. Apabila Panitera diberikan wewenang untuk menolak mendaftarkan permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan asuransi, hal tersebut dapat diartikan panitera telah mengambil alih kewenangan hakim untuk memberi keputusan atas suatu permohonan. Kewenangan demikian menghilangkan hak Pemohon untuk mendapatkan penyelesaian sengketa hukum dalam suatu proses yang adil dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan due process of law dan access to courts yang merupakan pilar utama bagi tegaknya rule of law sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; d. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet onvantkelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang- undang a quo, yang menurut mahkamah tidak bertentangan dengan UUD

  1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; e.

  Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal yang dijelaskan, dengan sendirinya Penjelasan Pasal tersebut diperlakukan sama dengan Pasal yang dijelaskannya. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.

  Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau surat- surat dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah 4 rangkap untuk Majelis dan Arsip. Salinan/dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh Pejabat yang berwenang/Panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

  Apabila salinan/dokumen atau surat-surat yang dibuat di Luar Negeri harus disahkan oleh kedutaan/Perwakilan Indonesia di negara tersebut dan selanjutnya diterjemahkan oleh Penterjemah resmi ke dalam Bahasa Indonesia, demikian pula terhadap salinan dokumen dan surat-surat yang menyangkut kepailitan ke dalam Bahasa Indonesia. Dokumen atau surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lampiran. Menurut Pasal 2 UUK-PKPU bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak berikut ini: a.

  Debitur sendiri; b.

  Seorang atau lebih krediturnya; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d.

  Bank Indonesia (BI); e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM); f. Menteri Keuangan.

  Terkait dengan proses pengajuan permohonan kepailitan yang dilakukan oleh para pihak tersebut juga harus diperhatikan mengenai dokumen atau surat yang harus dipenuhi atau dilampirkan yaitu sebagai berikut : a.

  Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua / Pengadilan Negeri / Pengadilan Niaga Jakarta Pusat; b. Izin pengacara / kartu pengacara; c. Surat kuasa khusus; d.

  Akta Pendaftaran Perusahaan (Tanda Daftar Perusahaan) / yayasan / asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan; e. Surat perjanjian utang (Loan Agreement) atau bukti lainnya yang menunjukkan adanya utang; f.

  Perincian utang yang tidak terbayar; g.

  Nama serta alamat masing-masing kreditur / debitur.

  2. Tahap pemanggilan para pihak Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain: a.

  Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan; b. Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur (voluntary position) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi; c.

  Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksan pertama diselenggarakan;

  3. Tahap persidangan atas permohonan pernyataan pailit Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang.

  Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan

  23

  didaftarkan. Dalam Pasal 10 ayat (1) UUK- PKPU dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan

  24

  permohonan kepada pengadilan untuk: a.

  Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur; b.

  Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi; c. Pengelolaan usaha debitur; d.

  Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator; Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur (Pasal 10 ayat (2)

  UUK-PKPU). Dalam ayat (3) selanjutnya dikatakan bahwa dalam hal permohonan meletakkan sita jaminan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditur Pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan. Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas bahwa jaminan hanya diperlukan apabila pemohonnya adalah kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan yang bertindak sebagai pemohon, jaminan tersebut tidak diperlukan. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, yang menurut lampiran UUK-PKPU Pasal 5 harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek.

4. Tahap penetapan putusan hakim

  Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Inilah yang membedakan antara Pengadilan Niaga dan peradilan umum dimana hakim diberi batasan waktu untuk menyelesaikan perkara. Putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang- undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis (dissenting opinion). Secara umum isi dan sistematika putusan juga sama dengan putusan pada perkara perdata yang meliputi: a.

  Nomor putusan; b.

  Kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; c. Identitas pemohon dan termohon pailit dan kuasa hukumnya; d.

  Tentang duduk perkaranya; e. Tentang pertimbangan hukumnya; f. Amar putusan; g.

  Tanda tangan majelis hakim dan panitera.

  Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum atau putusan tersebut bersifat serta merta. UUK-PKPU mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.

  Salinan putusan pengadilan selanjutnya wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.

  Terhadap putusan permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan upaya hukum kasasi ke mahkamah agung. Permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan dengan mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi selain dapat diajukan oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

  Mahkamah agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh mahkamah agung. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh mahkamah agung.

  Putusan atas permohonan kasasi memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasasri putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

25 C.

  

Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Harta Kekayaan Debitur

  Dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu.

1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

  Kepailitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan, kecuali :

  26

  a. Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan, pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.

  b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari perkerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim pengawas.

  c. Atau uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberikan nafkah menurut Undang-Undang. Akibat kepailitan secara umum. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasasi dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak yanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Tanggal putusan sebagaimana dimaksud diatas dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.

2. Akibat kepailitan terhadap harta perkawinan (suami/istri) debitur pailit

  Pasal 23 UUK-PKPU menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka pailit tersebut termasuk juga isteri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan Pasal ini membawa konsekwensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami atau isteri yang kawin dengan persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta isteri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk kedalam boedel pailit. Meskipun Pasal 23 menentukan bahwa kepailitan itu meliputi seluruh harta persatuan perkawinan, namun Pasal 62 mengatur beberapa hal yang cukup penting yang berkaitan dengan barang-barang yang tidak jatuh dalam persatuan harta. Ketentuan tersebut ialah : a. Apabila suami atau isteri dinyatakan pailit maka isteri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari isteri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

  b. Jika benda milik isteri atau suami telah dijual oleh suami atau isteri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka isteri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil tersebut.

  c. Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap isteri atau suami maka kreditur terhadap harta pailit adalah suami atau isteri.

  Kepailitan suami atau isteri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 maka kepailitan tersebut meliputi semua benda yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk kepentingan semua kreditur yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan. Bila suami atau isteri yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda tersebut termasuk harta pailit, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang

  27 pribadi suami atau isteri yang dinyatakan pailit .

  3. Akibat kepailitan terhadap seluruh perikatan yang dibuat debitur pailit Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut

  28

  menguntungkan harta pailit. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajuakan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang diajukan terhadap debitur pailit, hanya dapat

  29 diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

  4. Akibat kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

  27 28 Sunarmi, Hukum Kepailitan ( Jakarta : Softmedia, 2010), hlm .106.

  Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Pasal 41 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan secara tegas bahwa untuk kepentingan harta pailit, segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada pengadilan.

  Kemudian dalam Pasal 42 UUK-PKPU diberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur tersebut, antara lain : a.

  Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit.

  b.

  Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya; c.

  Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur; d. Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa :

  1) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat.

  2) Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih.

  3) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau untuk kepentingan :

  (a) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga.

  (b) Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1. adalah anggota Direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut. 4)

  Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk kepentingan: (a) Anggota Direksi atau pengurus dari debitur, suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari angggota direksi atau pengurus tersebut. (b) Perorangan baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

  (c) Perorangan yang suami atau isteri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50 % dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.

  5) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila : (a) Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut adalah orang yang sama.

  (b) Suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari perorangan anggota direksi atau pengurus debitur juga merupakan anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

  (c) Perorangan anggota Direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada debitur, atau suami, atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga, baik sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau sebaliknya.

  (d) Debitur adalah anggota Direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya.

  (e) Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik para anak angkatnya dan keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50 % dari modal yang disetor.

  6) Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap badan hukum lain dalam satu grup dimana debitur adalah anggotanya.

  7) Ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam hal dilakukan oleh debitur dengan atau

  untuk kepentingan : (a) Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau isteri, anak angkat atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut. (b) Perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau isteri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 41 dan 42 UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian terhadap perbuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah berada pada pundak debitur pailit dan pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit yang membawa kerugian bagi kepentingan kreditur. Jadi, apabila kurator menilai bahwa ada perbuatan hukum tertentu dari debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu satu tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur, maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit. Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan kreditur dan harta pailit,

  30 maka yang wajib membuktikan adalah kurator.

5. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik

  Subekti menerjemahkan istilah overeenkomst dari bahasa Belanda kedalam bahasa Indonesia, yaitu “Perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan defenisi perjanjian, yaitu suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing- masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri atas satu atau lebih badan hukum.

  Pasal 1314 KUH Perdata berbunyi : a. Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban.

  b.

  Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

  c.

  Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

  Pasal 36 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal-balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut , kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir dan pihak dalam perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditur konkuren. Apabila kurator menyatakan kesanggupannya atau pelaksanaan perjanjian tersebut, kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Pelaksanaan perjanjian tersebut tidak meliputi perjanjian yang prestasinya harus dilaksanakan sendiri oleh debitur misalnya debitur adalah seorang penyanyi atau seorang pelukis, dimana debitur diwajibkan untuk melukis wajah pihak tersebut, dalam hal tersebut tidak mungkin bagi kurator untuk

  31 melaksanakan perjanjian.

6. Akibat kepailitan terhadap berbagai jenis perjanjian a.

  Terhadap perjanjian sewa

  Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal debitur telah menyewa suatu benda maka baik kurator atau pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Pasal 38 ayat (2) mensyaratkan dalam hal melakukan penghentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diindahkan jangka waktu pemberitahuan penghentian menurut perjanjian. Apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak ditentukan jangka waktunya, Pasal 38 ayat (2) tersebut menentukan paling singkat adalah 90 hari karena jangka waktu tersebut menurut kelaziman merupakan jangka waktu yang dianggap patut.

  Pasal 38 ayat (3) menentukan dalam hal uang sewa telah dibayar dimuka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut. Dengan kata lain, hanya perjanjian sewa-menyewa yang uang sewanya belum dibayar dimuka yang dapat dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1). Apabila uang sewa yang telah dibayar atau masih harus dibayar (uang sewa yang belum diterima oleh debitur, misalnya uang sewa tersebut dibayar bulanan), menurut Pasal 38 ayat (4) sejak tanggal putusan peryataan pailit

  32 diucapkan, uang sewa tersebut merupakan utang harta pailit. b.

  Terhadap perjanjian kerja

  Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU menentukan pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya dan sebaliknya kurator dapat memberhentikan pekerja tersebut, namun kurator harus mengindahkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam persetujuan (perjanjian kerja) atau sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan yang berlaku. Apabila dalam perjanjian kerja tersebut tidak ditentukan jangka waktu minimal untuk memberitahukan maksud dari salah satu pihak untuk mengakhiri perjanjian kerja tersebut maka baik pekerja maupun kurator hanya dapat memutuskan/mengakhiri hubungan kerja tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (1), berkenaan dengan pelaksanaan pemutusan hubungan kerja yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), kurator harus tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.

  Pasal 39 ayat (2) menentukan, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Sesuai dengan penjelasan Pasal 39 ayat (2), yang dimaksud dengan “upah” adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas jasa yang akan atau telah dilakukan.

  Upah tersebut adalah yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Termasuk

  33 didalamnya adalah tunjangan bagi pekerja dan keluarga.

  Mahkamah Agung berpendapat undang-undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk dipenuhinya hak pekerja karena hak itu telah dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan secara sosial ekonomi kedudukan buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Upah buruh harus dibayar „sebelum kering keringatnya‟. Kewajiban terhadap negara berada pada tingkat setelah upah pekerja. Negara masih punya sumber penghasilan lain di luar boedel pailit, sedangkan buruh menjadikan upah satu-satunya

  34 sumber mempertahankan hidup diri dan keluarganya.

  c.

  Terhadap warisan

  Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan warisan yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan

  Pasal 40 ayat (1) dapat dimengerti karena tidak mustahil debitur pailit bukan menerima warisan berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitur pailit menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitur pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hak tersebut bukan saja akan merugikan debitur pailit, tetapi juga para krediturnya. 33 Ibid., hlm. 198.

  Pasal 40 ayat (2) UUK-PKPU menentukan bahwa untuk tidak menerima suatu warisan, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Ketentuan Pasal 40 ayat (2) terkesan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1). Disatu pihak Pasal 40 ayat (1) menentukan, kurator tidak boleh menerima warisan yang jatuh kepada debitur pailit (dengan kata lain kurator harus menolak) selama debitur berada dalam kepailitan (kecuali warisan tersebut menguntungkan harta pailit) namun dipihak lain untuk tidak menerima suatu warisan (dengan demikian berarti menolak), kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Apabila tujuan ketentuan Pasal 40 ayat (2) adalah untuk memastikan tindakan kurator tidak merugikan harta pailit, sebaiknya bukan saja dalam hal kurator tidak menerima atau menolak tetapi juga apabila kurator menerima suatu warisan yang jatuh kepada debitur pailit. Dengan demikian baik penerimaan atau penolakan warisan yang dilakukan oleh kurator itu tidak sampai merugikan harta pailit karena

  35 kekeliruan pertimbangan kurator atau karena kurator beritikad tidak baik.

7. Akibat kepailitan terhadap kerditor pemegang hak jaminan dan hak istimewa

  Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain : a.

  Hipotek Hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Bab

  XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik dan sudah terdaftar di Syahbandar dan pesawat terbang.

  b.

  Gadai Gadai diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Bab XX KUH Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.

  c.

  Hak Tanggungan Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat diatas tanah.

  d.

  Fidusia Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda- benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotik, dan hak

  36 tanggungan.

  Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi hak nya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun dalam

  Pasal 56 UUK-PKPU menentukan, hak eksekusi kreditur pemegang hak jaminan itu ditangguhkan (tidak dapat seketika dilaksanakan) untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan peryataan pailit diucapkan.

8. Akibat kepailitan terhadap hak retensi kreditur

  Menurut H.F.A. Vollmar, hak menahan atau hak retentive pada umumnya adalah hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah lunas. UUK-PKPU mengakui eksistensi hak retensi atau hak menahan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 61 UUK-PKPU, antara lain : “ kerditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik debitur, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit”. Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 61 UUK-

  PKPU dikatakan : “ hak untuk menahan atas benda milik debitur berlangsung sampai utangnya dilunasinya”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun adanya putusan kepailitan, kreditur yang mempunyai hak retensi atau hak menahan terhadap benda milik debitur pailit tetap diakui keberadaan hak retensiya, sepanjang utangnya debitur pailit belum dibayar lunas. UUK-PKPU mewajibkan kurator untuk menebus benda yang ditahan oleh kreditur tersebut dengan membayar piutang kreditur tersebut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 185 ayat (4) UUK-PKPU, antara lain bahwa kurator berkewajiban membayar piutang kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan

  37 harta pailit.

  9. Akibat kepailitan terhadap tuntutan hukum oleh pihak lain terhadap debitur Suatu tuntutan hukum dipengadilan yang diajukan terhadap debitur sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitur. Ketentuan yang demikian ini, merupakan konsekuensi berlakunya asas bahwa dengan kepailitan debitur maka harta debitur berada dibawah sita umum dan harta debitur harus dibagi untuk kepentingan para krediturnya. Berkenaan dengan gugatan tersebut, dengan dinyatakan debitur, penggugat harus mengajukan tagihannya untuk dicocokkan dalam rapat pencocokan piutang bersama-sama dengan para kreditur lain.

  10. Akibat kepailitan terhadap transfer dana dan trasaksi efek Tidak mustahil ketika putusan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim

  Pengadilan Niaga, terdapat transfer dana oleh debitur pailit kepada pihak lain, baik yang dilakukan melalui bank atau lembaga lain yang melakukan misalnya kegiatan kiriman uang. Tidak mustahil pula ketika itu telah menjadi transaksi efek di bursa efek yang mengakibatkan beralihnya saham atau obligasi yang dimiliki oleh debitur kepada pihak lain. Mengenai transaksi-transaksi tersebut, Pasal 24 ayat (3) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan. Sementara itu, Pasal 24 ayat (4) menentukan bahwa dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di bursa efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.

  Penjelasan Pasal 24 ayat (3) mengemukakan bahwa transfer dana melalui bank perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian sistem transfer melalui bank. Sementara itu, penjelasan Pasal 24 ayat (4) mengemukakan bahwa transaksi efek di bursa efek perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian hukum atas transaksi efek di bursa efek. Adapun penyelesaian transaksi efek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau cara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal. Sebagaimana halnya dengan transfer dana, demikian pula kiranya argumentasi hukum yang harus dianut berkaitan dengan transaksi efek di bursa efek. Artinya, efek milik debitur yang sudah ditransaksikan itu beralih kepemilikannya kepada pembeli efek pada saat penjualan efek disetujui oleh debitur dan transaksi itu terjadi sekalipun secara administrative dan akutansi belum tercatat direkening atau dibuku pembeli efek.

  Masalah lain yang perlu diperhatikan sehubungan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) UUK-PKPU, adalah berlakunya ketentuan actio pauliana dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 UUK-PKPU. Tujuan diadakannya ketentuan-ketentuan mengenai actio pauliana didalam UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 tetap harus ditegakkan. Artinya, terhadap pelaksana transfer dana dan transaksi efek di bursa efek yang bukan terlaksana karena debitur wajib melakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang sedangkan debitur megetahui, sebagaimana hal itu dapat dibuktikan, bahwa perbuatannya tersebut diketahui akan mengakibatkan kerugian bagi debitur atau pihak dengan siapa debitur bertransaksi mengetahui bahwa perbuatan itu akan merugikan para kreditur, ketentuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 UUK-PKPU tetap berlaku. Dengan pendirian yang demikian itu, maka transfer dana sebagaimana dimaksud dalam

  Pasal 24 ayat (3) dan transaksi efek di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) tersebut tetap dilangsungkan tetapi peralihan kepemilikan karena terjadinya transaksi tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan Niaga sepanjang terpenuhi syarat-syarat actio pauliana sebagaimana ditentukan

  38 dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 UUK-PKPU.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Selulosa Asetat dari Kulit Buah Kakao Kapasitas 1.000 Ton/Tahun

0 0 12

BAB 2 LANDASAN TEORI - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Mahasiswa dengan Menggunakan Metode Analisis Jalur (Studi Kasus FMIPA USU)

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Penilaian Usia Kehamilan - Penilaian Usia Kehamilan Bayi yang Dilahirkan Secara Seksio Sesarea Menggunakan Skor Ballard di Rumah Sakit Muhammadiyah Medan Periode Tahun 2013 sampai April 2014

0 0 21

Eksistensi Masyarakat Wilayah Pesisir Sumatera Utara Dalam Kegiatan Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara)

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Laporan Keuangan - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Evaluasi Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok (Studi Tentang Program RASKIN di Kecamatan Medan Tembung)

0 0 35

MALAY LANGUAGE AND NATIONAL INTEGRATION IN INDONESIA SOCIOLOGICAL PERSPECTIVE Sismudjito INTRODUCTION - MALAY LANGUAGE AND NATIONAL INTEGRATION IN INDONESIA SOCIOLOGICAL PERSPECTIVE

0 0 6