IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP FILM-FILM ISLAM

  

IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM

TERHADAP FILM-FILM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

  

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)

  Oleh :

  

KINTAN PANDU JATI

NIM. 106051001764

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M

LEMBAR PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa :

  1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

  2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  Jakarta, 20 Oktober 2010 Penulis

   Kintan Pandu Jati

  

IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM

TERHADAP FILM-FILM ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

  

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi (S.Kom)

  Oleh: Kintan Pandu Jati

  NIM:106051001764 Di bawah Bimbingan

  Drs. Adi Badjuri,MM NIP.19440828 198003 1001

  

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H / 2010 M

  

ABSTRAK

  Semenjak awal kelahirannya film menjadi populer luar biasa sebagai media hiburan sedangkan pengakuan masyarakat bahwa film sebagai karya cipta seni budaya baru berlangsung menjelang tahun 1940-an sampai akhirnya film tidak diragukan lagi sebagai bentuk karya seni. Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya karena memiliki sifat-sifat dasar dari media artistic lain (sastra, lukis, komposisi) dalam susunannya yang beragam.

  Film sebagai media massa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya seni estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda juga alat politik. Keberadaan film bisa memiliki manfaat ganda. Di satu sisi film dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru.

  Sebagai sarana rekreasi dan edukasi keberadaan film mampu mengisi ruang hiburan dan ruang pembelajaran bagi sebgaian besar masyarakat di Indonesia. Namun untuk peran sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru, perlu kecermatan tersendiri dalam memilah muatan budaya yang terkemas dalam pesan film. Banyak pihak menghawatirkan bahwa informasi dari media film justru dapat bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa dan sarat dengan nilai budaya asing. Yang diharapakan tentunya film dapat memperkaya nilai budaya nasional.

  Euforia kebebasan berekspresi, di dalamnya termasuk kebebasan berkreasi dalam kegiatan penciptaan karya film. Tuntutan kebebasan berkreasi dalam penciptaan karya seni film ini gencar disuarakan masyarakat, terutama oleh kalangan pengemban film antara lain melalui upaya penolakan pemberlakuan sensor film karena pemberlakuan sensor film dianggap sebagai pembatasan dan pengekangan atas kebebasan berkreasi di bidang perfilman.

  Muncul dan banyaknya film-film bernafaskan religi pada kisaran tahun 2008 dan 2009 mengimplikasikan bahwa negara Indonesia sebagai salah satu mayoritas muslim terbesar di dunia. Film-film Islam cepat sekali di respon dan ditanggapi oleh masyarakat. Namun sayangnya belum sepenuhnya film-film Islam itu sesuai dengan nilai-nilai budaya nasional dan terkadang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

  Maka dari itu teori dan istilah yang dibawa oleh Kurt Lewin tentang Gatekeeper merupakan tugas yang diemban oleh Lembaga Sensor Film sebagai lembaga penyaringan terhadap karya seni suatu film sebelum film ditayangkan ke masyarakat luas. Peran daripada Lembaga Sensor Film sebagai tempat “filterisasi” karya seni film sangat dibutuhkan selain untuk menjaga keutuhan nilai-nilai budaya nasional juga sebagai pelindung masyarakat dari kebobrokan moral.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, dan pertolongannya selama ini, berkat Allah SWT jualah penulis mampu merampungkan tugas akhir skripsi dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

  Penulisan skripsi ini merupakan proses yang relatif panjang bagi penulis, menyita segenap tenaga dan fikiran. Tetapi yang pasti dengan segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan do‟a, akhirnya penulis sanggup menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

  skripsi ini. Walaupun cukup banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi, baik itu berupa sifat malas, lalai dan sombong yang masih melekat kuat di dalam diri penulis. Sungguh sebuah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini dapat terwujud karena banyaknya dukungan serta motivasi kepada penulis.

  Selanjutnya penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi, rasa terima kasih penulis ucapkan kepada: 1.

  Dr. Arief Subhan M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Drs. Wahidin Saputra, M.A selaku Pudek I, Drs. H.

  Mahmud Djalal, M.A selaku Pudek II, dan Drs. Study Rizal LK, M.A selaku Pudek III

  2. Drs. Jumroni, M.Si, selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

  3. Umi Musyarafah, MA, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

  4. Drs. Adi Badjuri, MM, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dalam setiap bimbingan dan mendorong penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

  5. Seluruh Ibu/ Bapak Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan dedikasinya sebagai pengajar dan memberikan berbagai pengarahan, pengalaman, serta bimbingan kepada penulis selama dalam masa perkuliahan.

  6. Kepada bapak/ibu pimpinan Lembaga Sensor Film serta Production house MD Picture, Sinemart Picture, Starvision, Ifi Dan Triximages Serta semua pihak yang telah membantu memberikan data-data demi terselesainya skripsi ini.

  7. Keluarga tercinta penulis, Ayahanda tercinta John Khunaini dan Ibunda tercinta Siti Suryati, kakak penulis Pradipta Aditya yang senantiasa tanpa hentinya mendoakan kebahagiaan dan kesuksesan penulis, dan juga dukungan berharga sekali baik moril maupun materil dalam proses selama studi di kampus tercinta ini.

  8. Fitri Kumalasari atas semua dukungan, motivasi serta kasih sayang bagi penulis walau tanpa kata dan tanpa bahasa.

  9. Keluarga besar Himata, LDK, Sequence, Logika, Mata film, BEMJ KPI, BEMF, STOS, Jatam, Walhi. Serta semua pihak yang telah membantu memberikan ilmu-ilmu yang berguna buat penulis.

  10. Keluarga Besar KPI A angkatan 2006, Kharisma, Fahdi, M. Raghyl, Fauzi, Abdurrahman, Aditya, Wawan, Argoselo, Agan, Farouk, David, Fitria, Andri, Adilla, Richa, Halimah, Asyami, Biah. Untuk semuanya Penulis ucapkan terimakasih karena telah memberi keceriaan dengan indahnya persahabatan yang telah kalian berikan, yang telah menjadi keluarga serta inspirasi bagi penulis.

  11. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu berbagai hal dalam proses penyelesaian studi penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan- kekurangan, namun penulis berharap penelitian ini menambah pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan. Penulis sangat berharap kritikan dan masukan dalam rangka perbaikan penulisan skripsi ini.

  Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi semua usaha yang kita lakukan. Amin...

  Jakarta, 20 Oktober 2010 Penulis,

  KintanPandu Jati

  

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 9 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 10 D. Metodologi Penelitian ........................................................... 11 E. Sistematika Penulisan ........................................................... 14 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Sensor Film………………………………………………… 15 1. Pengertian Sensor Film…………………………………. 16 B. Film………………………………………………………… 16 1. Pengertian Film ............................................................... 17 2. Jenis-jenis Film ............................................................... 19 3. Unsur-unsur Film ............................................................ 22 4. Film Islam ....................................................................... 22 BAB III LEMBAGA SENSOR FILM A. Gambaran Umum Lembaga Sensor Film .............................. 24 1. Sejarah Sensor di Indonesia ......................................... 24 2. Latar Belakang Berdirinya Lembaga Sensor Film ....... 27

  3. Visi dan Misi Lembaga Sensor Film ............................ 32 4.

  Fungsi, Tugas&Wewenang Lembaga Sensor Film ...... 32 5. Struktur Organisasi Lembaga Sensor Film .................. 34 6. Program Kerja Lembaga Sensor Film .......................... 35 7. Mekanisme Administrasi Penyensoran ....................... 35 8. Pedoman&Kriteria Penyensoran .................................. 36 9. Tata Tertib Penyensoran .............................................. 38 10.

  Tarif Biaya Penyensoran .............................................. 39 B. Film-film Islam ..................................................................... 40 1.

  Deskripsi Film Ayat-ayat Cinta ................................... 40 2. Deskripsi Film Ketika Cinta Bertasbih 1&2 ................ 44 3. Deskripsi Film Mengaku Rasul:Sesat .......................... 47 4. Deskripsi Film Perempuan Berkalung Sorban ............. 49 5. Deskripsi Film 3 Doa 3 Cinta ...................................... 51

  

BAB IV Implementasi Kerja Lembaga Sensor Film Terhadap Film-film

Islam A. Dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film ........ 59 B. Pelaksanaan penyensoran film .............................................. 60 C. Kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor .......... 64 D. Aplikasi serta implementasi Lembaga Sensor Film terhadap

  film Islam .............................................................................. 79

  BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 84 B.

  

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi yang menggunakan media massa yang dikelola oleh suatu

  lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, antonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik). Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang dikenal secara umum oleh masyarakat. Film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual yang merupakan penemuan teknologi baru yang

  

1

muncul pada akhir abad sembilan belas.

  “Film ini berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu,serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian

  2 Menurut McQuail kehadiran film teknis lainnya kepada masyarakat umum”.

  merupakan respon penemuan waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu luang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat.

  1 2 K Bertens, Film, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal.91 Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987,

  “Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan

  3

  muatan pesan (message) d Dikatakan juga bahwa film merupakan i baliknya”. penyajian kembali potret kehidupan yang ada dalam masyarakat. Fenomena yang

  4 diangkat dalam film berdasarkan kenyataan masyarakat di tempat film itu dibuat.

  Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam media massa untuk menyampaikan suatu pesan. Jika melihat pada dunia perfilman Indonesia, pesan pada film yang disampaikan kepada masyarakat tidak dengan pesan moral yang kuat. Seperti yang dikatakan oleh Djamalul Abidin dari komisi Evaluasi dan Sosialisasi Lembaga Sensor Film, bahwa kebangkitan film nasional cukup bagus,

  5

  tetapi juga mencemaskan. Sebab, cerita filmnya tidak diimbangi dengan pesan moral yang sesuai dengan karakter bangsa ini. Oleh Lembaga Sensor Film Indonesia banyak film-film Indonesia yang mengalami pemotongan karena adegan visual yang diproduksi dianggap bertentangan dengan moral, agama, dan budaya Indonesia. Hal ini merujuk pada pemikiran atau peristilahan Gatekeeper atau penjaga gawang media yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada bukunya

6 Human Relation. Istilah ini mengacu pada proses: (1) suatu pesan berjalan

  melalui berbagai pintu, selain juga pada (2) orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalanannya dari sumber kepada

  3 4 Alex Sobur,Cet.2 Jakarta: PT. Ramaja Rosdakarya, 2004, h.127 5 Alex Sobur, h.129 6 Ignatius Haryanto, Ketika Sensor Tak Mati-mati. Jakarta:Yayasan Kalam, 2007, h.40

  7

  penerima. Fungsi utama gatekeeper adalah menyaring pesan yang diterima seseorang. Gatekeeper membatasi pesan yang diterima komunikan. Editor surat kabar, majalah, penerbitan juga dapat disebut gatekeepers. Seorang gatekeepers dapat memilih, mengubah, bahkan menolak pesan yang disampaikan kepada penerima. Di Indonesia peran Gatekeeper dilakukan oleh Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas menetapkan status edar Sebuah film hanya dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus oleh LSF. LSF juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan. Jadi setiap film yang diproduksi baik dalam maupun luar negeri sebelum ditayangkan ke publik harus melalui Lembaga Sensor Film. Beberapa film di tahun 2008 & 2009 yang telah beredar dan mengalami pemotongan adegan

  8

  visual itu karena mengandung adegan kekerasan dan seks. Sehingga Lembaga Sensor Film Indonesia meminta para sineas dan perusahaan film di Tanah Air mengedepankan pesan moral dalam pembuatan film. Setiap hasil produksi harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dengan kata lain pesan yang disampaikan film-film Indonesia pada akhir-akhir ini sering sekali mengacu pada kekerasan, seks, dan mistik. Penelitian ini juga mengacu pada penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) 7 Werner J Severin&James W Tankard, Teori Komunikasi:Sejarah,Metode dan Terapan

  di Dalam Media Massa , Kencana, Jakarta, 2008, h.164-165 8 Akhlis Suryapati, DVD Film Indonesia, Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia,

  9

  terhadap sinetron-sinetron remaja Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh YPMA tersebut juga sama, masih banyak sinetron-sinetron dan film-film Indonesia yang masih mengedepankan pesan kekerasan, seks, dan mistik untuk disampaikan kepada masyarakat. Menurut penelitian YPMA tahun 2008, sinetron- sinetron dengan segmen remaja memang menjadi sasaran utama karena potensi jumlah penontonnya yang sangat besar, tidak saja dari mereka yang berumur 12- 18 tahun, tetapi juga ditonton oleh anak-anak dan orang dewasa lainnya. Namun sayangnya hampir tidak ada penelitian dan pemantauan yang dilakukan secara

  10 intensif dan berkesinambungan terhadap materi tayangan sinetron remaja .

  Padahal keluhan akan tayangan sinetron telah sering dilontarkan dalam berbagai diskusi publik, artikel surat kabar atau majalah, dan surat pembaca surat kabar. Isi sinetron yang terkait dengan kekerasan, seks, mistis, dan moral menjadi keluhan yang utama. Oleh karena itu peneliti ingin mereplikasi penelitian tersebut dengan film-film Indonesia sebagai mediumnya.

  Didalam film Islam, imbauan untuk menjadi lebih taat pada agama biasanya tidak ditekankan. Ajaran Islam disampaikan dalam dialog yang tidak terlalu argumentatif, dalam konteks sosial yang tidak terlewat degradatif (jahiliyah). Islam sebagai fakta tampil digdaya dan superior. Beberapa film yang berisikan penerangan mengenai Islam atau aspek-aspek ajaranya termasuk dalam kategori ini.

  9 10 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dokumentasi Naskah LSF, 2008

  Genre film religi atau film Islam berkembang puncaknya di tahun 1970-an dan 1980-an. Di dekade itu kita disuguhi film-film cerita keteladanan para wali (Wali Songo, Sunan Kali Jaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga dan

  

Syeh Siti Jenar ) maupun yang bertema drama (Al Kautsar, dibuat lagi dengan

  judul Titian Serambut) dan semua film Rhoma Irama yang menggabungkan dakwah dan musik (dangdut). Era keemasan itu ditutup dengan kolaborasi da‟i tulen (KH Zainuddn MZ) dengan bintang film-pemusik-pendakwah (Rhoma

  11 Irama) dalam Nada & Dakwah (1990). Kemudian kita memasuki era film esek-

  esek-nya Sally Marcelina dkk. Perfilman kita mandeg, orang menyebutnya mati suri istilah ini salah kaprah karena film kita tak pernah berhenti dibuat setiap tahun. Datanglah era reformasi. Film nasional bangkit lagi. Dari satu-satu hingga kini bisa lebih dari 40-an film setahun. Meski begitu genre film religi baru muncul tahun 2008 lewat Ayat-ayat Cinta.

  Peneliti mengambil data kisaran film Islam pada tahun 2008&2009 dikarenakan setelah tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman Indonesia. Indonesia memasuki era baru,ditandai dengan pergerakan kembali produksi film nasional, antara lain didukung dengan teknologi digital yang kemudian ditransfer ke seluloid. Sebelum melangkah lebih jauh tentang bagaimana dunia perfilman Indonesia mulai tahun 2000 alangkah baiknya jika melihat dulu bagaimana sepuluh tahun terakhir perfilman Indonesia, sehingga perfilman Indonesia bisa bergerak maju dan muncul fenomena-fenomena yang 11 Taufik Abdullah&Misbach Yusa Biran, Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan sempat meresahkan masyarakat. Pada pertengahan tahun 1990an dikesankan ada kelesuan produksi film nasional. Kesan itu rasanya jauh dari kenyataan kalau hanya melihat jumlah produksi. Data menunjukkan tahun 1994 terdapat 26 judul film yang diproduksi, 1995 ada 22 film, 1996 sebanyak 34 film, dan 1997

  12

  memproduksi 32 film. Tahun 1997 adalah awal krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis sosial-politik. Akibatnya sangat terasa karena produksi tahun 1998 dan 1999 hanya empat film. Tahun 2000 naik menjadi 11 film dan tahun berikutnya 2001, turun lagi menjadi tiga film. Mulai tahun 2002 produksi film nasional bangkit menjadi 14 film, 2003 sebanyak 15 film, dan 2004 menjadi 31 film. Diperkirakan tahun 2005 sama dengan tahun sebelumnya. Angka-angka ini berdasarkan data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film, kecuali sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival

  13

  di dalam negeri seperti dan luar negeri. Jumlah produksi film Indonesia meningkat di tahun 2008 ini, sekitar 80 film dibandingkan 40-an pada tahun 2007.

  Minimnya ragam tema dan penceritaan masih menjadi persoalan utama. Horor dan komedi seks masih mendominasi film yang beredar, dengan sedikit

  14

  pengecualian. Jika pada tahun 2007 pengecualian yang secara estetis patut dicatat tidak terlalu banyak, maka dengan jumlah yang meningkat di tahun 2008, 12 Bambang Irawanto, Menguak Peta Perfilman Indoneisa, Kementrian Kebudayaan dan

  Pariwisata, Jakarta, 2004,h.15 13 14 JB.Kristanto,Katalog Film Indonesia.Jakarta:Penerbit Nalar,2005,h.46

  catatan bisa dibuat untuk lebih banyak film. Tahun 2008 ditandai dengan eksplorasi tema dan cara tutur. Dalam soal tema, selain persoalan perempuan, tahun 2008 ditandai dengan tingginya kebutuhan membicarakan mengenai identitas. Dua perbincangan identitas yang muncul dengan nyata di tahun 2008 adalah Islam dan etnis Cina, serta sedikit film yang mengangkat tema perempuan.

  Cerita film yang bermuatan atau mengambil genre Islam lebih banyak pada tahun itu juga berjumlah sekitar 8 film. Diantaranya Ayat-ayat Cinta, 3 Doa

  3 Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Kun Fa Ya Kuun, Doa Yang Mengancam, Sang Murrabi, Mengaku Rasul :Sesat, Syahadat Cinta sampai kepada film terakhir di penghunjung tahun 2009 yaitu Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2. Ayat-ayat Cinta menandai fase masuknya Islam ke dalam budaya pop. Mengulangi skripturalisme yang pernah dibawa oleh pahlawan seperti Rhoma Irama, Ayat-ayat Cinta mengangkat tema dan persoalan kelas menengah Islam Indonesia dalam memecahkan problema roman mereka. Keberhasilan film ini menjadi salah satu film Indonesia peraih penonton terbanyak sepanjang masa, membuat gelombang pembuatan film-film dengan simbol Islam di dalamnya menjadi cukup banyak.

  Film Ketika Cinta Bertasbih juga menjadi fenomena tersendiri dalam sejarah film islam di tanah air.

  Representasi identitas Islam yang paling menarik justru muncul dari 3 Doa 3 Cinta (Nurman Hakim) yang mengangkat kehidupan 3 orang anak pesantren.

  Dalam kisah keseharian anak-anak yang sedang mengalami coming of age ini, Nurman tidak melihat keislaman sebagai sebuah kategori pembeda dan penegas identitas, melainkan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketiga anak ini menemukan problem dan keterpesonaan pada berbagai hal seperti film, seks dan kesulitan hidup yang nyata yang membuat keimanan mereka harus berhadapan

  • – dengan itu semua. Berbeda dengan film-film Islam karya pasangan Asrul Sani Chaerul Umam di masa lalu (Titian Serambut Dibelah Tujuh, Al Kautsar, Nada dan Dakwah), 3 Doa menampilkan tokoh-tokoh manusia biasa yang tak berambisi mengubah dunia atau mengambil peran penting dalam sejarah. Muslim dalam 3 Doa sudah merupakan bagian dari sejarah negeri bernama Indonesia ini.

  Dari segi prestasi kita tahu Ayat-ayat Cinta ditonton tak kurang 3,8 juta orang. Tiket bioskop Ketika Cinta Bertasbih hari pertama tayang ludes dibeli 115

  15

  ribu orang. Lalu fenomena film Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, selain menjadi satu-satunya film asing yang berhasil syuting di Universitas Al Azhar Kairo dan menjadi satu-satunya film nasional dengan pemberitaan terpanjang selama setahun ke belakang, Mega Film Ketika Cinta Bertasbih sejak ditayangkan 11 Juni lalu, film ini kembali menghebohkan karena telah menyedot hampir 1 juta penonton. Angka yang belum pernah dicetak oleh satu film nasional pun di minggu perdana pemutarannya, hari pertamanya pun sebenarnya sudah menunjukkan antusisme masyarakat utk menonton. Pada tanggal 11 Juni film ini mendapatkan prestasi kembali dikota-kota lain, Samarinda tiket habis untuk semua pertunjukkan sampai malam harinya. Begitu juga kabar yang didapatkan dari Makassar, Pekan Baru, Yogyakarta, Semarang, Malang, Medan, dan bioskop- 15 bioskop di Jabodetabek. Yang kemudian tercatat total penonton Ketika Cinta

  16 Bertasbih di hari pertamanya mencapai angka 115 ribu.

  Oleh karena itu semakin banyaknya film-film Indonesia yang mengangkat tema Islam untuk dihadirkan kepada masyarakat, peneliti merasa perlu meneliti peran Gatekeeper dalam hal ini Lembaga Sensor Film dalam meneliti film bergenre Islam karena tentunya walaupun film mengambil tema keislaman, tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur yang dilarang untuk ditayangkan kepada masyarakat dan juga mengkritisi Lembaga Sensor Film dalam sebuah proses penyensoran. Hal inilah yang menjadi alasan pembuatan skripsi ini dengan judul

  

  

IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP

FILM-FILM ISLAM ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

  Agar pembahasan makalah ini tidak terlalu luas ruang lingkupnya, maka permasalahan ini kami batasi hanya pada ranah implementasi Lembaga Sensor Film dalam melakukan proses penyensoran sebagai subyek penelitiannya. Sementara untuk film bergenre Islam peneliti meneliti 5 film bertemakan Islam yang ada dari tahun 2008&2009, yang fenomenal dari segi prestasi film dan kontroversial dalam menampilkan pesan-pesan yang berkaitan dengan Islam sebagai obyek penelitiannya yaitu Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Mengaku rasul:Sesat, Perempuan Berkalung Sorban dan 3 Doa 3 Cinta. Adapun rumusannya adalah: 16

  1. Apakah dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film? 2.

  Bagaimana pelaksanaan sensor film?

  3 Bagaimanakah kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor?.

  4 Bagaimankah aplilkasi serta implementasi Lembaga Sensor Film terhadap film Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka tujuan bahasan makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui apakah dasar-dasar yang digunakan dalam sensor film .

  2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penyensoran film Islam.

  3. Untuk mengetahui kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor 4.

  Untuk mengetahui aplikasi serta implementasi Lembaga Sensor Film terhadap film Islam.

  Adapun Kegunaan penulisan penelitian ini adalah untuk: 1.

  Manfaat akademik, yaitu untuk mengembangkan keilmuan sosial dalam sub- bidang komunikasi yakni film, dalam hal ini proses penyensoran film, khususnya tentang sensor terhadap film Islam.

2. Manfaat praktis, yakni sebagai bahan suplemen bagi pengetahuan masyarakat

  tentang penyensoran, khususnya, tentang peranan dari Lembaga Sensor Film didalam penyensoran film-film Islam.

  D.Metodologi Penelitian

  1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan analisa deskriptif yaitu metode yang diartikan sebagai sebuah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang dan berdasarkan fakta-

  17

  fakta yang terjadi dilapangan sebagaimana adanya . Metode ini mempunyai langkah-langkah dalam penerapannya: a. Jenis penelitian

  Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian.

  b. Subyek penelitian Subyek peneltian adalah sumber tempat memperoleh keterangan. Adapun yang menjadi subyek penelitian adalah anggota Lembaga Sensor Film dan Rumah produksi film (Production Film).

  c. Obyek peneltian Obyek penelitian adalah penyensoran terhadap film-film Islam yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film. Sumber data adalah mereka yang dapat memberikan informasi tentang obyek penelitian. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu suatu pemecahan masalah dengan mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya melalui sumber data dan fakta yang ada. 17 Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: CV

  2. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran yang dipandang ilmiah dalam suatu penelitian terhadap hasil yang diperoleh.

  a.

  Data Primer Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara yang didapatkan dari beberapa perwakilan Lembaga Sensor Film dan beberapa rumah produksi yang memproduksi film Islam tersebut. Kemudian melakukan pengamatan langsung dilapangan terutama melihat proses penyensoran sebuah film.

  Kemudian dipilih visual atau gambar dari adegan-adegan film yang diperlukan untuk penelitian b.

  Data Sekunder Adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang mendukung data primer, seperti artikel koran, internet, kamus istilah komunikasi dan sebagainya.

  c.

  Studi dokumentasi Yaitu mempelajari bahan-bahan bacaan atau dokumen-dokumen yang ada, yang berhubungan dengan penelitian. Tujuannya adalah untuk guna melengkapi

  18

  sebuah penelitian. Dalam penelitian ini dokumentasi yang diambil berupa rekaman film, foto-foto film dan lainnya yang diperoleh melalui para narasumber baik dari Lembaga Sensor Film maupun rumah produksi film (production house) 18 Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset

  

Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran , (Jakarta: d.

  Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 5 film Islam yang diproduksi pada tahum

  2008&2009 menurut prestasi dan kontroversinya dimasyarakat yaitu Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Mengaku rasul:Sesat, Perempuan Berkalung Sorban dan 3 Doa 3 Cinta. Penelitian ini dilaksanakan di Gedung film kantor Lembaga Sensor Film di Jalan MT.Haryono kav 47-48, Jakarta dan di beberapa rumah produksi selama 2 bulan yaitu bulan Juli dan Agustus 2010.

  3. Teknik analisis data Teknik analsis data merupakan proses peyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Dalam penelitian ini metode yang peneliti gunakan adalah metode deskriptif yaitu cara melaporkan data dengan menerangkan, memberi gambaran dan mengklasifikasikan serta mengintepretasikan data yang terkumpul secara apa adanya dan kemudian meyimpulkannya, lalu diterangkan secara luas.

  Data yang diperoleh secara deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan dianggap akurat serta menuangkannya kedalam konteks penulisan karya ilmiah atau skripsi dengan cara menjabarkan, menerangkan, memberikan gambaran serta klasifikasi dan menginterpretasikan data-data yang terkumpul secara apa adanya, kemudian menarik kesimpulan atas permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut.

  4. Teknik pengolahan data Teknik pengolahan data dilakukan dengan memproses berbagai data yang berhasil dihimpun menjadi sesuatu yang berarti dan dapat menjadi informasi dalam bentuk penulisan skripsi ini.

  Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan buku “pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta UIN Jakarta Press, 2002), Cet. Ke-2.

E. Sistematika Penulisan

  Dalam sistematika yang digunakan oleh penulis yakni terdiri dari lima bab mengikuti pokok masalah yang akan dibahas oleh penulis. Adapun sistematika penulisanya sebagai berikut:

  Bab satu : Pendahuluan yang didalamnya terkandung latar belakang

  masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

  Bab dua : Tinjauan teoritis yang didalamnya berisi tentang pengertian

  sensor film, pengertian film, sejarah film, macam-macam film, unsur film, pengertian tentang film Islam. Mengenai teori dari buku-buku yang ditemukan peneliti guna mendukung dari penelitian ini dan model metodologi penelitian yang diterapkan dalam menganalisa data.

  Bab tiga : Gambaran umum Lembaga Sensor Film, sejarah sensor film di

  Indonesia, latar belakang berdirinya LSF, visi dan misi LSF, fungsi, tugas serta wewenang LSF, struktur organisasi LSF, program kerja LSF, mekanisme administrasi penyensoran, tata tertib penyensoran, tarif biaya penyensoran.

  Gambaran tentang film-film Islam, deskripsi film Ayat-ayat Cinta, deskripsi film Ketika Cinta Bertasbih, deskripsi film Mengaku Rasul:Sesat, deskripsi film Perempuan Berkalung Sorban, deskripsi film 3 Doa 3 Cinta

  Bab empat : Adalah pembahasan implementasi Lembaga Sensor Film

  terhadap film-film Islam, dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film, pelaksanaan sensor film Islam, kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor subjek penelitian dan berisikan mengenai penjelasan hasil analisis penyesoran film dari penelitian yang diperoleh peneliti.

  Bab lima : Penutup yang mengandung kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. SENSOR FILM 1. Pengertian Sensor Film Sensor Film adalah pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu

  19 yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya).

  

Khrisna Zen dalam bukunya, menulis sensor ini adalah sebagai fungsi kontrol di

  20

  bidang perfilman . Penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk

  

menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar

21

atau suara tertentu. Penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film

22

untuk dipertunjukan kepada khalayak umum.

B. FILM 1.

  Pengertian Film Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang

  23 dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid.

  Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk 19 20 SM Ardan, Sensor Film, Sinematek Indonesia, Jakarta, 2007, h.15 Khrisna Zen.Negara, Intel, dan Ketakutan,PACIVIS, Center for Global Civil Society

  Studies, University of Indonesia,2006,h.23 21 22 PeraturanPemerintah No 7 tahun 1994 Pasal 1 23 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Perfilman.

  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya

  24 sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret)

  25

  atau tempat gambar positif yang akan dimainkan di bioskop). Namun secara sederhana film hanyalah susunan gambar yang ada dalam seluloid, kemudian diputar dengan menggunakan teknoogi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, bisa didefiniksikan dalam berbagai makana. Ia

  26 menawarkan berbagi pesan dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.

  Menurut UU Perfilman No.8 tahun 1992 karya cipta budaya yang merupakan media komunikasi dipandang, didengar yang dibuat beradasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, dan bahan-bahan hasil temuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui

  27 proses kimiawi elektronik atau proses lainnya. 24 25 Heru Efendy, 2002, Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser, Yogyakarta,h.30 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka,2002),h.316. 26 Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter .FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapress),h.22. 27

  Banyak definisi film yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Alex Shobur, bahwa film merupakan bayangan yang diangkat di kenyataan hidup yang dilalami dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan selalu ada kecendrungan

  28

  untuk mencari relevansi antara film dengan relaitas kehidupan. Dan menurut Onong Uchjan Effendy film merupakan media bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai penerangan dan pendidikan. Para ahli bahasa juga merumuskan film sebagai “gambaran hidup” artinya, gambaran yang dihidupi atau kehidupan yang dilayarkan dalam gambar-gambar. Dalam gambaran hidup memuat 2 unsur penting yaitu isi visible (gambar) dan sisi invisible (ada pesan dan nilai

  29

  dibaliknya). Film adalah sebuah teknologi komunikasi massa yang menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan secara luas selain radio, televis,pers. Disamping itu film merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang komplek dan merupakan dokumentasi terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik. Film juga hasil multidimensional dan sangat komplek. Sementara itu Jakob Sumardjo dari pusat pendidikan film dan televisi menyatakan bahwa film berperan sebagai pengalaman dan nilai. Selain itu film juga dapat digunakan sebagai alat propaganda, karena film dianggap memiliki

  

30

  jangkauan, realisme, dan popularitas. Upaya pengembangan pesan dengan hiburan sudah lama diterapkan dalam mengembangkan pesan memiliki kelebihan karena dalam segi kemampuannya film dapat menjangkau sekian banyak orang 28 Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter .FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapress), h.95. 29 Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter .FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapres100-101 30 Joseph M Boggs, The Art of Watching Film, terjemahan Drs.Asrul Sani, Yayasan

  dalam waktu yang cepat dan serentak dan kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas.

  Karena film diangkat dari bayangan kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, itulah sebabnya selalu ada kecendrungan untuk mencari relevansi antara film dengan realitas kehidupan. Menurut Graenie Turner, film bentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi dan

  31 ideologi dari kebuyaan masyarakat.

2. Jenis-jenis Film a.

  Film Dokumenter (Documentary Films) Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya

  Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat

  32 sekitar tahun 1890-an.

  Tiga puluh enam tahun kemudian, kata „dokumenter‟ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat

  33

  dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas . Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan sampai saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal- hal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film documenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama, 31 32 Harun Suwandi, Pengantar Sejarah Film, Sinematek, Jakarta, 1999, h.8 33 Suwardi, Sejarah Film Dunia, Sinematek, Jakarta, 2000, h.19 terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup memuaskan. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program documenter tentang keragaman alam dan budaya.

  Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter. Di Indonesia, produksi film dokumenter untuk televisi dipelopori oleh stasiun televisi pertama kita, Televisi Republik Indonesia (TVRI). Beragam film documenter tentang kebudayaan, flora dan fauna Indonesia telah banyak dihasilkan TVRI. Memasuki era televisi swasta tahun 1990, pembuatan film dokumenter untuk televisi tidak lagi dimonopoli TVRI.