Makalah untuk agritech Samsul Rizal
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Karakteristik Organoleptik dan Kandungan Beta-lukan Tempe
dengan Penambahan Saccharomyces Cerevisiae
Characteristics Of Sensory And Beta-Glucan Content Of Tempe With Addition Of
Saccharomyces Cerevisiae
1) 1) 1) 1) 2)
Samsul Rizal , Maria Erna , Murhadi , Udin Hasanudin , Marniza
Jalan Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung 2)
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Email korespondensi:
ABSTRAK
Kapang R.oligosporus selama ini dianggap merupakan mikroba utama yang berperan dalam fermentasi tempe. Selain kapang, ternyata bakteri dan khamir juga memiliki peran penting dalam proses fermentasi tempe. Penambahan khamir selama fermentasi tempe mempengaruhi kandungan vitamin B12 dan aroma tempe serta diduga menghasilkan beta glukan dalam tempe. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh penambahan
Saccharomyces cerevisiae terhadap sifat organoleptik dan kandungan beta glukan pada tempe.
Perlakuan terdiri dari 2 (dua) faktor yaitu konsentrasi S. cerevisiae terdiri dari 1% dan 3%, perlakuan kedua adalah cara pemasakan terdiri dari 3 (dua) taraf yaitu tempe mentah, tempe digoreng, dan dikukus. Data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapat penduga ragam galat dan uji signifikansi untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan dianalisis menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk pengamatan terhadap sifat organoleptik tempe. Pengamatan sifat organoleptik dilakukan terhadap aroma langu, aroma khas tempe, rasa asam dan rasa pahit, dan penerimaan keseluruhan tempe. Terhadap hasil terbaik berdasarkan penilaian organoleptik tempe akan dianalisis kandungan beta glukannya. Hasil penelitian menunjukkan tempe yang dibuat dengan penambahan S. cerevisiae 1% dan digoreng memiliki sifat organoleptik terbaik. Karakteristik organoleptik tempe tersebut memiliki aroma khas tempe, bau langu lebih rendah, tidak berasa asam, dan tidak pahit. Meskipun berdasarkan skor penerimaan keseluruhan organoleptik, tempe yang diberi penambahan S. cerevisiae 1% dan digoreng lebih disukai panelis dibandingkan perlakuan lainnya, akan tetapi, penambahan S.
cerevisiae 3% menghasilkan tempe dengan kandungan beta glukan lebih tinggi (0,250%)
dibanding penambahan S. cerevisiae 1% (0,181%).Kata Kunci: Tempe kedelai, Saccharomyces cerevisiae, sifat organoleptik, beta glukan
ABSTRACT
Rhizopus oligosporus is the main microbe that plays a role in tempe fermentation.However, bacteria and yeasts also have a role in tempe fermentation process. The addition of yeast during fermentation affects the content of vitamin B12, flavor, and beta glucan content. This study aims to determine the effect of Saccharomyces cerevisiae addition and how to process tempe on the organoleptic properties and beta glucan content of soybean tempe. The treatment consisted of 2 (two) factors: S. cerevisiae concentration consisting of 1% and 3%, second treatment was cooking method consisted of 3 (three) levels ie without cooking, frying, and steaming. The data were analyzed by variance to get the error estimator and the significance test to know the influence between the treatments. To know the difference between treatments was analyzed using Duncan Multiple Range Test (DMRT) at 5% level for observation on organoleptic properties of tempe. Observation of organoleptic properties is done on the aroma of langu, the distinctive aroma of tempe, the taste of sour and bitter taste, the overall acceptance of tempe, and the content of beta glucan. The results showed that tempe made with the addition of S. cerevisiae 1% and fried had the best organoleptic properties. The organoleptic characteristics of tempe have a distinctive aroma of tempe, a lower odor, no taste of acid, and not bitter. Based on the overall organoleptic admissions score, tempe given 1% addition of S. cerevisiae and fried were preferably panelists compared to other treatments. However, the addition of S. cerevisiae 3% resulted in tempe with a higher beta glucan content (0.250%) than the addition of S. cerevisiae 1% (0.181%).
Keywords: Soybean tempe; Saccharomyces cerevisiae; characteristic of sensory; beta glucan. PENDAHULUAN
Tempe merupakan makanan tradisional popular asal Indonesia yang terbuat dari kedelai dan bermanfaat sebagai sumber serat pangan bagi kesehatan manusia (Soka dkk., 2014). Tempe dibuat dengan cara memfermentasi kedelai dengan menginokulasikan jamur
Rhizopus oligosporus (De Reu dkk., 1994). Proses fermentasi kacang kedelai menjadi tempe
akan memperbaiki sifat fisik maupun komposisi kimia kedelai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan oleh tubuh. Hal ini dikarenakan kapang Rhizopus oligosporus yang tumbuh selama fermentasi kedelai mampu menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Kasmidjo, 1990).
Selama ini, dalam proses fermentasi tempe, kapang adalah mikroba yang paling berperan dan disusul oleh bakteri. Proses fermentasi pada pembuatan tempe meliputi dua tahap, yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri yang berlangsung selama proses perendaman kedelai, dan fermentasi oleh kapang yang berlangsung setelah diinokulasi dengan kapang.
Mulyowidarso dkk. (1989) menyatakan bahwa bakteri merupakan mikroflora yang secara nyata selalu tumbuh selama fermentasi tempe dan mempunyai peran yang penting. Proses fermentasi dalam pembuatan tempe dapat mempertahankan sebagian besar zat-zat gizi yang
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi, 2010).
Selama ini R. oligosporus dianggap sebagai mikroba yang berperan utama dalam pembuatan tempe karena dapat mempertahankan sebagian besar zat-zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B (Muchtadi, 2010 dalam Mursyid, 2014). Selain jamur dan bakteri yang sudah dipelajari keterlibatannya dalam fermentasi tempe, terdapat kemungkinan bahwa khamir (ragi) dapat tumbuh selama fermentasi tempe (Nout dan Kiers, 2005). Menurut Samson dkk. (1987), beberapa jenis khamir telah ditemukan terdapat dalam tempe yang dipasarkan dan selama perendaman kedelai untuk pembuatan tempe. Ditemukannya khamir dalam fermentasi tempe menunjukkan bahwa khamir mampu tumbuh dan berinteraksi dengan mikroflora lain yang terdapat dalam temped dan kemungkinan khamir mempunyai peran dalam meningkatkan kualitas nutrisi dan flavor tempe (Kustyawati, 2009). Salah satu jenis khamir yang ditemukan dalam fermentasi tempe adalah Saccharomyces
cerevisiae. Oleh karena itu pada penelitian ini kultur Saccharomyces cerevisiae akan
ditambahkan sebagai perlakuan dalam pembuatan tempe. Pemilihan Saccharomyces
cerevisiae dengan pertimbangan karena khamir ini mampu memproduksi beta glukan
(Thontowi dkk., 2007; Cecchini dkk. 2016; Yunilawati, dkk. 2015) yang dikenal sebagai biological defense modifier (BDM).
B-Glucan, salah satu komponen dinding sel utama Saccharomyces cerevisiae, telah ditemukan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa B-glucans, baik yang larut maupun tidak larut, yang diisolasi dari ragi, menunjukkan aktivitas antitumor, antimikroba dan radioprotektif (Altuwaijri dkk., 1987; Browder dkk., 1989). Lee dkk. (2001) juga menyatakan bahwa β-Glukan memiliki berbagai aktivitas biologis sebagai antitumor, antioksidan, antikolesterol, anti penuaan dini, dan peningkat sistem imun. Dengan demikian, penambahan khamir dalam fermentasi tempe, selain dapat meningkatkan aroma diharapkan juga mampu menghasilkan tempe yang mengandung beta glukan, sehingga tempe yang dihasilkan memiliki keunggulan lebih dikarenakan kandungan beta glukan tersebut.
Tempe yang dihasilkan selanjutnya akan dimasak dengan beberapa cara pemasakan. Cara pemasakan tempe yang umum dilakukan di rumah tangga adalah digoreng, direbus, dan dikukus. Penambahan Saccharomyces cerevisiae dalam pembuatan tempe dan cara pemasakan diharapkan mampu meningkatkan kualitas nutrisi dan karakterisitik sensori tempe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan Saccharomyces cerevisiae dan cara pemasakan terhadap sifat organoleptik (rasa dan aroma) dan kandungan beta glukan tempe yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah kedelai, ragi tempe dengan merek dagang RAPRIMA, Media agar produksi Oxoid meliputi PDA, Malt Extract Agar (MEA), kultur
Saccharomyces cerevisiae (berupa Fermipan), NaOH 2%, CH COOH 2 M,, akuades, etanol,
3
dan aluminium foil. Alat-alat yang digunakan antara lain autoklaf, spektrofotomoter , incubator dan alat-alat gelas untuk analisis mikrobiologi.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor dan empat ulangan. Faktor pertama adalah penambahan Saccharomyces
cerevisiae dengan dua taraf, yaitu 1% (K1) dan 3% (K2). Faktor kedua adalah cara
pemasakan tempe, yaitu mentah (P1), digoreng (P2), dan dikukus (P3). Data yang dihasilkan dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapat penduga ragam galat dan uji signifikansi untuk
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
mengetahui pengaruh antar perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan dianalisis menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk pengamatan terhadap sifat organoleptik tempe.
Pembuatan Tempe Kedelai
Pembuatan tempe kedelai dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae dilakukan berdasarkan Aptesia (2013). Tahapan yang dilakukan meliputi: kedelai disortasi untuk dipilih biji kedelai yang baik dan padat, lalu dicuci menggunakan air yang mengalir sampai kotoran yang melekat terlepas dari biji kedelai. Selanjutnya kedelai direbus pada suhu 100°C selama 30 menit dalam air yang mendidih sampai kulit ari mudah terkelupas. Biji kedelai direndam dalam air selama 24 jam. Kulit ari dikupas dari biji kedelai dan direbus lagi selama 30 menit, lalu ditiriskan dan didinginkan. Tahap peragian dilakukan dengan cara setiap 100 gram kedelai ditambahkan ragi tempe sebanyak 0,2 gram diaduk sampai rata dan ditambahkan
Saccharomyces cerevisiae sesuai perlakuan (1 dan 3%). Setelah tercampur rata, biji kedelai
dimasukan dalam plastik pengemas yang telah dilubangi. Biji kedelai yang dimasukan tersebut masing-masing memiliki berat 20 gram dalam setiap bungkusnya dan diberi label agar tidak tertukar. Biji kedelai tersebut diletakan di atas tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu tampah diletakkan di atas rak yang terlindungi dari sinar/cahaya.
Selanjutnya biji kedelai difermentasi pada suhu ruang yaitu sekitar 27-30°C dan dilakukan pengamatan tempe.
Pengamatan Uji Organoleptik
Penilaian sifat organoleptik dilakukan oleh 25 panelis semi terlatih (Nuraini dan Nawansih, 2006).Ujiskoring digunakan untuk menilai rasa, aroma dan penerimaan keseluruhan. Sebelum melakukan pengujian organoleptik, panelis melakukan Focus Group
Discussing (FGD) untuk menentukan parameter rasa dan aroma yang akan digunakan dalam pengujian organoleptik. Pengujian sensori dengan teknik FGD melibatkan panelis dan moderator. Panelis melakukan pengujian bersama dalam satu ruangan dengan kondisi yang telah diatur agar bebas dari suara bising serta aroma-aroma yang dapat mengganggu penilaian panelis. Panelis dengan arahan moderaator mendiskusikan dan menggali atribut sensori rasa dan aroma pada tempe. Sampel yang digunakan yaitu tempe mentah, tempe goreng, dan tempe kukus sesuai dengan penambahan konsentrasi fermipan (Saccharomyces cerevisiae) yang digunakan. Setiap sampel diberi kode tiga angka acak. Panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap parameter tempe dengan memberikan skor sesuai dengan kesan masing-masing
Kandungan Betaglukan
Penetapan kandungan beta glukan pada tempe yang diberi penambahan Saccharomyces cerevisiae menggunakan metode yang digunakan Kusmiati (2007).
Pembuatan larutan uji β-glukan.
Masing- masing β-glukan (crude) kering yang berasal dari berbagai perlakuan media fermentasi, ditimbang seksama, kemudian masing-masing ditambah 4 ml natrium hidroksida
1 N hingga larut. Sejumlah volume tertentu larutan uji ini digunakan untuk analisis kadar β- glukan ekivalen glukosa dan sejumlah volume tertentu untuk analisis protein.
Volume larutan uji yang digunakan disesuaikan agar serapan pada spektrofotometri cahaya tampak selalu diantara 0,2 dan 0,8. Dengan demikian Faktor pengenceran (Fp) larutan kontrol maupun larutan uji mungkin berbeda satu dari yang lain.
Penetapan kadar β-glukan dengan metode Fenol-Sulfat
Kadar β-glukan ditetapkan sebagai glukosa dengan cara memecah (hidrolisis) β-glukan menjadi monomer D-glukosa, kemudian ditetapkan kadar glukosanya. Masing-masing larutan
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
uji diambil sejumlah volume tertentu dan ditambah akuades sehingga total volume 1,0 ml. Perlakuan selanjutnya sama dengan penetapan kadar glukosa dalam molase. Hasil pengukuran serapan diekstrapolasi ke persamaan garis regresi baku glukosa untuk memperoleh kadar glukosa dalam larutan uji yang diukur. Dengan memperhitungkan faktor pengenceran pada setiap larutan uji dan bobot kering β-glukan (crude), maka kadar β-glukan ekivalen glukosa dalam masing- masing larutan uji dapat ditetapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Organoleptik
Pengamatan organoleptik terhadap tempe yang diberi perlakuan penambahan
Saccharomyces cerevisiae dan cara pemasakan yang berbeda terdiri dari parameter rasa dan
aroma. Atribut sensori rasa dan aroma tempe selanjutnya ditentukan berdasarkan hasil Focus
Group Discussion (FGD) dengan para panelis semi terlatih. Diskusi ini dilakukan untuk
menentukan atribut sensori yang akan digunakan pada pengujian organoleptik. Metode FGD dilakukan setelah masing-masing panelis mencicipi satu per satu sampel tempe yang telah diberi perlakuan kemudian membahasnya dalam forum diskusi untuk menentukan atribut sensori dari rasa dan aroma. Adapun atribut sensori hasil FGD yang dipilih terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Atribut sensori hasil Focus Group Discussion (FGD)
Komponen Sensori Atribut Sensori Aroma Khas Tempe Aroma Langu
Rasa Asam Rasa Pahit
Aroma Khas Tempe
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan konsentrasi Saccharomyces cerevisiae berpengaruh sangat nyata terhadap aroma khas tempe yang dihasilkan pada tempe. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae menunjukkan perlakuan K1 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan K2. Perlakuan K1 memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan K2 dengan skor aroma masing-masing 3,870 dan 3,540 (Tabel 2). Skor penilaian aroma khas tempe adalah 1 (sangat tidak khas tempe), 2 (tidak khas tempe), 3 (agak khas tempe), 4 (khas tempe), dan 5 (sangat khas tempe).
Tabel 2. Hasil uji lanjut DMRT aroma khas tempe terhadap faktor konsentrasi
Saccharomyces Cerevisiae
Perlakuan Nilai Tengah
a
K1 3,870
a
K2 3,540 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tarafα 5% (berlaku pada kolom yang sama). K1=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1%, K2=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 3%
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pemasakan sangat berpengaruh nyata terhadap aroma khas tempe yang dihasilkan. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor pemasakan menunjukkan masing-masing perlakuan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Skor aroma khas tempe tertinggi terdapat pada tempe Saccharomyces cerevisiae yang dimasak dengan cara dikukus yaitu 3,950. Hasil uji lanjut DMRT skor aroma khas tempe terhadap faktor pemasakan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji lanjut DMRT aroma khas tempe terhadap faktor pemasakan tempe Perlakuan Nilai Tengah
b
P1 3,770
a
P2 3,950
c
P3 3,395 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% (berlaku pada kolom yang sama).
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Perubahan aroma tempe Saccharomyces cerevisiae ini disebabkan oleh pertumbuhan kapang dan khamir Saccharomyces cerevisiae selama proses fermentasi. Menurut Kustyawati (2009), pertumbuhan kapang dan Saccharomyces cerevisiae dapat mendorong pertumbuhan kapang dan mengubah penampakan dan flavor tempe. Khamir akan berkontribusi pada interaksi antara mikroorganisme, perubahaan tekstur, dan biosintesa komponen flavor (Fleet, 1990; Welthagen dan Vilijoen, 1999). Fermentasi kedelai dengan R.oligosporus dan S. boulardii, menghasilkan tempe dengan aroma harummanis yang menutupi aroma kedelai pada umumnya karena khamir mempunyai aktivitas proteolitik dan lipolitik yang sangat tinggi sehingga mampu menghidrolisa protein maupun lemak menghasilkan asam amino, ester, asam lemak, etanol, acetaldehid, ethil acetate dan ethyl butyrate yang merupakan komponen flavor dan aroma (Villijoen dan Greyling, 1995).
Aroma Langu
Hasil analisis sidik ragam menunjukan cara pemasakan berpengaruh sangat nyata terhadap aroma langu pada tempe. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor pemasakan terhadap skor aroma langu pada tempe menunjukkan bahwa perlakuan P2 berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya yaitu P1 dan P3. Skor penilaian aroma langu pada tempe adalah 1 (sangat langu), 2 (langu), 3 (agak langu), 4 (tidak langu), dan 5 (sangat tidak langu). Hasil uji lanjut dengan DMRT didapatkan bahwa tempe yang digoreng memiliki aroma yang tidak langu (Tabel 4). Tabel 4. Hasil uji lanjut DMRT aroma langu terhadap faktor pemasakan tempe
Perlakuan Nilai Tengah
b
P1 3,170
a
P2 3,845
b
P3 3,140
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
α 5% (berlaku pada kolom yang sama). P1=mentah, P2= penggorengan, P3=pengukusan Wihandini dkk. (2012) menjelaskan bahwa bau langu terjadi karena aktivitas enzim lipoksigenase yang ada secara alami terdapat dalam kedelai. Enzim ini aktif saat biji kedelai pecah pada proses pengupasan kulit dan penggilingan karena kontak dengan udara (oksigen).
Kandungan enzim lipoksigenase bervariasi antar varietas/galur kedelai sehingga intensitas langu masing-masing varietas kedelai juga bervariasi. Hilangnya aroma langu ini disebabkan pengaruh pemanasan selama penggorengan tempe yang menyebabkan terjadinya inaktivasi enzim lipoksigenase.
Aroma tempe yang dihasilkan pada fermentasi tempe terbentuk karena adanya aktivitas enzim dari kapang yang digunakan. Enzim ini akan memecah protein dan lemak kedelai membentuk aroma yang khas. Komponen aroma yang dihasilkan memiliki ukuran dan berat molekul yang lebih kecil dari bahan awalnya sehingga komponen lebih mudah menguap (volatil) dan tercium sebagai bau tempe. Aroma yang muncul tergantung pada jenis komponen yang dihasilkan selama proses fermentasi (Wihandini dkk., 2012).
Rasa Asam
Skor penilaian aroma langu pada tempe Saccharomyces cerevisiae meliputi 1 (sangat asam), 2 (asam), 3 (agak asam), 4 (tidak asam), dan 5 (sangat tidak asam). Semakin tinggi nilai skor rasa asam maka semakin tidak sama rasa tempe yang dihasilkan. Analisis ragam terhadap data skor rasa asam tempe menunjukkan bahwa konsentrasi Saccharomyces
cerevisiae dan jenis pemasakan sangat berpengaruh terhadap rasa asam tempe Saccharomyces
cerevisiae yang dihasilkan. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae menunjukkan perlakuan konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1% (K1) dan 3%(K2) saling berbeda nyata terhadap rasa asam tempe Saccharomyces cerevisiae. Skor rasa
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
asam tertinggi terdapat pada tempe Saccharomyces cerevisiae yang diberi perlakuan 1% (K1) yaitu 3,290 (agak asam), sedangkan perlakuan konsentrasi 3% (K2) menghasilkan tempe dengan skor rasa asam 3,033 (agak asam). Hasil uji lanjut rasa asam pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil uji lanjut DMRT rasa asam terhadap faktor konsentrasi Saccharomyces
Cerevisiae
Perlakuan Nilai Tengah
a
K1 3,290
b
K2 3,033 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% (berlaku pada kolom yang sama).
K1=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1%, K2=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 3%
Pada faktor pemasakan, hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa semua perlakuan, baik control (tempe mentah), pemasakan dengan penggorengan (P2), maupun pemasakan dengan cara pengukusan (P3) berbeda nyata antara perlakuan satu dengan perakuan lainnya terhadap rasa asam tempe yang dihasilkan. Skor rasa asam tertinggi terdapat pada tempe
Saccharomyces cerevisiae yang dimasak dengan cara digoreng (P2) yaitu 3,535 (cenderung
tidak asam). Perlakuan control (tempe mentah, P1) memiliki skor rasa asam 3,020 (agak asam) sedangkan perlakuan P3 (pengukusan) menghasilkan tempe dengan skor rasa asam 2,880 (cenderung agak asam). Hasil uji lanjut rasa asam pada faktor pemasakan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil uji lanjut DMRT rasa asam terhadap faktor pemasakan tempe Perlakuan Nilai Tengah
b
P1 3,020
a
P2 3,535
c
P3 2,880
α 5% (berlaku pada kolom yang sama). P1=mentah, P2= penggorengan, P3=pengukusan
Rasa asam pada tempe Saccharomyces cerevisiae timbul karena pengaruh fermentasi yang melibatkan Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian Kustyawati (2009) menyatakan bahwa khamir berkontribusi terhadap interaksi antara mikroorganisme, perubahan tekstur dan biosintesa komponen flavor. Komponen flavor yang timbul akan menyebabkan perubahaan aroma dan rasa pada tempe. Menurut Dwinaningsih (2010), aroma khas ini ditunjukkan dengan adanya bau seperti tape atau alkohol yang disebabkan oleh proses fermentasi yang melibatkan Saccharomyces cerevisiae. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya komponen karbohidrat yang diurai oleh kapang dan Saccharomyces cerevisiae selama proses fermentasi.
Perubahaan aroma yang dihasilkan selama proses fermentasi akan menyebabkan perubahan rasa yang dihasilkan pada tempe.
Rasa Pahit
Skor penilaian rasa pahit pada tempe meliputi 1 (sangat pahit), 2 (pahit), 3 (agak pahit), 4 (tidak pahit), dan 5 (sangat tidak pahit). Semakin tinggi skor penilaian maka rasa tempe semakin tidak pahit. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rasa pahit tempe dipengaruhi secara nyata oleh faktor pemasakan. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor pemasakan terhadap rasa pahit tempe Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa pemasakan dengan cara pengukusan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya dengan skor 3,015 (agak pahit). Skor rasa pahit tertinggi diperoleh pada tempe yang dimasak dengan cara digoreng, yaitu skor 3,485 (mendekati tidak pahit). Hasil uji lanjut rasa pahit pada faktor pemasakan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji lanjut DMRT rasa pahit terhadap faktor pemasakan tempe
Perlakuan Nilai Tengah
a
P1 3,355
a
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada b
P3 3,015 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% (berlaku pada kolom yang sama). P1=mentah, P2= penggorengan, P3=pengukusan
Fermentasi kedelai dengan R. oligosporus dan S. boulardii menghasilkan tempe dengan aroma harum-manis yang menutupi aroma langu kedelai pada umumnya karena yeast mempunyai aktivitas proteolitik dan lipolitik yang sangat tinggi (Kustyawati, 2009). Aktivitas protiolitik dan lipolitik mikroba mampu menghidrolisa protein maupun lemak menghasilkan asam amino, ester, asamlemak, etanol, acetaldehid, ethil acetate dan ethyl butyrateyang merupakan komponen flavor dan aroma (Villijoen dan Greyling, 1995).
Penerimaan Keseluruhan
Penerimaan keseluruhan merupakan parameter pengamatan organoleptik yang mencakup parameter aroma langu, aroma khas tempe, rasa asam, dan rasa pahit pada tempe yang diberi perlakuan penambahan Saccharomyces cerevisiae dengan cara pemasakan yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, skor penerimaan keseluruhan tertinggi pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae dimiliki oleh tempe dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1% (K1), sedangkan pada faktor pemasakan skor tertinggi dimiliki oleh tempe yang dimasak dengan cara digoreng (P2). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi Saccharomyces cerevisiae dan perlakuan cara pemasakan berpengaruh sangat nyata terhadap penerimaan keseluruhan tempe
Saccharomyces cerevisiae, sedangkan interaksi antara konsentrasi Saccharomyces cerevisiae
dan cara pemasakan tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan keseluruhan tempe yang dihasilkan. Hasil uji lanjut DMRT pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1% (K1) berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 3% (K2). Hasil uji lanjut penerimaan keseluruhan terhadap tempe Saccharomyces cerevisiae pada faktor konsentrasi Saccharomyces cerevisiae disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil uji lanjut DMRT penerimaan keseluruhan terhadap faktor konsentrasi
Saccharomyces cerevisiae
Perlakuan Nilai Tengah
a
K1 3,210
b
K2 3,010
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% (berlaku pada kolom yang sama). K1=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1%, K2=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 3%
Hasil uji lanjut DMRT terhadap penerimaan keseluruhan tempe Saccharomyces
cerevisiae pada faktor cara pemasakan menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (tempe mentah,
P1) berbeda nyata dengan perlakuan penggorengan (P2) dan perlakuan pengukusan (P3). Skor penerimaan keseluruhan tertinggi diperoleh pada tempe Saccharomyces cerevisiae yang dimasak dengan cara digoreng (P3) yaitu 3,53 (disukai). Sementara itu, skor penerimaan keseluruhan tempe dengan perlakuan P1 (tempe mentah, tanpa pemasakan) dan pengukusan (P3) adalah 3,070 (agak disukai) dan 2,730 (cenderung agak disukai). Hasil uji lanjut penerimaan keseluruhan terhadap faktor pemasakan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil uji lanjut DMRT terhadap skor penerimaan keseluruhan tempe pada faktor cara pemasakan tempe.
Perlakuan Nilai Tengah
b
P1 3,070
a
P2 3,530
c
P3 2,730 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α 5% (berlaku pada kolom yang sama).
P1=mentah, P2= penggorengan, P3=pengukusan Hasil penelitian Gultom (2009) menunjukkan bahwa pada pengujian organoleptik tempe, penambahan fermipan 1 % menghasilkan tempe yang lebih disukai panelis dibandingkan dengan tempe dengan penambahan ragi tempe biasa dan tempe dengan
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
penambahan biakan murni Saccharomyces cerevisiae. Kesukaan panelis ini dikarenakan aromanya yang khas tempe dan sedikit lebih harum, rasanya yang disukai, tekstur yang kompak dan juga miselium yang banyak.
Perlakuan Terbaik Pemilihan perlakuan terbaik dilakukan berdasarkan pada parameter organoleptik.
Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang memiliki hasil organoleptik aroma langu (skoring), aroma khas tempe (skoring), rasa asam (skoring), rasa pahit (skoring), dan penerimaan keseluruhan (hedonik) tertinggi. Hasil analisis perlakuan terbaik dengan perlakuan konsentrasi Saccharomyces cerevisiae dan cara pemasakan disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rekapitulasi hasil pengujian organoleptik tempe yang diberi perlakuan Saccharomyces cerevisiae dan cara pemasakan.
Perlakuan Parameter
K1P1 K2P1 K1P2 K2P2 K1P3 K2P3
b b a* a b b
Aroma langu 3,150 3,190 3,970 3,720 3,120 3,160
b cd a* c d e
Aroma khas 3,950 3,590 4,160 3,740 3,500 3,290 tempe
c c a* b c d
Rasa asam 3,090 2,950 3,710 3,460 3,070 2,690
ab ab a* a bc c
Rasa pahit 3,370 3,340 3,520 3,450 3,140 2,890
c d a* b d e
Penerimaan 3,150 2,990 3,610 3,450 2,870 2,590 keseluruhan Keterangan:
1. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% dan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5% (parameter kekerasan)
2. Tanda (*) = perlakuan terbaik
3. P1=mentah, P2= penggorengan, P3=pengukusan
4. K1=konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 1%, K2=konsentrasi Saccharomyces
cerevisiae 3%
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa berdasarkan penilaian organoleptik perlakuan penambahan Saccharomyces cerevisiae K1 (1%) dan cara pemasakan penggorengan (P2) merupakan perlakuan terbaik. Tempe dengan perlakuan K1P2 (tempe yang diproduksi dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1% dan digoreng) memiliki karakteristik terbaik pada sebagian besar parameter organoleptik. Hal ini didasarkan pada uji lanjut yang dilakukan terhadap pada masing-masing parameter organoleptik. Tempe dengan penambahan
Saccharomyces cerevisiae 1% dan cara pemasakan penggorengan memiliki aroma tidak
langu; aroma khas tempe; rasa agak asam; rasa agak pahit. Meski demikian perlakuan penggorengan mungkin akan beresiko menurunkan kadar protein tempe sebagaimana hasil penelitian Fajri dan Sulasmi (2014) bahwa perlakuan penggorengan dapat menurunkan kadar protein pada tempe kacang tanah.
Kandungan Betaglukan
Analisis kandungan beta glukan dilakukan pada tempe yang telah digoreng baik dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1 maupun 3%. Hal ini dikarenakan tempe yang dimasak dengan cara digoreng merupakan tempe terbaik berdasarkan penilaian organoleptik. Hasil pengujian beta glukan menunjukkan bahwa tempe yang dibuat dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 3% memiliki kandungan beta glukan lebih tinggi dibandingkan dengan tempe yang dibuat dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1%, meskipun dari segi organoleptik tempe dengan Saccharomyces cerevisiae 1% lebih disukai (Tabel 11). Kandungan beta glukan dalam tempe diduga karena adanya penambahan
Saccharomyces cerevisiae selama proses fermentasi tempe. Hal terbukti dengan
meningkatnya jumlah betaglukan tempe dengan meningkatnya jumlah Saccharomyces cerevisiae yang ditambahkan.
Tabel 11. Kandungan beta glukan tempe dengan penambahan S. cerevisiae 1 dan 3% yang dimasak dengan cara digoreng.
Sampel Betagluka (% w/w dry basis) Tempe (S. cerevisiae 1% digoreng) 0,181 Tempe (S. cerevisiae 3% digoreng) 0,250
Tempe dengan perlakuan terbaik berdasarkan parameter organoleptik, yaitu dengan
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
penambahan Saccharomyces cerevisiae 1% memiliki kandungan beta glukan 0,181%, sedangkan dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 3% memiliki kandungan beta gluka 0,25%. Meskipun secara organoleptik perlakuan yang terbaik adalah tempe goreng yang diberi perlakuan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1% dengan kandungan beta glukan sebesar 0,181% tetapi penambahan Saccharomyces cerevisiae yang direkomendasikan untuk digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae 3% karena kandungan beta glukan tempe yang dihasilkan lebih tinggi yaitu 0,250 %. Hal ini dikarenakan target dari penambahan
Saccharomyces cerevisiae pada pembuatan tempe ini adalah adanya kandungan beta glukan
pada tempe yang dihasilkan. Meskipun tempe dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae 3% bukan merupakan yang terbaik secara organoleptik, akan tetapi skor penilaian penerimaan keseluruhan kedua perlakuan penambahan Saccharomyces cerevisiae 1% dan 3% masih dalam kisaran yang sama yaitu 3,610 dan 3,450 (cenderung disukai).
Betaglukan merupakan homopolimer glukosa yang diikat melalui ikatan ß-(1,3) dan ß- (1,6)-glukosida (Ha dkk., 2002) dan banyak ditemukan pada dinding sel beberapa bakteri, tumbuhan, dan khamir (Hunter dkk., 2002). Salah satu khamir uniseluler yang tersebar luas di alam dan merupakan galur potensial penghasil betaglukan adalah Saccharomyces cerevisiae, karena sebagian besar dinding selnya tersusun atas betaglukan (Lee dkk., 2001). Mikrobia ini bersifat nonpatogenik dan nontoksik, sehingga sejak dahulu banyak digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pada pembuatan roti, asam laktat, dan alkohol (Lee, 1992).
Betaglukan dapat digunakan sebagai zat aditif pada makanan (Cheeseman & Brown 1995). Zat-zat yang terkandung dalam beta glukan dapat merangsang sistem kekebalan tubuh, modulasi imunitas humoral dan selular, dengan demikian memiliki efek menguntungkan dalam memerangi infeksi bakteri, virus, jamur danparasit (Widiastuti dkk., 2011). Dengan demikian, kandungan beta glukan dalam tempe diharapkan lebih meningkatkan nilai lebih tempe selain keunggulan tempe yang sudah dikenal selama ini. Tempe Saccharomyces
cerevisiae yang mengandung beta glukan diharapkan memiliki peran positif bagi kesehatan
sebagaimana fungsi beta glukan itu sendiri, meskipun hal ini perlu pembuktian melalui penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Perlakuan penambahan Saccharomyces cerevisiae dan cara pemasakan berpengaruh sangat nyata terhadap rasa asam, aroma khas tempe dan penerimaan keseluruhan pada tempe.
2. Berdasarkan parameter organoleptik, tempe yang diberi perlakuan Saccharomyces
cerevisiae 1% dan dimasak dengan cara digoreng lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya.
3. Penambahan Saccharomyces cerevisiae berpengaruh terhadap kandungan beta glukan tempe dan kandungan beta glukan tertinggi terdapat pada tempe dengan penambahan
Saccharomyces cerevisiae 3% dengan perlakuan penggorengan, yaitu sebesar 0,25%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kementerian Ristek Dikti yang telah membantu pendanaan penelitian melalui skim Penelitian Fundamental atau Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2017. Ucapan terimakasih juga disampakan kepada Gita Ayu Ambarwati dan Intan Ramadhani yang telah membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Altuwaijri, A.S., A.A. Mahmoud, I.A. Almopleh, S.A. Alkhuwaitir. (1987). J. Med.
Microbiol., 23, 363.
Jurnal Agritech, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Aptesia, L.T. (2013). Pemanfaatan Lactobacillus Casei dan Tapioka Dalam Upaya Menghambat Kerusakan Tempe Kedelai. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Browder, I.W., R.B. McNamee, E.L. Jones. (1989). Int. J. Immunopharmacol., 11, 403. Cecchini, F., Bevilacqua, N., Giannini, B., dan Morrasut, M. 2016. The Potential Use of
Yeast Lees (1-3, 1-6) B-Glucans As Functional Food Ingredients. Internet Journal of Enology and Viticulture, 2016. N. 4/1. Cheeseman, I. M, and R. M. Brown, jr. (2000). Microscopy of Curdlan Structure. Department of Botany. The University of Texas. Austin. De Reu, J.C., Ramdaras. D., Rombouts F.M. dan Nout, M.J.R. (1994). Changes in soya bean lipids during tempe fermentation. Food Chemistry. 50: 171175. Dwinaningsih, E.A. (2010). Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak serta Lama Fermentasi. (Skripsi).
Universitas Sebeleas Maret. Surakarta Fajri, M. dan Sulasmi. 2014. Pengaruh Pengepresan dan Penggorengan terhadap Zat Gizi pada Tempe Kacang Tanah. Prosiding Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan
Umbi. Fleet, G.H. (1990). A Review: Yeast in dairy product. Journal of Applied Microbiology 1990, 68, 199-211.
Gultom, U.Y. (2009). Kajian Penambahan Yeast (Saccharomyces cereviciae) Terhadap Kandungan Nutrisi dan Sifat Organoleptik Tempe. (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandarlampung. Ha, C.H., K.H. Lim, Y.T. Kim, S.T. Lim, C.W. Kim, H.L. Chang. (2002). Appl. Microbiol.
Biotechnol., 58, 370. Hunter, K.W., R.A. Gault, M.D. Berner. (2002). Appl. Microbiol., 35, 267. Kasmidjo, R. B., (1990). TEMPE: Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakata.
Kulickle, W.M., A.L. Lettau, and H. Thielking. (1996). Correlation between immunological activity, molar mass, and molar structure of different (1,3)-β-D-glucans. Carbohydrate
Research 297: 135-143.
Kustyawati, M.E. (2009). Kajian Peran Yeast Dalam Pembuatan Tempe. Agritech, Vol.
29, No. 2, Juli 2009. Lee, J.N., D.Y. Lee, I.H. Ji, G.E. Kim, H.N. Kim, J. Sohn, S. Kim, C.W. Kim. (2001). Biosci.
Biotechnol. Biochem., 65, 837. Lee, J.M. (1992). Biochemical Engineering. New Jersey: Prentice Hall Mulyowidarso, R.K., Fleet, G.H. dan Buckle, K.A. (1989). The microbial ecology of soybean soaking for tempe production. International Journal of Food Microbiology. 8: 3546. Mursyid. 2014. Kandungan Zat Gizi dan Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Kedelai Lokal dan
Impor serta Aktivitas Antioksidannya. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor Nout, M.J.R. and Kiers, J.L. (2005). A Review: Tempe fermentation, innovation and functionality: update into he third millennium. Journal of Applied Microbiology 2005,
98, 789–805. Samson, R.A., Kooij, V. dan deBoer, E. (1987). Microbiological quality of commercial tempeh in the Netherlands.Journal of Food Protection50: 9294.
Shokria , H., Asadi, F. and Khosravi, A.R. (2008). Isolation of β -glucan from the cell wall of Saccharomyces cerevisiae. Natural Product Research, Vol. 22, No. 5, 20 March 2008, 414–421.
Tonthowi, A., Kusmiati, dan Nuswantara, S. (2007). Produksi B-Glukan Saccharomyces cerevisiae dalam Media dengan Sumber Nitrogen Berbeda pad aAir-Lift Fermentor.
Biodiversitas. Vol. 8, Nomor 4. 253-256. Villijoen, B.C. dan Greyling, T. (1995). Yeast associated with cheddar and gouda making.
International Journal of Food Microbiology 28: 79-88.
Welthagen, J.J. dan Vilijoen, B.C. (1999). The isolation and identification of yeasts obtained during the manufacture and ripening of cheddar cheese. Food Microbiology 16: 63-73. Wihandini, D. B., Lily Arsanti, Agus Wijarnaka. (2012). Sifat Fisik, Kadar Protein, dan Uji
Organoleptik Tempe Kedelai Hitam dan Tempe Kedelai Kuning dengan Berbagai Metode Pemasakan. Nutrisia, Vol. 14, No. 1, Maret 2012. Soka, S., Suwanto, A., Sajuthi, D., dan Rusmana, I. 2014. Impact of Tempeh
Supplementation on Gut Microbiota Composition in Sprague- Dawley Rats. Research Journal of Microbiology 9 (4): 189-198. DOI 103929. Yunilawati, R., Rahmi, D., Aviandharie, S.A., dan Syamsixman. 2015. Pemanfaatan Ampas
Inti Sawit (Palm Kernel Oil/PKM) sebagai Media Fermentasi Saccharomyces cerevisiae SebagaiPenghasil B-Glukan. Jurnal Kimia dan Kemasan. Vol. 37 No. 1 April 2015: 1-8.