Orasi Karya Ilmiah Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Orasi Orasi
Karya Karya
Orasi Karya Ilmiah Orasi Karya Ilmiah Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Ilmiah Ilmiah Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Orasi
Karya Ilmiah
Pusat Penelit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilit asi
ISBN 978 979 3145 952 Orasi Karya Ilmiah
Pusat Peneit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilit asi
Editor : Prof. Dr. Ir. Abdullah Syarief M ukht ar, M .S Prof. Ir. Dulsalam, M .M Prof. Dr. Gust an Pari, B.Sc., Dipl., M .Si Prof. Drs. M . Bismark, M .S Prof. Dr. Ir. Hendi Suhaendi Prof. Dr. Ir. Prat iw i, M .Sc Prof. Dr. Drs. Adi Sant oso, M .Si Prof. Ir. Hariyat no Dw i Prabow o, M .Sc Dr. Ir. Budi Leksono, M .P Dr. Ir. Nina M indaw at i, M .Si Dr. Erdy Sant oso, M .S Diterbitkan oleh :
Pusat Penelit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabiilt asi (P3KR)
Jl. Gunung Bat u No. 5 Bogor, Indonesia Telp : +62 (0251) 8633234 Fax : +62 (0251) 8638111 e-mail : [email protected] Dicetak oleh : Pusat Penelit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilit asiKATA PENGANTAR
Untuk memenuhi persyaratan kenaikan jabatan fungsional bagi peneliti yang akan diangkat menjadi Peneliti Muda dan Peneliti Utama, seorang peneliti harus mempresentasikan karya ilmiah hasil penelitiannya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 06/E/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti.
Buku Kumpulan Orasi Karya Ilmiah ini merupakan rangkuman hasil penelitian yang ditulis oleh 14 orang peneliti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan telah dipresentasikan di hadapan para peneliti, para pakar, Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Badan Litbang Kehutanan dan instansi terkait / stakeholder lain.
Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para peneliti yang telah menyusun Karya Ilmiah dan kepada TP2I Badan Litbang Kehutanan yang telah memeriksa dan mencermati, serta semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2013 Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................... i Daftar Isi .................................................................................... iii 1.
Fungi Mikoriza Sebagai Input Teknologi Konservasi Jenis Tanaman Hutan Langka dan Rehabilitasi Lahan Terdegradasi
Dr. Ir. Maman Turjaman, D.E.A ............................................. 1
2.Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan dan Pelestarian Sumberdaya Hutan
Ir. Sri Suharti, M.Sc .............................................................. 25
3.Kontribusi Hutan Tropis dalam Mitigasi Karbon
N. M. Heriyanto, S.Hut ......................................................... 51
4. Agroforestry dan Social Forestry: Teknik dan PendekatanRehabilitasi dan Pengelolaan Hutan Kolaboratif
Dr. Ir. Murniati, M.Si ............................................................. 67
5. Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan : Pemanfaatan dan Identifikasi Nama Ilmiahnya
Dra. Marfu’ah Wardani, MP ................................................... 95
6.Peran Mikoriza sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dalam Pembangunan Kehutanan
Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si .............................. 115
7. Strategi Konservasi Tanah Mendukung Kelestarian Tanah dan Air dalam Berbagai Bentuk Pemanfaatannya
I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut., M.Si ............................... 139
8.Pengelolaan dan Pemanfaatan Keragaman Hayati dan Lahan di Daerah Penyangga Taman Nasional
Ir. Reny Sawitri, M.Sc ............................................................ 153
9. Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Bio-Ekologi di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor
Ir. Mariana Takandjandji, M.Si .............................................. 173
10. Konservasi Owa Jawa (Hylobates moloch) dalam Pengelolaan Kawasan Hutan di Jawa Barat
Drs. Sofian Iskandar, M.Si ................................................... 193 11.
Hutan Rakyat : Potensi dan Tantangan dalam Pembangunan Kehutanan
Ir. Asmanah Widiarti, M.Si ................................................... 211
12. Strategi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar
Mawazin, S.Si ....................................................................... 231
13. Pentingnya Pengetahuan tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional dan Upaya Pelestariannya
Ir. Titiek Setyawati, M.Sc ..................................................... 243 14.
Perspektif Agroforestry dalam Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan
Ir. Sumarhani ........................................................................ 263
FUNGI MIKORIZA SEBAGAI INPUT TEKNOLOGI
KONSERVASI JENIS TANAMAN HUTAN LANGKA DAN
REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI
1 Dr. Ir. Maman Turjaman, D.E.AI. PENDAHULUAN
Bapak, Ibu, dan para undangan yang kami muliakan,
Hutan tropika keberadaannya sangat penting, yaitu sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia dan siklus karbon global (Clarck, 2007; Laurence, 1999). Pada dasarnya hutan tropika yang tidak terganggu oleh kegiatan pembukaan lahan (perambahan hutan, penambangan mineral, dan kebakaran hutan) memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah meliputi flora, fauna dan jasad renik. Jasad renik atau yang lebih dikenal dengan mikroba merupakan salah satu kelompok makhluk hidup yang mempunyai peran penting dalam menjaga stabilitas siklus nutrisi pada ekosistem hutan tropika (de La Cruz, 1995) . Mikroba pada lantai hutan terbagi-bagi lagi dalam kelompok mikroba simbiotik, parasit, dan dekomposer. Pada umumnya mereka termasuk kelompok fungi (jamur/cendawan), bakteri, dan yeast (khamir). Hutan tropika mempunyai siklus nutrisi yang tertutup, akumulasi nutrisi terdapat pada biomassa pohon hutan. Apabila pohon hutan ditebang habis dan lapisan atas tanah dihilangkan, maka terjadi perubahan komposisi mikroba. Mikroba ini dapat bertahan pada lantai hutan yang terbuka dalam bentuk spora, hifa, miselia atau propagul lain dalam kondisi terbatas di rhizosfer. Apabila terjadi peningkatan suhu dan kelembaban udara pada lantai hutan ditambah lagi dengan masuknya sinar ultraviolet, maka dapat dipastikan populasi fungi/bakteri menurun drastis dan mati. Fungi/bakteri ini akan kembali naik populasinya apabila areal yang terbuka didatangi oleh benih-benih vegetasi pionir yang tumbuh pada areal bekas tambang, karena vegetasi ini mampu berfotosintesis dan mengeluarkan eksudat-eksudat di rhizosfer (Turjaman et al., 2009; 1 Pinton et al., 2007).
Penelit i M adya Pusat Lit bang Konservasi dan Rehabilit asi Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
Hutan tropis di Indonesia telah banyak dikonversi untuk berbagai aktivitas pembangunan dari sektor lain (Kobayashi, 2004; Phillips, 1998). Sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit, eksploitasi tambang terbuka (batubara, nikel, timah, bauksit, tembaga, dan emas), yang menyebabkan semakin meluasnya lahan terdegradasi karena tidak dibarengi dengan upaya rehabilitasi yang seimbang. Hal ini akan mengakibatkan dampak global maupun lokal. Dampak global berupa perubahan iklim dan pemanasan global sudah tidak dapat dipungkiri. Ketidakteraturan musim, banjir, suhu yang ekstrim merupakan beberapa indikasi perubahan iklim dan pemanasan global. Dampak lokal mencakup hilangnya mata pencaharian dan akar budaya masyarakat sekitar hutan akibat hilangnya hutan, timbulnya penyakit akibat hilangnya penyangga atau penyaring udara bersih, dan lain sebagainya. Laju deforestasi yang cepat yang tidak dibarengi dengan laju rehabilitasi yang seimbang, semakin memperluas lahan hutan terdegradasi, tidak produktif dan terabaikan (Pudjiharta et al., 2007).
Para hadirin yang dimuliakan,
Areal terdeforestasi di Indonesia umumnya dicirikan dengan ketidaksuburan tanah, kondisi pH tanah yang ekstrim asam atau basa, adanya kandungan toksik (terutama untuk lahan bekas tambang), tingkat pencucian lapisan atas tanah (top soil) yang tinggi, dan/atau dominansi jenis-jenis tanaman tertentu seperti alang-alang. Upaya rehabilitasi yang masih umum dilakukan dengan penanaman pohon atau semai adalah kegiatan yang belum optimal karena semai tanpa perlakuan input teknologi sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Input pupuk dan pemberian kapur untuk menaikkan pH pada lahan hutan yang sangat berlebihan dan luas, merupakan tindakan yang tidak efisien, mahal, dan tidak ramah lingkungan. Oleh sebab itu diperlukan alternatif lain untuk upaya rehabilitasi yang ramah lingkungan, seperti aplikasi input teknologi dari kelompok mikroba yang bermanfaat dalam membantu semai untuk dapat hidup sehat di lahan yang sulit. Beberapa kelompok mikroba yang dikenal menguntungkan dan membantu pertumbuhan tanaman selama ini adalah bakteri penambat nitrogen, bakteri/fungi pelarut fosfat, frankia, bakteri PGPR (Plant
Growth and Promoting
Rhizobacteria), dan fungi mikoriza. Fungi mikoriza membentuk
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
hubungan dengan tanaman tingkat tinggi yang dikenal dengan simbiotik dan/atau asosiatif. Di bumi ada tujuh tipe mikoriza (Smith and Read, 1997) tetapi yang sangat berperan di hutan tropika kita adalah fungi mikoriza arbuskula dan fungi ektomikoriza.
Presentasi ilmiah ini memaparkan kemajuan riset fungi mikoriza sebagai input teknologi konservasi jenis-jenis tanaman hutan yang langka dan rehabilitasi lahan terdegradasi selama 20 tahun terakhir. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat dalam kegiatan konservasi jenis-jenis pohon yang berstatus langka termasuk jenis-jenis mikoriza yang berasal dari hutan tropika Indonesia dan kegiatan rehabilitasi lahan terdegradasi.
II. POTENSI FUNGI MIKORIZA
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat
2.1. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Simbiosis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah sebuah bentuk simbiosis tua di bumi antara tanaman dan fungi dari phylum Glomeromycota (Schu
βler et al., 2001). FMA merupakan salah satu kelompok mikoriza yang mampu bersimbiosis pada hampir semua jenis tanaman tingkat tinggi (97%) dan telah banyak dilaporkan pada jurnal internasional (Janos, 1980; Smith and Read, 1997; Miller and Jastrow, 2000; Rajan et al., 2000; Jeffries and Barea, 2001; Smith et al., 2004). FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dari penyerapan nutrisi P (fosfor) dan mikro nutrisi (Cu, Zn, Mn, dan Fe), memodifikasi tanaman untuk bertahan dalam kondisi kering, memperbaiki dan memelihara struktur dan agregat tanah karena adanya kolonisasi miselia FMA (Jeffries et al., 2003; Augé, 2001; Andrade et al., 1998; Kothari et al.,1991). Tetapi beberapa keluarga dari jenis tanaman tidak membentuk kolonisasi mikoriza secara alami, seperti Brassicaceae, Chenopodiaceae, dan Amaranthaceae (Varma et al., 2008; Smith and Read, 1997).
Fungi ini adalah kelompok fungi akar pada tanaman tingkat tinggi yang mampu bersimbiosis secara terus-menerus pada kondisi tanah yang sangat ekstrim, seperti pH masam atau pH basa. Jumlah populasi FMA yang ada di bumi berkisar 150-200 Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
jenis saja (Schu βler et al., 2001). Akar tanaman melalui simbiosis dengan FMA mempunyai kemampuan menyerap terutama unsur fosfor (P) yang dalam bentuk terikat oleh senyawa besi (Fe) atau alumunium (Al) di dalam tanah. Selanjutnya dengan ketersediaan P pada tanaman secara simultan unsur-unsur nutrisi lain seperti nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) turut diangkut oleh FMA sesuai kebutuhan tanaman, termasuk juga beberapa nutrisi mikro (Smith and Read, 1997). FMA memiliki hubungan simbiosis yang luas dengan berbagai jenis macam tanaman hutan, seperti akasia, sengon, jabon, cendana, gaharu, jati, gmelina, mahoni, mindi, mimba, kaliandra, dan nyamplung.
Proses kolonisasi FMA dimulai dari umur dua minggu setelah proses inokulasi. Tanaman inang (host) akan memberikan karbohidrat cair kepada FMA untuk perkembangbiakannya selama di dalam jaringan akar tanaman hutan. Jadi, produk FMA bukan termasuk kategori pupuk organik, FMA adalah pemacu pertumbuhan yang mementingkan simbiosis mutualistis dengan tanaman hutan secara berkesinambungan.
Para hadirin yang terhormat,
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diproduksi pada media produk sistem granular seperti batuan zeolite, tanah liat, dan pasir (Turjaman et al., 2008; Turjaman et al., 2007; Turjaman
et al., 2000). FMA yang unggul telah diseleksi dari hasil eksplorasi
FMA di beberapa lokasi hutan tropika yang tersebar luas di Indonesia. Produksi massal FMA dilakukan dengan sistem pot dengan kapasitas tiga ton inokulum FMA per rumah kaca (10 m x 10 m) selama empat bulan. Penggunaan inokulum FMA cukup dilakukan satu kali dimulai dari persemaian tananam hutan.
Pengawasan mutu produk FMA telah dilakukan standarisasinya, sehingga daya hidup spora FMA dapat dimonitoring perkembangannya. Spora FMA akan berkembang di dalam sistem perakaran tanaman yang diinokulasi sehingga pada waktu penanaman semai di tingkat lapang tidak diperlukan lagi proses inokulasi. Biaya inokulum FMA per semai tanaman antara 5-10% dari harga semai tanaman yang diproduksi.
Untuk ke depan produk FMA ini dapat dikembangkan produksinya di lokasi persemaian perusahaan tambang dan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang disebut On Farm Production. Staf-staf di
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
perusahaan tambang dan kelompok tani KBR yang menangani kegiatan rehabilitasi dapat dilatih untuk memproduksi inokulum skala massal untuk kepentingan kegiatan reklamasi. Diperkirakan setiap perusahaan tambang dapat memproduksi lebih dari satu juta semai per tahun. Pengawasan mutu inokulum dapat dilakukan secara periodik bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan. Keunggulan dari teknologi ini adalah keunggulan FMA yang sangat cocok dengan kondisi lahan setempat dan jenis-jenis pohon lokal di Indonesia. Aplikasi FMA dapat juga dilakukan untuk pengembangan komoditi perkebunan maupun pertanian pada lahan pasca tambang yang kesuburannya sudah mulai kembali normal, sehingga petani di sekitar lahan pasca tambang dapat memanfaatkan teknologi ini untuk produksi tanaman pangan maupun perkebunan. Selama ini belum ada produk FMA yang beredar di pasaran. Pada saat ini Badan Litbang Kehutanan telah memproduksi inokulum FMA berdasarkan pesanan dari pengguna di beberapa perusahaan tambang maupun perusahaan hutan tanaman di Indonesia.
Bapak dan Ibu yang terhormat,
Potensi aplikasi teknologi FMA tersebar luas puluhan juta hektar pada lahan-lahan pasca tambang di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Perusahaan tambang batubara, emas, nikel dan bauksit adalah perusahaan multinasional yang telah membuka dan merusak lahan dan hutan secara luas di Indonesia. Pengaruh kerusakan yang besar terhadap lahan dan lingkungannya memberikan prospek teknologi ini dapat diaplikasikan pada jenis-jenis semai tanaman hutan yang sesuai dengan kondisi lahan setempat. Apabila satu juta hektar lahan pasca tambang akan direhabilitasi setiap tahunnya, maka akan diperlukan minimal satu milyar batang semai berbagai jenis semai tanaman hutan yang diberi bekal inokulasi FMA yang unggul.
Dampak positif dari aplikasi FMA ini adalah penghematan penggunaan pupuk kimia, baik di tingkat persemaian maupun penanaman di lapangan, dan tingkat polusi air dan tanah akibat aplikasi pupuk kimia yang berlebihan dapat dikurangi. Teknologi ini memberi prospek dalam rangka mengurangi emisi karbon dan mendukung program penanganan perubahan iklim yang sedang Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Komersialisasi produk FMA dapat dilakukan melalui kerjasama alih teknologi secara berkesinambungan sampai perusahaan tambang telah menyelesaikan kewajibannya dalam kegiatan penutupan tambang (mine closure).
2.2. Fungi Ektomikoriza (ECM)
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,
Fungi ektomikoriza bersimbiosis dengan vegetasi tingkat tinggi tidak lebih dari 3% (Smith and Read, 1997). Pada umumnya jenis pohon dari keluarga Pinaceae, Fagaceae, Caesalpinaceae, Betulaceae, Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Casuarinaceae, dan Acaciaceae berasosiasi dengan jenis fungi ektomikoriza (Molina et al., 1992). ECM merupakan struktur yang dibentuk bersama pada dinding korteks akar tanaman dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Jumlah populasi ECM yang ada di bumi sekitar 6.000 jenis. Beberapa jenis ECM dapat dikonsumsi oleh manusia, dan sebagian jenis termasuk kategori fungi yang mengandung bahan kimia berbahaya bagi kesehatan manusia. ECM juga berfungsi efektif menyerap P yang umumnya terikat kompleks dengan unsur logam (Al, Fe, Ca, Mg) di dalam tanah. Namun demikian ECM ini mempunyai pengaruh global, karena banyak sekali pohon hutan bernilai komersial tinggi yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza. Fungi ektomikoriza pada umumnya bersimbiosis dengan famili Dipterocarpaceae, Fagaceace, Myrtaceae (Eucalyptus spp.), Gnetaceae dan Pinaceae (Alexander and Lee, 2005). Beberapa laporan penelitian aplikasi fungi ektomikoriza pada jenis-jenis pohon meranti (Dipterocarpaceae) yang telah dilakukan di Indonesia (Turjaman et al., 2011; Turjaman et al., 2006; Turjaman et al., 2005). Pada umumnya hasil aplikasi fungi ektomikoriza memberikan respons positif bagi pertumbuhan meranti pada tingkat semai maupun di lapangan. Kelompok-kelompok fungi ektomikoriza yang efektif digunakan merupakan kelompok Early
Stage (Scleroderma, Pisolithus, Rhizopogon, Hebeloma, Paxillus)
untuk diaplikasikan pada tingkat semai. Sedangkan pada kelompok Late Stage (Russula, Lactarius, Lepiota, Amanita,
Boletus) memberikan respons yang rendah dalam mengkolonisasi
perakaran meranti dibandingkan dengan kelompok Early Stage.Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
Keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza pada hutan tropika dapat ditemukan pada tegakan dari keluarga dipterokarpa, pinus, ekaliptus, kastanopsis dan gnetum. Selain itu dari jenis
Tristania dan Casuarina sumatrana (hutan kerangas) dapat
ditemukan pula jenis-jenis fungi ektomikoriza (Moyersoen et al., 2001). Pada tegakan alam muda Pinus merkusii di Aceh Tengah banyak ditemukan jenis-jenis dari famili Sclerodermataceae, yaitu
Pisolithus dan Scleroderma, sedangkan pada tegakan alam
dewasa banyak ditemukan jenis-jenis Suillus, Boletus, Lactarius,
Russula, Amanita, dan sebagainya. Di KHDTK Haurbentes,
Darmaga, Carita, Cigerendeng, Pasir Hantap yang didominasi tegakan dipterokarpa banyak ditemukan jenis-jenis Boletus,
Laccaria, Suillus, Amanita, Cantharellus, Lepiota, Lactarius,
Russula, Cortinarius, Entroma, Scleroderma, dan sebagainya.
Jenis dari Ascomycetes yang ditemukan adalah Elaphomyces sp. dan Cenoccocum geophyllum. Pada tegakan alam ekaliptus di Soe (Nusa Tenggara Timur) juga ditemukan jenis-jenis Pisolithus,
Scleroderma, Boletus, Suillus, Russula, Lactarius, Laccaria,
Amanita, Lepiota, dan sebagainya. Pada tegakan dewasa di hutan
kerangas dijumpai banyak fungi ektomikoriza dari jenis Boletus,
Entroma, Tricholoma, Cortinarius, Suillus, Amanita, dan
sebagainya (Turjaman et al., 2001; Turjaman et al., 1999; Turjaman and Santoso, 1999).
Kelompok fungi ektomikoriza mengenal dua mazhab dalam mengkolonisasi akar inang. Kelompok fungi ektomikoriza yang mudah mengkolonisasi akar inang pada tingkat semai disebut kelompok Early Stage, dan kelompok fungi ektomikoriza yang eksis pada akar inang dewasa disebut kelompok Late Stage (Cairney and Chambers, 1997). Kelompok Early Stage merupakan jenis andalan untuk kegiatan aplikasi ektomikoriza skala massal dalam rangka memproduksi semai di tingkat persemaian. Jenis- jenis yang telah lama dipelajari secara mendalam adalah Pisolithus dan Scleroderma. Sebenarnya ada satu jenis lagi yang sangat berperan yaitu Rhizopogon. Namun demikian jenis ini cukup sulit untuk ditemukan, karena jenis ini termasuk fungi yang tumbuh di dalam tanah (below ground). Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
Bapak, Ibu, dan para hadirin yang dimuliakan,
Selama ini riset mikoriza bertumpu pada identifikasi berdasar pada kunci identifikasi fungi ektomikoriza dan fungi mikoriza arbuskula secara morfologi di ekosistem hutan temperate (Ingleby et al., 1990; Brundrett et al., 1996). Riset mikoriza ke depan akan lebih menjurus kepada koleksi fungi mikoriza lokal dengan proses identifikasi secara biologi molekuler. Studi ekologi suksesi dan pemantauan eksistensi fungi mikoriza di areal rehabilitasi dapat dipantau melalui bidang disiplin ilmu ekologi molekuler. Dengan demikian aplikasi mikoriza yang dilaksanakan di berbagai lokasi di Indonesia dapat dimonitoring dan evaluasi secara akurat (Martin et al., 2007; Anderson, 2006).
Indonesia mempunyai kawasan hutan rawa-gambut seluas 21 juta hektar yang tersebar dari mulai Sumatera, Kalimantan dan Papua (Page et al., 2002). Ekosistem hutan rawa-gambut merupakan salah satu ekosistem yang menyimpan cadangan karbon yang sangat besar sehingga banyak riset tentang perubahan iklim yang difokuskan untuk memperoleh data tentang emisi karbon. Keanekaragaman jenis pohon hutan tropika yang berlimpah dan sangat terkenal serta diminati oleh mancanegara di antaranya adalah jenis meranti rawa, ramin, jelutung rawa, gemor, pulai rawa, bintangur, dan nyamplung. Jenis-jenis pohon tersebut bersimbiosis dengan FMA dan ECM secara alami di ekosistem hutan rawa gambut dengan tingkat kolonisasi yang bervariasi (Tawaraya et al., 2003). Namun demikian eksistensi hutan rawa gambut mulai terdegradasi secara masive setelah melakukan konversi ekosistem hutan rawa gambut seluas satu juta hektar. Penebangan hutan meranti rawa secara sembarangan di hutan Sumatera dan Kalimantan, berarti turut memusnahkan ECM yang biasa berdiam di dinding korteks akar tanaman hutan tersebut. Jenis-jenis meranti rawa yang dikenal di antaranya adalah Shorea
balangeran, S. uliginosa, dan S. teysmanniana. Pada kondisi
lahan gambut yang ber-pH masam, semai tanaman meranti rawa tumbuh sangat lambat dan sangat tergantung dengan eksistensi ECM yang secara timbal-balik memberi input energi antara ECM dengan tanaman meranti rawa (Turjaman et al., 2011) .
Teknologi ini telah dikembangkan oleh tim peneliti Badan Litbang Kehutanan dengan produk ECM dibuat dalam bentuk
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
tablet spora dan kapsul alginate (Turjaman et al., 2003, Turjaman
et al., 1999; Turjaman and Santoso, 1999). Eksplorasi ECM telah
dimulai dari eksosistem hutan tropika di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan NTT. ECM dapat diisolasi dan dibiakkan melalui biakan murninya dengan menggunakan media spesifik beberapa jenis ECM dapat disimpan dan dipelihara di laboratorium. Telah diperoleh beberapa jenis ECM, yang berpotensi untuk dikembangkan dan dipasarkan secara komersial. Untuk sementara identifikasi ECM dilakukan dengan cara mengamati morfologi dari manual buku identifikasi ECM. Keunikan dari ECM adalah dalam musim tertentu akan muncul tubuh buah fungi di sekitar perakaran tanaman meranti rawa yang berbentuk seperti bola yang berisi spora ECM yang sangat berlimpah (1.1 x 13 10 /mg spora). Jumlah spora yang berlimpah merupakan anugerah bagi kita untuk dapat membuat produk ECM dalam bentuk tablet spora. Selain itu spora ECM dapat dibiakkan pada media sintetik di laboratorium untuk mengembangkan bentuk vegetatifnya yaitu dalam bentuk benang-benang hifa (miselia), yang produknya dapat dibentuk kapsul alginate. Tablet spora dapat diproduksi dengan cepat dengan menggunakan mesin tablet kapasitas besar. Tablet spora ECM dapat bertahan hidup selama o tiga tahun pada kondisi 4
C. Demikian pula dengan produk kapsul alginate, bahan berbasis miselia ECM murni yang diformulasikan dalam kemasan sodium alginate, dan produk ini dapat disimpan selama satu bulan di suhu kamar. Penggunaan inokulum ECM cukup dilakukan satu kali, dimulai dari persemaian tananam hutan. Menjaga mutu produk ECM telah dilakukan standarisasinya, sehingga daya hidup spora ECM dapat dimonitoring perkembangannya. Biaya inokulum ECM untuk per semai tanaman adalah 5-10% dari harga semai tanaman yang diproduksi.
Para hadirin yang terhormat,
Prospek ke depan produk ECM ini dapat dikembangkan produksinya di lokasi persemaian milik Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Litbang Daerah, dan universitas setempat. Pengembangan produk ECM ini memerlukan laboratorium mini untuk melakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem hutan rawa- gambut seluas 21 juta hektar di Indonesia. Diperkirakan Pemda setempat memerlukan ratusan juta semai tanaman meranti rawa yang siap tanam. Kerjasama dalam bentuk alih teknologi dan Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
pengawasan mutu inokulum dapat dilakukan secara periodik bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan. Keunggulan dari teknologi ini adalah keunggulan ECM yang sangat cocok dengan kondisi lahan rawa-gambut setempat dan jenis-jenis pohon lokal di Indonesia. Pemanfaatan ECM dapat digunakan juga untuk jenis- jenis ekaliptus, pinus, dan melinjo. Pengembangan jenis ECM yang dapat dikonsumsi manusia (edible mushroom) juga memberikan prospek yang cerah untuk diversifikasi kebutuhan pangan untuk masyarakat sekitar hutan rawa gambut.
Tim Peneliti Badan Libang Kehutanan telah mengembangkan aplikasi ECM dalam kegiatan produksi semai untuk menyelamatkan dan mengembangkan jenis-jenis meranti rawa di ekosistem hutan rawa-gambut yang terdegradasi. Keunggulan dari teknologi ini adalah inovasi mempercepat pertumbuhan meranti rawa sejak persemaian tanpa harus menggunakan pupuk kimia. Dapat dibayangkan apabila rehabilitasi hutan rawa-gambut seluas
21 juta hektar menggunakan input energi berupa pupuk kimia, maka yang mungkin terjadi adalah pembiayaan rehabilitasi yang sangat mahal, tidak efektif dan kemungkinan terjadi polusi lingkungan hutan rawa gambut yang menurunkan kualitas air, tanah maupun udara.
Potensi aplikasi teknologi ECM tersebar luas mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Tengah apabila ingin merehabilitasi lahan rawa gambut seluas satu juta hektar, maka dengan jarak tanam 3 m x 3 m akan memerlukan satu milyar batang berbagai jenis pohon meranti dan jenih pohon hutan komersial lainnya. Hal ini berarti apabila teknologi ini diterapkan maka akan diperlukan produksi inokulan ECM berupa tablet spora dan kapsul alginate dalam jumlah besar. Pengaruh kerusakan yang besar terhadap ekosistem hutan rawa gambut yang terdegradasi akibat perambahan maupun kebakaran hutan memberikan prospek teknologi ini dapat diaplikasikan pada jenis-jenis semai tanaman hutan yang sesuai dengan kondisi lahan setempat. Output dari perbaikan ekosistem hutan rawa gambut adalah ketersediaan bahan baku kayu dan hasil hutan bukan kayu yang dapat digunakan untuk keperluan dalam negeri maupun ekspor, yang
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
pada akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Teknologi ini memberi nilai tambah dan prospek dalam rangka mengurangi emisi karbon khususnya pada ekosistem hutan rawa gambut dan mendukung program penanganan perubahan iklim (climate change) yang sedang ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Komersialisasi produk ECM dapat dilakukan melalui kerjasama alih teknologi secara berkesinambungan melalui kerjasama kemitraan, sehingga proses rehabilitasi lahan dan hutan rawa gambut dapat dipulihkan secara bertahap dengan input teknologi yang ramah lingkungan.
III. APLIKASI FUNGI MIKORIZA
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,
Indonesia memiliki kekayaan sumber tambang mineral yang sangat kaya, mulai dari emas, batubara, nikel, timah, bauksit, dan besi. Pada umumnya penambangan dilakukan dengan penambangan terbuka dalam skala luas (Pudjiharta et al., 2007). Kondisi lahan dan hutan yang mengalami kondisi kritis di Indonesia hampir 43 juta hektar, termasuk di dalamnya eksploitasi pertambangan di Indonesia. Kondisi lahan aktual yang sering terjadi adalah kerusakan lapisan tanah yang menjadi tidak subur bahkan mengalami keracunan logam berat, pH tanah yang sangat rendah, tanaman yang ditanam menjadi kerdil, dan mengalami kematian. Biaya reklamasi tambang sangat mahal, karena kondisi lahan yang sangat tidak subur. Selama ini beberapa perusahaan tambang menggunakan teknologi persemaian konvensional dan pemupukan kimia belum tentu dapat meningkatkan persentase keberhasilan reklamasi pada lahan pasca tambang untuk menjadi kondisi rona awal lingkungan sebelum adanya kegiatan penambangan.
Aplikasi teknologi mikoriza unggul untuk membantu pertumbuhan tanaman merupakan alternatif yang tidak hanya murah, tetapi juga ramah lingkungan. Riset teknologi mikoriza di hutan tropika yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan telah menunjukkan manfaat nyata dari penggunaan mikoriza untuk memacu pertumbuhan semai di persemaian dan membantu Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
pertumbuhan tanaman di lahan terdegradasi. Jenis-jenis mikoriza yang dimaksud adalah fungi mikoriza lokal yang telah diseleksi dan pengujian di laboratorium dan lapangan.
Fungi mikoriza adalah teknologi Go-Green yang ramah lingkungan. Sangat mudah diaplikasikan di persemain-persemain modern dan cukup satu kali aplikasi untuk seumur hidup tanaman. Teknologi ini sangat diperlukan dalam penanganan rehabilitasi, remediasi dan reklamasi lahan bekas tambang, baik tambang batubara, nikel, kapur, emas maupun semen. Selain itu juga rehabilitasi ekosistem jenis-jenis pohon hutan rawa-gambut yang telah terdegradasi sangat memerlukan input teknologi ini. Manfaat dari aplikasi teknologi mikoriza adalah menstimulasi pertumbuhan semai di persemaian, mempersingkat waktu penyiapan semai di persemaian, meningkatkan kualitas dan kesehatan semai di persemaian, dan persentase jadi semai yang hidup di tingkat semai maupun lapang. Selain itu teknologi ini bermanfaat juga dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekurangan air dan serangan patogen penyebab penyakit akar. Tidak seperti pupuk kimia yang perlu secara rutin diaplikasikan, dan dapat berdampak negatif berupa polusi tanah, air sungai dan udara.
Aplikasi FMA telah diuji efektivitasnya pada jenis-jenis pohon yang masuk dalam daftar CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) APPENDIX II seperti jenis-jenis Aquilaria, Gyrinops dan
Gonystylus. FMA terbukti sangat membantu dalam proses
pertumbuhan awal Aquilaria filaria, A. malaccensis, A. microcarpa,
A. beccariana dan A. crassna di tingkat semai (Turjaman et al.,
2006a; Turjaman et al., 2006c). Aplikasi FMA telah dicoba juga untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lidah buaya (Aloevera) di ekosistem hutan rawa gambut (Tawaraya et al., 2007). Hasil aplikasi FMA pada jenis Dyera polyphylla (Turjaman et al., 2006a) dan Alstonia scholaris (Turjaman et al., 2007) memberikan respons positif terhadap pertumbuhan awal dan serapan nutrisi di tingkat semai. Kedua jenis tersebut telah dikenal sebagai bahan baku pensil. Khusus D. polyphylla getahnya biasa disadap oleh masyarakat sekitar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Dengan demikian FMA merupakan input teknologi penting dalam kegiatan
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
konservasi jenis pohon lokal dan rehabilitasi di ekosistem hutan rawa gambut.
Penerapan teknologi FMA dapat dilakukan pada kegiatan rehabilitasi lahan pasca tambang di lahan kapur untuk bahan baku semen di Cibinong (Pudjiharta et al., 2007) dan pasca tambang batubara di Tanjung, Kalimantan Selatan (Turjaman et al., 2009). Beberapa jenis tanaman hutan yang berkategori cepat tumbuh telah diinokulasi dengan FMA pada tingkat semai, dan memberikan respons pertumbuhan yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol (tanpa inokulasi). Kemungkinan dilakukan kombinasi inokulasi antar FMA dan bakteri penambat nitrogen untuk kegiatan rehabilitasi di lahan pasca tambang dapat diterapkan secara praktis di persemaian (Barea et al., 2005; Smith and Read, 1997).
Bapak dan ibu yang terhormat,
Aplikasi fungi ECM diawali pada jenis Pinus merkusii yang telah dilakukan secara massal di PT Tusam Hutani Lestari (1995- 1998) dan di Perum Perhutani (1996-2000). Jenis-jenis fungi ektomikoriza yang digunakan adalah jenis Pisolithus arhizus dan
Scleroderma columnare. Plot-plot P. merkusii seluas 15 ha di
areal Perum Perhutani telah menjadi sumber inokulum ektomikoriza untuk produksi semai P. merkusii. Tubuh buah kedua jenis tersebut secara periodik tumbuh setiap tahunnya, sehingga kita dapat memanfaatkannya. Pemanenan tubuh buah
P. arhizus dari plot P. merkusii yang pernah diperoleh hampir
mencapai 300 kg di BKPH Majenang. Aplikasi fungi ECM juga turut meningkatkan pertumbuhan dan peningkatan serapan nutrisi penting N dan P pada jenis-jenis Shorea pinanga (Turjaman et al., 2005), dan S. seminis (Turjaman et al., 2006b). Kedua jenis
Shorea tersebut merupakan jenis meranti yang menghasilkan
tengkawang. Pengujian efektivitas ECM pada stek pucuk S.leprosula telah dilakukan pada tingkat semai dan lapang dengan
respons positif meningkatkan pertumbuhan. Aplikasi fungi ECM dari ekosistem hutan rawa gambut pada semai S. balangeran telah dilakukan dari mulai di persemaian dan di tingkat lapang (Turjaman
et al., 2011). Dua jenis fungi ektomikoriza Scleroderma sp., dan Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
Boletus sp. memberikan respons terbaik terhadap S. balangeran
setelah 40 bulan di tingkat lapang di Kalimantan Tengah.Bapak, Ibu, dan hadirin yang kami muliakan,
KHDTK Carita, Haurbentes, Pasir Hantap, Cikole dan Cikampek yang dikelola oleh Badan Litbang Kehutanan merupakan areal koleksi dari jenis-jenis pohon yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza, seperti dari keluarga Dipterocarpaceae, Pinaceae, Myrtaceae (Eucalyptus spp.) dan Gnetaceae (Gnetum
gnemon). Pemanfaatan tubuh buah fungi ektomikoriza yang
selama ini dikonsumsi oleh komunitas masyarakat di sekitar KHDTK, merupakan usaha Badan Litbang Kehutanan melakukan konservasi jenis-jenis pohon hutan tropika Indonesia, sekaligus mengkonservasi jenis-jenis fungi mikoriza yang bersimbiosis dengan inangnya.
Teknologi mikoriza merupakan teknologi sederhana yang akan banyak membantu memproduksi semai-semai tanaman hutan skala massal di persemaian. Selanjutnya pengaruh dari input teknologi ini, pertumbuhan semai-semai tanaman hutan dapat dipacu dengan cepat, memperbaiki kondisi tanah, dan mengembalikan fungsi hutan secara bertahap. Teknologi ini memberikan kontribusi yang besar dalam meminimalisasi masalah kompleks sehingga program penanaman pohon milyaran batang mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
Inokulan fungi ektomikoriza sudah dapat diproduksi skala massal. Pengembangan jenis ektomikoriza ini dapat diproduksi di dekat fasilitas persemaian modern yang memiliki kapasitas persemaian lebih dari satu juta semai per bulannya. Kemasan produk fungi ektomikoriza telah dibuat dalam bentuk tablet (spora) dan kapsul alginat (miselia), sedangkan fungi mikoriza arbuskula dikemas dalam granular-granular zeolite partikel kecil. Produksi tablet (spora) ektomikoriza memerlukan mesin tablet dengan kapasitas 60.000 tablet/jam, dengan biaya produksi Rp 100/tablet dan aturan pakainya satu tablet per semai. Produksi fungi mikoriza arbuskula memerlukan rumah kaca dengan ukuran 10m x 10m untuk produksi minimum 20-24 ton/tahun dengan harga produksi Rp 35.000/kg, dan aturan pakainya adalah 5 g untuk satu
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
semai di persemaian. Kedua inokulan ini dapat disimpan enam bulan dalam kondisi temperatur ruangan.
Para hadirin yang kami hormati,
Integrasi antara teknologi mikoriza dengan teknologi lain seperti teknologi stek pucuk (KOFFCO), pemanfaatan limbah sebagai media tanam, teknologi persemaian, seleksi jenis tanaman hutan yang sesuai dengan kondisi setempat, dan sebagainya, sangat diperlukan agar diperoleh produksi semai tanaman hutan yang berkualitas (Subiakto, 2006; Pratiwi, 2006).
Keunggulan teknologi mikoriza ini adalah : (1) teknik produksi massal mikoriza mudah dilaksanakan oleh staf Pemda atau Dinas Kehutanan dengan tingkat pendidikan formal setara dengan SLTA/S1; (2) untuk tahap aplikasi mikoriza di persemaian diperlukan pendidikan formal setara dengan SD; (3) telah disiapkan beberapa jenis mikoriza yang dapat dipergunakan di lokasi hutan rawa-gambut yang berbeda; (4) fungi ECM telah diformulasikan dalam bentuk tablet spora dan kapsul alginate sehingga mudah diaplikasikan di persemaian, FMA diformulasikan dalam bentuk granular (zeolit/liat/pasir); (5) fasilitas produksi inokulan memerlukan laboratorium mini dan sumber daya manusia memadai setingkat S1.
Kendala aplikasi teknologi fungi mikoriza untuk skala luas adalah faktor non-teknis, yang menyangkut masalah kurangnya informasi teknologi ini untuk para pemegang keputusan di tingkat pusat/daerah, preferensi pemegang keputusan yang lebih memilih penggunaan pupuk kimia, pasar dari teknologi mikoriza ini belum terbentuk, perencanaan tata waktu yang belum sesuai antara persiapan inokulan mikoriza, persiapan pembuatan persemaian, kegiatan penanaman, dan lain-lain.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,
Fungi mikoriza merupakan salah satu kunci input teknologi untuk perbaikan ekosistem hutan tropika yang terdegradasi. Orasi
KARYA ILM IAH P3KR, 2013
Dengan aplikasi fungi mikoriza yang telah diseleksi dan efektif untuk berbagai pedobioagroklimat hutan tropika Indonesia, maka usaha rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi dapat dipercepat dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Penerapan teknologi mikoriza memiliki spesifikasi khusus dan tetap mengikuti kaidah standar operasional yang berlaku yang dimulai pada kegiatan persemaian tanaman hutan di persemaian. Teknologi ini ramah lingkungan dan berdasar pada pengelolaan hutan yang lestari.
Fungi mikoriza di hutan tropika merupakan salah satu rantai penentu dalam konservasi jenis-jenis tanaman hutan yang langka di Indonesia. Peranan teknologi mikoriza dalam kegiatan rehabilitasi pada lahan terdegradasi sangat dibutuhkan dalam produksi semai berkualitas pada tingkat persemaian. Aplikasi teknologi mikoriza untuk membantu pertumbuhan tanaman hutan di lahan yang ekstrim merupakan tindakan alternatif yang tepat sasaran dilihat dari aspek global dan lokal. Keberhasilan rehabilitasi lahan terdegradasi ditentukan oleh perencanaan kegiatan yang dilakukan secara matang dan integratif. Partisipasi aktif setiap institusi/pengguna yang relevan untuk aplikasi dan sosialisasi mikoriza unggul bermanfaat ini dapat mempercepat proses keberhasilan rehabilitasi pada lahan-lahan terdegradasi.
Diseminasi dan kepastian hukum teknologi ini disarankan dapat ditetapkan dalam bentuk Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan tentang aturan produksi, aplikasi dan peredaran produk mikoriza yang akan digunakan oleh perusahaaan swasta atau masyarakat luas. Kepastian hukum ini dapat memberikan nilai tambah, keamanan dan kepastian produk ini dapat digunakan sebaik-baiknya oleh stakeholder yang bergerak dalam bidang rehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi. Selain itu pembuktian berupa pembuatan demplot-demplot teknologi mikoriza pada jenis-jenis tanaman hutan lokal pada tingkat kabupaten sebagai bahan dasar memberikan kepercayaan pada pengambil keputusan di daerah.
Identifikasi potensi mikoriza, baik FMA maupun ECM yang berlimpah di hutan tropika Indonesia, perlu diidentifikasi melalui biologi molekuler, dan dipelihara dalam Pusat Koleksi Mikroba
Fungi M ikoriza sebagai Input Teknologi…(M . Turjaman)
Hutan Tropika di PuskonseR, sehingga pemanfaatan fungi jenis ini dapat optimal, baik di kalangan peneliti maupun pengguna/praktisi.
V. PENUTUP
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,
Paparan karya ilmiah ini disampaikan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kenaikan jenjang jabatan fungsional peneliti dari Peneliti Madya menjadi Peneliti Utama di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Isi tulisan ini merupakan rangkuman dan pemikiran penulis selama lebih 20 tahun melaksanakan riset teknologi mikoriza di hutan tropika sebagai input untuk konservasi jenis-jenis pohon langka dan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan teknologi mikroba di hutan tropika dan para pihak yang terkait langsung dengan penyelamatan dan pengelolaan hutan tropika di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,