TAFSIR TARBAWI MAKALAH NILAI NILAI AL QU

TAFSIR TARBAWI MAKALAH
NILAI NILAI AL-QURAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Diajukan untuk Mata kuliah
TAFSIR TARBAWI
Oleh :
WAHYUDI JAKA SAPUTRA VS KHOIRUL ANAM
DOSEN PENGAMPU :
AMIRUDIN FIKRI, S.Th.I
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JEMBER 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan keagamaan yang berlandaskan Al-Qur’an dalam proses menghadapi tantangan
modernitas berkaitan dengan nilai (value). Ditinjau dari aspek filosofis, nilai bersangkut paut
dengan masalah etika. Oleh karena itu, etika juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang
mengkaji nilai-nilai moral sebagai ukuran tindakan manusia. Sumber-sumber ajaran moral
sendiri bisa hasil pemikiran manusia (adat istiadat atau tradisi dan ideologi) dan bisa juga agama.
Nilai-nilai Al-Qur’an adalah nilai universal yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai sumber
tertinggi ajaran agama Islam di samping As-Sunnah sebagai sumber kedua tentu saja tidak

menyampingkan produk-produk pemikiran para ulama, yaitu Ijma’ dan Qiyas. Nilai-nilai yang
bersumber kepada adat-istiadat atau tradisi dan ideologi dalam perkembangannya dapat
mengalami kerapuhan. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat relatif,
kadang-kadang bersifat lokal dan situasional sedang nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai yang
bersumber kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran A-Qur’an bersifat mutlak dan universal.
Sesuatu yang harus diperjuangkan dalam konteks dinamika sosial saat ini adalah mengusahakan
agar nilai-nilai Qur’ani tetap aktual dalam kehidupan manusia. Sebab pada akhirnya, aktualisasi
nilai-nilai Qur’ani terpulang kepada manusia itu sendiri. Salah satu upaya yang harus dilakukan
adalah melakukan aktualisasi nilai-nilai Qur’ani melalui kegiatan pendidikan, khususnya
pendidikan Islam. Aktualisasi nilai-nilai Qur’ani dalam pendidikan islam itu dapat dilakukan
melalui berbagai aspek kehidupan manusia, seperti filsafat, ilmu dan teknologi, ekonomi politik
dan perilaku kehidupan manusia itu sendiri secara umum.
Al-Qur’an dapat melahirkan berbagai macam aspek ilmu pengetahuan dan bukan saja ilmu-ilmu
keislaman akan tetapi juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena isyaratisyarat yang diberikan oleh kitab suci ini. Memang, begitu pertama kali turun kepada Rasulullah
SAW, ia mencanangkan dan mendorong orang untuk mencari dan menggali ilmu pengetahuan,

yaitu dengan kata-kata “Iqra” dan dalam ayat permulaan itu terdapat “qalam” yang berarti yang
biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian muncullah berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Semakin intensif manusia menggali ayat-ayat Al-Qur’an maka akan
semakin banyak pula isyarat keilmuan yang didapatkan.

Mempelajari Al-Qur’an, menggali kandungannya, dan menyebarkan ajaran-ajarannya dalam
praktek kehidupan masyarakat yang merupakan tuntunan yang tak akan ada habisnya.
Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan materialistis, umat islam dituntut
untuk menunjukkan bimbingan dan ajaran Al-Qur’an yang mampu memenuhi kekosongan nilai
moral kemanusiaan dan spiritualitas, disamping membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang
bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran.
Tak disangsikan, betapa banyak ungkapan Al-Qur’an yang secara langsung maupun tersirat
menganjurkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu kealaman, sosial dan humoria. Meski
bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang
diungkap oleh Al-Qur’an dan tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan oleh Dr.
Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun
yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.
Sesuai perkembangan masyarakat yang yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan
teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sangat
penting. Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai AlQur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan
oleh pendidikan. Pertama, dimensi siritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermin
dalam ibadah dan muamalah). Kedua, dimensi budaya, kepribadian yang mantap dan mandiri,
tanggung jawab kemasyarakatn dan kebangsaan. Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa
pada kemajuan, yaitu, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif, dan
produktif.

BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-QURAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Dalam sudut pandang filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering
disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan
perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber¬-sumber etika dan moral bisa
merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks
etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah alQur’an dan Sunnah Nabi Saw. yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad Para ulama.
Nilai-nilai yang bersumber kepada adat-istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan
situasional. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat relatif, kadang-kadang
bersifat lokal dan situasional. Sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai yang bersumber kepada
al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan universal.
Sebagai point utama dalam bahasan ini adalah mencari upaya yang sungguh-sungguh agar
pendidikan Islam menjadi pilihan utama bagi masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus pencerdasan Qalbu merupakan langkah yang
sangat efektif dalam membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki
kecerdasan intelektual dan cerdas Qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh
bilamana lembaga pendidikan menggali dan menyelami nilai-nilai yang diajarkan al-Qur’an

dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara

mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam sistem pendidikan Islam.
B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai
Di antara fungsi al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayylnat),
pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat
atau petuah (maulizah) dan sumber informasi (bayan). Sebagai sumber informasi al-Qur’an
mengajarkan banyak hal kepada manusia: dari prsoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah
dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Mengenai ilmu pengetahuan, alQur’an memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti
alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam
kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur’an berperan
sebagai motivator dan in¬spirator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Al-Qur’an menyatukan sikap dan pandangan manusia kepada satu tujuan, yaitu Tauhid. Setiap
kali manusia menemukan sesuatu yang baru, dari hasil suatu kajian, is semakin merasakan
kelemahan dan kekurangan dihadapan Sang Pencipta: dengan demikian semakin memperteguh
keyakinannya kepada keluasan ilmu Allah. Dalam kaitan ini, al-Qur’an pada hakikatnya
merupakan miniatur dari Kemahaluasan ilmu Allah yang tak tertandingi. Maka, ketika manusia
mencoba memahami dirinya sendiri kemudian berpindah kepada pemahaman selain dirinya,
termasuk jagat raya, ia benar-benar menyadari keterbatasan kemampuannya. Begitulah
perbandingan antara ilrnu Allah dan kemampuan manusia untuk memahaminya. Allah sungguh
mengandung ilmu yang sangat luas dan dalam; bagaikan lautan yang menyimpan mutiara yang
paling berharga dalam air yang paling dalam.

Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu
tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu. Al-Qur’an adalah
eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan
meliputi segala aspek kehidupannya.
Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang digali secara langsung dari al-Qur’an, seperti ilmu tafsir,
fikih dan tauhid, akan tetapi al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena banyak sekali isyarat-isyarat al-Qur’an yang membicarakan persoalan-persoalan sains dan
teknologi dan bidang keilmuan lainnya.
Bercermin pada wahyu pertama sekali turun kepada Rasullah SAW, Allah adalah untuk
mencanangkan dan mendorong manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu
dengan kata-kata “iqra” (Q.S. AI-Alaq196: 1-5) Dalam ayat-ayat permulaan itu ada kata-kata
“qalagl yang berarti pena yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian
muncul berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui semangat dan spirit Al-Qur’an. Makin
banyak di gali ayat-ayat al-Qur’an itu, makin banyak pula didapati isyarat tersebut. Hal itu
karena al-Qur’an tidak akan habis-habisnya walaupun ditulis dengan tinta lautan yang luas,
bahkan di tambah dengan tujuh lautan lagi (Q.S. Lukman / 31:27).
Tuntunan dan anjuran untuk mempelajari al-Qur’an dan menggali kandungannya serta
menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan tuntunan yang
tak akan pernah habisnya. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan
materialistic, umat Islam dituntut untuk menunjukan bimbingan dan ajaran al-Qur’an yang

mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusian dan spiritualitas, di samping
membuktikan ajaran-ajaran al-Qur’an yang bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk
rnewujudkan kemajuan dan kemakmuran serta kesejahteraan. Terlalu banyak ungkapan al-

Qur’an yang secara langsung maupun tersirat menganjurkan pengembangan ilmu pengetahuan,
baik ilmu kealaman, sosial dan humaniora. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari
semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh al-Qur’an yang tidak dikenal pada
masa turunnya, seperti dikatakan oleh Dr. Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan
Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.
Adanya isyarat al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu
pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemu’jizatannya. Ajarannya al-Qur’an tentang ilmu
pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empirik
sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal nomena yang tak terjangkau oleh rasio
manusia (Q.S.17:18, 30:7, 69:38-39). Dalam hal ini, fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan
juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi
untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan
tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (Q.S. 2:164, 5:20-21, 41:53).
Nilai-nilai Qur’ani secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai
moral. Kedua nilai Qur’ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan
penghidupannya.

C. Aktualisasi dalam Sistem Pendidikan Islam
Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan
teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an menjadi sangat
penting. Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam
upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.
Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an dalam
pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan di kembangkan
oleh pendidikan. Pertama, dimensi spritual, yaitu iman, takwa dan akhlak mulia (yang tercermin
dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak.
Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan social bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak,
manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam
kehidupannya. Rasulullah Saw merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang
mukmin, seperti sabdanya. “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia”.
Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip “berpegang teguh pada kebaikan dan
kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upaya
mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada
Allah SWT. Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang meggambarkan
nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan

sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan budi
pekerti anak dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman
tauhid kepada Allah SWT.
Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada
pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan
pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan atau miliu), dengan
berpedoman kepada nilai-¬nilai keislaman. Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan
kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut

norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan cara mempengaruhi individu
melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan
dengan norma¬norma Islam seperti teladan, nasehat, anjuran, ganjaran, pembiasaan, hukuman,
dan pembentukan lingkungan serasi.
Tanggung jawab kemasyarakatan dapat dilakukan dengan kegiatan pembentukan hubungan
sosial melalui upaya penerapan nilai-nilai akhlak dalam pergaulan sosial. Langkah-langkah
pelaksanaannya mencakup: 1], melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji dan tercela
seperti menipu, membunuh, menjadi reintenir, menghalalkan harta orang lain, makan harta anak
yatim, menyakiti sesama anggota masyarakat dan lain sebagainya. 2] mempererat hubungan
kerja sama dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat mengarah kepada

rusaknya hubungan sosial seperti membela kejahatan, berkhianat, melakukan kesaksian yang
palsu, mengisolasi diri dari masyarakat, dan lain sebagainya. 3] menggalakkan perbuatanperbuatan yang terpuji dan memberi manfaat dalam ehidupan bermasyarakat seperti memaafkan
kesalahan, menepati janji, memperbaiki hubungan antar manusia, dan lain-lain. 4] membina
hubungan sesuai dengan tata tertib, seperti berlaku sopan, meminta izin ketika masuk rumah, dan
masih banyak contoh lain.
Cinta dan tanggung jawab kebangsaan dan nasionalisme juga terkait erat dengan pembentukan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Membentuk nilai-nilai ini diarahkan pada
pembinaan hubungan antar sesama warga, dan juga hubungan antar rakyat dengan Kepala
Negara serta hubungan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Sebagai seorang muslim,
setiap pribadi diharapkan mampu mendesain sikap dan perilaku yang serasi dalam hubungannya
dengan orang lain. Di samping itu juga diharapkan agar ia dapat menunjukkan kepatuhan kepada
para pemimpin melalui hubungan timbal batik yang harmonis. Adapun upaya untuk membentuk
nilai-nilai Islam dalam konteks ini antara lain adalah; (1) kepala negara menerapkan prinsip
musyawarah, adil, jujur, dan tanggung jawab; (2) masyarakat muslim berkewajiban mentaati
peraturan, menghindari diri perbuatan yang merugikan keharmonisan hidup berbangsa.
Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil,
disiplin, etos kerja, profesional, inovatif dan produktif. Dimensi kecerdasan dalam pandangan
prikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga proses yaitu analisis, kreativitas, dan
praktis. Kecerdesan apapun bentuknya, baik IQ-ISQ dan lain-lain-saat ini diukur dengan tes-tes
prestasi di sekolah, dan bukan merupakan prestasi di dalam kehidupan. Dulu kecerdasan itu

diukur dengan membandingkan usia mental dengan usia kronologis, tetapi saat ini test IQ
membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia yang sama.
Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai al-Qur’an dalam
pendidikan.
Upaya yang dilakukan dalam pendidikan nilai-nilai Qur’ani, sudah tentu tidak cukup di sekolah.
Sebab lembaga yang mempunyai peran sesungguhnya adalah lembaga yang mempunyai peran
pendidikan Islam, lembaga keluarga ini menjadi perhatian utama. Sebab, sebagai unit terkecil
dari masyarakat, kualitas keluarga akan mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan
masyarakat itu sendiri. Karena itu keluarga disebut lembaga pendidikan yang pertama dan utama.
Hal ini dapat dipahami bahwa keluarga tidak dapat lepas dari pendidikan bahkan di sinilah
pertama sekali anak menerima ilmu pengetahuan sebelum ia mendapatkannya dari lembaga lain.
Keluarga bagi setiap individu dengan demikian adalah alam pendidikan pertama dan utama.
Sebagai dasar pertama dan utama maka is merupakan fondasi dan akan sangat berpengaruh bagi
pembinaan selanjutnya. Jika pembinaan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka dapat
diasumsikan bahwa pembinaan telah dapat meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi jenjang

pendidikan berikutnya, yaitu pembinaan di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ketika sekolah belum melembaga seperti sekarang, keluarga menjadi wahana utama dalam
pendidikan seseorang. Tetapi dengan adanya sekolah, maka sebagian tugas tersebut diambil alih
oleh sekolah. Pengambil-alihan tugas ini berkaitan pula dengan kenyataan bahwa dalam

masyarakat yang semakin mod¬ern dengan pola kehidupan yang semakin terdiferensiasi, tidak
mungkin keluarga dapat melayani seluruh proses dan tuntunan kebutuhan pendidikan anak. Akan
tetapi tidak berarti peran keluarga sebagai lembaga utama pendidikan berkurang.
Meskipun institusi pendidikan dalam bentuk persekolahan sudah sedemikian melembaga dan
semakin kuat, tidak berarti mengabaikan peranan pendidikan dalam keluarga. Justru di tengah
semakin masif-nya perubahan sosial pada era globalisasi dan informasi ini, peranan pendidikan
dalam keluarga sebagai wahana dan informasi, juga peranan pendidikan dalam keluarga sebagai
wahana pembinaan keyakinan agama, watak, serta kepribadian, seyogianya semakin diperkuat.
Di beberapa negara maju, di mana peranan keluarganya mengalami demasifikasi, akhir-akhir ini
ada kecenderungan pada masyarakat untuk menjadikan (kembali) keluarga sebagai basis bagi
pendidikan anak. Di bawah semboyan “back to family” keluarga dihidupkan kembali perananya
yang besar dalam pembentukan watak dan kepribadian anak serta pengembangan nilai-nilai
moral. Gerak pendahulu ke arah yang berlawanan ini jika dapat diibaratkan demikian – dimaksud
untuk mencari keseimbangan kembali dalam tata kehidupan masyarakat. Langkah untuk
“kembali kepada keluarga” merupakan solusi yang praktis terhadap berbagai persoalan
kemasyarakatan yang terjadi, yang tidak mudah diatasi jika diserahkan sepenuhnya kepada
institusi di luar keluarga.
D. Fungsi Pendidikan
Peranan pendidikan dalam pengembangan kualitas surnber Jaya insani secara mikro, yaitu
sebagai proses belajar¬mengajar: alih pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer
of methodology), dan alih nilai (transfer of value).
Fungsi pendidikan sebagai sarana alih pengetahuan dapat ditinjau dari teori “human capital”;
bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi juga sebagai sebuah
investasi. Hasil investasi ini berupa tenaga kerja yang mempunyai kemampuan untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses produksi dan pembangunan pada
umumnya. Dalam kaitan ini proses alih pengetahuan dalam rangka pembinaan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk berkernbangnya manusia pembangunan. Dengan ilustrasi yang serupa,
proses alih pengetahuan ini juga berperan pada proses pembudayaan dan pembinaan iman, takwa
dan akhlak mulia.
Berkaitan dengan proses pembudayaan barangkali pendidikan keimanan dapat mewakili semua
maksud tersebut. Inti penting dari keimanan itu adalah tauhid kepada Allah SWT. Jika
diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan
pendidikan Islam, tidak mungkin melakukannya tanpa melihat hubungannya dengan tauhid atau
faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti diketahui, bahwa tauhid adalah fondasi atau asas bagi
semua bangunan Islam, bahkan seharusnya fondasi bagi semua bangunan kemanusiaan yang
benar. Tauhid adalah bagian paling inti dari ajaran Islam.
Karena itu, semua pandangan tentang peddidikan harus berpangkal pada hidup tauhid.
Berkenaan dengan itu, salah satu implikasi pokok tauhid, ialah pemusatan kesucian hanya
kepada Allah SWT (makna tasbih, ucapan subhanallah) dan pencopotan kesucian itu dari segala
sesuatu selain Allah SWT. Dalam konteks bangsa Arab di zaman Nabi SAW pandangan ini
berakibat dilepaskannya nilai-nilai kesucian dari pandangan kesukuan dan kepemimpinan

kesukuan.
Pendidikan keimanan ini dapat dirangkaikan bertujuan untuk menanamkan kepada anak dengan
dasar-dasar iman, rukun Is¬lam, dan dasar-dasar syari’at. Pendidikan keimanan ini menempatkan
hubungan antara hamba dengan khaliknya menjadi bermakna. Perbuatannya bertujuan dan
berakhlak mulia, sehingga pada akhirnya ia akan memiliki kompetensi dalam memegang peranan
khalifah di muka bumi. Pendidikan keimanan ini dapat dilihat sebagaimana yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut: “Bacakanlah pada anak¬anak kamu
kalimat pertama dengan Laa Ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah)” (HR. Hakim).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa sebagai manusia homo educandum dan homo educandus
bahwa kalimat tauhid merupakan hal pertama yang harus masuk atau diperdengarkan dan
diajarkan kepada anak sebagai penanaman dasar-dasar keimanan. Itu berarti kalirnat tauhid
merupakan hal urgen yang harus mendasari rumusan kurikulum yang akan dibentuk. la
merupakan pangikat kuat sekaligus dasar fundamen dalam kehidupan manusia untuk
mengemban fungsi kekhalifahan dalam kehidupan beragama, dan berbangsa demi memperoleh
kedamaian, ketenteraman dan keberkahan hidup.
Fungsi pendidikan sebagai sarana alih metode terutama amat berperan pada pengembangan
kemampuan penerapan teknologi dan profesionalitas seseorang. Penguasaan pada “tecnosciences” lebih merupakan suatu dari proses transfer of methodology dari pada transfer of
knowledge. Penguasaan teknologi dalam sistem pembelajaran informasi merupakan sesuatu yang
harus dikuasai oleh pendidikan agama. Menguasai peluang atau manejemen masa depan
diharuskan dapat mengetahui dan menguasai informasi. Menguasai informasi dan teknologi
sama artinya dengan menguasai masa depan. Tegasnya penguasaan teknolgi informasi tak dapat
dipisahkan dari kehidupan pendidikan agama masa depan.
Fungsi pendidikan sebagai proses alih nilai, secara makro mempunyai tiga sasaran. Pertama,
bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan
antara kemampuan kognitif dan psikomotor di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan menghasilkan manusia
yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai
wawasan, sikap kebangsaan dan menjaga seta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih
nilai dalam rangka proses pembudayaan. Kedua, dalam sistem ini nilai yang dialihkan juga
termasuk nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia yang senantiasa menjaga
harmonisasi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya.
Ketiga, dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses
industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti: penghargaan akan waktu, disiplin, etos kerja,
kemandirian, kewirausahaan, dan sebagainya. Seperti diketahui, bahwa era industrialisasi yang
berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan pola pikir yang menunjang ke
arah pemanpaatan dan penerapan teknologi tersebut. Sikap dan pola pikir yang mengarah pada
penggunaan teknologi meliputi antara lain penggunaan waktu secara efisien, perencanaan ke
masa depan, kreatif, inovatif, etos kerja yang tinggi. Nilai-nilai dan prinsip dasar semua itu dapat
ditemukan dalam al-Qur’an.
Pembinaan iman, takwa dan akhlak mulia serta pembudayaan pada dasarnya meliputi pembinaan
tentang: keyakinan, sikap, perilaku, dan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Semua aspek kehidupan tersebut dapat berkembang apabila ada pemahaman, wawasan
keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih pengetahuan, serta internalisasi nilai-nilai
Qur’ani dan budaya yang diperoleh dari proses alih nilai. Dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat proses alih nilai berlangsung secara lebih berkesinambungan sehingga interaksi

terjadi secara epektif dibandingkan dengan yang terjadi dalam kelas. Di samping faktor
pembiasaan dan keteladanan di atas, pembinaan iman, taqwa dan akhlak rnulia serta
pembudayaan dalam keluarga, juga lebih dapat berhasil karena adanya penghayatan terhadap
nilai-nilai al-Qur’an yang melahirkan keyakinan, sikap, perilaku, dan akhlak mulia di atas.
Dalam upaya aktualisasi nilai-nilai Qur’ani, maka optimalisasi peran keluarga harus dilakukan,
di samping memperkuat lembaga pendidikan formal. Dengan demikian, tanggung jawab akan
dipikul bersama oleh guru, prang tua dan masyarakat.
Tujuan yang akan dicapai adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia,
maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi
dengan dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian diharapkan bahwa bangsa
Indonesia yang terkenal sangat religius ini akan menjadi bangsa yang kuat dan maju serta
makmur dan sejahtera, terutama maju dalam dunia pendidikan sebagai basis pembangunan suatu
bangsa.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, manjemen Pendidikan: mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia,
(Bogor: Kencana, 2003)
Arief Rahman, “Peran Pendidik dalam Menanamkan Iman dan Takwa untuk Menghadapi Era
teknologi dan Globalisasi”, Makalah Disampaikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia III, Ujung Pandang, 1-4 Maret 1996
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenuim Baru, (Jakarta:
Kalimah, 2001)
H.A.R. Tilaar, Pradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), cet. Ke -1.
Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Abdul Halim
(ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Siti Malikhah Towaf, “Pendekatan Kontekstual bagi Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum”, Makalh Disanpaikan dalam Pelatihan Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan
dan Kependidikan bagi Dosen PAI di PTU, Malang: 15-25 Oktober 1996
Sudirman, et. al., Ilmu Pendidikan, (Jakarta: