06_04_2011_023 – Pengelolaan Sampah – 2

USANTARA

RABU, 6 APRIL 2011

23

Sempoyongan di Piyungan

J

ARUM jam menunjuk
angka 8. Truk kuning yang
mengangkut tumpukan
sampah membusuk terus
melaju ke tepian dermaga.
Sampai di sana, muatan
yang dibawa lekas
ditumpahkan. Serasa enggan
berlama-lama, truk kuning
pun bergegas pergi.
Di bagian bawah dermaga

itu, pemandangannya berbeda.
Puluhan manusia dan ratusan
sapi khusyuk mengamati
sampah yang tercurah. Begitu
sampah terakhir melayang
dari bak truk, manusiamanusia tersebut memulai
kerja hari itu. Mereka
membolak-balik tumpukan,
berharap terselip barang
berharga yang laku dijual.
Tak seperti puluhan
rekannya yang sudah turun
mengais sejak pagi, seorang
lelaki lanjut usia masih asyik
bersantai di depan rumah
kontrakannya. Hidungnya
kebal dengan bau sampah
yang menusuk.
“Saya biasanya nanti, agak
siangan,” kata Paijan, 86,

memainkan lintingan rokok di
tangan. Ia pun menyapa
orang-orang yang lewat.
Ia, bersama istri, telah
tinggal di kawasan Tempat
Pembuangan Akhir Piyungan,
Kabupaten Bantul, DI
Yogyakarta, sejak empat
tahun terakhir.
Pukul 09.00 hingga pukul
15.00 WIB adalah waktu
memulung buat Paijan.

“Setelah pukul tiga sore,
saya ganti menggembala
sapi,” terang Paijan. Ia kini
menggembala lima sapi dari
semula hanya seekor sapi
betina. Dua pekerjaan itu
dilakoninya hampir setiap

hari. Kalau tidak ada
keperluan mendesak, Paijan
tak akan absen.

Setelah pukul tiga
sore, saya ganti
menggembala sapi.”
Paijan
Pemulung
Dengan ritme seperti itu,
suami-istri asal Desa Dlinggo,
Kabupaten Bantul, tersebut
mampu mengumpulkan
penghasilan rata-rata Rp250300 ribu per minggu. Namun,
hasil menggembala sapi tidak
bisa langsung dinikmati.
Sapi-sapi tersebut bukan
miliknya. Keuntungan baru
akan didapat setelah sapi
beranak pinak.

Bagi Paijan, pekerjaannya
sekarang adalah pilihan
terbaik. Ia tidak ingin
menggantungkan hidup
kepada tiga anaknya. Dengan
fisik yang tak lagi prima,
memulung dan menggembala
sapi termasuk pekerjaan yang
tidak butuh banyak tenaga
dan keahlian.
Dengan pendapatannya
sekarang, Paijan sudah

bersyukur. Ia tak ingin
memforsir tenaga hanya demi
mengantongi rupiah
sebanyak-banyaknya.
Alasannya jika sakit,
bukannya dapat uang,
bisa-bisa ia dan istri malah

harus menombok untuk biaya
pengobatan. Seperti kejadian
dua bulan lalu, selama sakit
Paijan dan sang istri tak dapat
memulung ataupun
menggembalakan sapi.
Mereka didiagnosis
menderita gangguan
pernapasan dengan gejala
batuk-batuk. “Susah. Begitu
minum obat, langsung
ngantuk,” keluh Paijan.
Paijan merupakan satu
potret dari sekitar 550
pemulung yang bertaruh
hidup di TPA Piyungan.
Ketua Paguyuban
Pemulung TPA Piyungan,
Sudimiyarto, mengatakan
penyakit kulit juga kerap

menjangkiti pemulung. Ya,
kawasan itu, meski volume
sampahnya telah menyusut
setiap tahun, tetap saja
memproduksi racun yang bisa
membuat kesehatan manusia
sempoyongan.
Kepala Pusat Studi
Lingkungan Hidup
Universitas Gadjah Mada Hari
Kusnanto Josef menyebutkan
sampah yang membusuk telah
membuat kualitas tanah, air,
dan udara sekitar Piyungan
telah tercemar zat berbahaya,
seperti nitrat dan kalium.
(Ardi Teristi/N-3)

MI/ARDI


Ancaman Bahaya
di Pembuangan Akhir
dari keberadaan
EKO Sugiharto
ribuan sapi.
menggelengkan
“Jika tidak ada
k e p a l a . Wa k i l
pemulung dan sapi,
Kepala Pusat Stuakan lebih memudi Lingkungan
dahkan o perator
Hidup UniversiTPA untuk melakutas Ga djah Mada,
kan proses pengYo g y a k a r t a , i t u
urukan dengan
mengaku khawatir
tanah,” ungkap
dengan kondisi
Ferry.
tempat pembuangKe depan, pean akhir sampah di
ngelola bersiap meberbagai dae rah.

nata pemulung dan
Sistem open dumpara sapi. Menurut
ping masih lebih
rencana, mereka
banyak digunakan
akan dimasukkan
daripada sanitary
ke sistem pengelolandfill.
laan TPA. Sapi-sapi
Padahal, se suai
digi ring hanya di
dengan UU No 18
zona khusus orgaTahun 2008 tennik dan pemulung
tang pengelolaan
di area nonorganik.
sampah, semua
Namun, Eko
daerah tidak boleh
Sugiharto tidak
lagi mengelola TPA

sepakat dengan
dengan cara open
gagasan itu. Aladumping mulai
sannya tidak lain
2013.
adalah masalah
“Kebanyakan
kesehatan. “PemuTPA di Indonesia
lung jangan dilesbelum memenuhi
t a r i k a n d i T PA .
standar sanitary
Tidak ada jaminan
landfill. Dengan
kesehatan bagi
sistem ini, sampah
ANTARA/WAHYU PUTRO
mereka yang berada
harus dipadatkan
di TPA.”
s a a t d a t a n g k e BERSIHKAN INDONESIA: Seniman Jemek Supardi

Harusnya peTPA dan segera mementaskan pantomim berjudul Bersihkan Indonesia
mulung cukup
d i t i m b u n t a n a h dari Sampah, di TPA Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta,
mengambil sampah
setiap hari,” kata tahun lalu.
yang telah dipilah
Eko.
Sanitary landfill adalah cara efektif mena- dari sumbernya.
Mereka juga bisa dipekerjakan di sektor
ngani sampah di hilir. Pengurukan tumpukan
sampah dengan tanah setiap hari jelas dapat pengolahan sampah, seperti daur ulang dan
meminimalkan bau sampah di sekitar TPA. produksi kompos, bukan langsung di TPA.
Sapi pun harus dilarang. “Sekalipun sapi
Secara otomatis, kualitas udara pun menjadi
berada di area organik, sampah yang ada sudah
lebih baik.
Di samping itu, air lindi sampah tidak akan terkontaminasi oleh limbah bahan berbahaya
lari ke mana-mana karena telah diatur supaya dan beracun.
Ada pestisida dari kaleng obat serangga,
mengalir ke dalam satu bak. Air diolah lebih

bekas baterai, pembersih lantai dan kloset,
dulu sebelum akhirnya dibuang.
Namun, kenyataan di lapangan, sistem terse- atau merkuri dari pecahan termometer,” lanbut tidak sepenuhnya berjalan. Kalaupun mulai jut doktor lulusan Louis Pasteur, Strasbourg,
meninggalkan open dumping, TPA di Indonesia Prancis, itu.
Memang, pestisida tidak membuat sapi mati.
melakukan sistem control landfill.
Sistem itu memperlakukan sampah tidak Namun, bahan itu akan terakumulasi di dalam
langsung ditimbun dengan tanah saat datang. dagingnya dan bisa berpindah ke manusia.
Di luar itu, Eko memperingatkan agar di atas
Penimbunan dengan tanah dilakukan secara
lahan bekas TPA tidak didirikan bangunan.
berkala.
Sistem itulah yang juga diterapkan di TPA “TPA merupakan tempat misterius karena di
Piyungan. TPA itu milik bersama Kota Yog- tempat itu kita tidak pernah tahu bahan-bahan
yakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul atau apa yang dibuang. Efeknya bisa jadi baru muncul puluhan tahun kemudian,” tandasnya.
sering disingkat Kartamantul.
Contoh nyata sudah terjadi di Amerika.
Saat dioperasikan, TPA ini memang direncanakan menerapkan sanitary landfill. Hanya, sejum- Tragedi pada 1970-an itu disebut love canal.
lah kendala menghadang. “Tanah uruk sulit Di sebuah kompleks perumahan ditemukan
didapat,” kata Manajer Kartamantul Ferry Ang- banyak warga yang menderita cacat sejak lahir, keguguran, kanker, hingga penyakit saraf.
goro menyebut salah satu alasannya.
Dalih lain adalah banyaknya pemulung. Ke- Kawasan itu sebelumnya tempat pembuangan
beradaan mereka dianggap mengganggu proses sampah kimia dari sebuah perusahaan bernama
pengurukan. Di Piyungan ada juga gangguan Hooker Chemical Company. (AT/N-2)

FASHION DI TPA: Tiga anak
memperagakan busana
dalam fashion show
bertema Sampah yang
digelar di TPA Piyungan,
Bantul, DI Yogyakarta,
beberapa waktu lalu.
DOK MI/SULISTIONO

GAREBEK SAMPAH:
Kelompok masyarakat
peduli sampah meletakkan
gunungan sampah
sebagai kampanye untuk
menyadarkan warga akan
bahaya sampah, di Balai
Kota Yogyakarta, beberapa
waktu lalu.
MI/ARDI