Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Studi Kasus Di Kabupaten Langkat)

(1)

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003

TENTANG KEUANGAN NEGARA

(STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

TESIS

Oleh:

HABIBI ADHAWIYAH

017005015/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM

PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003

TENTANG KEUANGAN NEGARA

(STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh:

HABIBI ADHAWIYAH

017005015/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL TESIS : KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM

SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

NAMA MAHASISWA : HABIBI ADHAWIYAH NOMOR POKOK : 017005015

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Muhammad Abduh, SH K e t u a

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum D i r e k t u r

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, MSc NIP. 131570455 NIP. 130535852


(4)

Tanggal Lulus : 3 Nopember 2007 Telah diuji pada

Tanggal 03 Nopember 2007

PANITIA UJIAN TESIS

KETUA : Prof. Muhammad Abduh, SH ANGGOTA : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17

TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT)

Habibi Adhawiyah1 Muhammad Abduh∗∗

Alvi Syahrin** Faisal Akbar Nasution **

INTISARI

Pengelolaan keuangan Daerah adalah salah satu aspek yang harus diatur secara hati-hati dan merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah Daerah. Dalam upaya perwujudan reformasi pengelolaan keuangan pemerintah yang baik terdapat pula tuntutan yang semakin besar untuk mengakomodasi, menginkorporasi serta mengedepankan nilai-nilai good governance. Hal ini ditandai dengan terbitnya 3 (tiga) paket perundangan-undangan di bidang keuangan Negara. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah pusat kembali melakukan revisi kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang juga mengatur hal yang berkaitan dengan keuangan Daerah seperti yang diatur dalam paket perundang-undangan di bidang keuangan Negara. Hal ini tidak menutup kemungkinan timbulnya multi interpretasi dalam implementasinya mengingat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama ini mengatur substansi yang saling terkait. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara, sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundangan lainnya, serta mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah dalam upaya pencapaian good governance (studi kasus di Kabupaten Langkat).

Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini dititikberatkan pada data sekunder. Guna mendapatkan hasil yang objektif ilmiah, maka metode pengumpulan data dilakukan melalui library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan), sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara (interview).

1

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara


(6)

Hasil penelitian menunjukkan keuangan Daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan Daerah yang sebelumnya diatur dalam berbagai bentuk perangkat hukum dan terkesan adanya tumpang tindih tidak dapat diimplementasikan secara efektif. Akan tetapi hal ini kemudian diatasi dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang menjadi pedoman pokok bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Namun proses pengelolaan keuangan di Kabupaten Langkat saat ini masih mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2004 dimana aturan tersebut masih berlandaskan pada PP No. 105 Tahun 2000 juncto Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 meskipun pada dasarnya proses pelaksanaan pengelolaan keuangan di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi menuju ruang perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang sejalan dengan prinsip good governance sehingga terdapat keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dengan mengganti peraturan daerah yang sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian disarankan agar pemerintah daerah membuat pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah berupa Perda yang berlandaskan prinsip-prinsip good governance. Kemudian agar pemerintah daerah membentuk suatu badan atau dinas pengelolaan keuangan daerah yang berlevel satuan kerja (bukan unit kerja). Selain itu agar pemerintah daerah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengembangkan akuntabilitas publik, membuka peran serta masyarakat, serta meningkatkan jumlah aparatur yang memahami dan dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance secara konsisten dan berkelanjutan pada semua tingkat dan lini pemerintahan

Kata kunci:

- Kedudukan Keuangan Daerah

- Sistem Pengelolaan Keuangan Negara - Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003


(7)

STATUS OF REGIONAL FINANCIAL IN MANAGEMENT SYSTEM OF STATE FINANCIAL BY THE LAW NR.17/2003 ON STATE FINANCIAL

(CASE STUDY IN DISTRICT OF LANGKAT)

Habibi Adhawiyah2 Muhammad Abduh∗∗

Alvi Syahrin** Faisal Akbar Nasution **

ABSTRACT

Management of regional financial is an aspect to be regulated carefully and an essential policy instrument for regional government. In attempt of realizing an improved government financial management reform, there is an increasingly requirement to accommodate, incorporate an set forward the values of good governance. This is evident by three launched statutory on state financial. In addition, central government revised again regional autonomy policy through the Law Nr. 32/2004 and Nr. 33/2004 that also regulated regional financial as set in financial statute of the state. It is not impossible to result in multi interpretation in the implementation because this same legal power of statute regulates the related substances. Therefore, the objective of the research would be to know and analyze the status of regional financial in system of state financial management, synchronization of statute regulation of regional financial management according to the Law Nr. 17/2003 with another statutes, and also to know and analyze the regulation about financial management to achieve the good governance (case study in District of Langkat).

To assess the case, an analytical descriptive research is made through normative juridical approach. The type of data used in this research is mainly focused on secondary data. To get the scientific objective result, method of collecting data is by library research and field research, and instrument of data collection used is document study and interview.

The result of research indicates that regional financial is subsystem of state financial management system in implementation of regional government authority and it is an essential element of government performances. Moreover, the statute of regional financial management that is previously to seem overt overlapping can’t be implemented effectively. However, this is then overcome following the issuance of

2

Student of Law Science Magisterial, Postgraduate School, University of North Sumatera


(8)

Government Regulation Nr. 58/2005 with the instruction of implementation is contained in Regulation of Internal Ministry Nr. 13/2006 as basic guidance for Regional Government in managing the regional financial. However process of financial management in District of Langkat recently still makes reliance on Regional Regulation Nr. 1/2004 in which the regulation is based on Government Regulation Nr. 105/2000 juncto Decree of Internal Ministry Nr. 29/2002 although essentially the process of financial management implementation in District of Langkat indicates a condition toward improvement by applying the principles contained in Regulation of Internal Ministry Nr. 13/2006 in relevance to principle of good governance, thus there is an absolute requirement for Government of Langkat District to re-manage the institution of regional financial management by replacing the obsolete regional regulations. Therefore, it is suggested that regional government will prepare legal regulation of regional financial management as a Regional Government based on principles of good governance. And then regional government should established a board or agency for regional financial management by workforce (not work unit). Also, regional government is expected to improve the quality of human power and develop the public accountability, people participation, and to increase the number of apparatus who understands and can apply the principles of good governances consistently and continuously in all levels and line of government.

Keywords:

- Status of Regional Financial

- Management System of State Financial - The Law Nr. 17/2003


(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Sang Pengasih lagi Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan moril maupun bantuan material. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH, atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Prof. Muhammad Abduh, SH selaku Pembimbing Utama, Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., dan Dr. Faisal Akbar, SH., M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk mengoreksi, mengarahkan dan membimbing penulis untuk hasil penelitian yang lebih berbobot.

5. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M. Hum., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk memperkaya tesis ini.


(10)

6. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan ilmunya kepada penulis.

7. Orangtua tercinta Ayahanda Sudarman (Alm) dan Ibunda Hj. Ratna Asmara Purba atas segala jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik, membimbing penulis sejak lahir serta senantiasa mengiringi penulis dengan doa yang tiada putus. Tidak lupa juga terima kasih kepada saudara-saudara penulis abang/kakak tersayang atas segala dukungan dan pengorbanan menjadi motor penggerak tersendiri untuk keberhasilan studi penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini tetapi telah banyak memberikan bantuan untuk keberhasilan serta telah menjadi bagian hidup penulis sepanjang masa kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Semoga amal baik semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya tesis ini baik langsung ataupun tidak langsung mendapatkan pahala serta curahan rahmat dari Allah SWT

Penulis menyadari pula bahwa substansi tesis ini tidak akan luput dari berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa bantuan, nasehat, bimbingan, arahan dan kritikan. Apapun yang disampaikan dalam rangka menyempurnakan tesis ini akan tetap penulis terima dengan tangan terbuka. Akhirulkalam, semoga tesis ini dapat memenuhi maksud penulisannya. Aamin…

Medan, Nopember 2007 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Habibi Adhawiyah

Tempat/Tgl. Lahir : Pematang Siantar/ 20 Desember 1974 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : - Sekolah Dasar pada Perguruan Taman Siswa di Pematang Siantar, lulus tahun 1987;

- Sekolah Menengah Pertama pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 di Pematang Siantar, lulus tahun 1990;

- Sekolah Menengah Atas pada Sekolah Menengah Atas Negeri 2 di Pematang Siantar, lulus tahun 1993;

- Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, lulus tahun 1999.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ………. i

INTISARI … ………. iii

KATA PENGANTAR ………. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….... vii

DAFTAR ISI ………. viii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ……….. 14

C. Tujuan Penelitian ……..………. 14

D. Manfaat Penelitian ……… 15

E. Keaslian Penelitian ……….. 15

F. Kerangka Teori ………. 16

G. Metode Penelitian ………. 23

BAB II KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA . 29

A. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah ... 29

B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Daerah ……….. 32

C. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Keuangan Daerah ………. 55

D. Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut UU No. 17 Tahun 2003 ... 65

BAB III SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGELOLAAN (PERENCANAAN) KEUANGAN DAERAH MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003 DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN LAINNYA ……… 78

BAB IV PENGATURAN MENGENAI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT DALAM UPAYA PENCAPAIAN GOOD GOVERNANCE …………..……… 107

A. Gambaran Umum Kabupaten Langkat ……… 107

B. Konsepsi Good Governancedan Hubungannya dengan Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah ……… 116

C. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah di Kab. Langkat dalam Upaya Pencapaian Good Governance .……. 123


(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 140 A. Kesimpulan ……… 140

B. Saran ……… 142


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keuangan Negara merupakan lembaga yang sangat vital dalam suatu negara, karena lembaga ini berkaitan erat dengan tujuan negara dan bagaimana kas negara yang diisi dari uang rakyat itu dikelola untuk memutar roda pemerintahan dan pembangunan. Apabila Keuangan Negara tidak dikelola dengan baik maka konsekuensi logisnya tujuan negara tidak akan tercapai. Pengelolaan keuangan merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka nation dan state building. Adanya pengelolaan keuangan yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Oleh karena itu pengelolaan keuangan memiliki arti, manfaat dan pengaruh yang begitu besar terhadap nasib suatu bangsa karena segala kebijaksanaan yang ditempuh dalam pengelolaan keuangan bisa berakibat kemakmuran atau kemunduran suatu bangsa.

Negara merupakan suatu organisasi yang unik, yang memiliki otoritas yang bersifat memaksa di atas subjek hukum pribadi yang menjadi warga negaranya. Walau demikian pengurusan, pengelolaan atau penyelenggaraan jalannya negara


(15)

tidak luput dari mekanisme pertanggungjawaban oleh para pengurus, pengelola dan penyelenggara negara.3

Untuk melaksanakan tugasnya sebagai suatu organisasi yang teratur, negara harus memiliki harta kekayaan. Harta kekayaan negara ini datang dari penerimaan negara, yang dipergunakan untuk membiayai segala proses pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara tersebut. Di Indonesia, hal-hal yang berhubungan dengan proses penerimaan dan pengeluaran negara diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dalam rumusan ketentuan Pasal 23 dan amandemennya.4

Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 yang semula terdiri dari 5(lima) ayat dan berada di bawah ketentuan Bab VIII tentang Keuangan Negara, dalam tahun 2001 telah diamandemen menjadi 7(tujuh) pasal di bawah 2(dua) bab. Dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari pernyataan tersebut tersirat suatu makna yang luas, yaitu bahwa pengurusan, pengelolaan dan penyelenggaraan negara harus dilakukan dengan persetujuan seluruh rakyat Indonesia, yang dalam hal ini diwakili Dewan Perwakilan Rakyat melalui anggota-anggotanya.

3

Gunawan Widjaja, Seri Keuangan Publik: Pengelolaan Harta Kekayaan Negara Suatu

Tinjauan Yuridis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 2

4


(16)

Mengenai pengertian keuangan negara itu sendiri dipahami secara beragam, baik itu oleh para ahli maupun yang telah dituangkan dalam literatur. Dalam memahami keuangan negara ada yang berpendapat bahwa keuangan negara terbatas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan ada pula yang berpendapat bahwa keuangan negara seharusnya lebih luas tidak saja mencakup APBN, tetapi meliputi keuangan yang terdapat pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keuangan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan keuangan lainnya. Hal ini diatasi dengan menetapkannya secara yuridis formal sehingga dalam pengelolaan keuangan negara, pengertian secara yuridis inilah yang dijadikan dasar untuk melaksanakan tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.

Dalam 2(dua) tahun terakhir ini telah dimulai langkah reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara, dengan diberlakukannya satu paket perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan negara, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 17 Tahun 2003), Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 1 Tahun 2004), dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (selanjutnya ditulis UU No. 15 Tahun 2004).

Diberlakukannya paket perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut merupakan loncatan yang telah dilakukan Pemerintah dan DPR-RI di bidang


(17)

pengelolaan keuangan negara, karena dalam beberapa periode pemerintahan sebelumnya paket perundang-undangan tersebut belum dapat diselesaikan. Paket perundang-undangan tersebut menjadi landasan hukum pengelolaan keuangan negara yang mandiri bagi bangsa untuk menggantikan perundang-undangan lama yang disusun pada masa kolonial Hindia Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW).

Untuk itu paket perundang-undangan di bidang keuangan negara yang menjadi landasan reformasi pengelolaan keuangan negara merupakan dasar hukum yang kuat di bidang keuangan negara untuk lebih mandiri, transparan, dan akuntabel. Hal ini penting sebagai upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran secara sungguh-sungguh guna meningkatkan kualitas pengelolaan anggaran.

Reformasi pengelolaan keuangan negara mencakup keseluruhan aspek pengelolaan keuangan negara, yaitu penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Dalam bidang penyusunan anggaran perubahan yang dilakukan meliputi penerapan sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgetting), penerapan penyusunan anggaran dalam kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework), dan penerapan anggaran terpadu (unified budget).

Sejauh ini pembicaraan mengenai keuangan negara dan kebijakan fiskal selalu dihubungkan dengan satu tingkat pemerintahan saja. Akan tetapi dengan adanya pembagian daerah administrasi negara Indonesia, maka dituntut adanya suatu sistem keuangan negara yang akan dapat menjamin kelancaran pemerintahan dan


(18)

pembangunan khususnya dalam hal pemerintah harus menyediakan jasa-jasa publik, maupun dalam hal negara harus mengumpulkan dana lewat berbagai sumber, khususnya perpajakan. Hal ini dikarenakan Daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, maka hubungan antara Keuangan Negara dan Keuangan Daerah erat sekali. Hubungan tersebut bukan saja bersifat hubungan keuangan antara tingkatan pemerintahan, tetapi mencakup pula faktor-faktor strategi pembangunan dan pengawasan daerah.

Persoalan pengelolaan keuangan Daerah5 dan anggaran Daerah merupakan salah satu aspek yang harus diatur secara hati-hati. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)6 merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, Anggaran Daerah

5

Arifin P. Soeria Atmadja menyebutkan bahwa meskipun Negara dan Daerah sama-sama merupakan badan hukum publik, namun tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya berbeda. Dilihat dari kedudukan dan fungsinya secara yuridis masing-masing sangat berbeda antara keuangan Negara dan keuangan Daerah. Lebih lanjut lihat Arifin P. Soeria Atmadja, Komentar dan

Kritik UU Tentang Keuangan Negara, Makalah dalam Seminar Nasional Undang-undang Keuangan

Negara, Peningkatan Kualitas Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Laboratorium Konstitusi PPs-USU, Medan, 2003. Josef Riwu Kaho selanjutnya menyebutkan selain faktor manusia dan peralatan/sarana pendukung, faktor keuangan merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktifitas pemerintahan Daerah. Salah satu kriteria penting untuk menyetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah terletak pada kemampuan self

supportingnya dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat

memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, Daerah membutuhkan dana atau uang. Lihat Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2001, hal. 124

6

Pasal 16 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. M. Solly Lubis menyebutkan bahwa menurut ilmu politik dan ketatanegaraan, kegiatan membuat APBD itu termasuk contoh dari public policy making, yaitu perumusan kebijakan pemerintah yang berorientasi kepada kepercayaan masyarakat. Lihat M. Solly Lubis, Dimensi-dimensi


(19)

menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran Daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengeluaran ukuran-ukuran standar dan evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Daerah hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi Daerah yang bersangkutan.7

Sejalan dengan tuntutan reformasi di segala bidang, pengelolaan keuangan daerah pun mengalami reformasi. Tuntutan masyarakat era reformasi terhadap pelayanan publik yang ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan responsif semakin besar. Keleluasaan penggunaan dana-dana yang telah meningkat cukup signifikan harus mendapat pengelolaan yang cukup baik, yaitu melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat atau melalui penyelenggaraan pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan latar belakang demikian adalah wajar bila dituntut adanya reformasi pengelolaan keuangan daerah sehingga proses pelayanan publik dapat berjalan dengan baik.

7


(20)

Dalam upaya perwujudan reformasi pengelolaan keuangan pemerintah yang baik terdapat pula tuntutan yang semakin besar untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai-nilai good governance. Prinsip good governance merupakan issue yang paling mengemuka. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk diperjuangkan antara lain adalah transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, di samping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi. Dalam konteks ini, pengelolaan keuangan pemerintah tidak saja harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai dimaksud. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan reformasi pengelolaan keuangan daerah, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan prinsip-prinsip good


(21)

governance.8 Hal ini penting, agar dalam pelaksanaannya dapat dihindarkan ekses-ekses negatif Otonomi Daerah yang dilakukan tanpa pemahaman yang baik.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena berkaitan dengan tujuan dari pemerintahan itu sendiri untuk mensejahterakan rakyatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karena output dari perencanaan adalah penganggaran. Selama ini perencanaan dan penganggaran belum memiliki landasan aturan yang memadai. Penganggaran atau pengelolaan keuangan selama ini mengacu pada aturan perundang-undangan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW). Belakangan kebijakan ini dianggap tidak sesuai lagi dengan semakin kompleksnya pengelolaan keuangan negara sehingga hal ini disikapi pemerintah dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 2003, yang di dalamnya mengatur proses pengelolaan keuangan daerah.

Reformasi pengelolaan keuangan negara yang ditandai dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 disertai dengan UU No. 1 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun

8

Sementara itu Mardiasmo juga menyebutkan bahwa dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, salah satu perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah pengelolaan yang bertumpu pada kepentingan publik (public oriented) yang tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengelolaan anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan keuangan daerah. ibid..


(22)

2004 mengisyaratkan terjadinya perubahan yang mendasar terhadap perencanaan dan penganggaran daerah.9

Sejak digulirkannya kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, cukup banyak permasalahan yang muncul terhadap implementasi kebijakan ini. UU No. 22 Tahun 1999 dinilai kurang komprehensif dalam pengaturan terhadap konsep dasarnya, seperti pembagian kewenangan, hubungan antara tingkat pemerintahan, dan perimbangan keuangan. Selain itu ada pengaturan yang kurang sinkron di antara beberapa pasal, seperti dalam pasal tertentu ada wewenang yang ditetapkan sebagai wewenang pusat, tetapi di pasal lain ditetapkan sebagai wewenang daerah.

9

Perubahan yang mendasar tersebut antara lain: pertama, bahwa perencanaan program kerja dan kegiatan menjadi satu kesatuan dengan perencanaan anggaran, sehingga program kerja dan kegiatan yang direncanakan akan sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang tersedia; kedua, mengisyaratkan kepada seluruh dinas, badan, lembaga, dan kantor melaksanakan program kerja dan kegiatan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing instansi/lembaga di tiap tingkat pemerintahan; ketiga, APBD dikelola berdasarkan prestasi kerja/anggaran kinerja yang berarti program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan APBD harus dirumuskan secara jelas dan terukur, apa output dan outcomenya; keempat, Penjelasan UU No. 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa fungsi pemerintahan di Pusat terdiri dari 11 (sebelas) fungsi, yaitu fungsi pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, serta fungsi perlindungan sosial. Sedangkan pemerintahan di daerah terdiri dari 9 (sembilan) fungsi, tanpa fungsi pertahanan dan agama. Keseluruhan peraturan perundangan dimaksud terkait langsung dengan perencanaan dan penganggaran di daerah. Lebih lanjut lihat Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah, Modul I Perencanaan Daerah, Bimbingan Teknis Implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Stabat, 2006


(23)

Berdasarkan hal ini, pemerintah pusat melakukan revisi kebijakan otonomi daerah10 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah11 (selanjutnya ditulis UU No. 33 Tahun 2004). Anehnya dalam kedua kebijakan ini juga mengatur hal

10

Adapun yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat UU No. 32 Tahun 2004 Bab I Pasal 1. Inti pelaksanaan otonomi daerah menurut Ryaas Rasyid adalah terdapatnya keleluasaan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dengan otonomi, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya. Selanjutnya lihat Ryaas Rasyid, Prospek Otonomi Luas, dalam Otonomi atau Federalisasi, Harian Umum Suara Pembaharuan dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 142. Sejalan dengan hal ini J. Kaloh menyebutkan bahwa kondisi ini mengakibatkan kewenangan yang dimiliki Daerah mengalami eskalasi penguatan mengingat kewenangan tersebut diiringi dengan penyerahan urusan dan kewenangan mengelola berbagai sumber yang menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan Daerah dan menjadi sumber utama pendapatan Daerah. Lihat J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan

Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 136

11

Pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari Pusat ke Daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan berupa Inpres (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: a. Aspek perencanaan, dominannya peranan Pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; b. Aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun teknis dari Pusat; c. Aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti BPKP, Itjen Departemen, Irjenbang, Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpah tindih. Lebih lanjut lihat Boediono,

Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Asas Desentralisasi Fiskal,

Makalah dalam Rapat Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Tingkat Nasional Tahun 2002, Jakarta, 2002, hal. 1. Selanjutnya Arifin P. Soeria Atmadja menjelaskan bahwa berdasarkan amandemen kedua UUD 1945 Pasal 18 A ayat (2) yang mengamanatkan agar diatur dan dilaksanakan secara jelas hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan secara adil dan selaras dalam suatu undang-undang sehingga jelaslah kedudukan dan kapasitas UU 33 Tahun 2004 sebagai undang-undang organik. Lihat Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Praktik,


(24)

yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran daerah seperti yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004.

Oleh karena itu untuk perencanaan dan penganggaran daerah selain merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 juga diatur oleh UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003.

Keempat kebijakan tersebut mengatur hal yang tidak jauh berbeda mengenai perencanaan dan penganggaran. UU No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah, sementara UU No. 25 Tahun 2004 mengatur khusus mengenai perencanaan, sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 mengatur perencanaan dan penganggaran di daerah. Artinya, proses perencanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu pada keempat undang-undang ini. Tidak menutup kemungkinan, keempat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama kuat ini dapat menimbulkan multi interpretasi dalam implementasinya, mengingat keempatnya mengatur substansi yang saling terkait.

Merujuk pada keempat undang-undang tersebut, maka perencanaan dan penganggaran daerah terutama dari segi prosesnya akan menjadi kewenangan daerah yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP). Sampai saat ini PP yang mengatur proses-proses perencanaan daerah dan penganggaran dimaksud masih belum keluar.


(25)

Sebelum keluarnya PP tentang perencanaan dan penganggaran daerah, dari segi prakteknya saat ini pemerintah daerah masih berpedoman pada PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (selanjutnya ditulis PP No. 105 Tahun 2000) yang mengatur mengenai asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, serta pendekatan dalam penyusunan APBD yang dikenal dengan pendekatan kinerja. Akan tetapi, untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 182 dan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004 maka Presiden RI pada tanggal 9 Desember 2005 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya disebut PP No. 58 Tahun 2005) dengan Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan LNRI No. 4578. Selain menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan tersebut, PP ini sekaligus merupakan sinkronisasi dari berbagai ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah (antara lain UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan) sehingga merupakan satu kesatuan pengaturan (omnibus regulation) dan pedoman pokok bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.


(26)

Secara operasional, asas umum dan pendekatan kinerja dalam perencanaan dan penganggaran daerah sebelumnya dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 (selanjutnya ditulis Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Kepmendagri ini secara rinci mengatur substansi dan proses yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah agar perencanaan dan penganggaran sesuai dengan asas umum dan pendekatan kinerja. Berbagai kebijakan mengenai perencanaan keuangan tersebut di atas, selanjutnya diberi payung hukum yang lebih kokoh, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 yang mengatur sistem keuangan termasuk proses penyusunannya baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

Sejalan dengan ditetapkannya PP No. 58 Tahun 2005, saat ini juga telah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (selanjutnya disebut Permendagri No. 13 Tahun 2006) yang memuat secara komprehensif pengaturan tentang perencanaan dan penganggaran, penatausahaan, pengakuntansian, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang diselaraskan dengan pengelolaan keuangan negara.

Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dibahas mengenai kedudukan keuangan Daerah dalam sistem pengelolaan keuangan Negara, serta melihat bagaimana sinkronisasi pengaturan mengenai perencanaan keuangan Daerah apakah berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait dan sesuai antara satu dengan lainnya ke dalam tulisan yang berjudul: “KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT


(27)

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA (STUDI KASUS DI KABUPATEN LANGKAT).

B. Perumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara menurut UU No. 17 Tahun 2003?

2. Bagaimana sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundang-undangan lainnya?

3. Bagaimana pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Langkat dalam upaya pencapaian good governance?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 17 Tahun 2003 dengan peraturan perundang-undangan lainnya.


(28)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat dalam upaya pencapaian good governance.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menyempurnakan peraturan pelaksana pengelolaan keuangan daerah, serta berguna untuk informasi awal bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran

bagi pemerintah, praktisi hukum, dan bahan masukan bagi masyarakat yang tertarik dengan masalah keuangan daerah

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan maka diketahui bahwa belum ada dilakukan penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian penulis ini, yaitu mengenai “Kedudukan Keuangan Daerah dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Studi Kasus di Kabupaten Langkat).

Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa


(29)

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori

Pada dasarnya, sistem pengelolaan keuangan merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan, pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pemerintahan itu sendiri.

The Liang Gie menyebutkan bahwa sistem merupakan kebulatan yang berliku-liku dan tetap dari hal-hal atau unsur-unsur yang saling berhubungan dan disatupadukan berdasarkan sesuatu asas tata tertib.12

Menurut Baridzwan sistem merupakan suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur-prosedur yang saling berhubungan disusun sesuai dengan skema yang menyeluruh adalah suatu urutan pekerjaan yang biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi.13

12

The Liang Gie, Unsur-unsur Administrasi Suatu Kumpulan Karangan, Edisi III, Supersukses, 1981, hal. 341

13

Dasril Munir, et al, Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Yogyakarta, 2004, hal. 6


(30)

Sedangkan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia merumuskan sistem sebagai suatu totalitas yang terdiri dari subsistem-subsistem dengan atribut-atributnya yang satu sama lain berkaitan, saling ketergantungan satu sama lain, saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi sehingga keseluruhannya merupakan suatu kebulatan yang utuh serta mempunyai peranan dan tujuan tertentu.14

Dari rumusan tersebut di atas mengarah pada suatu cara yang tepat dalam memecahkan masalah-masalah yang rumit hendaknya menggunakan suatu pendekatan kesisteman (system approach). Pendekatan kesisteman ini lebih tepat karena diharuskan untuk menelaah suatu permasalahan dalam bentuk totalitas.

Dalam sistem keuangan itu sendiri dapat terdiri atas subsistem penganggaran, subsistem pembiayaan, subsistem penerimaan, subsistem penggajian, subsistem pengadaan, dan sebagainya. Apa yang dilihat sebagai subsistem sangat tergantung dari maksud, tujuan dan sasaran dari pembagian yang dilakukan.

Dari segi pendekatan wilayah, pemerintah pusat dapat dianggap sebagai sistem sedangkan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai subsistem yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana sistem keuangan negara yang diamanatkan dalam Pasal 23 UUD 1945, aspek pengelolaan keuangan daerah juga merupakan subsistem yang diatur

14

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara RI, LAN, Jakarta, 1988, hal. 1


(31)

dalam UU No. 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 155 sampai dengan Pasal 194 di bawah bab yang berjudul Keuangan Daerah.

Sedangkan tujuan utama dari pengelolaan keuangan pemerintah daerah seperti disebutkan Brian Binder adalah tanggung jawab, memenuhi kewajiban keuangan, kejujuran, hasil guna dan daya guna, serta pengendalian.15

Penerapan pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien memerlukan pengaturan hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian keberadaan hukum menjadi sesuatu yang sangat penting bagi proses pengelolaan keuangan daerah karena melalui sarana perangkat hukum, pengelolaan keuangan daerah diharapkan memiliki dan menjamin suatu kondisi yang tertib, pasti dan adil.

Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pemisahan dan merupakan satu kesatuan. Hal ini sejalan dengan kesepakatan luhur yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan”. Sementara itu dalam otonomi daerah, masalahnya bukan hanya pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan

15

Mengenai hal ini selengkapnya lihat Brian Binder, Pengelolaan Keuangan Pemerintah

Daerah, dalam Nick Devas et al, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989,


(32)

efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Kenneth Davey mengemukakan bahwa hubungan keuangan pusat-daerah menyangkut pembagian.16 Hubungan ini menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan ini.

Tujuan utama hubungan ini ialah mencapai perimbangan antara berbagai pembagian ini, bagaimana agar antara potensi dan sumberdaya masing-masing daerah dapat sesuai.17

Dalam bagian lain Davey juga merinci bahwa tujuan hubungan antara pusat dan daerah adalah:18

1. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat-tingkat pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan penggunanya.

2. Pemerintah daerah memiliki sumber-sumber dana yang cukup, sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik (penyediaan dana untuk menutup kebutuhan rutin dan pembangunan).

3. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dan daerah lainnya.

4. Pemerintah daerah dalam mengusahakan pendapatan (pajak dan retribusi) sesuai dengan pembagian yang adil terhadap keseluruhan beban pengeluaran pemerintah.

16

Kenneth Davey, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, dalam Nick Devas et al, op.cit, hal. 179

17

ibid

18

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang


(33)

Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan.19

Lebih jelasnya Pasal 1 angka 3 dan Pasal 2 ayat (1) dan (3) UU No. 33 Tahun 2004 menegaskan:

Pasal 1 angka 3:

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan, desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Pasal 2 ayat (1):

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 2 ayat (3):

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 terdapat beberapa hal yang penting sehubungan dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yaitu:

19

HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 41


(34)

1. Bahwa perimbangan keuangan diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Dari ketentuan tersebut jelas diisyaratkan adanya kejelasan agregat tugas yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah, baik propinsi, kabupaten ataupun kota. Dikaitkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 ada 3(tiga) prinsip yang dianut oleh Pemerintahan Daerah Propinsi, yaitu sebagai desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sedangkan untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota ada 2(dua) prinsip, yaitu desentralisasi dan tugas pembantuan. Masing-masing prinsip tersebut akan berimplikasi terhadap biaya. Kalau desentralisasi akan melahirkan urusan otonomi yang menjadi tanggung jawab Pemerintahan Daerah untuk membiayai, maka dekonsentrasi akan menjadi tanggung jawab pusat pembiayaannya serta tugas pembantuan menjasi tanggung jawab instansi yang menugaskan untuk membiayainya. 2. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu

sistem pembiayaan pemerintahan dalam rangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah secara proprsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah (Pasal 1 ayat 1). Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perimbangan keuangan didasarkan atas kebutuhan nyata daerah akan tercermin dari isi rumah tangganya. Dan urusan otonomi haruslah mencerminkan kebutuhan nyata yang dirasakan oleh masyarakat daerah tersebut. Potensi dan kondisi daerah mengisyaratkan bahwa perimbangan keuangan didasarkan atas seberapa besar potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut dan dari potensi ini akan ditentukan beberapa propinsi yang menjadi hak daerah dan berapa yang menjadi hak Pusat. Dana perimbangan tersebut yang akan dialokasikan dari APBN kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.20

Selain itu dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakekatnya mengemban 3(tiga) fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan

20

Made Suwandi, Manajemen Pemerintahan Daerah pada Era Otonomi Luas (Implikasinya terhadap Keuangan Daerah), Seminar Nasional Hubungan Keungan Pusat dan Daerah, Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, 2001, hal. 16


(35)

jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi antara lain pendapatan dan kekayaan masyarakat, serta pemerataan pembangunan. Fungsi stabilisasi meliputi antara lain pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.21

Fungsi distribusi dan stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah, karena pemerintah daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan situasi dan kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah.22

Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi tersebut adalah sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas.

Selanjutnya dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam atau disingkat sebagai bagi hasil antara Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).23

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang

21

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit, hal. 89

22

ibid

23


(36)

maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Di samping itu bertujuan pula untuk menanggulangi keadaan mendesak di Daerah, seperti bencana alam, kepada Daerah dapat dialokasikan dana darurat.24

Dengan demikian adanya dana perimbangan yang meliputi bagi hasil pusat dan daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) mencerminkan upaya dan asas keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, selain upaya dan asas pemerataan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di daerah-daerah.

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap inventarisasi dan sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan.

Untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi terutama peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku khususnya dalam era otonomi daerah.

24


(37)

Dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keuangan negara, penelitian ini mengacu kepada ketentuan hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-undang-Undang-undangan (selanjutnya ditulis UU No. 10 Tahun 2004) yang terdiri dari:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah

Sinkronisasi yang dilakukan di sini adalah sinkronisasi secara vertikal dan horizontal terutama yang menyangkut masalah keuangan daerah, khususnya mengenai kedudukan keuangan daerah dalam sistem pengelolaan keuangan negara.

Sinkronisasi vertikal yang dimaksudkan adalah sinkronisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan berdasarkan hirarkhi perundang-undangan, misalnya UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 58 Tahun 2005, maupun dengan ketentuan yang berada di atasnya yaitu Undang-undang Dasar dan Ketetapan MPR. Sedangkan sinkronisasi horizontal merupakan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang sama tingkatan dan kedudukannya, misalnya dalam hal ini adalah antara UU No. 17 Tahun 2003 dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Untuk menambah pemahaman yang lebih luas digunakan pula pendekatan komparatif mengenai pengertian pengelolaan dan keuangan negara di luar pendekatan hukum. Selain itu untuk menggambarkan seluk beluk pengelolaan keuangan daerah


(38)

maka pendekatan yuridis normatif akan ditunjang dengan pendekatan sosiologis dengan mengadakan studi lapangan pada instansi terkait.

2. Sifat Penelitian

Secara umum penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan/ memaparkan mengenai pengelolaan keuangan daerah. Penulis berusaha mengetahui dan memaparkan informasi aktual secara objektif dan sistematis mengenai pengelolaan keuangan daerah secara analitis keilmuan sehingga data yang diperoleh sedapat mungkin dianalisis, baik secara konseptual maupun penerapannya.

3. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan dan dokumen-dokumen resmi. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier, yaitu:25

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945; b. Peraturan dasar, yaitu Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 Bab VIII

Hal Keuangan Pasal 23 sampai dengan 23 D;

c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara dan daerah, khususnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

25


(39)

Negara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan pakar hukum tata negara, politik, dan sebagainya yang memiliki hubungan analisis dengan topik penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup:

a. Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder;

b. Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang ekonomi, politik, sosiologi, filsafat, dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.

Data sekunder tadi ditunjang dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil yang dipaparkan, yang berupa wawancara dengan informan dari instansi yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini, diantaranya Bagian Keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, dan Inspektorat (Badan Pengawas) Kabupaten Langkat.


(40)

4. Cara Pengumpulan Data

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa penelitian ini memusatkan pada data sekunder, sehingga pengumpulan data ditempuh dengan melakukan studi kepustakaan dan studi dokumen. Bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi dan mengkoleksi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah dan keuangan negara.

Akan tetapi untuk memperkuat data tersebut dilakukan pula studi lapangan dengan melakukan diskusi secara bebas dan mendalam dengan menggunakan teknik wawancara (interview). Jenis pedoman wawancara yang dipilih adalah wawancara terbuka (opened interview) atau wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Peneliti hanya menggunakan panduan pokok dari butir-butir pertanyaan yang diajukan dalam wawancara, yang dikembangkan menjadi banyak pertanyaan pada saat wawancara dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya dari peneliti bersumber dari jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan induk, yang bersifat mendalam dan komprehensif dari jawaban informan.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan secara kualitatif, dianalisis secara deskriptif. Melalui analisis ini jawaban permasalahan sebagai hasil temuan penelitian dikemukakan dalam bentuk uraian sistematis dengan menjelaskan hubungan antara


(41)

berbagai jenis data yang didapatkan dan memformulasikannya menjadi suatu verifikasi dan kesimpulan penelitian secara komprehensif (menyeluruh).

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data:

a. Memilih data-data yang berkaitan dengan masalah keuangan daerah dan keuangan negara, kemudian memisahkan mana data yang relevan dan mana pula data yang tidak relevan. Data yang relevan digunakan sebagai bahan analisis berikutnya, sedangkan data yang tidak relevan disisihkan atau disimpan untuk sementara. Jika dibutuhkan data yang sudah disimpan dapat diambil kembali, baik untuk kebutuhan penelitian ini maupun untuk kebutuhan penelitian berikutnya yang terkait dengan topik penelitian ini;

b. Data yang relevan selanjutnya diolah dan disajikan dalam bentuk sederhana untuk memudahkan interpretasi data tersebut;

c. Memverifikasi data tersebut menurut permasalahan penelitian dan mengambil kesimpulan atau hasil dari semua kegiatan penelitian ini. Pengambilan kesimpulan tetap mengacu secara konsisten terhadap fokus permasalahan yang dibahas.


(42)

BAB II

KEDUDUKAN KEUANGAN DAERAH DALAM SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UU NO. 17 TAHUN 2003

A. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keuangan negara, penelitian ini mengacu pada hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Selain itu UU No. 10 Tahun 2004 juga mengakui keberadaan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi.26

Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, diantaranya: 1. Undang-undang Dasar 1945

a. Pembukaan alinea ke-empat, yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ….”.

b. Bab VIII Hal Keuangan UUD 1945

26

Perhatikan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 10 Tahun 2004. Adapun jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Gubernur BI, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Propinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.


(43)

c. Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945

“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”

d. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

2. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

c. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

d. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

f. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3. Peraturan Pemerintah

a. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. c. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan

Daerah.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat.

g. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan III atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

h. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

i. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah.


(44)

4. Peraturan Presiden. 5. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.

Selain itu terdapat pengaturan hukum pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk keputusan menteri yang menjadi pedoman teknis yaitu Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Permendagri No. 13 Tahun 2006) sebagai tindak lanjut dari Pasal 155 PP No. 58 Tahun 2005 yang memuat secara komprehensif pengaturan tentang perencanaan dan penganggaran, penatausahaan, pengakuntansian, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang diselaraskan dengan pengelolaan keuangan negara. Permendagri ini mengadopsi prinsip dan standar pengelolaan keuangan daerah yang baik untuk mewujudkan efisiensi, efektif, transparan dan akuntabilitas.

Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelaslah bahwa pengaturan hukum mengenai pengelolaan keuangan daerah, khususnya mengenai perencanaan dan penganggaran daerah sangat beragam yang secara hierarkhi


(45)

perundang-undangan bertolak dari aturan dasar yakni Undang-undang Dasar 1945 sampai Keputusan Menteri.

Tahap perencanaan daerah secara khusus diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renja SKPD). Landasan dikeluarkannya undang-undang ini adalah sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini belum memiliki landasan aturan yang bersifat mengikat. Digulirkannya kebijakan otonomi daerah dan dihapuskannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang selama ini dijadikan landasan perencanaan membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis.

B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Daerah

Pada hakekatnya keuangan pusat dan keuangan daerah adalah keuangan negara.27 Oleh karena itu untuk lebih memahami makna keuangan negara,

27

Ady Kusnadi et al, Aspek Hukum Pengawasan Dalam Pelaksanaan Keuangan Pusat dan

Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,


(46)

tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuannya.

Negara adalah suatu lembaga kemasyarakatan yang mempunyai wilayah dan pemerintahan yang berkuasa yang didukung oleh warganya di wilayah itu guna mencapai tujuan tertentu. Pandangan para filosof mengenai tujuan negara pada dasarnya adalah sama, yaitu untuk mencapai kesejahteraan warga negaranya. Plato berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memenuhi keanekaragaman kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi manusia secara individu, sementara Aristoteles menyebutkan bahwa tujuan negara adalah untuk menyelenggarakan kehidupan yang baik bagi semua warga negaranya.28

Keberhasilan negara dalam mencapai tujuannya tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu menghimpun dana masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya antara lain keamanan, ketertiban dan hubungan internasional. Hal ini mudah dipahami, karena untuk menjalankan roda pemerintahan, negara membutuhkan dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan negara yang potensial, antara lain pajak melalui kebijaksanaan fiskal. Kebijaksanaan pemerintah yang semula terbatas hanya mengenai perpajakan, namun sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara mensejahterakan warga masyarakatnya, kebijaksanaan tersebut berkembang lebih luas menjadi kebijaksanaan di bidang keuangan negara.

28

Badan Pemeriksa Keuangan, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, 2000, hal. 9


(47)

Keuangan negara sesungguhnya mempunyai arti luas, yaitu di samping meliputi milik negara atau kekayaan negara yang bukan semata-mata terdiri dari semua hak, juga meliputi semua kewajiban. Hak dan kewajiban itu baru dapat dinilai dengan uang apabila dilaksanakan.29

Definisi keuangan negara sendiri memiliki pengertian yang cukup beragam, dapat diinterpretasikan secara luas maupun sempit, bergantung pada pihak yang berkepentingan terhadapnya.

Dalam kepustakaan ilmu hukum, keuangan negara dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah geldmiddelen. Menurut P.H. Van der Kamp, geldmiddelen mengandung pengertian: “...all de rechten die een geld swaarde vertegenwoordegen. Zoomede al hetgeen faan gelden goed tenge volge van die rechten is varkregen...”.30

Dalam Encyclopedia International dinyatakan bahwa ilmu keuangan negara adalah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana cara pemerintah mendapatkan dan menggunakan uang. Hal tersebut meliputi fungsi-fungsi pengumpulan, penerimaan, pinjaman dan pengeluaran yang dilakukan oleh bangsa, negara atau pemerintah daerah.31

29

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, op.cit., hal. 1

30

H. Bohari, Hukum Anggaran Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal. 8, yang artinya: semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu yang dapat dijadikan milik negara menghubungkan dengan hak-hak tersebut.

31

Pengertian Keuangan Negara yang dianut dalam Encyclopedia International tersebut menjadi pedoman Supreme Audit International (SAI). Hal ini pula yang merupakan rumusan Keuangan Negara secara internasional. Ady Kusnady et al, op.cit., hal 25


(48)

Sedangkan Goedhart berpendapat bahwa teori keuangan negara membahas keuangan badan-badan hukum publik. Badan-badan ini telah dianugerahi hak-hak publik dan karena itu mampu, dengan cara lain ikut serta dalam proses-proses ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari badan-badan swasta dan orang-orang (natuurlijke personen).32

M. Subagio menyebutkan bahwa keuangan negara ialah hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu.33

Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.

Negara mempunyai hak-hak yang menurut keperluannya dapat dinilai dengan uang, misalnya:34

1. Hak mengenakan pajak kepada warganya, yang pungutannya sekedar perlu atau berdasar undang-undang yang dapat dipaksakan, tanpa memberi imbalan secara langsung kepada orang yang dikenakan pajak.

32

C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara (judul asli Hoofdlijnen Van De Leer

Der Openbare Financien),diterjemahkan oleh Ratmoko, Djambatan, Jakarta, 1982, hal. 1. Beliau juga

menyebutkan bahwa badan-badan hukum publik adalah badan-badan, yang dasar hukumnya terdapat dalam kebutuhan akan pengurusan kebutuhan-kebutuhan bersama daripada para subjek ekonomi perseorangan dan untuk keperluan itu telah diberi hak mendapatkan uang-uang yang diperlukan dengan paksaan atau dengan pungutan.

33

M. Subagio, Hukum Keuangan Negara RI, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal. 11. M.N. Azmi Achir juga memberikan pengertian yang sama tentang Keuangan Negara. Lebih lanjut lihat Ibnu Syamsi, Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 252

34


(49)

2. Negara dapat mencetak uang kertas maupun logam. Pengadaan alat-alat pembayaran yang sah termasuk tugas pemerintah.

3. Hak negara untuk mengadakan pinjaman paksa kepada warganya (pengguntingan uang tahun 1950).

Selain itu kewajiban negara juga dapat dinilai dengan uang, yaitu:35

1. Kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban, pembuatan dan perbaikan jalan raya, pelabuhan dan pangkalan udara, pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, waduk, pembuatan dan pemeliharaan pengairan, serta pembangunan dan pemeliharaan alat perhubungan.

2. Kewajiban membayar atas hak tagihan dari pihak-pihak yang melakukan sesuatu atau perjanjian dengan pemerintah, misalnya pembelian barang-barang untuk keperluan pemerintah (negara ataupun rakyat), pembangunan gedung pemerintah dan sebagainya.

Sedangkan pakar lain Otto Eckstein menyatakan:36

Keuangan negara adalah bidang yang mempelajari akibat-akibat dari anggaran belanja negara atas ekonomi, khususnya akibat dari dicapainya tujuan-tujuan ekonomi yang pokok, pertumbuhan, kemantapan, keadilan, dan efisiensi. Juga dipelajari tentang bagaimana seharusnya andaikata ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti misalnya pertumbuhan yang lebih cepat atau distribusi pendapatan yang lebih adil, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bagaimanakah yang akan dapat mengarah ke tujuan-tujuan itu.

35

Ibid, hal. 2. Mengenai kewajiban negara ini Ibnu Syamsi menyebutkan juga bahwa kewajiban

negara adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lihat Ibnu Syamsi, loc.cit

36


(50)

Otto Eckstein juga menyatakan bahwa keuangan negara membahas kegiatan-kegiatan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, yang dibahas adalah anggaran negara, pajak-pajak, pengeluaran pemerintah dan utang-utang pemerintah. Bahasannya meliputi ruang lingkup kegiatan pemerintah, efisiensi dalam pengeluaran, baik yang dilakukan di tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah, masalah-masalah koordinasi dan perencanaan, efisiensi dan pertumbuhan pajak, dan peranan utang negara dan ekonomi.37

Dari pendapat yang dikemukakan Eckstein tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur keuangan negara meliputi anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat-akibat kebijaksanaan di bidang ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Menurut H. Bohari, pengertian keuangan negara mempunyai arti yang berbeda tergantung pada sudut mana melihatnya. Ketentuan dalam Tambahan Lembaran Negara (1776) menyatakan dengan keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara tetapi seluruh kekayaan negara, termasuk di dalamnya segala bagian harta milik kekayaan itu dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengurusan pada pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik maupun perdata, perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan dimana pemerintah

37


(51)

mempunyai kepentingan khusus dalam penguasaan dan pengurusan pihak lain maupun berdasarkan perjanjian dan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah.38

Sedangkan Suparmoko menggunakan istilah ilmu keuangan negara yang diartikan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan ilmu keuangan negara adalah bagian dari bidang ekonomi yang mempelajari tentang kegiatan-kegiatan pemerintah dalam bidang ekonomi terutama mengenai penerimaan dan pengeluarannya beserta dengan pengaruh-pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan-tujuan kegiatan ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga-harga, distribusi penghasilan yang lebih merata dan juga peningkatan efisiensi dan penciptaan kesempatan kerja. Jadi ilmu keuangan negara merupakan suatu studi tentang apa yang seharusnya. Misalnya jika ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu seperti pertumbuhan ekonomi atau distribusi penghasilan yang lebih merata maka harus menentukan kebijakan yang bagaimanakah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.39

Dari pendapat Suparmoko ini tampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran, dan pengaruh dari anggaran pendapatan dan belanja negara.

Sedangkan Harjono Sumosudirdjo menggunakan istilah keuangan negara yang artinya adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.40

38

H. Bohari, loc.cit

39

Suparmoko dalam Ady Kusnadi et al, op.cit, hal. 26

40


(52)

Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat luasnya arti keuangan negara ini, yaitu meliputi hak milik negara atau kekayaan negara, yang terdiri dari hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang apabila hak dan kewajiban itu dilaksanakan.41

Pengertian keuangan negara tidak hanya dimaksud uang negara, melainkan seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan berada dalam pengelolaan para pejabat-pejabat dan/atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun yang berada dalam pengelolaan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah dengan status hukum publik ataupun privat, badan-badan usaha negara serta badan-badan usaha lain dimana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta terikat dalam perjanjian dengan penyertaan pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah.

Sedangkan pengertian keuangan negara secara yuridis42 dapat ditelusuri melalui dasar hukumnya yaitu Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945.

Sebagai dasar hukum keuangan negara, Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23 sebelum amandemen menyebutkan bahwa:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.

41

H. Bohari, loc.cit

42

Pemahaman secara yuridis tentang keuangan negara diperlukan sebagai dasar untuk menyamakan persepsi dalam rangka melaksanakan kegiatan dari lembaga negara yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara


(1)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku

Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta, 2002

Ady Kusnadi et al, Aspek Hukum Pengawasan Dalam Pelaksanaan Keuangan

Pusat dan Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2000

Ahmad Yani, Seri Keuangan Publik, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara:

Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Gramedia, Jakarta, 1986

---, Kapita Selekta Keuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Universitas Tarumanegara, UPT Penerbitan, Jakarta, 1996

---, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, Teori, Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005

Badan Pemeriksa Keuangan, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan, Jakarta, 2000

C. Goedhart, Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Djambatan, Jakarta, 1982 D.J. Mamesah, Sistem Administrasi Keuangan Daerah, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 1995

Faisal Akbar Nasution, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Kajian

Kritis Atas UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pustaka

Bangsa Press, Medan, 2003

Gunawan Widjaja, Seri Keuangan Publik: Pengelolaan Harta Kekayaan Negara

Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002


(2)

Ibnu Syamsi, Dasar-dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Imam Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate

Governance, Harvarindo, Jakarta, 2002

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab

Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara RI, LAN, Jakarta, 1988 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,

Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah, LAN, Jakarta, 2000

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002 M. Solly Lubis, Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan, Mandar Maju,

Bandung, 1996

M. Subagio, Hukum Keuangan Negara RI, Rajawali Pers, Jakarta, 1991

M. Suparmoko, Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2002

---, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta, 1996 Mustopadidjaja AR, Manajemen Proses Kebijakan Publik: Formulasi,

Impelementasi, dan Evaluasi Kinerja , Lembaga Administrasi Negara,

Jakarta, 2002

Nick Devas et al, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1989

Riant D Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi, PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2000


(3)

Ryaas Rasyid, Otonomi atau Federalisasi, Harian Umum Suara Pembaharuan dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000

Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah, Fokus Media, Bandung, 2003

S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2005

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Airlangga University Press, Surabaya, 2003

---, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah: Berdasarkan Prinsip-prinsip

Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005

Syaukani HR, et al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002

S. Pamudji, Pembinaan Perkotaan di Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1980

The Liang Gie, Unsur-unsur Administrasi Suatu Kumpulan Karangan, Edisi III, Supersukses, 1981

---, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid I, Liberty, Yogyakarta, 1993

---, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara RI, Jilid II, Liberty, Yogyakarta, 1994

Wihana Kirana Jaya, Analisis Potensi Keuangan Daerah, Pendekatan Makro, PPPEB UGM, Yogyakarta, 1999

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan

Utang Luar Negeri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Makalah dan Jurnal


(4)

Peningkatan Kualitas Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Laboratorium Konstitusi, PPs-USU, Medan, 2003

Arlen T. Pakpahan, Reformasi Manajemen Keuangan Sektor Publik, Makalah dalam Kesepakatan Bersama, Seminar Nasional otonomi dan Tata Pemerintahan yang Baik, UNDP, Jakarta, 2001

Demokrasi dan HAM, Desentralisasi, Demokrasi dan Pemulihan Ekonomi, Vol. 2, No. 2, Juni-September, 2002

Hukum, Vol. 8, No. 1, FH-USU, Pebruari 2003 Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 5, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom


(5)

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan III atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah

Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota

Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Langkat

Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 3 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Langkat Tahun 2006-2010