J01033

Problematika Hukum Pilkada Kota Salatiga Periode 2011-20161
Oleh
Andre Sutantyo, Tri Budiyono, & Umbu Rauta

Abstrak
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara
langsung oleh rakyat yang dilaksanakan sejak 2005 membawa sejumlah
capaian positif maupun sejumlah problematika. Kota Salatiga pada tahun
2011 juga menyelenggarakan Pilkada. Tulisan ini menguraikan sejumlah
problematika hukum yang terjadi dalam Pilkada Kota Salatiga, maupun
faktor penyebab dan upaya penyelesaian problematika dimaksud di
waktu yang akan datang.
Dari hasil kajian ditemukan ada sejumlah problematika hukum, baik
dalam tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan Pilkada tersebut.
Oleh karenanya, di waktu yang akan datang semua pihak terkait
(penyelenggara, partai politik, pemilih, PNS dan pasangan calon) perlu
melakukan aktivitas yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
A. Pengantar
Pada tahun 2011 Kota Salatiga menyelenggarakan salah satu event
ketatanegaraan yaitu pemilihan umum walikota dan wakil walikota

(selanjutnya disebut pilkada) periode 2011 – 2016. Pilkada tersebut
merupakan instrumen pengisian kepala daerah (KDH) dan wakil kepala
daerah (WKDH) di Indonesia, yang secara konstitusional diperintahkan
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian dielaborasi
dalam UU No. 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun
2008) tentang Pemerintahan Daerah serta peraturan pelaksanaan lainnya.2
1

Tulisan ini bersumber dari Tesis Andre Sutanto di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum UKSW, dibawah bimbingan Dr. Tri Budiyono, SH.M.Hum & Umbu Rauta, SH.M.Hum.
Untuk kepentingan publikasi, telah dilakukan modifikasi oleh ketiga penulis tersebut, agar
lebih komunikatif di hadapan pembaca.
2
Peraturan pelaksanaan lainya seperti PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan WKDH, Peraturan KPU No. 13 Tahun 2010
tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum KDH dan WKDH, Peraturan
KPU No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara dalam Pemilihan Umum KDH dan WKDH oleh Panitia

Secara teoretik, pengisian jabatan KDH dan WKDH merupakan salah

satu perwujudan dianutnya prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan Indonesia, dimana rakyat terlibat secara langsung dalam
penentuan pemimpin baik di daerah dan di pusat. Dalam pengertian yang
lebih partisipatif, demokrasi merupakan konsep kekuasaan dari, oleh,
untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui
berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang memberikan dan
menentukan arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan
bernegara.3
Secara normatif, tahapan pemilihan KDH dan WKDH dibagi dalam
dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. 4 Tahap persiapan
meliputi pemberitahuan oleh DPRD kepada KDH dan KPUD mengenai
berakhirnya masa jabatan KDH bersangkutan, penetapan tata cara dan
jadwal pelaksanaan Pemilihan Umum KDH dan WKDH, pembentukan
perangkat Pemilihan Umum KDH dan WKDH (Panitia pengawas, PPK, PPS
dan KPPS),pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Sedangkan tahap
pelaksanaan meliputi penetapan daftar pemilih (DPT), pendaftaran dan
penetapan

calon


KDH

dan

WKDH,

kampanye,

pemungutan

suara,

penghitungan suara dan penetapan, pengesahan serta pelantikan calon
KDH dan WKDH terpilih.
Pemilihan Umum KDH dan WKDH secara langsung telah berlangsung
sejak tahun 2005, di mana dalam prakteknya telah membawa dampak
positif bagi perkembangan dan kedewasaan kehidupan berdemokrasi

di


Indonesia. Namun, tak terelakan pula adanya problematika hukum dalam
penyelenggaraan pilkada, antara lain : pragmatisme partai politik dalam
rekrutmen pasangan calon yang mana lebih mengedepankan kepemilikan

Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, serta Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pelantikan.
3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi, Sekjen dan kepaniteraan
MK RI, Jakarta: 2006.
4 UU No 32 Tahun 2004, maupun peraturan pelaksanaan sebagaimana disebutkan
sebelumnya.

modal,5 kemunculan program-program dari calon petahana (incumbent)
menjelang pilkada, banyaknya realisasi program pemerintah menjelang
pilkada,6

penggunaan

dana

APBD


oleh

pasangan

calon

petahana

(incumbent) untuk pembiayaan kampanye, politik uang (money politic)
dengan biaya sendiri oleh pasangan calon bukan incumbent;7 Daftar Pemilih
Tetap (DPT) yang bermasalah oleh KPU, rendahnya netralitas Pegawai
Negeri Sipil,8 rendahnya tingkat partisipasi pemilih, serta penggunaan hak
pilih berkali-kali.9
Problematika hukum pada tataran nasional berpeluang muncul
dalam pilkada Kota Salatiga tahun 2011, antara lain : penolakan oleh DPP
PDIP atas usulan pasangan calon dari DPC PDIP,10 pencalonan salah satu
kader senior

GOLKAR yaitu Rosa Maria Delima Sri Darwanti, SH, M. Si


oleh partai politik lain, pelanggaran terhadap ketentuan teknis penyusunan
DPT, pelanggaran terhadap ketentuan kampanye, laporan dugaan money
politic, laporan dugaan pelanggaran tata cara pemungutan suara, serta
rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan proses
pelaksanaan Pemilihan KDH dan WKDH.11
Beranjak dari berbagai problematika nasional dan lokal tersebut,
mendorong untuk dilakukan kajian lebih mendalam terhadap problematika
hukum dalam pilkada Kota Salatiga, termasuk anasir-anasir penyebabnya
dan upaya penyelesaiannya.

B. Permasalahan
Rumusan permasalahan memumpun pada hal-hal berikut : (1) Apa
problematika hukum yang muncul dalam Pilkada Kota Salatiga periode
Tujuh Rekomendasi RAKORNAS PDIP, Vivanews.com, 6 Agustus 2010
Awasi Pilkada, Bawaslu gandeng KPK, Vivanews.com, 18 Februari 2010.
7 MK:Sistem Pilkada Suburkan Money Politic, Vivanews.com, 3 Feb 2012
8 Ini Biang Semua Sengketa Pemilu dan Pilkada, Vivanews.com, 21 Feb 2012
9 Kalah, Enam Kandidat Minta Pilkada Ulang, Vivanews.com, 29 Oktober 2008
10 DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. 7 Januari 2011

11 Tim Panwaslu, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
tahun 2011,Panwaslu, Salatiga 2011.
5

6

2011 – 2016; (2) Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadi problematika
hukum dalam Pilkada Kota Salatiga periode 2011 – 2016 ? dan (3) Apa
solusi pemikiran untuk mengatasi problematika hukum dalam Pilkada Kota
Salatiga periode 2011 – 2016 ?

C. Pembahasan
C.1. Identifikasi Problematika Hukum Pemilihan KDH dan WKDH Kota
Salatiga Tahun 2011.
Sesuai

urutan

tahapan


Pemilihan

KDH

dan

WKDH,

berikut

diidentifikasi setiap problematika hukum yang muncul saat Pilkada Kota
Salatiga. Pada Tahap Persiapan, problematika hukum berupa :
a. Terdapat laporan dari masyarakat dan Panwaslu, bahwa ada 2
(dua) anggota PPS yang tidak memenuhi syarat dikarenakan masih
menjadi anggota partai politik.12 Hal ini melanggar Pasal 11 Ayat
(3) PP No. 6 tahun 2005, yang berbunyi: “Anggota PPS ..... berasal
dari tokoh masyarakat yang independen ”. Hal ini diperkuat
dengan Pasal 13 huruf (e) PP yang sama yaitu; “ Syarat untuk
menjadi PPS, PPK dan KPPS adalah :


(e) Tidak menjadi anggota

Partai Politik”. Oleh karena itu, kemudian diambil tindakan dengan
pemberhentian yang bersangkutan dari keanggotaan.
b. Adanya kebijakan Walikota Salatiga tentang mutasi dan promosi
kepegawaian

di

lingkungan

Pemerintah

Kota

Salatiga

yang

berakibat pergantian antar waktu pada sekretariat di tingkat PPK

maupun di tingkat PPS. Kebijakan dimaksud dimuat dalam
Keputusan
Susunan

Walikota

Salatiga

Keanggotaan

PAW

No.

274-05/193/2011

Sekretariat

Panitia


tentang

Pemilihan

Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
Tahun 2011, Salatiga : 2011. Bab II - Hal 47.
12

Kecamatan(PPK)

pada

Pemilu

Walikota

dan

Wakil

Walikota

Salatiga Tahun 2011.13
Kemudian pada tahap pelaksanaan, beberapa problematika hukum yang
muncul yaitu :
a. Dalam proses penetapan pasangan calon yang mendaftarkan diri
melalui partai politik terjadi beberapa problematika hukum.
Pertama, Pasangan calon Bambang Soetopo dan Rosa Darwanti
Manoppo yang merupakan kader partai Golkar justru tidak
didukung oleh Partai Golkar. Berdasarkan penjaringan aspirasi di
tingkatan kecamatan diusulkan pengajuan calon dari partai
Golkar atas nama Rosa Darwanti akan tetapi hal ini tidak disetujui
oleh DPD II. Kedua, pasangan calon atas nama Teddy Sulistio dan
Bambang Riantoko yang diajukan lewat rapat PAC hingga Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) PDI-Perjuangan Kota Salatiga untuk
diusulkan Ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ternyata tidak
disetujui. Dengan alasan hasil survei independen yang dilakukan
DPP PDI-Perjuangan, maka dikeluarkan rekomendasi untuk Diah
Sunarsasi (sebagai calon walikota) berpasangan dengan Teddy
Sulisto (sebagai calon wakil walikota). Hal ini melanggar prinsip
demokrasi dan transparansi dalam penjaringan pasangan calon
lewat partai politik seperti tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UU No.
2 Tahun 2011 tentang Partai Politik :
“ Ayat (1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap
warga negara Indonesia untuk menjadi:
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka
sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang
undangan.”

Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
Tahun 2011, Salatiga : 2011. Bab II - Hal 50.
13

Selain itu, penetapan pasangan calon ini juga melanggar Pasal 59
Ayat (3) dan (4) UU No. 32 tahun 2004 :
“ Ayat (3) Partai politik atau gabungan partai politik wajib
membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal
calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses
bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis
dan transparan.
Ayat (4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai
politik
atau gabungan partai politik memperhatikan
pendapat dan tanggapan masyarakat.”

b. Semua pasangan calon melakukan kampanye dengan arak-arakan
dan pengumpulan massa sehingga mengganggu pengendara jalan
serta pemasangan alat peraga kampanye tidak pada tempatnya.
Ini bertentangan dengan Pasal 78 huruf (e) dan huruf (j) UU No. 32
tahun 2004 yaitu:
“(e). mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum”
dan huruf;
(j) melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan
berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.”
c. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan
salah satu calon secara langsung maupun tidak langsung, bahkan
melibatkan salah satu pejabat eselon II, dalam hal ini Kepala
Dinas.14 Penuturan salah satu PNS Dishubkombudpar yang baru
saja purna tugas (Juni 2012): ”dukungan PNS terhadap salah satu
calon

merupakan

suatu

kewajaran

sebagai

bagian

dari

masyarakat, meskipun ada yang secara langsung (vulgar), namun
ada pula yang secara diam-diam mempengaruhi pemilih lainnya. 15
Jika ditinjau dari prinsip netralitas aparatur negara, hal ini sangat
bertentangan dengan larangan bagi PNS seperti tertuang dalam
Dinilai Berpihak, Panwas Tegur 5 PNS. Jawa Pos. Published: 19 April 2011.
Wawancara dengan PNS Dishubkombudpar yang kini terlibat dalam kepengurusan partai
Gerindra dimana Diah Sunarsasi menjadi ketua DPC terpilih periode 2012-2017. Selain yang
bersangkutan ada pula mantan Ka. Dishubkombudpar yang bergabung dalam partai Gerindra,
Senin 4 Oktober 2012 di kediaman bersangkutan.
14

15

Pasal 4 PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil yaitu:
Setiap PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan
dalam kegiatan kampanye;
c. Membuat
keputusan
dan/atau
tindakan
yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon selama masa kampanye; dan/atau
d. Mengadakan
kegiatan
yang
mengarah
kepada
keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi
peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa
kampanye meliputi
pertemuan, ajakan,
himbauan,
seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan
unit kerjanya, anggota keluarga, dan
masyarakat.
d. Politik uang yang terjadi di sebagian besar daerah di Salatiga,
bahkan di salah satu TPS di wilayah Tingkir sangat terencana dan
sistemik. Tim Sukses menunggu para pemilih agak jauh dari TPS
sambil menunggu bukti rekaman foto handphone untuk kemudian
diberikan

imbalan

uang.

Praktik

semacam

ini

merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 117 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
yang berbunyi :
“ Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang
atau
materi
lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau
memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya
menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). “
Meskipun demikian, money politics sulit untuk dibuktikan karena
kurangnya alat bukti serta saksi-saksi yang ada. Sehingga

penindakannya sebatas teguran lisan dari saksi lainnya dan dari
panitia

pengawas

Pemilu,

namun

tidak

dapat

dilakukan

penegakan secara hukum.

C.2. Analisa Faktor Penyebab Terjadinya Problematika Dalam Pilkada
Kota Salatiga Tahun 2011
Hasil penelitian menunjukkan proses demokrasi yang berlangsung
melalui mekanisme Pilkada Kota Salatiga menunjukkan hasil yang
signifikan dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 82,16 %. Presentase
partisipasi pemilih ini dapat menjadi indikator keberhasilan proses
demokrasi secara prosedural dimana pelibatan masyarakat (pemilih) sangat
tinggi,

meski

secara

substansial

proses

menunjukkan hasil yang memuaskan,

demokrasi

tersebut

belum

hal ini tampak pada beberapa

fenomena yang muncul dalam proses persiapan hingga pelaksanaan
Pilkada Kota Salatiga (lihat uraian pada C.1.). Pemberlakuan hukum dalam
Pilkada tidak absolut dapat dilaksanakan, sebagaimana telah diprediksi
oleh William Chambliss dengan teori keberlakuan hukum yang dipengaruhi
faktor-faktor eksternal dari hukum itu sendiri. Terlebih, proses Pilkada
merupakan proses pengisian jabatan politik, sehingga faktor-faktor politik
tidak dapat dinihilkan.
Berikut ini merupakan analisa persoalan yang muncul berdasarkan
tahapan Pilkada Kota Salatiga.
1. Tahapan Persiapan
a. Syarat keanggotaan serta tugas pokok dan fungsi dari PPK, PPS, KPPS
sebagai bagian sistem penyelenggaraan Pemilihan KDH dan WKDH
diatur dalam PP No. 6 Tahun 2005. Dalam Pasal 11 Ayat (2a) PP a quo
diatur

fungsi

krusial

dan

strategis

dari

PPS

yakni

“melakukan

rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dalam wilayah
kerjanya

dan

membuat

berita

acara

dan

sertifikat

rekapitulasi

penghitungan suara”. Dalam proses Pilkada posisi ini rentan untuk

melakukan

kecurangan-kecurangan

dengan

manipulasi

data,

dikarenakan rekapitulasi sepenuhnya ada pada PPS tanpa pengawasan
yang maksimal.
Berkaitan tugas dan fungsi krusial dan strategis dari PPS, posisi ini
banyak diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Salah
satunya adalah partai politik yang ikut serta dalam Pilkada.

Partai

politik

PPS

untuk

kecurangan

dalam

sengaja

mempermudah

menempatkan
koordinasi

kadernya

serta

sebagai

melakukan

pemungutan suara.

b. Kebijakan mutasi dan promosi kepegawaian di lingkungan Pemerintah
Kota Salatiga merupakan wewenang penuh dari seorang Walikota
dengan mendasarkan pada pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan. Meskipun demikian, mutasi dan rotasi tersebut
seharusnya tidak mengganggu jalannya proses demokrasi yang sedang
berlangsung melalui Pilkada. Utamanya bila rotasi dan promosi tersebut
berakibat pada pergantian antar waktu yang terjadi pada sekretariat di
tingkat PPK maupun di tingkat PPS, sehingga mengubah susunan
keanggotaan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada
Pilkada Kota Salatiga tahun 2011.16
Perubahan

yang

terjadi

ditengah

proses

Pilkada

tentu

akan

mengacaukan pengadministrasian yang telah dilakukan sebelumnya,
mengingat tugas pokok dan fungsi sekretariat PPK dan PPS yang krusial
untuk pendataan hingga memunculkan Daftar Pemilih Tetap. Celah ini
dapat

digunakan

untuk

menggelembungkan

suara

ataupun

penghilangan suara dengan alasan tenaga administrasi baru sehingga
banyak data yang hilang dan tidak dipahami. Terlebih salah satu
pasangan calon merupakan istri dari walikota yang saat itu menjabat.

Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
Tahun 2011, Salatiga : 2011. Bab II - Hal 50.
16

Bahkan, bukan tidak mungkin dalam keanggotaan KPU disusupi oleh
pihak-pihak yang berkepentingan seperti disampaikan oleh J.Kristiadi
dengan melihat fenomena yang ada: “fenomena yang menyedihkan
adalah politik uang dalam KPUD karena lebih mudah membeli suara dari
KPUD dari pada langsung dari rakyat.”17
2. Tahapan Pelaksanaan
a. Pasangan calon Bambang Soetopo dan Rosa Darwanti (yang merupakan
kader partai Golkar) justru tidak didukung oleh

Partai Golkar.

Berdasarkan penjaringan aspirasi di tingkatan kecamatan diusulkan
pengajuan calon dari Partai Golkar atas nama Rosa Darwanti akan
tetapi hal ini tidak disetujui oleh DPD II Partai Golkar Salatiga.
Keputusan DPP Partai Golkar justru memberikan dukungan kepada Ir.
Hj. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistyo, SE sehingga menjadi
polemik diinternal Partai Golkar karena dianggap sebagai bentuk
pengingkaran terhadap demokrasi berdasarkan ketentuan UU No. 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik. Meskipun ada DPP Partai Golkar mendaku (mengklaim)
bahwa hal ini sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan DPP Partai GOLKAR
Bab III poin (1a) Nomor. JUKLAK-13/DPP/GOLKAR/XI/2011 tentang
Perubahan

JUKLAK-02/DPP/GOLKAR/X/2009

tentang

Pemilihan

Umum Kepala Daerah dari Partai Golongan Karya, namun para kader
Partai Golkar tetap kecewa dan mengajukan protes karena Partai Golkar
tak mengusung kader sendiri dalam Pilkada tersebut, dimana hal ini
sebelumnya telah diusulkan oleh DPD II Partai Golkar18.
Di lain pihak, menurut penuturan dari Ketua DPD II Partai Golkar
Salatiga, proses pencalonan Rosa Darwanti tidak melalui mekanisme
partai yang sah, yaitu melalui rapat luar biasa yang melibatkan
pengurus-pengurus kecamatan. Oleh karenanya, dakuan bahwa para

17

18

Wawancara Metro TV : genta demokrasi, 2 Oktober 2012, Pukul 23:29
Fungsionaris Mundur dari Tim Sukses. Semarang Metro. Published : 11 Februari 2011.

pengurus kecamatan telah melakukan mekanisme yang demokratis
untuk mendukung Rosa Darwanti adalah tidak benar. Meski demikian,
Ketua DPD II Golkar mengakui mekanisme dalam partai Golkar
bergantung pada keputusan dari DPP dan mekanisme di tingkatan
bawah hanya memberi rekomendasi dan membuat urutan elektabilitas
sesuai hasil survei lokal.19
Kejadian yang sama terjadi dalam penetapan pasangan calon PDIP,
dimana

berdasarkan

keputusan

DPC

PDIP

Kota

Salatiga,

direkomendasikan pasangan calon atas nama Teddy Sulistiyo dan
Bambang Riantoko untuk diajukan ke DPP PDIP.
Secara prosedural, proses penjaringan bakal calon PDI-P telah sesuai
dengan amanat UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal
59 Ayat (4) dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.20 Hal ini
diperkuat dengan PP No. 6 tahun 200521 dimana usulan tersebut telah
disampaikan secara resmi kepada DPD PDI-P Jawa tengah di Semarang,
melalui surat bernomor 120/DPC.PDI-P/IN/I/2011 tertanggal Selasa
(4/1/2011). Surat usulan itu ditandatangani 11 pengurus teras DPC
dan 4 ketua Pengurus Anak Cabang (PAC). Ketua DPC PDI-P Kota
Salatiga M Teddy Sulistio mengatakan, usulan tersebut berdasarkan
hasil rapat pleno diperluas pengurus DPC, Senin (3/1/2011). Adapun
pertimbangan diusulkannya pasangan tersebut, kondisi politik Kota
Salatiga dan berdasarkan hasil survei dari lembaga independen yang
dilaksanakan Oktober dan Desember 201022. Namun, usulan DPC PDIP
Kota Salatiga, tidak memperoleh respon positif dari DPD PDIP, karena

Wawancara dengan Ketua DPD II partai Golkar sekaligus anggota DPRD Kota Salatiga
(Agung Setiyono), Senin 19 Juni 2012 di kediaman bersangkutan.
20 Pasal.29 ayat 1c “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia
untuk menjadi: c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah”
21 Pasal 37 Ayat 5 yang menyatakan proses dalam penjaringan dilakukan secara demokratis
dan transparan dan mendapat masukan dari masyarakat, bukan sekedar keputusan dari DPP.
22 DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. Published: 7 Januari
2011
19

DPP PDI-P secara sepihak memutuskan untuk mencalonkan Ir Hj Diah
Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistio SE23 sebagai pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota.
Hal ini bertentangan dengan fakta yang terjadi berkaitan dengan partai
politik

dalam

rezim

pemilihan

umum

secara

langsung.

Sistem

kepartaian yang oligarkis24 dan cenderung bertumpu pada satu orang
mematahkan semangat demokrasi yang hendak dibangun melalui partai
politik. Berbeda dengan demokrasi yang berjalan di

Amerika Serikat

misalnya, ada 4 fungsi partai politik yang dimaknai oleh orang awam
yaitu :25
1. Kesinambungan organisasi, suatu kelestarian yang jangka
lebih panjang daripada masa hidup orang-orang yang sedang
memegang pimpinan.
2. Struktur organisasi yang permanen dan menurun hingga
tingkat lokal.
3. Kepemimpinan berniat merebut dan mempertahankan
kekuasaan untuk membuat keputusan dan tidak hanya
sekedar untuk mempengaruhi pelaksanaan dari kekuasaan
semacam itu.
4. Usaha untuk meyakinkan pemilih agar memilih calon-calon
mereka.
Adapun fungsi partai politik bertumpu pada kesinambungan organisasi
bukan pada kharisma pemimpin semata. Kembali pada partai politik
yang ada di Indonesia yang sebagian besar menyatakan diri sebagai
partai terbuka dan demokratis namun fakta berlainan dengan konsep
yang dibangun. Bahkan secara terang-terangan Ketua Umum DPP PDI-P
dalam orasinya di GOR Jatidiri Semarang baru-baru ini menyatakan,
“segala
23

keputusan

menyangkut

calon

yang

diusung

merupakan

PDIP-PAN Gandeng PDS. Semarang metro. Published : 29 Januari 2011.
Menurut Airlangga P. K, oligarki dalam politik di Indonesia dimaknai sebagai kepentingan
elite ekonomi dalam kancah politik serta kekeluargaan dalam sistem kepartaian yang ada. Hal
ini menyebabkan kader-kader politik yang bermunculan bukanlah orang yang memiliki
kapabilitas serta pengalaman yang memadai, melainkan mereka yang dekat(keluarga) dengan
ketua partai, selain keluarga dekat, akses bagi munculnnya seorang kader juga bergantung
pada kepemilikan modal untuk maju dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif yang ada.
(Kompas, 6 Oktober 2012, hal 5)
25 Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta : 1986
24

kewenangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.”26 Hal ini
disampaikan kaitannya dengan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang
akan segera berlangsung bahkan seperti dikutip Suara Merdeka,
Megawati mengatakan: ”Ya (soal siapa yang mendapat rekomendasi) itu
kewenangan DPP partai. Urusan saya”.
Menyikapi hal tersebut Ketua DPC PDIP Kota Salatiga Teddy Sulistio
menanggapi bahwa ihwal yang terjadi dalam penetapan pasangan calon
dari PDI-P merupakan suatu proses demokrasi yang harus ditaati
sebagai kader partai. Rekomendasi apapun yang dikeluarkan oleh DPP
pusat

merupakan

perintah

yang

wajib

dilaksanakan

oleh

kader

ditingkatan bawah, meski dalam proses tidak sesuai dengan demokrasi.
Apabila sebuah partai mengandalkan sebuah proses demokrasi dari
“bawah” saja tentu akan merusak sistem kepartaian yang ada.27
b. Berkaitan

pelanggaran

kampanye,

seluruh

peserta

melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang diatur dalam Pasal 78
UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 2008 dan melanggar Pasal
60 PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini
utamanya

arak-arakan

dan

pengumpulan

massa

mengganggu

pengendara jalan serta pemasangan alat peraga kampanye tidak pada
tempatnya.
c. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan salah
satu calon secara langsung maupun tidak langsung, bahkan melibatkan
salah satu pejabat eselon II, dalam hal ini Kepala Dinas merupakan
sebuah pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.28 Meski demikian, bila
dicermati alasan keterlibatan PNS aktif pada umumya, merupakan
Rekomendasi Bisa di Luar 20 Nama, Suara Merdeka. Published: 2 Oktober 2012.
Wawancara dengan Teddy Sulistio (Ketua DPC PDI-P), Rabu 18 Oktober 2011 di kantor
DPRD Kota Salatiga.
28 Dinilai Berpihak, Panwas Tegur 5 PNS. Jawa Pos. Published: 19 April 2011.
26

27

suatu fenomena pertahanan diri dan “cari aman” ketika salah satu
pasang calon yang diprediksi menang akan menajdi pemimpin mereka
secara

birokratis,

maka

perlu

pendekatan

non-formal

karena

kepentingan-kepentingan tertentu yang selama ini telah berjalan. Selain
itu, ada pula motif mencari peluang setelah pensiun kelak, sehingga
menjadi pendukung salah satu calon merupakan cara efektif untuk
mencari perlindungan setelah pensiun dalam kaitannya penempatan
sebagai pejabat BUMD ataupun jabatan lainnya.
d. Berkaitan dengan isu politik uang yang dilakukan secara massif,
terencana dan sistematis menjadi alasan yang sering dikemukakan
untuk pengajuan upaya hukum terhadap keputusan rekapitulasi hasil
pilkada. Beberapa pasangan calon yang di kemudian hari tidak puas
seringkali menggunakan alasan politik uang sebagai alasan untuk
memohon pemilihan umum ulang.
Kenyataannya, banyak dugaan pelanggaran politik uang yang sengaja
dilakukan oleh pihak pasangan calon lain yang mengatasnamakan calon
A yang diduga melakukan politik uang, sehingga ketika “makelar” uang
tersebut tertangkap akan menyebutkan bahwa dia merupakan orang
yang ditugaskan oleh calon A padahal si calon A tidak pernah
melakukan hal tersebut.29 Hal serupa terjadi dalam Pilkada Kotaa
Salatiga, dimana KPU Kota Salatiga mendapat tanggapan keberatan atas
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara. Keberatan diajukan
oleh pasangan calon H. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistiyo,
sehingga

selanjutnya

mengajukan

permohonan

ke

Mahkamah

Konstitusi30 pada tanggal 13 Juni 2011 atas perkara nomor 55/PHPU.DIX/2011 dengan termohon KPU Kota Salatiga.,31

Wawancara dengan Siskawentar (Ketua DPC[kecamatan] PAN), Kamis 28 Juni 2011 di
kediaman bersabgkutan.
30 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
Tahun 2011, Salatiga : 2011. Bab II - Hal 99.
31
Risalah
persidangan
terkait
gugatan
ini
dapat
dilihat
di
situs
resmi
www.mahkamahkonstitusi.go.id
29

Pada akhirnya dugaan politik uang ini tidak dapat dibuktikan sehingga
Mahkamah Konstitusi memutus perkara dengan menolak gugatan dari
pasangan calon H. Diah Sunarsasi dan Milhous Teddy Sulistio dan
memberikan wewenang kepada KPU untuk mensahkan hasil rekapitulasi
yang telah ada. Berdasarkan putusan MK,
terjadi

dalam

Pilkada

Kota

Salatiga

meskipun politik uang32

2011,

hakim

MK

memiliki

pertimbangan tersendiri mengenai hal ini. Sehingga hasil keputusan
KPU telah final dan bersifat tetap.

C.3. Upaya Perbaikan Pilkada Masa yang akan datang
Setelah mencermati problematika Pilkada Kota Salatiga tahun 2011,
maka dalam rangka mewujudkan Pilkada yang lebih demokratis secara
prosedural dan substansial33 di masa yang akan datang, ada beberapa
alternatif perbaikan, yaitu:
a. Berkenaan dengan penyelenggara Pilkada, selama ini pendanaan
bersumber dari APBN dan APBD sehingga dalam operasional terjadi
kendala dalam rekrutmen tokoh-tokoh masyarakat yang netral untuk
menjadi

PPK,

PPS,

maupun

KPPS

serta

kesekretariatan

yang

menyertai. Hal ini pada akhirnya disiasati dengan melibatkan unsur
PNS dalam kesekretariatan sehingga rotasi kepegawaian dapat
mengganggu

jalannya

proses

demokrasi.

Sehingga

perlu

dipertimbangkan untuk memperbesar porsi anggaran dari APBN
dibandingkan

kemampuan

APBD.

Sekalipun

tidak

mampu

diakomodir, hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan suatu
sistem pemilihan umum yang serentak sehingga akan sangat
Penuturan dari salah seorang petugas KPPS di daerah Tingkir memberikan gambaran
praktek politik uang yang terjadi sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi pemilih
secara signifikan. Oknum Tim pemenangan salah satu calon memeberikan sejumlah uang
kepada pemilih dengan catatan mereka memberikan bukti berupa gambar dari telepon gengam
bahwasanya yang bersangkutan telah memilih pasangan calon yang dimaksud.(wawancara
dengan BS, 2 Juli 2012)
33 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia, penerbit alumni, Bandung,
1992.
32

menghemat anggaran namun dapat maksimal melibatkan masyarakat
yang netral dalam tim penyelenggaranya.
b. Berkenaan dengan Partai Politik yang selama ini masih menganut
sistem oligarki ekonomi dan kekeluargaan dalam pengajuan pasangan
calon KDH dan WKDH, harus dilakukan suatu reformasi organisasi
dalam partai politik. Reformasi sistem kepartaian yang ada dapat
dilakukan dengan penjaringan kader yang memiliki kapabilitas serta
kemampuan intelektual dan aktif dimasyarakat sehingga dapat
mengembalikan fungi partai pada jalurnya yaitu sebagai wadah untuk
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat serta sebagai
penyalur aspirasi masyarakat, bukan sekedar sebagai “kendaraan”
politik di masa pemilihan KDH dan WKDH. Terkait dengan hal ini,
dalam internal partai perlu dilakukan perombakan organisasi dan
pemantapan

peran

dan

fungsi

masing-masing

organ

maupun

pengurus sehingga dapat dilakukan check and balances dalam
keuangan partai, serta manajemen kerja partai politik. Sistem ini
nantinya akan menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan
kepartaian khususnya berkaitan dengan pencalonan KDH dan WKDH.
c. Berkenaan dengan netralitas PNS, sanksi hukum yang selama ini
tidak pernah diterapkan di dalam Korps PNS (KORPRI) harus
diterapkan dengan tegas dan berimbang sesuai kadar pelanggaran
yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan fungsi penyidik
PNS yang berfungsi mengawasi kinerja dan pelanggaran PNS yang
terjadi. Ketegasan serta penegakan hukum bagi PNS yang melanggar
ketentuan akan memberikan efek jera, terlebih bila sanksi tersebut
dijatuhkan pada pejabat yang memiliki jabatan struktural cukup
tinggi akan berdampak signifikan pada jajaran dibawahnya.
d. Berkenaan dengan pemilih, pragmatisme pemilih dalam Pilkada
dengan anggapan sebagai suatu sistem politik semata dengan
meninggalkan perspektif demokrasi dan hukum harus diluruskan.
Perlu

upaya

perubahan

paradigma

dalam

masyarakat

melalui

pendidikan politik yang benar dan tidak memihak. Dalam hal ini
peran KPU dan lembaga terkait lainnya menjadi penting dalam
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat selama masa jeda
dari satu pemilu ke pemilu

berikutnya. Pendidikan politik yang

dilakukan oleh KPU dan lembaga terkait utamanya berkaitan dengan
proses penyelenggaraan pemilu yang telah dan akan berlangsung
sehingga tercipta suatu pemikiran aktif

dari masyarakat dalam

mengawasi dan menjalankan pemilu secara demokratis dan sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku.
e. Berkenaan dengan Pasangan Calon, perlu peran serta aktif dari
masyarakat dalam menentukan pasangan calon dari partai maupun
perseorangan yang ikut serta dalam Pilkada. Partisipasi aktif dari
masyarakat ini dapat terbangun dengan adanya pendidikan politik
yang

berkesinambungan.

memberikan

masukan

Upaya

kepada

selektif

partai

politik

masyarakat

untuk

berkaitan

dengan

pasangan yang dicalonkan akan menjadi penting dalam sebuah
Pilkada yang dijalankan secara demokratis dengan melakukan
“Pemilihan internal partai” sebelum menentukan pasangan calon yang
akan ditentukan.

D. Simpulan
Beranjak dari uraian sebelumnya, berikut disimpulkan beberapa hal :
1. Pilkada secara langsung yang diterapkan di Indonesia belumberjalan
sesuai

konsep

Demokrasi

Pancasila.

Ini

berarti

telah

terjadi

pergeseran konsep Demokrasi Pancasila yang dalam perjalanan
sejarahnya

terjadi

penyimpangan-penyimpangan

sehingga

tidak

dijalankan sebagaimana dikonsepkan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dan cenderung tidak melibatkan rakyat (dipilih langsung
oleh pemerintah pusat).
2. Pilkada Kota Salatiga tahun 2011 berlangsung demokratis secara
prosedural. Hal ini berdasarkan kerangka hukum yang dibuat untuk

mengatur proses persiapan, pelaksanaan,

hingga penentuan hasil

Pemilihan KDH dan WKDH. Sebagian besar dari 15 aspek pemilihan
umum demokratis pun telah terpenuhi, yaitu: penyusunan kerangka
hukum; pemilihan sistem pemilu; penetapan daerah pemilihan; hak
untuk memilih dan dipilih; badan penyelenggara pemilu; pendaftaran
pemilih dan daftar pemilih; akses kertas suara bagi partai politik dan
kandidat; kampanye pemilu yang demokratis; akses ke media dan
kebebasan berekspresi; pembiayaan dan pengeluaran; pemungutan
suara; penghitungan dan rekapitulasi suara; peranan wakil partai dan
kandidat; dan pemantauan pemilu. Indikator lain yang paling
signifikan adalah partisipasi pemilih mencapai 82,16 %, hasil ini
tertinggi di Jawa Tengah untuk tingkat kota/kabupaten.
3. Secara substansial, demokrasi dalam Pilkada Kota Salatiga tahun
2011 belum tercapai, karena munculnya problematika hukum berikut
yaitu:
a. Keikutsertaan

pengurus

partai

politik

dalam

keanggotaan

penyelenggara Pemilihan Umum.
b. Adanya

kebijakan

mutasi

dan

promosi

kepegawaian

yang

berakibat pada pergantian antar waktu yang terjadi pada
sekretariat di tingkat PPK maupun di tingkat PPS.
c. Adanya pasangan calon yang diusulkan partai politik tingkat kota
(DPC atau DPD II), namun tidak direkomendir oleh DPP partai
politik yang bersangkutan, seperti kasus Rosa Darwanti di Partai
Golkar dan kasus di PDIP Kota Salatiga.
d. Pelanggaran
pengumpulan

terkait
massa

kampanye

dengan

mengganggu

arak-arakan

pengendara

jalan

dan
serta

pemasangan alat peraga kampanye tidak pada tempatnya..
e. Keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tim pemenangan
salah satu calon secara langsung maupun tidak langsung.
f.

Politik uang yang terjadi di sebagian besar Kota Salatiga.

g. Tingkat pendidikan politik masyarakat pemilih yang rendah.

h. Tidak maksimalnya fungsi partai dalam menjaring kader dan
memberi ruang aspirasi bagi masyarakat.

Daftar Pustaka
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi, Sekjen dan
kepaniteraan MK RI, Jakarta: 2006.
Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga,
Jakarta : 1986
Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia, penerbit alumni,
Bandung, 1992.
UU No 32 Tahun 2004 (terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008)
tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 2 Tahun 2008 (diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011) tentang Partai
Politik
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan
Pemberhentian KDH dan WKDH
Peraturan KPU No. 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pencalonan Pemilihan Umum KDH dan WKDH
Peraturan KPU No. 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dalam Pemilihan Umum
KDH dan WKDH oleh Panitia Pemilihan Kecamatan, Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota, dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi, serta Penetapan
Calon Terpilih, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pelantikan.
Tim Panwaslu, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Salatiga tahun 2011,Panwaslu, Salatiga 2011.
Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil
Walikota Salatiga Tahun 2011, Salatiga : 2011.

Tujuh Rekomendasi RAKORNAS PDIP, Vivanews.com, 6 Agustus 2010
Awasi Pilkada, Bawaslu gandeng KPK, Vivanews.com, 18 Februari 2010.
MK:Sistem Pilkada Suburkan Money Politic, Vivanews.com, 3 Feb 2012
Ini Biang Semua Sengketa Pemilu dan Pilkada, Vivanews.com, 21 Feb 2012
Kalah, Enam Kandidat Minta Pilkada Ulang, Vivanews.com, 29 Oktober 2008
DPC PDIP Usulkan Bambang Riantoko-Teddy Sulistio. Semarang metro. 7
Januari 2011
Dinilai Berpihak, Panwas Tegur 5 PNS. Jawa Pos. Published: 19 April 2011.
Wawancara Metro TV : genta demokrasi, 2 Oktober 2012, Pukul 23:29
Fungsionaris Mundur dari Tim Sukses. Semarang Metro. Published : 11
Februari 2011.
PDIP-PAN Gandeng PDS. Semarang metro. Published : 29 Januari 2011.
Rekomendasi Bisa di Luar 20 Nama, Suara Merdeka. Published: 2 Oktober
2012.
Risalah persidangan terkait gugatan ini dapat dilihat di situs resmi
www.mahkamahkonstitusi.go.id

Dokumen yang terkait

J01033

0 0 20