Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014 | Arianto | JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) 18000 35860 1 SM

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume 20, Nomor 1, Juli 2016 (50-68)
ISSN 1410-4946

Menakar Peran Relawan Politik
Pasca Kontestasi Presidensial 2014
Bambang Arianto•
Abstract
This article explains that the role of post-conlict political volunteers in 2014, who began with the presidential
activity mapping and projection of the volunteers. It was to ind out the tactical steps taken by the political
volunteers, especially in issues of politics and government. This study revealed that volunteers more engaged
in social media, then divides typology into a community volunteer and non-volunteer community. From
the two typology of volunteers turned out more volunteers who choose passivity rather than active. Passive
atituded intended to be a controller of government, while the more active atituded as the guardian of power.
This article argues that the role of volunteers in post-conlict digital style presidential politics in 2014 more
strengthen the institutionalization of digital activism for political education of the public.
Keywords:
volunteer political; social media; digital activism; the political education of the public.


Abstrak
Artikel ini menjelaskan peran relawan politik pasca kontestasi presidensial 2014 yang dimulai
dengan pemetaan aktivitas dan proyeksi para relawan. Hal itu untuk mengetahui langkah taktis
yang diambil para relawan politik terutama dalam isu-isu politik dan pemerintahan. Dalam
penelitian ini dinyatakan bahwa relawan politik lebih banyak bergerak di ranah media sosial yang
kemudian membagi tipologi menjadi relawan komunitas dan relawan non-komunitas. Dari kedua
tipologi relawan ini ternyata lebih banyak relawan yang memilih sikap pasif daripada aktif. Sikap
pasif ditujukan untuk menjadi pengawas pemerintahan, sedangkan sikap aktif lebih berperan
sebagai pengawal kekuasaan. Artikel ini berpendapat bahwa peran relawan dalam langgam
politik digital pasca kontestasi presidensial 2014 lebih memperkuat pelembagaan aktivisme
digital sebagai wahana pendidikan politik publik.
Kata Kunci:
relawan politik; media sosial; aktivisme digital; pendidikan politik publik.
publik antara pendukung pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta
pihak yang bersikap oposisi. Gejala ini
kemudian melahirkan banyak istilah seperti
Jokower (pendukung Jokowi) dengan Jokhaters
(pengkritik Jokowi). Akibatnya opini publik
dalam langgam politik digital baik di Facebook

dan Twiter tampak semakin terbelah.1 Meski

Pendahuluan
Gegap gempita perhelatan kontestasi
presidensial 2014 yang begitu fenomenal
telah berlalu. Tetapi efek dan pengaruhnya
hingga saat ini masih terasa, terutama dalam
langgam politik digital. Salah satu gejalanya
tampak dari terjadinya pembelahan opini


Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik dan
Pemerintahan FISIPOL UGM
Email: bulaksumur4@yahoo.com

1

50

Media sosial dapat menjadi wahana bagi kita untuk

memahami realitas politik digital yang kemudian

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

Biasanya aktivismus dihubungkan dengan Kurt
Hiller, pengarah organisasi Neuer Club yang
menaungi para penyair ekspresionis awal;
maupun Franz Pfemfert, pendiri majalah Die
Aktion pada 1911 yang sangat politis. Dalam
berbagai pengertian itu, kaum militan maupun
aktivismus akhirnya dapat dikatakan sebagai
bagian dari relawan (volunteer) (Suryadi, 2014).
Akan tetapi kehadiran relawan politik pada
kontestasi presidensial 2014 berbeda dengan
sejarah awal kelahiran voluntarisme tersebut.
Sebab pada kontestasi politik 2014, relawan
politik bukan bagian dari anggota partai politik.
Para relawan hadir bukan karena daya tarik
partai politik, melainkan kepada politik nilai
yang melampaui kepentingan partai. Meski

demikian, kehadiran relawan politik dapat
disinergikan dengan tim sukses pemenangan
kampanye sebuah partai politik-karena fungsi
mobilisasi yang lebih masif.
Mafhum diketahui fenomena relawan
politik pasca reformasi memang telah hadir
sejak kontestasi pemilihan kepala daerah DKI
Jakarta 2012. Namun, puncaknya geliat relawan
politik terjadi pada perhelatan kontestasi
presidensial 2014. Itu mengapa, tidak dapat
disangkal bila relawan politik disebut sebagai
salah satu pilar di balik kemenangan pasangan
Joko Widodo Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Kerjakerja organisatoris inilah yang kemudian
dapat membagi tipologi relawan menjadi
dua bagian yakni; relawan komunitas dan
relawan non-komunitas. Relawan komunitas,
merupakan relawan yang tergabung dalam
barisan komunitas yang memiliki ketua atau
koordinator seperti layaknya sebuah organisasi.
Sedangkan relawan non-komunitas, biasanya

bergerak dan bekerja seorang diri (personal)
untuk menyebarkan pesan-pesan kampanye
Jokowi-JK. Relawan jenis ini seringkali bekerja
menurut kemampuan dan kreativitas masingmasing dengan tujuan agar publik dapat
semakin mengenal pasangan Jokowi-JK.3

demikian pembelahan dukungan para netizen
tersebut bila ditelisik lebih mendalam masih
dalam koridor kegembiraan politik. 2 Salah
satu bentuk kegembiraan politik tergambar
dari keberadaan media sosial yang telah
melahirkan fenomena aktivisme bagi setiap
orang untuk dapat terus mencermati isu-isu
politik pemerintahan. Aktivisme tersebut
tergambar dari postingan dalam bentuk tulisan,
komentar singkat hingga berbagai meme politik.
Selain itu gejala aktivisme ini pula yang turut
mendorong hadirnya saluran partisipatoris
bagi para netizen seperti relawan politik.
Istilah relawan (volunteer) dalam historiograi

politik dikembangkan semenjak tahun 1755
oleh seorang Perancis M. Fr Voluntaire ketika
memberi pelayanan kepada tentara yang
sedang berperang. Tugasnya adalah mengabdi
secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk
mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan
kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan
ekonomi. Istilah relawan diambil dari bahasa
Jerman “aktivismus” yang muncul pada akhir
perang dunia pertama. Istilah ini kemudian
digunakan untuk menandai prinsip keterlibatan
politik secara aktif oleh kaum intelektual.
Bukan hanya pemikiran, tetapi juga usaha
untuk membela dan mewujudkan pemikiran
tersebut disebut “aktivisme”. Aktivismus ini
merupakan bagian dari ekspresionisme, yang
saat itu memiliki nilai politik sangat kuat.
terbelah menjadi dua yakni kelompok praktis atau
(lovers) dan kritis (haters). Dalam konteks ini sikap
kritis biasanya ditandai dengan cara berpikir yang lebih

partisipatif dan idealis. Artinya baru kali ini dalam
sejarah politik Indonesia terjadi pembelahan antara
kelompok pendukung dan kelompok kritis. Bahkan
sikap kritis seringkali diberi label sebagai pembenci
atau haters. Lihat Savirani, Amalinda. (2016). Publik
Opinion: Between Haters and Lovers. The Jakarta Post.
Edisi 9 Juni.
2

Kegembiraan politik adalah mengembalikan tujuan
luhur dan kesucian politik guna memberikan
pencerahan dan mengarahkan masyarakat ke hidup
yang lebih baik dengan penuh pengorbanan, dan bukan
hanya berhenti pada kalkulasi untung-rugi semata.
Lihat, Arianto, Bambang. Kampanye Kreatif dalam
Kontestasi Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Vol. 19 No. 1 Juli 2015.

3


51

Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

Namun, pasca kontestasi presidensial
2014 peran relawan politik tentulah berubah
drastis bila dibandingkan saat kontestasi
politik 2014. Sebut saja, kelompok relawan
Pro Jokowi (Projo) yang lebih memilih untuk
tidak membubarkan diri pasca kontestasi
presidensial 2014. Relawan Projo justru lebih
memilih mengubah status organisasinya
berbentuk organisasi massa (Ormas) Projo
yang prosedural. Pembentukan relawan
menjadi ormas tersebut karena menganggap
bahwa keberadaan relawan politik telah
selesai, setelah kontestasi presidensial 2014
berakhir. Pendirian ormas yang bertujuan

untuk mengawal pemerintahan Jokowi,
merupakan suatu bentuk prinsip relawan
Projo yang ingin menyandingkan program
pemerintahan Jokowi-JK dengan agenda
rakyat. Tujuan lainnya dari relawan Projo yakni
berupaya mengontrol pemerintahan Jokowi-JK
untuk dapat tetap mengeluarkan kebjakan –
kebjakan yang dibutuhkan rakyat.4 Selain itu
perubahan drastis para relawan juga tergambar
dari inisiatif relawan politik non-komunitas
yang kemudian mendeklarasikan pendirian
Partai Indonesia Kerja (PIKA). 5 Artinya,

deskripsi tersebut semakin menegaskan bahwa
langkah taktis yang diambil para relawan
semakin mencerminkan dinamika relawan
politik sangat dinamis.
Akan tetapi ada pula relawan elektoral
non-komunitas yang memilih untuk kembali
ke profesi masing-masing seperti, wiraswasta,

karyawan, buruh, pegawai negeri sipil dan
profesi lainnya. Para relawan non-komunitas
ini diakui memang banyak yang memilih sikap
pasif ketimbang aktif. Sedangkan yang aktif
hingga saat ini masih berselancar di media
sosial secara individual sesuai dengan strategi
masing-masing. Para relawan non-komunitas
ini lebih banyak aktif di media sosial terutama
Facebook dan Twiter dalam mempromosikan
keberhasilan agenda pemerintahan Jokowi JK.
Salah satu alasan mendasar dari para relawan
non-komunitas untuk tetap aktif mengkritisi
berbagai kebjakan adalah agar pemerintahan
Jokowi-JK dapat sejalan dengan kehendak
publik, bukan didikte oleh para oligarkis
maupun elite partai koalisi pendukung
lainnya.6
Geliat aktivisme para relawan politik ini
kemudian dapat memperkuat pelembagaan
aktivisme digital dalam langgam politik

Indonesia. Dalam leksikon ilmu politik
fenomena aktivisme digital bergerak dengan
tujuan utama untuk melakukan penyebaran
gagasan, agitasi, advokasi dan catatan-catatan
protes dalam medium digital. Artinya, aktivisme
digital telah banyak memberikan ruang bagi
peningkatan keaktifan publik agar dapat
terlibat pada isu-isu politik dan pemerintahan
dengan tetap mengedepankan sikap objektif
ketika menemui isu-isu kepentingan publik
yang berbasis komunikasi deliberatif. Salah
satu bentuk aktivisme digital kita temui dengan
adanya kemunculan tren dukungan melalui

Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, para relawan
kini kebanyakan berharap iming-iming balas jasa
ketika calon yang mereka dukung berhasil menang
dalam pemilu. Pada awalnya, relawan itu dapat
meluruskan sistem serta ikut membangun sistem.
Tetapi pada akhirnya, relawan tidak berbeda jauh
dengan politisi. Artinya, Pilkada hanya djadikan batu
loncatan sebagai pjakan meraih jabatan tertentu. Lihat,
kompas.com. (Online). htp://megapolitan.kompas.com/
read/2016/03/31/09185951/.Tidak.Ada.Makan.Siang.
Gratis.bagi.Para.Relawan.?utm_source=news&utm_
medium=bp-kompas&utm_campaign=related&,
diakses 10 Januari 2016.
4

Lihat, hasil penelitian Lembaga Demos, Membaca
Dinamika relawan Politik (2015). htp://demosindonesia.
org/2015/06/membaca-dinamika-relawan-jokowi,
diakses 4 Desember 2016

5

Pendukung Presiden Joko Widodo membentuk partai
baru bernama Partai Indonesia Kerja (PIKA). Ketua
Umum PIKA, Hartoko Adi Oetomo mengatakan partai
tersebut di inisiasi oleh para individu yang mendukung
sejak menjadi Wali Kota Solo hingga terpilih menjadi
Presiden. Lihat Tempo.co.(2015). Pendukung Jokowi
Bentuk Partai Indonesia Kerja. (Online). htp://m.tempo.

co/read/news/2016/06/01/ diakses 1 Juni 2016 pukul
23.00.
6

52

Wawancara dengan relawan elektoral non-komunitas,
Retnowidarti Wulandari melalui Facebook tanggal 22
Mei 2016.

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

tagar yang merepresentasikan “ruang publik
baru” yang bersifat interaktif.
Alhasil, ruang publik baru inilah yang
kemudian dapat mengidentifikasi berbagai
karakter para netizen baik di Twitter dan
Facebook. Jika mengutip studi yang digelar
Public Virtue Indonesia tahun 2012, terdapat
tiga jenis karakter para netizen Indonesia yang
menggunakan media sosial Facebook. Pertama,
“kelompok idios” yakni netizen yang lebih
banyak mengangkat masalah kegiatan personal
penggunanya; seperti musik, makanan, ilm,
berita tentang artis atau berita keseharian
lainnya. Kelompok ini menjadi mayoritas dan
menguasai lebih dari 50 persen pengguna,
dengan rentang usia sekitar 14-24 tahun. Kedua,
“kelompok etnos” yakni netizen yang lebih
suka berinteraksi dengan netizen yang dikenal
saja. Rata-rata, isu yang diangkat melingkupi
masalah dan percakapan dalam dunia oline.
Kelompok ini terdiri dari kelompok alumni,
peminat hobi, sesama jamaah agama atau
kelompok kerja politik. Jumlahnya lebih dari 30
persen pengguna dengan rentang usia sekitar
18-34 tahun. Ketiga, “kelompok demos” adalah
netizen yang memang mendedikasikan dirinya
untuk melakukan perubahan sosial di dunia
nyata dengan menggunakan medium Facebook
yang kemudian membuat forum dalam rangka
melakukan percakapan isu-isu publik hingga
gagasan yang berdampak bagi perubahan
sosial. Persentase kelompok ini sekitar 14
persen dengan kisaran umum yang sangat
beragam. Rerata setiap individu dari kelompok
ini memiliki jalinan pertemanan yang luas dan
setiap gagasannya di komentari, disukai atau
bahkan dibagikan ulang oleh ratusan hingga
ribuan orang.
Dengan beragamnya karakter para
netizen membuat penulis ingin menekankan
bahwa peran para relawan politik pasca
kontestasi presidensial 2014 lebih banyak
bergerak diranah media sosial ketimbang
bergerak secara oline. Ada beberapa kendala
yang menyebabkan mengapa para relawan

politik lebih banyak bergerak diranah online.
Pertama, tidak ada kesadaran bersama (common
enemy) yang dapat menyatukan para relawan
politik secara oline. Hal itu disebabkan, pasca
elektoral isu-isu politik dan pemerintahan lebih
beragam dan sangat sulit untuk diterjemahkan
dalam bentuk oline. Kedua, aksi-aksi dalam
ranah oline lebih banyak mengeluarkan energi
dan waktu ketimbang online. Padahal para
relawan non-komunitas juga memiliki banyak
pekerjaan di profesi masing-masing. Artinya
dengan menggunakan media sosial di rasa
lebih efektif dan eisien dalam menyuarakan
pendapat serta berpartisipasi dalam isu-isu
politik pemerintahan.
Selain kedua kendala tersebut, pemilihan
aktif pada media sosial didasari sebagian
besar relawan berasal dari kaum muda yang
merupakan bagian populasi generasi Y dan
Z. Generasi ini diketahui sangat memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap media
sosial. Ketergantungan ini kemudian dapat
mengonirmasi studi Andrzej Kaczmarczyk
(dalam Heryanto 2016), bahwa interaksi
dan ekspresi partisipasi generasi Y telah
menegaskan fenomena demokrasi siber (cyber
democracy). Fenomena ini memaparkan empat
faktor penting. Pertama, fenomena global
dalam mempraktikkan model demokrasi
partisipatoris. Dalam konteks ini, politik
kerelawanan menguat dan menjadi contoh
aktivisme digital terutama lewat media
sosial. Para netizen ini tidak lagi hanya
sekedar mengonsumsi berita melainkan
memproduksi dan menyebarkan gagasan
maupun dukungannya. Kedua, komunikasi
politik yang berkarakter partisipatoris. Artinya
hanya para politisi yang memahami pentingnya
transformasi dalam berinteraksi wacana yang
bisa bertahan. Sebab gaya kaku, berjarak, high
proile, status quo akan disisihkan oleh sosok
politisi yang terbuka, populis, berintegritas
serta berorientasi perubahan. Ketiga, konlik
sering kali dimediasi penggunaan informasi
berbasis teknologi komunikasi. Alhasil,

53

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

beragam persoalan akan ditangani dengan
cepat. Keempat, transformasi politik yang
terhubung ke internet dan memberi akses
pada informasi yang sifatnya personal. Contoh
aktual adalah inisiatif “Teman Ahok” yang
banyak digerakkan anak-anak muda dari
kalangan generasi Y. Partisipasi politik generasi
Y kini kian menguat dan jadi viral di media
sosial, bahkan terhubung dengan aktivitas di
dunia nyata. Di dunia maya generasi ini rajin
membangun perbincangan, perang wacana,
tweet war, merancang publisitas dan kampanye
politik untuk mendukung kandidat yang
mereka idealkan. Tidak cukup resonansi di
media sosial dan media konvensional, generasi
ini pun mengumpulkan dukungan warga
melalui KTP agar sang kandidat melaju dari
jalur perseorangan.7
Gambaran dari menguatnya demokrasi
siber tersebut dapat dimanfaatkan untuk
mendorong para relawan politik dan netizen
lebih aktif mengawal dan mengkritisi setiap isuisu politik pemerintahan. Dengan memberikan
kesempatan yang luas bagi para relawan
politik dan netizen semakin interaktif sama
artinya dengan memperkuat pelembagaan
aktivisme digital sebagai wahana pendidikan
politik publik. Pendidikan politik dalam
konteks ini dapat ditujukan sebagai alternatif
untuk memutus beragam informasi yang telah
terdistorsi atas kebenaran, pemutarbalikan
fakta dan penyelewengan makna dalam
langgam politik digital.8
7

Heryanto, Gun Gun. 4 April 2016. Partisipasi Politik
Generasi Digital. Harian Kompas.

8

Dalam kenyataan, tidak sekali dua kali terjadi di
komunitas cyberspace justru muncul para haters yang
kerap memanfaatkan media sosial dan internet untuk
bergunjing, mengkritik, mencaci maki orang lain, tanpa
mempertimbangkan dampak sosial psikologis yang
dialami korban. Bukan rahasia lagi, media sosial selama
ini senantiasa dipenuhi citraan-citraan hiperealitas yang
penuh dengan distorsi atas kebenaran, pemutarbalikan
fakta dan penyelewengan makna. Ruang publik dalam
era masyarakat post industrial sering kali menjadi media
bagi siapa pun untuk menyampaikan apa yang menjadi
unek-uneknya, tetapi sebagian di antaranya kadang
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bagi netizen yang

Pendek kata, dengan berakhirnya
kontestasi presidensial 2014 telah menandai
perubahan rekonfigurasi politik relawan
yang kemudian mengajak kita pada dua
pertanyaan; Bagaimana peran relawan
politik pasca kontestasi presidensial 2014?
Bagaimana media sosial dapat djadikan upaya
memperkuat pelembagaan aktivisme digital
sebagai wahana pembelajaran pendidikan
politik publik. Batasan dalam artikel ini seputar
peran dan implikasi relawan politik pasca
kontestasi presidensial 2014 dalam ranah
politik digital untuk memperkuat pelembagaan
aktivisme digital sebagai wahana pembelajaran
pendidikan politik publik.

Tipologi Relawan Politik Pasca
Elektoral 2014
Membaca gerakan relawan politik
dalam kontestasi presidensial 2014 tentu
tidak terlepas dari aktor utama yakni kelas
menengah perkotaan. Mengutip studi yang
dilakukan Jati, WR (2015) yang menyatakan
bahwa dorongan kelas menengah yang secara
intens dan instan dalam mengakses media
sosial merupakan elemen penting gerakan
politik tersebut. Pasalnya, penggunaan media
sosial dalam kebutuhan keseharian kelas
menengah Indonesia begitu masif. Hal ini
menandakan kebutuhan akan akses informasi
yang banyak, cepat, dan instan. Berbagai pesan
dan informasi yang timbul dalam media sosial
itulah yang kemudian diolah menjadi sumber
pengetahuan utama bagi kelas menengah
Indonesia dalam menilai maupun menanggapi
sesuatu. Artinya kehadiran internet dalam
demokrasi di Indonesia memang urgen dan
signifikan untuk meruntuhkan dindingdinding elitisme dan oligarki kekuasaan
belum didukung pengetahuan dan tingkat literasi
yang memadai, mereka biasanya belum memahami
dengan baik bagaimana seharusnya memanfaatkan
ruang publik, untuk tujuan apa, dan tata krama seperti
apakah yang harus dipatuhi agar tidak menyinggung
pihak lain. Lihat, Sugihartati, Rahma. 10 Februari 2016.
Hater di Ruang Publik. Harian Jawa Pos.

54

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

elektoral 2014, langkah taktis dan strategi
yang diterapkan oleh beberapa relawan politik
tentulah bergeser sesuai karakteristik masingmasing. Karakteristik tersebut kemudian
dapat membedah sikap yang dipilih para
relawan yakni sikap aktif atau pasif. Sikap aktif
dapat dilihat dari karakteristik para relawan
yang tetap konsisten mendukung jalannya
pemerintahan Jokowi-JK baik secara online
maupun oline.11 Akan tetapi, jika dikalkulasi
persentase aktivitas para relawan ini dalam
mendukung pemerintahan Jokowi-JK lebih
banyak berada di ranah online. Jejaring media
sosial dipilih sebagai media untuk tetap
aktif dengan berupaya menyebarluaskan
berbagai informasi seputar pemerintahan
Jokowi-JK. Informasi tersebut dapat berupa
capaian-capaian kerja kabinet kerja hingga
berbagai proyeksi yang akan dilakukan oleh
pemerintahan Jokowi-JK.12
Sedangkan untuk relawan yang memiliki
sikap pasif memang terlihat lebih stagnan. Hal
itu ditandai dengan menurunnya aktivitas para
relawan ini dalam mendukung dan mengawasi
pemerintahan Jokowi-JK. Para relawan ini
justru kembali pada rutinitas dan profesi
masing-masing. Relawan jenis ini berasal dari
semua profesi yang ada di Indonesia. Tidak ayal
kemudian pasca kontestasi presidensial 2014,
para relawan ini lebih memilih sebagai penonton
dan pengamat ketimbang memberikan kritikan
terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan
ada pula sebagian relawan yang benar-benar
melepas perhatiannya terhadap agenda
pemerintahan Jokowi-JK. Meski demikian,
bukan berarti relawan kategori ini tidak
mendukung pemerintahan Jokowi. Pasalnya

yang membatasi partisipasi publik meluas.9
Alhasil, peran media sosial dalam ranah politik
digital dapat menjadi kekuatan potensial
dalam langgam politik Indonesia. Eksesnya
telah banyak mengubah rekonigurasi politik
Indonesia, termasuk ikon penting dalam
mendorong kemunculan berbagai gerakan
aktivisme digital yang kemudian melahirkan
fenomena relawan politik dalam kontestasi
presidensial 2014.
Dalam mengulas fenomena relawan
politik di ranah media sosial kita dapat
membaginya menjadi dua kriteria kelompok
relawan politik seperti yang sudah djelaskan
sebelumnya yaitu relawan komunitas dan
relawan non-komunitas. Relawan komunitas
memiliki struktur dan ada pula yang hanya
memiliki satu koordinator, hingga struktur
kepengurusan dari tingkat pusat dan daerah.
Relawan jenis ini juga memiliki nama, tempat
dan visi misi organisasi. Beberapa relawan
politik yang dapat dikategorikan berasal dari
komunitas yakni Jasmev (Jokowi Advanced
Social Media Volunteers), Generasi Optimis,
Demokreatif, Pro Jokowi (Projo), Sekretariat
Nasional Jokowi (Seknas Jokowi) serta beberapa
organisasi relawan lainnya. Sedangkan relawan
non-komunitas bergerak dan melakukan
strategi sendiri secara mandiri. Sebut saja aksi
yang dilakukan oleh salah seorang relawan
Jokowi di wilayah Nanggroe Aceh Darusalam
yang secara mandiri mengelar sebuah kuis
melalui media sosial dengan hadiah “sebungkus
kopi” kepada para netizen.10
Dalam mengatur strategi dan isu
yang diambil, kedua kategori relawan ini
dalam kontestasi presidensial 2014 memiliki
persamaan yakni berusaha memenangi
pasangan Jokowi-JK. Akan tetapi pasca
9

10

Jati, WR .(2015). Prospek Politik Digital dalam Kelas
Menengah Indonesia. (Online). (htp://www.politik.lipi.
go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1012-wasistoraharjo-jati, diakses 5 Mei 2016)
Prast, Hari, dkk. (2014). Demokreatif, Kisah Blusukan
Jokowi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG).

55

11

Dari penelusuran penulis, para relawan yang aktif
lebih banyak mendukung, mengawal dan mengawasi
pemerintahan Jokowi-JK dalam ranah media sosial
(online).

12

Wawancara dengan Retnowidarti Wulandari,
salah satu relawan non-komunitas yang tetap aktif
mendukung dan menyebarluaskan prestasi dan kinerja
pemerintahan Jokowi JK via Whatsapp, 6 Juni 2016
pukul 17.00 WIB.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

banyak dari para relawan ini yang kemudian
berniat akan kembali menjadi relawan elektoral
jikalau sosok Jokowi kembali menjadi calon
presiden Indonesia.
Alasan utama kembali ke profesi masingmasing yakni tugas utama guna menghantarkan
pasangan Jokowi sudah berhasil dengan baik.
Sehingga kedepan sebagai warga negara yang
baik adalah mendukung program pemerintah.
Bahkan menurut para relawan politik ini
dengan kembali ke profesi masing-masing
juga merupakan bukti sumbangsih terhadap
jalannya pemerintahan Jokowi-JK. Pasalnya
relawan ini selalu ingat pesan Jokowi yakni
bahwa setelah kontestasi presidensial 2014,
“mari kembali ke aktivitas masing masing,
yang petani kembali bertani, yang pelajar
kembali belajar, yang bekerja kembali ke
pekerjaan.”13
Deskripsi atas pemilihan sikap pasif para
relawan elektoral pasca kontestasi 2015 tentulah
tidak selaras dengan studi yang dilakukan
Amna & Ekman (2013), bahwa pemilihan
sikap pasif para kaum muda karena minimnya
partisipasi dan adanya ketidakpercayaan
terhadap dunia politik.14 Sebab, hal ini berbeda
dengan konteks kaum muda di Indonesia yang
ikut terlibat dalam relawan politik. Sikap pasif
ini terlihat dari menurunnya aktivitas dalam
media sosial untuk mendukung program
pemerintah pasca kontestasi elektoral dan
bukan karena menurunya ketidakpercayaan
politik.
Pemetaan gerakan relawan elektoral
ini menunjukan bahwa kelas menengah yang
mendominasi relawan tidak semua memiliki
kesamaan visi dan misi pasca elektoral. Banyak
sekali perbedaan strategi, langkah maupun
pendapat dalam mengisi peran dan fungsi
13

relawan pasca elektoral 2014. Bahkan, ada pula
relawan yang mengklaim bahwa kembali ke
profesi masing-masing dan bekerja dengan
baik sudah merupakan bukti konkret dalam
mengawal Nawacita pemerintahan JokowiJK.15
Apabila dilakukan perbandingan antara
relawan yang memilih sikap aktif dan pasif,
ternyata lebih banyak relawan yang memilih
sikap pasif ketimbang aktif dalam mendukung
kebjakan pemerintahan Jokowi-JK terutama
di media sosial. Identiikasi dari sikap pasif
ini menjelaskan bahwa relawan politik lebih
memilih menjadi gerakan politik disaat
kontestasi presidensial 2014 berlangsung,
dan kemudian menjadi gerakan sosial pasca
kontestasi. Sehingga tidak ayal kemudian para
relawan ini dapat disebut sebagai bagian dari
tim sukses Jokowi-JK.

Strategi Relawan Politik
Pasca kontestasi presidensial 2014
gairah kegembiraan politik tetap terasa,
terutama dalam langgam politik digital. Hal
itu dapat dilihat dari geliat para relawan yang
tetap aktif mewarnai langgam politik digital
Indonesia. Meski demikian jika ditelaah
melalui percakapan di timeline media sosial
pasca kontestasi elektoral 2014, tensi gerakan
relawan tidak begitu masif ketimbang saat
kontestasi elektoral 2014. Dari sini kemudian
penulis menemukan ada beberapa strategi para
relawan politik pasca kontestasi elektoral 2014,
yakni mengambil peran intra-parlementer
dan ekstra-parlementer untuk mengawal
pemerintahan Jokowi-JK bersama-sama
rakyat. Adapun beberapa peran tersebut
diantaranya:

Wawancara dengan Ginanjar Rahmawan Tartowiharjo,
relawan JASMEV via Facebook, pada 22 Juni 2016, pukul
15.30 WIB.

14

Amnå, Erik and Ekman. Joakim. (2013).
Standby citizens: diverse faces of political passivity.
European Political Science Review. FirstView Article.
June 2013, pp 1 21.

15

56

Wawancara dengan Dyah Kartika Rini Djoemadi,
Koordinator relawan JASMEV dan Komisaris Danareksa
12 April 2016 di Yogyakarta.

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

seperti Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh (LBBP) untuk 10 negara sahabat. Dari
10 Duta Besar yang dilantik tersebut salah
satunya merupakan Dewan Pakar Hubungan
Internasional relawan Seknas Jokowi, Helmy
Fauzi. Bahkan terdapat 33 nama calon duta
besar (Dubes) RI yang sepertiganya (11 orang)
merupakan mantan anggota tim relawan
Jokowi-JK dalam pemilihan presiden 2014.
(19/8/2015).16
Adapun beberapa argumentasi yang
dibangun para relawan elektoral memilih
sikap intra-parlementer dengan masuk dalam
pemerintahan Jokowi-JK diantaranya; Pertama,
ingin membuktikan bahwa para relawan bukan
hanya berjuang untuk memenangkan JokowiJK, tetapi lebih dari itu juga turut mengawal
agenda Nawacita. Artinya, para relawan tidak
hanya ingin disebut sebagai tim sukses akan
tetapi lebih dari itu sebagai relawan politik
yang terus mengawal pemerintahan. Salah satu
wujud nyata para relawan intra-parlementer
yakni dengan mendirikan Forum Padamu
Negeri. Adapun anggotanya yaitu Komisaris
yang tergabung dalam Forum Bagimu Negeri
sebagai berikut: Hilmar Farid (Komisaris
Krakatau Steel), Kartika Djoemadi (Komisaris
Danareksa), Teddy Wibisana (Komisaris
Indofarma), Victor Sirait (Komisaris Waskita
Karya), Margiyono (Komisaris Telkom), Sonny
Subrata (Komisaris Semen Indonesia), Nick
Nurrahman (Komisaris Wjaya Karya), Michael
Umbas (Komisaris Hotel Indonesia Natour),
Diaz Hendropriyono (Komisaris Telkomsel),
Arie Coerniadi (Komisaris BTN), Taufan
Hunneman (Komisaris JICT), Razif (Komisaris
Balai Pustaka).17 Forum ini bertujuan agar para
komisaris yang berasal dari relawan politik
yang ditugaskan Presiden Jokowi meski tidak

Peran Intra-parlementer
Peran intra-parlementer seringkali
ditafsirkan melakukan aktivitas politik
dalam lingkup institusi yakni pemerintahan
Jokowi-JK. Beberapa aktivitas politik yang
diambil dalam intra-parlementer adalah turut
berupaya mengulirkan dokumen Nawacita dan
gerakan revolusi mental dalam langgam politik
Indonesia. Artinya peran ini diambil dengan
tujuan mengawal dan membantu kelancaran
pemerintahan Jokowi-JK. Peran ini ditujukan
untuk menjelaskan bahwa posisi para relawan
tidak saja sebagai pengembira politik maupun
tim sukses semata, akan tetapi lebih dari
itu juga turut membangun kelancaran dan
kesuksesan pemerintahan Jokowi-JK.
Itu mengapa beberapa elite relawan
politik mau menerima jabatan publik dalam
pemerintahan Jokowi-JK. Berikut beberapa
nama relawan politik yang mendapat jabatan
dalam pemerintahan Joko Widodo, diantaranya;
Darmin Nasution (Komisaris Bank Mandiri),
Cahaya Dwi Rembulan Sinaga (Komisaris Bank
Mandiri), dan Diaz Hendroprjono (Komisaris
Telkomsel), Hilmar Farid (Komisaris PT
Krakatau Steel), Paiman Rahardjo (Komisaris
Perusahaan Gas Negara), Pataniari Siahaan
(Komisaris Independen BNI), Refly Harun
(Komisaris Jasa Marga), Roy E Maningkas
(Komisaris PT Krakatau Steel), Hironimus
Hilapok (Komisaris PT Adhi Karya), Goei
Siauw Hong (Komisaris Bank Mandiri), Jefry
Wurangian (Komisaris BRI), Dyah Kartika Rini
Djoemadi (Komisaris Independen Danareksa),
Boni Hargens, (Komisaris Kantor Berita
Nasional Antara), serta beberapa nama relawan
lainnya. Hanya Direktur Eksekutif Soegeng
Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit, yang juga
dikenal sebagai pengamat politik kemudian
mengundurkan diri dan lebih memilih menjadi
staf khusus Menteri Sekretaris Negara bidang
politik dan pers, dengan alasan tidak memiliki
kompetesi di bidang perbankan. Selain itu ada
pula relawan non-komunitas lainnya yang
juga mendapatkan berbagai jabatan publik

57

16

Susilo, Djokowi. 19 Agustus 2015. Ketika Relawan
Menjadi Dubes RI. Harian Jawa Pos.

17

Nawacitanews.com. (2015). (Online). Forum Bagimu
Negeri Dibentuk Sebagai Pengawal Nawacita di BUMN.
(htp://www.nawacitanews.com/forum-bagimu-negeridibentuk-sebagai-pengawal-nawacita-di-bumn, diakses
Januari 2016)

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

sebagai eksekutor tetapi sebagai pengawas dan
penjaga Nawacita di BUMN. Kedua, bertujuan
untuk membenahi dari berbagai kepentingan
yang selama ini menggerogoti kinerja dan
pendapatan BUMN. Pembenahan ini meliputi
pengembangan teknologi, manajemen sumber
daya manusia serta mengikis mental proyek
yang seringkali mendominasi banyak BUMN.
Hadirnya argumentasi utama para
relawan politik ingin berjuang dalam intraparlementer karena didasari bahwa selama ini
BUMN terkesan sebagai sumber pendapatan
bagi para penumpang gelap. Bahkan banyak
mafia yang seringkali meminta upeti dari
BUMN. Oleh sebab itu, langkah memilih
gerakan intra-parlementer dapat menjadi
salah satu langkah taktis untuk mengikis
mafia BUMN yang selama ini seringkali
mendominasi banyak elite BUMN. Sehingga
dengan langkah taktis ini kedepan BUMN
dapat kembali tumbuh menjadi salah satu
kekuatan ekonomi bangsa.18

Selain itu ada beberapa hal yang perlu
dibangun oleh para relawan politik dalam
posisi sebagai kelompok ekstra-parlementer,
yaitu Pertama, relawan politik diharapkan
menawarkan wacana pemikiran alternatif di
tingkat ideologi sebagai jalan alternatif bagi
konsep kebijakan publik yang dikeluarkan
oleh pemerintahan. Kedua, relawan politik
dituntut bukan sekadar hanya mampu
berwacana, melainkan juga memberikan
contoh nyata konkret mengenai penerapan
di lapangan. Terutama para relawan yang
telah menjadi buzzer politik dengan follower
ribuan.20 Ketiga, relawan politik diharapkan
mampu menyediakan berbagai informasi
yang berguna bagi publik terutama seputar
kebjakan pemerintahan. Informasi ini sejatinya
mampu menjadi suplemen bagi pemberdayaan,
pendidikan politik melalui jejaring diskusi
secara reguler—baik yang dimulai dari kota
Parlementer. Yogyakarta: Penerbit LKIS.
20

Peran Ekstra-parlementer
Peran ekstra-parlementer dipilih dengan
tujuan sebagai pengawas dan penyeimbang
terhadap kekuasaan negara atau pemerintahan
Jokowi-JK. Peran ini berusaha membangun
karakter ekstra-parlementer yang dalam konteks
ini dapat dilihat sebagai aktivitas politik yang
diselenggarakan oleh kelompok-kelompok
diluar institusi-institusi tersebut. Langkah
taktis tersebut diharapkan dapat menghasilkan
beberapa hal diantaranya; (1) mempengaruhi
(inluencing) proses pelaksanaan kebjakan publik,
(2) mengawasi (monitoring) proses pelaksanaan
kebijakan public, (3) memberikan penilaian
(evaluating) pelaksanaan kebjakan publik, dan (4)
memberikan bantuan dan pembelaan (advocacy)
terhadap kelompok-kelompok yang dirugikan
atas pelaksanaan kebjakan publik.19
18

Wawancara dengan Dyah Kartika Rini Djoemadi,
Komisaris Danareksa dan Koordinator relawan
JASMEV

19

Fikri AF, Akhmad (1999). Menjadi Politisi Ekstra

58

Dalam langgam politik digital istilah buzzer politik
merupakan sebuah aktivitas pemasaran politik yang
berisi informasi pada saluran komunikasi digital
untuk menciptakan efek mempengaruhi dan menjadi
perbincangan luas (viral) hingga kemudian menjadi
opini publik. Ada dua kategori buzzer dalam politik
digital yakni; Pertama, volunteers buzzer, berasal dari
netizen yang bersedia secara sukarela menjadi relawan
politik digital. Dikarenakan tugas relawan digital
adalah untuk menyebarkan informasi perihal calon
yang didukung, maka secara otomatis para relawan
ini kemudian menjadi buzzer politik. Akan tetapi para
buzzer ini tidak menerima bayaran karena merupakan
bagian relawan digital yang mengedepankan semangat
voluntarisme. Kedua, independent buzzer, berasal dari para
netizen yang memiliki sifat netral dan tidak memiliki
keberpihakan apapun baik ideologi maupun program
kerja sang calon. Dengan sifat yang netral membuat
ada sebagian besar rentan beralih profesi menjadi
buzzer yang berwatak pragmatis. Artinya, para buzzer
ini kemudian bergerak sesuai dengan tuntutan para
pembayar dan penyewa. Para buzzer ini seringkali
mematok tarif sesuai dengan banyaknya follower yang
dimiliki dan tingkat kesulitan yang dihadapi. Kedua
tipologi buzzer ini memiliki kreativitas dan inovasi
yang sama dalam mengunggah postingan hingga
memberikan efek mempengaruhi bagi netizen lainnya
untuk bertindak sama dengan nalarnya. Biasanya para
buzzer politik ini menggunakan akun anonim dan real
baik di Twiter, Facebook, Instagram dan Youtube. Lihat,
Arianto, Bambang. 28 Februari 2016. Buzzer Politik dan
Informasi Hoax. Harian Kedaulatan Rakyat.

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

sampai ke komunitas-komunitas basis di
desa. Kondisi ini dapat menciptakan suasana
dan mendorong orang saling berdiskusi dan
melahirkan partisipasi aktif. Keempat, relawan
politik dapat memainkan peran sebagai
pemimpin perubahan. Hal itu disebabkan
karena para relawan politik dapat bergerak
bebas dan tidak terikat oleh partai politik
tertentu. Bahkan, para relawan politik dapat
dengan mudah untuk membubarkan diri.21
Peran-peran inilah yang kedepan harus dapat
terus dilembagakan oleh para relawan politik
dalam mengawal dan mengawasi pemerintahan
Jokowi-JK. Hal yang sama juga diutarakan oleh
salah satu relawan Jokowi Advanced Social Media
Volunteers (JASMEV) yang tetap aktif mengawal
pemerintahan Jokowi JK hingga saat ini:

Gambar 1.
Bentuk grup di media sosial
yang dibuat oleh JASMEV

Sumber: akun Facebook dan Twiter
Jblue Community

“saya tetap ikut ambil bagian menjadi
relawan politik, karena sosok Jokowi
merupakan tokoh yang sangat
mementingkan rakyat kecil, saya percaya
bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik
bila dipegang oleh sosok Jokowi. Untuk
itu saya berbuat semaksimal mungkin
untuk membantu sosok pilihan saya
seperti Jokowi.” (wawancara dengan
Iswandi F Tanjung, koordinator wilayah
JASMEV DKI Jakarta)
Penelaahan di ranah politik digital
banyak langkah taktis yang diambil oleh
para relawan baik non-komunitas dan
komunitas. Dalam penelitian ini, penulis
lebih menfokuskan kepada relawan politik
yang lebih banyak bergerak di media sosial,
sebut saja JASMEV. Relawan politik digital ini
seringkali menggunakan media sosial dalam
komunikasi politiknya, baik melalui Facebook
maupun Twiter. Ada beberapa bentuk upaya
JASMEV untuk tetap aktif diranah politik
digital dengan mengambil peran ekstra
parlementer seperti contoh dibawah ini.

21

Sumber: Fanpage Jokopedia di Facebook dan
Twiter
Dilihat dari akun Jokopedia dan Jblues
(Jokowi Blusukan) yang digunakan oleh JASMEV
terlihat sekali konten akun tersebut lebih banyak
berisikan materi dari program pemerintahan
Jokowi-JK. Selain itu, kedua akun ini juga sering
mengadakan diskusi secara online, yang bertujuan
mengasah wacana para netizen terutama dalam
isu-isu politik dan pemerintahan. Salah satu
tematik diskusi berupa capaian-capaian dari
kinerja kabinet yang selalu di tampilkan setiap
saat di timeline. Selanjutnya tampilan yang
diunggah kedua akun ini bukan saja bersifat

Arianto, Bambang. (2014). Fenomena Relawan Politik
Dalam Kontestasi Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Vol. 18, No. 2 Edisi November.

59

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

Gambar 2.
Beberapa meme yang diunggah akun Jokopedia

Sumber: Jokopedia.org
informasi, tetapi juga banyak yang berupa meme
politik22 seputar keberhasilan pemerintahan
Jokowi-JK. Berikut beberapa contoh meme dari
Jokopedia yang diunggah di media sosial.
Keberadaan akun JBlues dan Jokopedia
di ranah media sosial terlihat sangat aktif. Hal
itu tampak dari banyaknya para netizen yang
melakukan retwet, maupun mengunggah ulang
berbagai informasi yang ditampilkan oleh akun
22

Jokopedia dan JBlues. Hal inilah yang sedikit
membedakan dengan geliat para relawan politik
di belahan Amerika Serikat yang mana pasca
kontestasi elektoral, lebih banyak memilih sikap
pasif dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Artinya, bila dilihat dari peran dan proyeksi
relawan politik terutama di media sosial, gejala
ini telah mengonfirmasi bila para relawan
dalam konteks Indonesia tidak hanya menjadi
relawan elektoral atau tim sukses pemenangan
Jokowi-JK semata. Akan tetapi lebih dari itu para
relawan ini turut mengambil peran ganda baik
intra maupun ekstra-parlementer dalam upaya
membangun pemerintahan yang lebih berpihak
kepada rakyat.
Akan tetapi yang menjadi probematika
adalah ketika para relawan berperan ganda

Meme politik atau juga dikenal “meme comics”
merupakan sebentuk tiruan dari berbagai gambar
yang telah dikenal akrab (familiar) oleh kalangan
pengguna internet (netizen). Dengan demikian, meme
comis sekadar hasil jiplakan, montase atau rekayasa
visual dari sejumlah gambar yang telah populer. Lihat
Lukmantoro, Triyono. (2015). Komunikasi Politik di Era
Digital. Jakarta: Universitas Multimedia Nusantara
Press.

60

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

Gerakan golput ini dimotori oleh sekelompok
aktivis pro demokrasi pada awal Orde Baru.
Salah satu motor penggeraknya adalah Arief
Budiman. Tercatat pada Kamis, 3 Juni 1971,
Arief Budiman yang didampingi eksponen
generasi muda, seperti Imam Waluyo, Julius
Usman, Husin Umar dan beberapa aktivis
lain memproklamirkan gerakan moral yang
dinamakan Golongan Putih (Golput). Akhirnya,
gerakan golput dianggap sebagai kekuatan
simbolik perlawan terhadap rezim Orde Baru.23
Pemilu 2009 silam golput mencapai puncaknya,
seperti digambarkan oleh tabel dibawah ini.

antara peran intra maupun ekstra-parlementer.
Sebab, kita pahami bersama bahwa tugas
utama para relawan adalah meneliti sebabakibat dari kinerja kebijakan dan program
publik. Terutama, soal apakah suatu kebjakan
publik dibuat berdasarkan pertimbanganpertimbangan yang matang atau hanya
diputuskan sepihak untuk memenuhi
kepentingan politik semata. Artinya, peran
ganda ini sedikit banyak akan menimbulkan
dilema yang kemudian menjadi bumerang bagi
masa depan para relawan. Apalagi karakter
para relawan pendukung Jokowi-JK sangat
beragam. Sehingga sulit bila kemudian para
relawan dapat berperan ganda baik di wilayah
intra dan sekaligus ekstra-parlementer.
Oleh sebab itu, langkah taktis untuk
meminimalisir dilema tersebut adalah dengan
tetap mendorong nalar politik para relawan
terutama yang masih aktif untuk dapat
tetap mengedepankan dan mendengarkan
suara publik terutama netizen. Artinya, jika
pemerintahan Jokowi-JK ada mengulirkan
kebijakan yang tidak pro rakyat, maka
secara otomatis para relawan dituntut berani
mengkritik secara argumentatif, meskipun
kebjakan itu digulirkan oleh para elite relawan
yang duduk di pemerintahan Jokowi-JK. Dengan
demikian, langkah taktis ini setidaknya dapat
tetap mengembalikan hakikat peran relawan
sebagai pengawal suara rakyat. Akhirnya dari
kedua pilihan aktif dan pasif ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa pilihan relawan untuk
memilih sikap pasif pasca kontestasi elektoral
dapat dikategorikan sebagai relawan elektoral
karena bersifat insindental. Sedankan pilihan
aktif pasca kontestasi elektoral dapat disebut
sebagai relawan politik karena tetap aktif
sebagai relawan dalam menyebarkan isu-isu
politik dan pemerintahan.

Tabel 1.
Gambaran Golongan Putih (Golput) dalam
Kontestasi Elektoral di Indonesia
39,1

40
35

24,89

30
25

23,34

20
15
12,34

10

8,4

9,61

8,39

9, 05

10,07

10,21

Pemilu 1977

Pemilu 1982

Pemilu 1987

Pemilu 1992

Pemilu 1997

Pemilu 1999

6,67

5
0
Pemilu 1955

Pemilu 1971

Pemilu 2004

Pemilu 2009

Pemilu 2014

Sumber: diolah oleh penulis dari data golongan
putih Pemilu 1999-2014
Dalam historiografi politik Indonesia,
fenomena golput seringkali dilihat sebagai
ekspresi ketidakpuasan atau kekecewaan
demokratik (democratic dissatifiction). Jika
dibandingkan dengan yang berlangsung
selama Orde Baru, fenomena golput pascareformasi memang cenderung meningkat dari
Pemilu ke Pemilu. Seperti, dari 10 persen pada
tahun 1999, naik menjadi 23 persen pada 2004,
dan melonjak lagi menjadi 39 persen pada
2009. Beruntung pada Pemilu 2014 mengalami
penurunan menjadi 24,89 persen.24

Pelembagaan Aktivisme Digital
Penyelenggaraan pemilu ke pemilu di
Indonesia sampai saat ini, menunjukkan jumlah
golongan putih (golput) semakin meningkat.

61

23

Nyarwi. (2009). Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi
Ulang Dua Perspektif. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Vol. 12 No. 3 Edisi Maret.

24

Viva.co.id. (2014). Angka Golput Menurun di Pemilu

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

Gambaran luktuasi golput pada Pemilu
2009, menegaskan bahwa publik sudah cukup
pesimis dengan igur-igur yang diusung oleh
partai politik untuk memperbaiki kondisi
bangsa. Apalagi, pasca reformasi preferensi
politik Indonesia telah beralih dari partai
politik (parpol) menuju igur. Artinya, igur
dan ketokohan sangat berpengaruh kuat
terhadap kultur politik Indonesia. Hal ini
didasari oleh perilaku pemilih Indonesia
yang kerap dipengaruhi elektabilitas figur,
yang nantinya akan berkorelasi positif pada
elektabilitas parpol. Pemilih kemudian akan
lebih memilih partai bukan karena daya tarik
partai dan programnya, melainkan lebih
pada ketertarikan sosok igur yang diusung.
Akan tetapi semenjak kehadiran media sosial,
publik tidak lagi dibodohi dengan figurfigur hiperealitas meskipun saat ini tengah
menguatnya personalisasi politik dalam kultur
politik Indonesia. Bahkan melalui media
sosial publik dapat turut berpartisipasi dalam
pertukaran informasi dan memperdebatkan
cara pandang mereka mengenai beragam
isu yang penting dalam ke hidupannya. 25
Artinya media sosial kian membuka ruang
baru bagi penggunanya. Ruang tersebut
berupa dimensi yang masih bersifat netral
yang belum ada komponen-komponen yang
mengisinya. 26 Dimensi ini yang kemudian
banyak mempengaruhi publik dalam memilih
figur dan kandidat politik Itu mengapa
kemudian, ruang tersebut telah banyak
mendorong hadirnya para aktivis dan pegiat
media sosial.

Beberapa hal yang menyebabkan
fenomena pelembagaan aktivisme digital
semakin menguat dalam langgam politik
Indonesia, diantaranya; Pertama, pemanfaatan
media sosial untuk menanggapi isu-isu
dalam berbagai bidang turut mendorong
kehadiran aktivisme digital dalam langgam
politik Indonesia. Kedua, kehadiran fenomena
aktivisme digital dalam ranah politik digital
lebih disebabkan oleh banyaknya saluran
partisipatoris yang tersumbat. Sebut saja
partai politik yang sejatinya berperan sebagai
penyampung aspirasi publik, tetapi nyatanya
seringkali bersikap bungkam. Dalam konteks
ini aktivisme digital merupakan bagian dari
bentuk aktualisasi dari praktik politik digital
dalam masyarakat. Adapun pengertian politik
digital memiliki pengertian multi interpretatif,
namun demikian kristalisasi dari berbagai
macam konsep tersebut kemudian merujuk
pada terbentuknya ruang publik dalam dunia
maya (Cyberspace) (Postil, 2012). Ruang tersebut
adalah arena non struktural, dinamis dan
egaliter yang memungkinkan semua orang
untuk berpartisipasi dan berpendapat melalui
jejaring online.27
Menurut studi Hamid (2014) bahwa
netizen Indonesia juga sudah terbentuk
secara signiikan. Bahkan dalam skala dunia,
orang-orang Indonesia dikenal sebagai
pengguna Facebook terbesar keempat dan
pengguna Twitter terbesar kelima. Tetapi
besarnya pengguna media sosial di Indonesia
masih didominasi oleh kelas menengah yang
kemudian mulai menggeser pengaruh media
konvensional. Kelas menengah inilah yang
kemudian lebih cepat beradaptasi dengan ranah
digital. Salah satu karakter kelas menengah ini
adalah mengedepankan penggunaan ranah
digital (online) daripada offline. Karakter

2014. (Online). (htp://politik.news.viva.co.id/news/
read/503322-angka-golput-menurun-di-pemilu-2014,
diakses 15 Juni 2015)
25

26

Nugroho, Y., & Syarief, S. S. (2012). Seri fesmedia Asia:
Melampaui Aktivisme click? Media Baru dan Proses Politik
dalam Indonesia Kontemporer. Jakarta: Friedriech-EbertStitung Kantor Perwakilan Indonesia.

27

Dewantara dkk. (2015). Aktivisme dan Kesukarelawanan
dalam Media Sosial: Komunitas Kaum Muda
Yogyakarta. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 19,
No. 1 Edisi Juli.

62

Jati, WR. (2015). Cyberspace, Internet dan Ruang
Publik Baru: Aktivisme Online Politik kelas Menengah
Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi. (Online). (htp://jps.
isipol.ugm.ac.id/index.php/jps/article/view/34, diakses
10 januari 2016)

Bambang Arianto, Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014

ini yang menyebabkan pemberitaan media
konvensional lebih banyak mengadopsi
atau bersumber dari media sosial. Bahkan,
kelas menengah ini yang menjadi inisiator
utama kehadiran relawan media sosial yang
turut mendorong hadirnya aktivisme digital.
Pasalnya tahapan aktivisme digital menurut
studi Jati, WR (2015) meliputi beberapa tahapan
yakni political awareness (kesadaran politik),
political engagement (keterikatan politik), dan
kini political activism (aktivisme politik). Hal
itu mengonirmasi pernyataan relawan yang
tetap aktif di media sosial hingga saat ini,
bahwa sosok Jokowi membuat dirinya ingin
terus aktif memberikan informasi kepada
teman sejawat maupun koleganya baik Twiter
maupun Facebook. Tujuan agar kolega dan
jejaring pertemanan dapat mengetahui sosok
dan igur pemimpin impiannya.28
Bentuk dari pelembagaan aktivisme
digital yang digulirkan para relawan bersama
pemerintahan Jokowi-JK adalah bersama-sama
menyebarkan informasi seputar capaian dan
prestasi dari pemerintahan Jokowi-JK hingga
kemudian informasi ini menjadi trending
topic. Sebut saja, dalam memperingati tahun
kedua pemerintahan Jokowi-JK para relawan
menyebarkan berbagai meme politik dengan
tagar #KE2JANYATA.
Berikut beberapa contoh meme politik
yang disebar para relawan sebagai bentuk
pelembagaan aktivisme digital :

Sumber : www.kerjanyata.id
Gambaran inilah yang kemudian turut
mendorong menguatnya aktivisme digital.
Dalam konteks ini aktivisme digital terbagi
menjadi dua kategori yakni, practical activism
dan slacktivism. Yang mana practical activism
sebagai aktivitas melalui media sosial secara
langsung, proaktif hingga berlawanan dalam
mencapai perubahan sosial. Sedangkan slacktivism dideinisikan sebagai aktivitas melalui
media sosial, yang tujuannya adalah untuk
meningkatkan kesadaran, menghasilkan
perubahan, atau memberikan kepuasan
kepada pihak lain agar dapat terlibat dalam
informasi ini.29 Artinya aktivisme digital yang
digulirkan para relawan mendekati slacktivisme
yang bertujuan meningkatkan kepedulian,
29

28

Wawancara dengan Retnowulandari, Relawan nonkomunitas Jokowi asal Kota Bogor via Facebook pada
9 Juni 216 Pukul 21.30 WIB

63

Rotman, D., Viewe, g. S., Yardi, S., Chi, E., Preece, J.,
Shneiderman, B., Glaisyer, T. (2011). From slacktivism
to activism: participatory culture in the age of social
media. Proceedings of the 2011 annual conference extended
abstracts on Human factors in computing systems. New
York, NY, USA: ACM.

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 20, Nomor 1, Juli 2016

kesadaran guna mendorong sebuah perubahan
bagi publik terutama dalam isu-isu politik dan
pemerintahan.
Dengan semakin menguatnya
pelembagaan aktivisme digital dapat
menyebabkan terjadinya perluasan ruang
publik politik yang mentransformasikan
kesadaran politik personal ke ruang publik
baru yang terbuka secara lebih interaktif.
Sekaligus berpotensi memperbarui minat atau
kepentingan pada keterlibatan dan partisipasi
warga. Keterlibatan warga mencakup tiga
dimensi, yakni pengetahuan politik (apa yang
dipahami masyarakat mengenai