BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mistiani BAB I

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batuk pilek merupakan gangguan saluran pernafasan atas yang paling

  sering mengenai bayi dan anak. Bayi yang masih sangat muda akan sangat mudah tertular, penularan masih tetap terjadi karena seseorang yang pilek akan sering memegang hidungnya karena rasa gatal atau membuang ingusnya. Jika tidak segera mencuci tangan akan menjadi sumber penularan. Batuk pilek adalah infeksi primer nasofaring dan hidung yang sering mengenai bayi dan anak.

  Menurut WHO (World Health Organization = organisasi kesehatan dunia), pengeluaran lendir atau gejala pilek terjadi pada penyakit flu ringan disebabkan karena infeksi kelompok virus jenis rhinovirus atau coronavirus. Penyakit ini dapat disertai demam pada anak selama beberapa sampai tiga hari. Sedangkan pencemaran udara diduga menjadi pencetus infeksi virus pada saluran napas bagian atas (Wiraguna, 2009). Penyakit batuk pilek juga dapat mengenai orang dewasa tetapi berbeda karakteristiknya. Pada bayi dan anak penyakit ini cenderung berlangsung lebih berat karena karena infeksi mencangkup daerah sinus paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam tinggi, sedangkan pada orang dewasa hanya terbatas, dan tidak menimbulkan demam yang tinggi.

  Infeksi Saluran Pernafasan Atas atau yang selanjutnya disingkat ISPA sering terjadi pada anak-anak. Penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia

  1 diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3-6 kali setahun. ISPA merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak. ISPA adalah suatu infeksi pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh masuknya mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Depkes RI, 2002). ISPA sangat umum terjadi pada bayi dan anak- anak, sebagian besar disebabkan oleh virus, dan sehingga tidak ada pengobatan khusus (Purssell, 2009). Flu biasa didefinisikan sebagai ISPA yang ditandai dengan pilek, batuk ringan, dan demam ringan (Manal, 2008). ISPA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sebanyak 62.588 penderita pada balita pada tahun ini.

  Rendahnya tingkat pendidikan merupakan faktor penyebab ketidaktahuan ibu tentang ISPA yang berpengaruh terhadap penatalaksanaan ISPA dirumah.

  Pendidikan ibu yang rendah mempunyai pengetahuan yang rendah dalam pencegahan dan penanganan terhadap balita yang sakit. Faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak balita antara lain berupa pendidikan ibu, pengetahuan ibu dan pendapatan keluarga. Ekonomi dan pendidikan dianggap sebagai faktor resiko penting untuk ISPA. Peranan dan keterlibatan ibu sangat berpengaruh terhadap penurunan angka kematian ISPA pada balita. Namun saat ini peranan ibu belum jelas terlihat, terkadang ibu belum mampu mengenali gejala ISPA yang dialami oleh anaknya sampai memafaatkan pelayanan kesehatan secara optimal sehingga penyakit ISPA menjadi penyebab kematian utama pada anak dengan ISPA. Keparahan penyakit dapat menyebabkan kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan anak (Ingram, 2013). Dukungan dan kepastian keluarga merupakan elemen penting untuk perawatan anak dengan

  ISPA.

  Penelitian Huriah, (2008) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu menunjukkan bahwa prosentase jumlah ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dalam hal ini hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SMP lebih banyak yaitu 41,7% dibandingkan dengan jumlah ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (jenjang SMA sampai Perguruan Tinggi). Hasil analisis mengenai kemampuan ibu, didapatkan kemampuan ibu dalam perawatan ISPA pada balita di Dusun Lembahdadi tahun 2008 sebanyak 18 orang (50%) mempunyai kemampuan yang baik dalam perawatan ISPA, dan 18 orang (50%) mempunyai kemampuan yang kurang baik dalam perawatan ISPA. Dari hasil tersebut terlihat bahwa sebagian ibu memiliki kemampuan kurang baik dalam perawatan ISPA.

  Penelitian Anggriana, (2013) menyatakan bahwa dari 40 responden, presentasi terbesar dengan ekonomi > UMR memiliki ISPA pada balita sebanyak 12 responden (80%), dan presentase terbesar responden dengan ekonomi < UMR memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita sebanyak 17 responden (68%).

  Dari hasil analisis data didapatkan nilai odds ratio 0,118 yang artinya sosial ekonomi > UMR mempunyai peluang resiko 0,1 kali untuk mendapatkan Infeksi Saluran Pernafasan Atas dibandigkan dengan ekonomi < UMR.

  Penelitian Nafia, (2010) menyebutkan bahwa 55% responden memiliki kemampuan kurang baik dalam mengatasi demam, 40% responden kurang baik dalam mengatasi batuk, serta 65,5% responden memiliki kemampuan yang kurang baik dalam mencari sarana ke pelayanan kesehatan. Penatalaksanaan dini yang benar sangat penting karena untuk mencegah ISPA bukan pneumonia menjadi pneumonia, dan juga mencegah pneumonia menjadi pneumonia berat.

  Ibu memegang peranan penting dalam perawatan ISPA karena merekalah yang hampir setiap saat mengasuh dan melayani kebutuhan anaknya termasuk mengenali penyakit secara dini dan pada waktunya mencari bantuan pengobatan (Mulyana, 2006). Pengobatan sendiri oleh ibu pada balita dengan ISPA bermaksud agar sembuh atau meringankan penyakit yang diderita, dan biasanya merupakan tindakan pertama yang diambil sebelum memutuskan untuk dibawa berobat (Djaja, 2001).

  Dari hasil survey pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas memiliki 27 kecamatan. Menurut laporan Tahunan Dinas Kabupaten banyumas tahun 2012 bahwa jumlah populasi anak balita yang menderita ISPA di Kabupaten Banyumas adalah 37.343 balita. (Dinkes Kab. Banyumas, 2012).

  • – Kasus ISPA di Kecamatan Karanglewas jumlah penderita pada bulan Januari Sepetember tahun 2013 adalah 164 penderita. Kasus ISPA terbanyak pada balita. Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas Karanglewas yang terdiri dari 13 desa, peneliti melalukan wawancara dengan 20 ibu balita yang mempunyai balita

  ISPA untuk mengetahui pertolongan pertama terhadap ISPA, 6 orang diantaranya mengatakan pertolongan pertama dengan membeli obat-obatan di warung, 12 orang mengatakan bahwa tidak memberikan pertolongan pertama pada balita

  ISPA dan membiarkan ISPA sampai sembuh dengan sendirinya, 2 orang diantaranya langsung datang ke bidan atau Puskesmas dan semua responden mengatakan bahwa orang yang berperan penting dalam mengangani pengobatan pada balita dengan ISPA adalah ibu. Kebanyakan ibu berpendidikan SD, sehingga pengetahuan yang didapat kurang dan ekonominya rendah. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti tentang pengaruh pendidikan, ekonomi, dan pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada masyarakat dan sering terjadi pada anak. Penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun). Penyebab terjadinya ISPA yaitu karena pendidikan ibu, ekonomi dan pengetahuan. Jadi pendidikan ibu sangat berperan penting dalam penanganan dan mencegah terjadinya ISPA pada balita, keadaan ekonomi yang rendah dapat menyebabkan terjadinya ISPA, serta pengetahuan sangat berperan penting dalam penanganan ISPA pada balita. Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas Karanglewas yang terdiri dari 13 desa, peneliti melakukan wawancara dengan 20 ibu balita yang mempunyai balita ISPA untuk mengetahui pertolongan pertama terhadap ISPA. Dari 20 ibu balita ISPA sebagian besar kurang tanggap dalam memberikan pertolongan pertama. Sebagian besar ibu balita berpendidikan SD, sehingga dalam memberikan pertolongan pertama pada balita ISPA kurang, dan ekonomi rendah. Dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

  “ Apakah ada pengaruh pengaruh pendidikan, ekonomi, dan pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten

  Banyumas?.” C.

   Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pendidikan, ekonomi, dan pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

  2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini meliputi :

  a. Mendeskripisikan karakteristik responden berdasarkan pendidikan, ekonomi, pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita

  ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

  b. Mengetahui pengaruh pendidikan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

  c. Mengetahui pengaruh ekonomi terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas. d. Mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengaruh pendidikan, ekonomi, dan pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas serta sebagai pembelajaran untuk menguasai kemampuan peneliti dalam menambah wawasan.

  2. Bagi Instansi Kesehatan Sebagai bahan masukan untuk pemerintah khususnya bagi Dinas

  Kesehaatan Kabupaten Banyumas dan Puskesmas Karanglewas dalam penentuan arah kebijakan program pencegahan penyakit menular khususnya

  ISPA.

  3. Bagi Ilmu Pengetahuan Diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi yang hendak meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh pendidikan, ekonomi, dan pengetahuan terhadap pertolongan pertama ibu pada balita ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten Banyumas.

  4. Bagi Masyarakat Diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam hal pertolongan pertama pada balita dengan ISPA di Puskesmas Karanglewas Kabupaten

  Banyumas.

E. Penelitian Terkait

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan menemukan beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini, tetapi tidak sama, yaitu :

  1. Wardhani, (2010) yang berjudul ”Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial- Ekonomi, Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kelurahan Cidadas Kota Bandung (2010). Hasil penelitian ini yaitu : menunjukkan perilaku masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit ISPA cukup positif. Walaupun demikian pengetahuan/ pemahaman masyarakat terutama ibu sebagai pengelola rumah tangga terhadap berbagai penyakit tersebut relative masih kurang. Perbedaan : penelitian Wardhani, menggunakan teknik pengambilan sampel

  random sampling, an variabel terikatnya kejadian ISPA

  sedangkan pada penelitian ini teknik pengambilan sampelnya menggunakan purposive sampling, dan variabel terikatnya yaitu pertolongan pertama ibu pada balita ISPA. Persamaan : sama-sama menggunakan metode cross sectional

  2. Anggriana, (2013) yang berjudul “ Hubungan Sosial Ekonomi, Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas II Cilongok Kabupaten Banyumas”. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan sosial ekonomi (p value = 0,003), pendidikan (p value = 0,000) dan perilaku kesehatan (p value = 0,000) denganan kejadian ISPA pada balita.

  Perbedaan : pada penelitian Anggriana, menggunakan metode case control, variabel terikat kejadian ISPA sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode cross sectional, variabel pertolongan pertama ibu pada balita ISPA.

  Persamaan : sama-sama menggunakan teknik pengambilan sampelnya yaitu purposive sampling .

  3. Huriah dan Lestari, (2007) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan

  Tentang ISPA Terhadap Kemampuan Ibu Dalam Perawatan ISPA pada Balita Di Dusun Lembah Dadi Kasihan Bantul Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prosentase jumlah ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dalam hal ini hanya menempuh pendidikan sampai SMP lebih banyak yaitu 41,7 % dibandingkan dengan jumlah ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (jenjang SMA sampai perguruan Tinggi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang ISPA terhadap kemampuan ibu dalam perawatan ISPA yang dinilai melalui lima kesehatan keluarga.

  Perbedaan : pada penelitian Huriah dan Lestari, menggunakan metode pre

  eksperimen, sedangkan pada penelitian ini menggunakan cross sectional.

  Persamaan : sama-sama menggunakan viriabel bebas pendidikan.

  4. Sulistyoningsih & Rustandi (2010) yang berjudul faktor

  • – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerka Puskesmas DTP jamanis kabupaten tasikmalaya tahun 2010. Hasil penelitiannya yaitu terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA (p value =

  

0,000 ), terdapat hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA (p value =

0,000 ), terdapat hubungan sosial ekonomi dengan kejadian ISPA (p value =

0,001 ), terdapat hubungan status gizi dengan kejadian ISPA (p value =0,001),

  jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita (p value = 0,000), terdapat hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA (p value = 0,000).

  Perbedaan : teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sample random sampling, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Persamaan : sama-sama menggunakan alat bantu kuesioner.