BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - AKBAR DHIKA TRI PURWONO BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang

  progresif dan irreversibel. Penyakit ini digolongkan dalam penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian.

  Ini berarti bahwa penyakit terminal adalah penyakit yang membawa penderita ke ajalnya (Damanik, 2012). Penderita gagal ginjal menurut estimasi Word

  Healt Organization (WHO) secara global lebih dari 500 juta orang dan

  sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hemodialisa. Gagal ginjal kronik (GGK) di dunia sudah mencapai 26 juta orang dan 20 juta diantaranya sudah masuk di dalam tahap terminal atau akhir ( Stoic, 2009,).

  Menurut dari hasil penelitian Roderick, et al (2008) bahwa hampir setengah dari penduduk yang memiliki penyakit ginjal tidak mengetahui bahwa ada yang salah dengan ginjalnya. Kasus gagal ginjal kronik laporan

  The United States Renal Data System (USRDS 2013) menunjukkan

  prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat pada tahun 2011 sebesar 1.901 per 1 juta penduduk. Populasi penderita gagal ginjal di Indonesia dari tahun ketahun semakin meningkat. Berdasarkan data yang dikeluarkan pleh PT. Askes, pada tahun 2009 jumlah pasien gagal ginjal kronik sebanyak 7 Ribu orang lalu pada tahun 2010 jumlah pasien gagal ginjal kronik sebanyak 17.507 orang dan meningkat lagi pada tahun 2011

  1 sekitar 5 ribu. Perhimpunan nefrologi Indonesia (Penefri) melaporkan bahwa setiap tahun terdapat 200.00 kasus baru gagal ginjal stadium akhir (Anna, 2013). Untuk mempertahankan hidup dan mengatasi penyakit gagal ginjal kronik ini hanya dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, dengan melakukan cangkok ginjal, dengan biaya yang sangat mahal dan sangat sulit juga prosesnya. Kedua, dengan melakukan terapi melalui hemodialisis (cuci darah) (Susalit, 2012). Terapi pengganti yang sering digunakan adalah hemodialisis, sebanyak 78% dibandingkan terapi pengganti lainnya (Pernefri 2012). Hemodialisis dapat dilakukan sementara waktu jika kerusakan fungsi ginjal yang terjadi bersifat sementara pada pasien dengan gagal ginjal akut.

  Hemodialisis akan dilakukan seumur hidup ketika fungsi ginjal mengalami kerusakan yang bersifat permanen, yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik (Setiawan & Faradila, 2012).

  Report of Indonesian renal registry (IRR) pada akhir 2015 menyatakan

  pasien rutin yang menjalani hemodialisa di Indonesia sebanyak 595.358 pasien dan yang melakukan hemodialisa akut sebanyak 5915 pasien dan jumlah penderita di jawa tengah sebanyak 69.145 pasien. Penatalaksanaan pada pasien gagal ginjal di Indonesia yang paling sering dilakukan adalah terapi pengganti yaitu berupa hemodialisis

  Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto adalah RS tipe B Pendidikan yang kepemilikannya dimiliki oleh Provinsi Jawa Tengah. Instalasi Hemodialisis memiliki 24 mesin hemodialisis dengan jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisis adalah 144 pasien rutin. Berdasarkan identifikasi data langsung diruangan yang melakukan cuci darah 2 kali seminggu totalnya dalah 100 pasien dengan 69 pasien terpasang AV shunt dan akses femoral 32 orang (Suparti, Sodikin, Endiyono 2016). Terapi hemodialisis menggantikan fungsi ginjal sementara, meskipun demikian terapi ini tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilakukan diginjal.

  Hasil observasi di ruang hemodialisa RSUD PROF. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pasien menjalani hemodialisa tidaklah membutuhkan waktu yang sebentar, dalam sekali menjalani hemodialisa membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam dalam waktu yang lama, pasien terpasang alat dan tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasanya, hasil wawancara dari 10 pasien yang menjalani hemodialisa mengatakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh pasien saat menjalani hemodialisa adalah olahraga/latihan fisik, duduk, berbincang-bincang, makan, minum dan melakukan gerakan terbatas karena alat yang telah terpasang dalam tubuh.

  Latihan fisik penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Fritz, 2005; Potter & Perry, 2006).

  Secara umum tiga metode latihan yang dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yaitu program latihan di pusat rehabilitasi dengan supervisi, program rehabilitasi latihan di rumah dan program latihan selama satu jam pertama pada saat dilakukan hemodialisis di unit hemodialisis (Knap et al, 2005).

  Latihan fisik atau olahraga selama hemodialisis sangat bermanfaat karena dapat meregangkan otot yang kaku karena jika tidak melakukan latihan fisik akan mengakibatkan penurunan kekuatan dan lebih lanjut mengakibatkan atrofi pada otot.

  Penelitian tentang latihan fisik selama hemodialisis terhadap 17 reponden dapat mengurangi ansietas dan menunjukkan kecenderungan perbaikan level of aerobic fitness ( Jones et al, 2009). Adanya pengurangan aktivitas akan dapat menyebabkan penurunan kekuatan dan lebih lanjut mengakibatkan atrofi pada otot. Aktifitas yang dilakukan pasien saat menjalani hemodialisis adalah berbincang

  • – bincang dengan keluarga atau pasien yang lain, makan, minum dan tidur.

  Dalam menjalani hemodialisa bukan hal yang mudah bagi pasien karena disisi lain akan muncul komplikasi intradialisis yang dapat membuat pasien mengalami beberapa efek dari menjalani hemodialisa. Komplikasi intradialsis merupakan komplikasi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual, muntah sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, demam, menggigil. aritmia, hemolisis dan emboli udara. (Barkan, et al 2006).

  Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi selama menjalani terapi hemodialisis, komplikasi hemodialisis dapat diklasifikasikan sebagai berikut, komplikasi kardiaovaskuler; Hipotensi, Hipertensia, aritmia, Pericardial effusion dan sakit dada. Komplikasi Neurologis; Sindrom disquilibrum, accident serebrovaskular, perubahan kesadaran dan sakit kepala.

  Komplikasi yang terkait dengan penggunaan terapi antikoagulan; Heparin terkait trombositopenia, perdarahan diathesis, kelainan elektrolit dan yang lainnya yaitu mual, muntah dan gatal. Komplikasi intradialisis yang paling umum terjadi adalah hipotensi intradialisis gejala antara 20% dan 50%, dan itu tetap merupakan masalah penting Cruz DN et al, 1997, (dalam Gulsum, et al, 2011) . Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa komplikasi intradialisis hipotensi terjadi lebih dari 30% Shahgholian, et al (2008), kram otot 20%, mual dan muntah (Holley, et al2007), sakit kepala 5% Teta (2007), nyeri dada sekitar 1-4% Daugirdas, et al 2007.

  Setelah dilakukan observasi di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, diperoleh data beberapa pasien yang menjalani terapi dialisis yang merasakan pusing, mual, kram otot, hipertensi, dan menggigil itu yang biasanya masih dirasakan oleh pasien saat menjalani terapi dialisis. Menurut perawat yang berjaga rata- rata pasien yang mengalami komplikasi intradialisis adalah pasien yang menjalani terapi dialisis kurang atau sama dengan satu tahun, karena menurut perawat yang bertugas di ruang dialisis pasien tersebut belum terbiasa dan masih takut dengan terapi dialisis.

  B. Rumusan Masalah

  Penderita gagal ginjal menurut estimasi Word Healt Organization (WHO) secara global lebih dari 500 juta orang dan sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hemodialisa. Gagal ginjal kronik (GGK) di dunia sudah mencapai 26 juta orang dan 20 juta diantaranya sudah masuk di dalam tahap terminal atau akhir ( Stoic, 2009,). Komplikasi intradialisis adalah masalah yang bisa timbul selama hemodialisis. Perilaku pasien selama hemodialisis diprediksikan ikut berkontribusi dengan kejadian komplikasi intradialisis.

  Hasil observasi di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, diperoleh data beberapa pasien yang menjalani terapi dialysis yang merasakan pusing, mual, kram otot, hipertensi, dan menggigil itu yang biasanya masih dirasakan oleh pasien saat menjalani terapi dialysis. Penelitian mengenai perilaku saat menjalani belum terlalu banyak bahkan masih jarang.

  Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang apakah ada hubungan perilaku pasien selama hemodialisa dengan kejadian komplikasi intradialisis di ruang hemodialisa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

  C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan umum Untuk mengetahui apakah ada hubungan perilaku pasien selama hemodialisa dengan kejadian komplikasi intradialisis di ruang hemodialisa di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

  2. Tujuan khusus

  a. Untuk mengetahui karakteristik pasien GGK yang menjalani hemodialisa b. Untuk mengetahui perilaku pasien saat menjalani hemodialisa

  c. Untuk mengetahui adanya hubungan perilaku pasien saat hemodialisa dengan intradialisis.

D. Manfaat Penelitian

  1. Bagi Perawat Penelitian ini bisa menjadi tambahan ilmu bagi seorang perawat yang menjalani bertugas diruamh dialysis karena bisa melihat ada hubungannya perilaku saat dialysis dengan komplikasi intradialisis.

  2. Bagi pasien

  a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pasien yang menjalani terapi hemodialisa supaya mempunyai motivasi setelah mengetahui bahwa ada hubungan yang terjadi antara perilaku yang dilakukan pasien selama menjalani hemodialisa dengan komplikasi intradialisis yang di alaminya.

  b. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kejadian komplikasi intradialisis

E. Penelitian Terkait.

  1. Dewi Silviana 2010 Dengan judul penelitian “Hubungan Lama Periode Hemodialisis

  Dengan Status Albumin Penderita Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisis RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2010. Rancangan penelitian adalah cross sectional. Populasi yang diambil adalah penderita gagal ginjal kronik dengan hemodialisis teratur 2x/minggu di Unit Hemodialisis RSUD Prof. Dr.Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2010. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan metode purposive sampling.

  Rumentalia Sulistini, Indah Permata Sari, Natsir A Hamid 2015 2.

  Dengan judul penelitian “Hubungan Antara Tekanan Darah Pre Hemodialisis Dan Lama Menjalani Hemodialisis Dengan Penambahan Berat Badan Interdialitik Di Ruang Hemodialisis Rs. Moh. Hoesin Palembang”. Rancangan penelitian adalah metode survei analitik dengan cross approachment sectional dengan akuisisi sampel menggunakan purposive sampling. Hasil menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tekanan darah (sistole dan diastole) pre hemodialisis dan berat badan interdialitic (p> 0,05) dengan standar deviasi dari 23.754 mmHg tekanan darah sistol dan 9359 mmHg tekanan darah diastole.

  Adapun panjang hemodialisis memiliki korelasi yang signifikan dengan berat badan interdialytic (p <0,05) dengan standar deviasi dari 16.539 bulan.

  3. Cornelia D.Y Nekada Dkk (2014) Dengan judul “ Pengaruh Gabungan Relaksasi Napas Dalam Dan

  Otot Progresif Terhadap Komplikasi Intradialisis Di Unit Hemodialisis Rsup Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

  ”. Pasien yang menjalani hemodialisis 96% mengalami komplikasi intradialisis akibat dari ketidakseimbangan volume plasma. Komplikasi tersebut antara lain hipertensi, sakit kepala, kram otot, mual dan muntah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh gabungan relaksasi napas dalam dan otot progresif terhadap komplikasi intradialisis, berupa hipertensi, sakit kepala, kram otot, mual dan muntah, yang diberikan dalam kurun waktu tertentu. Rancangan penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode quasi

  

eksperimen one group pre-post test with control, dengan perlakuan secara

time series . Pengambilan subjek penelitian menggunakan teknik

consecutive sampling dengan pendekatan pada populasi terjangkau

  sebanyak 37 subjek penelitian. Hasil menunjukkan bahwa gabungan relaksasi napas dalam dan otot progresif, sangat berpengaruh terhadap komplikasi intradialisis berupa hipertensi, sakit kepala, kram otot, mual dan muntah. Hemodilaisis merupakan terapi rutin dan berkelanjutan yang harus dilaksanakan pasien ESRD, yang dilaksanakan seminggu 2 kali dengan intensitas waktu pertemuan masing-masing selama 4 - 5 jam.