Kerangka Acuan Kerja Integrasi Manajemen Risiko Bencana dalam Penataan Ruang di Indonesia

  

Kerangka Acuan Kerja

Integrasi Manajemen Risiko Bencana dalam Penataan Ruang

di Indonesia

I.

   Latar Belakang 1.

   UN-International Strategy for Disaster Reduction merumuskan definisi “disaster risk

  management” dalam konteks pengurangan risiko bencana dengan tujuan menyamakan pengertian dan pemahaman tentang substansi “risk management” untuk digunakan oleh masyarakat luas. Disaster risk management is the systematic process of using

  

administrative directives, organizations, and operational skills and capacities to implement

strategies, policies and improved coping capacities in order to lessen the adverse impacts

of hazards and the possibility of disaster. Disaster risk management aims to avoid, lessen

or transfer the adverse effects of hazards through activities and measures for prevention,

mitigation and preparedness.

2. Kebijakan yang terkait penanggulangan bencana, lingkungan hidup dan penataan ruang di

  Indonesia telah menjadi kesepakatan yang mengikat dalam rangka mendukung Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 yaitu Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil Dan Makmur. RPJMN 2010-2014 (Perpres 5/2010) menguraikan lebih lanjut visi, misi dan agenda operasional Pemerintah dalam sejumlah program prioritas untuk merespon tantangan yang dihadapi bangsa dan negara dimasa mendatang.

  3. Prioritas Nasional 9: Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana mengandung substansi inti perubahan iklim, penendalian keruskan lingkungan, sistem peringatan dini bencana dan penanggulangan bencana. Pembangunan Nasional dilakukan secara menyeluruh di berbagai bidang kehidupan masyarakat sehingga sinergi antar bidang pembangunan sangat penting untuk tercapainya berbagai sasaran dalam RPJMN 2010-2014. Untuk itu, perencanaan pembangunan nasional dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) bidang pembangunan sesuai RPJP 2005-2025, diantaranya bidang Bidang Wilayah dan Tata

  

Ruang dan Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Dalam RPJMN terdapat

  prinsip pengarusutamaan yang menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini diarahkan untuk dapat tercermin di dalam keluaran pada kebijakan pembangunan, yang mencakup: (1) pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan; (2) pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik; dan (3) pengarusutamaan gender.

  4. Pembangunan Bidang Wilayah dan Tata Ruang pada tahun 2010 - 2014 dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan wilayah, yang dilaksanakan melalui 3 (tiga) arah kebijakan dan strategi utama, yaitu (1) pelaksanaan pengendalian dan pelaksanaan penataan ruang, (2) koordinasi dan integrasi pembangunan wilayah, baik dalam lingkup perkotaan dan perdesaan, maupun dalam lingkup kawasan-kawasan prioritas (kawasan- kawasan strategis, kawasan tertinggal, kawasan perbatasan, dan daerah rawan bencana), yang diperkuat dengan (3) penyelenggaraan desentralisasi dan pemerintahan daerah.

  5. Pembangunan Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup pada tahun 2010-2014 diarahkan untuk: (1) mendukung pembangunan perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan daya saing ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; serta (2) meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

  6. RPJMN 2010-2014 juga dilengkapi dengan strategi dan arah kebijakan pembangunan kewilayahan dalam kerangka sinergi pusat-daerah dan antardaerah dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi yang berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional-RTRWN (PP no. 26/2008) sebagai arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Yang dimaksudkan dengan ruang adalah adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Integrasi RTRW dengan kebijakan pembangunan dalam RPJP dan RPJM juga menjadi amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

7. Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat 2 (dua) acuan yaitu Rencana Tata Ruang

  Wilayah (RTRW) serta rencana pembangunan, baik jangka panjang (RPJP) maupun jangka menengah (RPJM). Kedua rencana tersebut harus sejalan dan terintegrasi, agar dapat dijadikan acuan seluruh sektor dalam melaksanakan pembangunan. Dokumen Rencana Tata Ruang (RTR) memberikan arahan pembangunan yang bersifat spasial dan berimplikasi pada keruangan yang menjadi acuan implementasi dan investasi di daerah, sedangkan RPJP dan RPJM, merupakan arahan konseptual bagi pembangunan secara a- spasial.

  8. Kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim, demikian pula kekayaan keanekaragaman hayati telah berada dalam resiko, dan telah menjadi perhatian Pemerintah. Sebagai bagian dari solusi menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah telah menyusun kerangka kebijakan yang tertuang dalam RAN GRK dan RAN API, yang terintegrasi dengan RPJMN 2010-2014. Dalam menghadapi perubahan iklim, tingkat kerentanan wilayah secara umum adalah: (a) sangat tinggi hingga tinggi untuk sebagian wilayah pesisir utara Jawa, sebagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Bali, terutama di sekitar kota-kota besar; (b) sedang (menengah) untuk sebagian besar pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Jawa Tengah, sebagian kecil pesisir Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, serta pesisir selatan Kalimantan dan Papua; dan (c) rendah hingga tidak rentan untuk di sebagian besar pesisir barat Sumatra dan selatan Jawa, sebagian besar wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua bagian utara.

  9. Adaptasi Perubahan Iklim yang diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan nasional sedang dipersiapkan untuk RPJMN 2015-2019. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain keterkaitan/sinergitas antara upaya mitigasi dan adaptasi, kemudian perlunya integrasi penataan ruang, infrastruktur dan permukiman (perkotaan dan perdesaan) ke dalam perencanaan pembangunan nasional, dengan mempertimbangkan keunikan geografi, tipologi iklim serta kawasan-kawasan yang sangat rentan (fragile) dan mudah terkena (vurnerable) dan berisiko tinggi (high risk) seperti pada pulau-pulau kecil dan pesisir.

II. Maksud dan Tujuan 10.

  Adapun maksud dan tujuan integrasi manajemen risiko bencana bagi penyelenggaraan penataan ruang adalah sebagai berikut: a.

  Merespon Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2010 terutama yang terkait dengan Prioritas Aksi 4: Reduce the underlying risk factors in key activities: a)

  Environmental and natural resource management, b) Social and economic development practices, c) Land-use planning and other technical measures.

  b.

  Menindaklanjuti Deklarasi Yogyakarta sebagai hasil kegiatan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke V yang secara spesifik mendorong pengintegrasian upaya pengurangan risiko bencana dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana alam; c.

  Merumuskan kebijakan penataan ruang yang adaptif atau mengantisipasi skenario perubahan iklim untuk meminimalkan potensi riiko dan kerugian yang diakibatkan dimasa akan datang d. Meningkatkan efektivitas dokumen Rencana Tata Ruang sebagai instrumen koordinasi pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang; e.

  Memberikan masukan bagi peningkatan koordinasi lembaga penanggulangan bencana dan lembaga penataan ruang

  III.

  

Gambaran umum penyelenggaraan penanggulangan bencana dan penyelenggaraan

penataan ruang

  11. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan salah satu komponen terpenting di dalamnya adalah data dan informasi spasial yang dapat digunakan bersama untuk kepentingan perencanaan.

  12. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP no. 21/2008) yang berpedoman pada UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda suatu daerah, dalam bentuk informasi spasial dan non-spasial. Pada tatanan pemerintah, hasil dari pengkajian risiko bencana digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana dan Rencana Penanggulangan Bencana yang merupakan mekanisme untuk mengarusutamakan penanggulangan bencana dalam rencana pembangunan, dengan masa berlaku selama 5 tahun.

  13. Perka BNPB no. 2/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana telah meletakkan prinsip dasar pengkajian risiko bencana sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan masyarakat pemerhati bencana di Indonesia. Pada tahun 2012, BNPB telah menyusun peta risiko bencana tingkat provinsi berdasarkan 13 jenis ancaman bencana dan akan melanjutkan penyusunan peta risiko bencana tingkat kabupaten sesuai sasaran RPJMN 2010-2014.

14. UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dengan

  Ruang lingkup pengaturan meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. Mitigasi Bencana telah diamanatkan dalam UU nomor 27 tahun 2007 mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur dan/atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

  15. Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP no. 15/2010) yang berpedoman pada UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang merupakan acuan bagi pemanfaatan ruang untuk seluruh kegiatan yang memerlukan ruang melalui kegiatan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah.

  16. Dokumen perencanaan tata ruang terbagi menjadi dua jenis yaitu Rencana Umum (terdiri dari RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota) dan Rencana Rinci (terdiri dari RTR Kawasan Strategis Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota). Penyusunan Rencana Tata Ruang telah menggunakan informasi dan data spasial kerawanan bencana, dengan masa berlaku 20 tahun, dan wajib dievaluasi setiap 5 tahun.

  17. Pedoman terkait penyusunan rencana tata ruang yang telah disusun Pemerintah antara lain adalah:

  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 27/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya • Peraturan Menteri PU No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan • Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan

  Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 11/PRT/M/2009 Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Beserta Rencana Rincinya • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota • Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 28 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah • Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan • Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Dan Kabupaten/Kota
  • Dan sebagainya 18.

  Dalam pedoman penyusunan tata ruang yang sudah ada, pendekatan yang sudah digunakan adalah kerawanan bencana. Upaya pengkajian risiko bencana perlu dipertimbangkan sebagai sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda suatu kawasan/ruang, yang diperhitungkan berdasarkan a) tingkat ancaman; b) tingkat kerentanan kawasan yang terancam; dan c) tingkat kapasitas kawasan yang terancam. Potensi dampak negatif ini dapat disajikan dalam bentuk spasial maupun a-spasial, misalnya potensi jumlah jiwa yang terpapar, potensi kerugian harta benda, dan potensi kerusakan lingkungan.

  19. Perencanaan tata ruang sebagai suatu bentuk intervensi pembangunan yang multi- dimensi memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Ketersediaan peta risiko bencana skala provinsi (tahun 2012) dengan masa berlaku 5 tahun akan bermanfaat untuk mengevaluasi RTRW Nasional, RTR Kawasan Strategis Nasional, RTRW Provinsi, RTR Kawasan Strategis Provinsi dan sebagainya, menggunakan teknik overlay (pertampalan) antara konsep pemanfaatan ruang dengan hasil kajian risiko bencana. Hasil pertampalan dapat digunakan untuk mengoreksi peruntukan ruang, perizinan pemanfaatan ruang dan dapat berfungsi sebagai acuan penyelesaian konflik ruang.

  20. Peraturan Pemerintah 68 tahun 2010 mengatur bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

  21. UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

  22. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) yang dibentuk melalui Keppres Nomor 4 tahun 2009 bertugas untuk melaksanakan koordinasi bagi: a.

  Penyusunan kebijakan, peraturan dan pemaduserasian perundangan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang, serta pemaduserasian penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya alam lainnya dengan Rencana Tata Ruang; b. Penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya; c. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional; termasuk melaksanakan fasilitasi kerja sama penataan ruang antar provinsi dan/atau kerja sama penataan ruang antar negara d. Pemantauan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan pemanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk penyempurnaan Rencana Tata Ruang; e.

  Pembinaan dan penentuan prioritas pelaksanaan penataan ruang kawasan-kawasan strategis nasional dalam rangka pengembangan wilayah

  23. Ketua BKPRN adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, sedangkan Tim

  

Pelaksana BKPRN dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum, dengan keanggotaan dari

  Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Geologi Kementerian ESDM, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Sekretaris Kabinet, BAKOSURTANAL dan LAPAN.

  24. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana BKPRN, dibentuk

  

Kelompok Kerja 1: Bidang Koordinasi Penyiapan Kebijakan dan Peraturan Perundang-

  undangan Bidang Penataan Ruang; Kelompok Kerja 2: Bidang Koordinasi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Kelompok Kerja 3: Bidang Koordinasi Perencanaan dan Program Penataan Ruang, Kelompok Kerja 4: Bidang Koordinasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Penataan Ruang.

  25. Untuk mengeratkan sinergi dalam manajemen risiko bencana, diperlukan partisipasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam pemaduserasian kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan penyelenggaraan penataan ruang.

  IV. Isyu strategis penyelenggaraan penataan ruang 26.

  Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan Nasional diantaranya adalah sebagai berikut: a.

  Dokumen Rencana Tata Ruang seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak sehingga tidak menjadi acuan bersama dalam pembangunan ; b.

  Kebutuhan mendesak akan ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatan ruang suatu wilayah atau daerah seringkali tidak sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana tata ruang ;

  c.

   Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, tuntutan ruang kegiatan ekonomi dan

  menurunnya daya dukung lingkungan dan sosial mengakibatkan maraknya alih fungsi lahan dan semakin beratnya pengendalian pemanfaatan ruang ; d.

  Sinkronisasi kelembagaan penataan ruang belum berhasil dilakukan dan terwujud dalam konflik penataan ruang, penyebab konflik pada umumnya ego sektor dan antar daerah.

  27. Pada tahun 2012, dari sejumlah 461 kabupaten/kota yang telah memiliki RTRW, namun baru 187 wilayah yang mendapatkan pengesahan dalam bentuk peraturan daerah. RTRW berkekuatan hukum diperlukan sebagai pedoman perijinan dan kepastian perlindungan hukum bagi investasi pemerintah maupun swasta di daerah. Dengan telah tersedianya peta risiko bencana tingkat provinsi di Indonesia, peluang untuk mengevaluasi RTRWN dan RTRW Provinsi dan mengintegrasikan pendekatan manajemen risiko bencana perlu dipertimbangkan.

  28. Diperlukan koordinasi kelembagaan di tingkat pusat untuk menyamakan persepsi tentang substansi dan upaya sistematis yang diperlukan untuk mengintegrasikan amanat UU nomor 24 tahun 2007, UU nomor 26 tahun 2007, UU nomor 27 tahun 2007 dan UU nomor 32 tahun 2009.

  29. Diperlukan kesepakatan antar lembaga/sektor untuk memanfaatkan pendekatan kajian risiko bencana bagi perencanaan tata ruang. Hal yang perlu disepakati diantaranya adalah kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota dengan penyajian skala peta yang sesuai kebutuhan perencanaan.

  V. Ruang Lingkup Kegiatan Strategis 30.

  Jika dikaitkan dengan Hyogo Framework of Action 2005-2015, maka terdapat 5 fokus integrasi pengurangan resiko bencana pada penataan ruang yakni: a. memadukan hasil kajian risiko ke dalam kebijakan penataan ruang wilayah dan permukiman; b. mengarusutamakan manajemen risiko bencana ke dalam proses perencanaan, perancangan, analisa dampak sosial-ekonomi-lingkungan dan persetujuan proyek infrastruktur vital; c. mengembangkan, memperbaiki, dan mendorong penggunaan pedoman dan instrumen pemantauan pengurangan risiko bencana dalam menilai dampak kebijakan penataan ruang; d. memasukkan hasil kajian risiko bencana ke dalam perencanaan dan pembangunan wilayah pedesaan, terutama di wilayah pegunungan dan pesisir, melalui identifikasi kawasan yang aman bagi hunian; e. melakukan revisi atau mengembangkan norma, pedoman, standar dan manual yang mempertimbangkan upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana serta secara konsisten melaksanakan mekanisme perizinan yang mendukung pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang.

  31. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas BKPRN, ruang lingkup kegiatan yang bersifat strategis adalah: a) mengevaluasi RTRW Nasional dan/atau RTR Kawasan

  Strategis Nasional (KSN) dengan mengarusutamakan manajemen risiko bencana, b)

mengevaluasi pedoman RTRW yang mengarusutamakan manajemen risiko bencana, c)

mengembangkan instrumen pemantauan pelaksanaan rencana tata ruang yang

mengarusutamakan manajemen risiko bencana untuk dapat digunakan bersama-sama

oleh lembaga penanggulangan bencana dan lembaga penataan ruang, d) mengevaluasi

tatacara peranserta masyarakat terutama pada substansi perencanaan tata ruang yang

berbasis manajemen risiko bencana.

  32. Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mengendalikan perkembangan kawasan budi daya yang dikendalikan pengembangannya dengan pendekatan manajemen risiko bencana.

  33. Penyelarasan UU nomor 26 tahun 2007 dengan UU nomor 2007 tahun 2007, guna memberikan platform kebijakan pembangunan dan pengelolaan ruang laut nasional untuk digunakan sebagai arahan penyusunan Rencana Zoning Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) di daerah.

  34. Mendorong Pemerintah Daerah untuk segera menyelesaikan dan menetapkan RTRW dan Rencana Pembangunan (RPJPD dan RPJMD), serta mendorong Kementerian/Lembaga agar dalam pengadaan tanah harus disusun sesuai dengan RTRW dan Rencana Pembangunan (RPJP, RPJM, RKP, dan Renstra KL) 35.

  Penguatan kapasitas Pemerintah Daerah; melalui penyediaan kelengkapan norma, pedoman, standar dan manual (NPSM) untuk penyusunan dan evaluasi Rencana Umum dan Rencana Teknis penataan ruang; serta NPSM pengendalian pemanfaatan, pembinaan dan pengawasan penataan ruang.

  36. Keluaran yang diharapkan adalah: a.

  Terjalinnya sinergi dan koordinasi antar sektor yang lebih efektif untuk mewujudkan RPJPN/D dan RPJMN/D dalam pemanfaatan ruang b. Tersedianya kelengkapan NPSM pengendalian pemanfaatan ruang berbasis manajemen risiko untuk investasi, indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, arahan sanksi dan acuan dalam administrasi pertanahan.

  c.

  Terwujudnya kesepakatan tentang pembagian peran dan tanggung-jawab kelembagaan pada penyelenggaraan penataan ruang Kawasan Strategis Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan rencana teknis lainnya. d.

  Tersusunnya rekomendasi kebijakan bagi penyusunan prioritas nasional dalam RPJMN 2015-2019 dan bidang pembangunan Wilayah dan Tata Ruang dan Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; sesuai RPJP 2005-2025.

VI. Strategi Pelaksanaan Kegiatan 37.

  Indonesia memiliki keahlian dan sumber daya nasional yang cukup signifikan di bidang penataan ruang dan penanggulangan bencana. Strategi pelaksanaan program integrasi manajemen risiko bencana dalam penataan ruang adalah sebagai berikut:

  • Leadership pada Pemerintah melalui BKPRN yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
  • Tim Pelaksana BKPRN dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaksanakan sinergi dan koordinasi dalam bidang-bidang: a) penyiapan kebijakan penataan ruang, b) peningkatan kapasitas kelembagaan, c) perencanaan dan program penataan ruang dan d) penyelesaian sengketa dan konflik penataan ruang.

  38. Sumber daya untuk mendukung kegiatan yang lebih luas dapat berasal dari sumber APBN dan bantuan internasional, baik multilateral maupun bilateral, yang mendukung pelaksanaan Hyogo Framework of Action. Sifat bantuan internasional adalah komplementer, untuk mendukung program Pemerintah dan dilaksanakan sesuai prinsip Jakarta Committment for Aid Effectiveness dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011 tentang Pengelolaan Hibah.