DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan

  DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan Oleh : DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055 FAKULTAS PETERNAKAN

  DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana program studi peternakan Oleh : DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM

  

DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA

SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA

Dedet Septian Raha Anugrah

  Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit Mataram – Lombok (NTB) Tlp/Fax : (0370) 640592

  Email: [email protected]

  

ABSTRAK

Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fasciola

gigantica dan Fasciola hepatica yang menyerang ternak ruminansia termasuk sapi

  Bali. Salah satu cara pencegahannya adalah melakukan deteksi dini pada ternak yang terinfeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan saliva sebagai bahan uji biologis berbasis ELISA (Enzyme

  

Linked Immunosorbent Assay). Feses, darah dan saliva dikoleksi dari 12 ekor sapi

  Bali. Feses digunakan sebagai bahan uji pemeriksaan telur cacing sedangkan saliva dan serum digunakan untuk uji ELISA. Hasil uji sedimentasi menunjukkan bahwa 8,3% (1 dari 12) ternak terinfeksi Fasciolosis dengan jumlah telur per gram tinja (EPG). Uji ELISA menggunakan serum dan saliva dengan plate “In House” konsentrasi antigen ES 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel sebanyak 100 dan 500 kali. Hasil menunjukkan bahwa uji ELISA menggunakan serum adalah 100% terinfeksi Fasciolosis sedangkan uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi berkisar antara 16-58% dari berbagai tingkat konsentrasi antigen dan pengenceran. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan deteksi Fasciolosis dapat dideteksi menggunakan saliva dengan metode ELISA meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan serum Kata kunci : Sapi Bali, Fasciolosis, Saliva, ELISA

  

DETECTION OF FASCIOLOSIS IN BALI CATTLE USING SALIVA AS A

BIOLOGICAL TEST BASED ON ELISA

ABSTRACT

Fasciolosis is a disease caused by Fasciola hepatica and Fasciola

gigantica and commonly attacks ruminants including Bali cattle. One way to

  prevent the disease is to perform early detection of infected cattle. The aimed of this study was to detect Fasciolosis on Bali cattle using saliva as a biological test based on the ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Faeces, blood and saliva were collected from 12 Bali cattle. Faeces was used for egg examination test, while saliva and serum were used for ELISA test. Sedimentation test results showed that 8.3% (1 of 12) of cattle was Fasciolosis with one egg in faeces. results ranging between 16-58% from the various levels of antigen concentration and dilution. Based on the results of this study it can be concluded that

  Fasciolosis could be detected using saliva though it less sensitive.

  Keywords:Bali Cattle, Fasciolosis, Saliva, ELISA

  

PENDAHULUAN

  Sapi Bali merupakan bangsa sapi yang digunakan sebagai salah satu alternatif untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Sulistyowati (2002) menegaskan bahwa sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah dengan kemampuan beradaptasi dengan suhu yang ekstrim serta mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi.

  Dari sekian banyak hambatan dalam peningkatan produktivitas sapi Bali yaitu adanya penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti cacing hati atau

  

Fasciolosis. Fasciolosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh

  cacing trematoda yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang biasa menyerang ternak ruminansia (Boray, 2007). Di Indonesia prevalensi Fasciolosis mencapai 90% sehingga menyebabkan kerugian yang cukup signifikan seperti penurunan produksi, pengafkiran hati daging, susu, wool, bahkan kematian (Mitchell, 2007).

  Pencegahan yang biasa dilakukan dalam pengendalian Fasciolosis adalah melakukan deteksi sedini mungkin pada ternak yang teinfeksi. Pada umumnya deteksi yang dilakukan secara konvensional dengan pemeriksaan telur cacing dalam feses menggunakan metode sedimentasi. Namun dilaporkan oleh Boray (2007) bahwa metode tersebut tidak sensitif karena tidak dapat menemukan telur cacing sampai cacing dewasa untuk bertelur. Dengan demikian diperlukan metode lain yang lebih sensitif misalnya ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) yang telah dikembangkan untuk mendiagnosis infestasi F. Hepatica pada sapi dan domba (Farrel et al., 1981)

  ELISA merupakan metode yang digunakan untuk menguji keberadaan ternak, membutuhkan proses yang lama untuk menjadi serum dan sebagainya sehingga diperlukan bahan alternatif penganti serum untuk diagnosa noninvasif seperti saliva.

  Pada masa sekarang ini penggunaan saliva sebagai bahan deteksi telah banyak dilakukan yang dikarenakan saliva mengandung mineral, elektrolit, buffer, enzim dan inhibitor enzim, faktor pertumbuhan dan sitokinin, imunoglobulin, mucin, dan glikoprotein lainnya (Lawrence, 2002). Lawrence (2002) juga menambahkan bahwa saliva telah dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan diagnosis dini suatu penyakit yang noninvasif.

  Berdasarkan penjelasan di atas penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan saliva sebagai bahan uji biologis dalam upaya mendeteksi

  Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan metode ELISA.

MATERI DAN METODE

  Peneltian ini menggunakan saliva, feses dan darah yang dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali dari Kelompok Ternak Ngiring Datu Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara. Seadngkan Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan dan Laboratorium Imunobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram.

  Koleksi sampel

  Saliva dikoleksi langsung di dalam mulut ternak dengan menggunakan pipet disposeable. Pipet dimasukkan/diletakkan dibawah lidah sapi dan pipet ditekan agar saliva dapat terserap kemudian dimasukkan kedalam tabung falcon. Tabung falcon yang sudah terisi saliva dimasukkan ke dalam cool box setelah diberi kode dan cara yang sama juga dilakukan untuk sapi lainnya. Saliva yang sudah dikoleksi disentrifugasi menggunakan centrifuge ultra kemudian disimpan

  o pada suhu -20 C sampai saatnya digunakan.

  Darah dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali dengan menggunakan spuit/ tabung venoject dengan menusukkan spuit ke vena jugularis di leher sapi. Setelah darah dikoleksi, darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang sudah berisi kode dan disimpan di dalam cool box. Darah dibawa ke laboratorium untuk selam 3 menit. Setelah diserifugasi serum dikoleksi dan dipindahkan kedalam tabung eppendorf dengan mikropipet untuk disimpan dibawah suhu - 20 0C sampai serum siap digunakan.

  Feses dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali langsung dari dalam rektum sapi dengan menggunakan sarung tangan. Tangan dimasukkan kedalam rektum sapi sampai mendapatkan fesesnya atau istilah lain feses di rogoh langsung kedalam rektum. Setalah feses dikoleksi, kemudian ditambahkan formalin sebanyak 2 ml disimpan di dalam penyimpanan sementara yang telah diberi kode sampel, setelah itu feses dibawa ke laboratotrium untuk disimpan di frezer sampai feses digunakan untuk uji sedimentasi.

  Uji Sedimentasi

  Feses ditimbang sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam botol sampel 50 ml dan ditambahkan air. Agar feses hancur campuran diaduk dengan batang pengaduk, kemudian larutan disaring dengan saringan 200 µm dan masukkan dalam tabung kerucut dan tambahkan air secukupnya hingga penuh, suspensi didiamkan selama 5 menit kemudian cairan bagian atas dibuang dan menyisakan filtrat kurang lebih 10 ml. Air ditambahkan pada filtrat dalam tabung kerucut hingga penuh dan didiamkan selama 5 menit kemudian buang lagi cairan bagian atas dan sisakan 5 ml. Filtrat dituangkan kedalam cawan petri dan tambahkan setetes methylen blue kedalam sisa pengendapan. Filtrat yang telah diaduk-aduk diambil dengan pipet Pasteur dan memasukkan kedalam counting chamber “universal withlock” , diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 kali telur Fasciola berwarna kuning emas.

  UJI ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) Uji ELISA dilakukan dengan mengikuti prosedur Sriasih et al. (2005).

  Sebelum memulai prosedur terlebih dahulu membuat denah untuk memudahkan pekerjaan. Plate ELISA (96 sumuran) dilapisi (coating) dengan 50 µl (konsentrasi 5 dan 50 µg/ ml) cairan ES dan di inkubasikan selama semalaman pada suhu 4

  C. Setelah inkubasi, cairan ES dibuang dan lubang-lubang sumuran dicuci 5 kali menggunakan PBS yang mengandung 0,05% Tween 20 sebanyak 200 µl. Pada tiap-tiap lubang kemudian ditambahkan blocking buffer (skim milk kamar. Ulangi proses pencucian yang sudah dilakukan sebelumnya, kemudian ditambahkan 100 µl serum yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) dan saliva yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) kemudian inkubasi pada suhu

  37 C selama 1 jam. Setelah dicuci, 100 µl rabbit anti-bovine IgG horse-radish

  

peroxidase conjugate di tambahkan ke dalam lubang sumuran kemudian

  diinkubasikan selama 1 jam. Setelah inkubasi, buang cairan dalam sumuran, kemudian tambahkan 100 µl substrat (ABTS dalam 100 ml bufer sitrat) dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37

  C. Terakhir ditambahkan 100 µl stop solution pada masing-masing dan selanjutnya dilakukan pengukuran nilai Optical

  

Density (OD) dengan panjang gelombang 450 nm dengan menggunakan mesin

ELISA reader.

  Analisis Data

  Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dengan melihat perubahan warna plate.Secara kuantitatif data diolah dan dianalisis menggunakan statistik sederhana (Mean ± 3SD) Jika nilai OD sampel lebih besar dari pada cut off value maka sampel dinyatakan positif Fasciolosis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Salah satu upaya untuk memerangi Fasciolosis adalah dengan melakukan pencegahan. Pencegahan yang biasa dilakukan adalah dengan mendeteksi keberadaan cacing dalam tubuh ternak melalui pemeriksaan telur cacing dalam feses ataupun deteksi antigen dan antibodi yang terbentuk setelah infeksi.

  Sebanyak 12 sampel feses telah dikoleksi dan diuji dengan metode sedimentasi (Taylor, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8,3% (1 dari 12) ternak adalah positif Fasciolosis berdasarkan penemuan telur cacing (Gambar 1) di dalam feses.

  Gambar 1. Telur cacing F.gigantica Gambar 1 menunjukkan penemuan telur cacing yang telah berhasil

  ditemukan pada feses sapi sebanyak 1 butir. Menurut Lyndal-Murphy (1990) jumlah tersebut setara dengan 100 telur di dalam tubuh berdasarkan perhitungan 2n x 50 dimana n adalah jumlah telur yang ditemui. Akan tetapi menurut Dixon (1964) jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh empedu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.

  Pemeriksaan telur cacing memiliki beberapa kelemahan seperti metode ini hanya dapat digunakan pada ternak yang sudah kronis dan terdapat cacing dewasa di dalam saluran empedunya (Suhardono et al. 1991). Metode ini tidak dapat mendeteksi infeksi masa prepaten (8-10 minggu setelah infeksi) (Estuningsih et al. 2004) dan kurang sensitif dikarenakan telur yang diproduksi sedikit tidak beraturan dapat mempengaruhi hasil deteksi (Boray, 2007).

  Dengan demikian dibutuhkan metode yang lebih sensitif untuk mendeteksi Fasciolosis misalnya dengan mendeteksi antibodi dan antigen yang bersirkulasi dalam cairan tubuh ternak yang terinfeksi misalnya dengan metode ELISA. Antigen yang digunakan untuk melapisi plate adalah plate yang dibuat sendiri “In House” yang dilapisi dengan cairan ES (Eksretori/sekretori) dengan konsentrasi 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel serum, saliva, kontrol negatif dan kontrol positif adalah 100 dan 500 kali.

  Cairan ES merupakan antigen yang digunakan untuk melapisi plate ELISA karena cairan ES dapat memicu tanggap kebal inang definitif (McKeand et

  

al., 1995), Penggunaan antigen ES memiliki respon yang jauh lebih baik

  dibandingkan antigen somatik (Sethadavit, 2009 ; Kooshan et al. 2010). Hasil

  Hasil peneltian dinilai secara secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualtitatif plate ELISA dilihat dari perubahan warna (Gambar 2) ketika ditambahkan substrat dan stop solution. a b

  Gambar 2. a. Setelah Penambahan Substrat b. Setelah penambahan Stop

  solution Hasil pengamatan pada plate menunjukkan perubahan warna yang signifikan ketika penambahan subtrat (Gambar 2.a) dan stop solution (Gambar

  

2.b). Awad et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi setelah

  penambahan substrat akan menginduksi perubahan warna dari substratnya dan kemudian diukur oleh ELISA reader. Kresno (2001) menambahkan prinsip dasar reaksi ELISA adalah mengikat antibodi atau antigen yang akan dideteksi oleh antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim, enzim tersebut akan menghidrolisis substrat. Hidrolisis substrat ini akan menimbulkan perubahan warna dalam waktu tertentu dan dihentikan dengan menambahkan asam atau basa kuat untuk menghentikan reaksinya.

  Sedangkan penilaian secara Kuantitatif berdasarkan nilai Optical Density (OD) pada sampel uji, kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil Pemeriksaan ELISA (OD ) dengan uji serum berbagai konsentrasi dan pengenceran

  450nm

  disajikan pada Gambar 3. Nilai cut off value mempunyai nilai yang berbeda-beda pada masing-masing konsentrasi dan pengenceran yang dihitung dari rerata negatif minus blank ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

  2.5

  3 k k

  2.5

  2 lan lan B

  2 B

  1.5

  • - 1.5 -

  D D

1 O

  1 O

  0.5

  0.5 ata r ata r e e R R

  • 2

  3

  8

  13

  • 2

  3

  8

  13

  • 0.5

  

Kode Sampel Kode Sampel

  1

  2

  2

  2 k k

  1.5

  1.5 lan lan B B

  1

  1

  • - - D

  D

0.5 O

  O

  0.5 ata ata r r e e

  • 2

  3

  8

  13 R

  • 2 R

  3

  8

  13 Kode Sampel Kode Sampel

  3

  4 Gambar 3. Hasil pengukuran nilai OD serum. 1. ES 5 µg/ml + serum 100 x, 2. ES 5 µg/ml + serum 500 x, 3. ES 50 µg/ml + serum 100 x, 4. ES 50 µg/ml + serum 500 x = Sampel Serum = Kontrol Positif = cut off value

  Hasil pengukuran nilai OD berdasarkan uji ELISA menggunakaan antigen ES pada sampel serum menunjukkan 100% sampel positif karena nilai yang ditampakkan pada Gambar 3 berada di atas nilai batas ambang (cut off

  value) yang ditunjukkan dengan garis panjang horizontal

  Hasil uji serologis menggunakan ELISA pada penelitian ini menunujukkan semua serum ternak positif terinfeksi dengan prevalensi adalah 100%. Hal menarik ditunjukkan oleh serum nomor 9 pada plate konsentrasi 5 µg/ml pengenceran 100 kali dengan nilai absorbansi dibawah batas ambang. Rendahnya nilai OD pada serum 9 ini dapat disebabkan “human error” peneliti dalam memasukkan serum ke plate dan besar kemungkinan sampel yang diimasukkan adalah saliva dikarenakan nilai ODnya sama seperti sampel saliva.

  Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Estuningsih et

  al. (2004) menunjukkan bahwa diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan uji

  serologis menggunakan ELISA memiliki sensitivitas 91%. Hasil ini menunjukkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malawati (2013) bahwa sensitivitas ELISA menggunakan cairan ES adalah 100 %.

  Akurasi metode ELISA serum memungkinkan dapat diikuti oleh metode ELISA menggunakan cairan tubuh lainnya seperti saliva. Pada penelitian ini telah dikoleksi saliva untuk deteksi Fasciolosis dengan metode ELISA dengan prosedur yang sama seperti ELISA serum. Hasil pengukuran nilai OD saliva disajikan pada

  Gambar 4 dibawah ini:

  0.25

  0.1 k k

  0.2

  0.08 lan B lan -

  0.15

  0.06 B D

  • - O

0.1 D

  0.04 O ata

  0.05 r

  0.02 e ata r R e R

  • 3

  2

  7

  12

  • 3

  2

  7

  12

  • 0.02

  Kode Sampel Kode Sampel

  1

  2

  0.25

  0.14

  0.12

  0.2 k k

  0.1 lan lan

  0.15 B

  0.08 B

  • - -

  0.06 D

  0.1 D O

  O

  0.04

  0.05 ata

  0.02 r ata r e e R R

  • 0.02
  • 3

  2

  7

  12

  • 3

  2

  7

  12

  • 0.05
  • 0.04

  Kode Sampel Kode Sampel

  3

  4 Gambar 4. Hasil pengukuran nilai OD saliva. 1. ES 5 µg/ml + saliva 100 x, 2. ES 5 µg/ml + saliva 500 x, 3. ES 50 µg/ml + saliva 100 x, 4. ES 50 µg/ml + saliva 500 x = Sampel saliva = cut off value

  Hasil penelitian menunjukkan nilai absorbansi saliva bervariasi pada tiap pengencer dan konsentrasi antigen dengan melihat dari grafik bahwa nilai OD semakin tinggi pada tiap level konsentrasi. Konsentrasi antigen ES 5 µg/ml pengenceran 100 kali ternak positif terinfeksi sebanyak 7 ternak (Kode 2, 3, 5, 6, 8, 11 dan 12) sedangkan pada pengenceran 500 kali ternak yang positif ternak

  Sedangkan pada konsentrasi antigen 50 µg/ml dengan pengenceran 100 kali terdapat 2 ternak (kode 2 dan 8) terindikasi terjangkit Fasciolosis. Akan tetapi hal menarik ditunjukkan oleh pembacaan hasil pada pengenceran 500 kali tidak ada ternak yang positif terinfeksi dikarenakan nilai OD dibawah batas ambang. Hal ini mengindikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi antigen dan pengenceran saliva, tidak dapat terbaca oleh ELISA reader.

  Melihat OD pada saliva yang bervariasi, hasil pembacaan oleh ELISA reader yang paling banyak diatas batas ambang adalah saliva dengan pengenceran 100 kali. Hal ini mengindikasi bahwa dengan pengenceran yang lebih tinggi, antibodi pada saliva tidak dapat berinteraksi dengan antigen ES, seperti yang

  • 1
    • – dilaporkan oleh Handerson, (2013) jika saliva yang diencerkan pada kisaran 10

  • 3

  10 menyatakan hanya pada pengenceran 1:10 yang dapat mendeteksi CWD (Chronic Wasting Disease).

  Selain pengaruh pengenceran, tingkat konsentrasi antigen dalam melapisi

  

plate juga mempengaruhi, karena pada konsentrasi 5 µg/ml saliva masih dapat

  mendeteksi Fasciolosis sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi, OD saliva lebih rendah dari pada cutt off value walaupun ada 2 ternak positif terinfeksi dengan pengenceran 100 kali. Pengaruh konsentrasi antigen untuk melapisi plate ELISA mempunyai dampak terhadap hasil pengukuran OD seperti yang dilaporkan oleh Stewart et al. (1990) yang menyatakan bahwa konsentrasi yang paling baik berada pada kisaran 1-10 µg/ml.

  Hasil penelitian lain menggunakan saliva sebagai bahan uji untuk mendeteksi penyakit telah banyak. Menurut Brantzaeg (2007) menyatakan terdapat dua jenis antibodi yang ada dalam saliva yaitu immunoglobulin A dan G (IgA dan IgG). Kandungan IgG dalam saliva dapat mendeteksi antigen yang disebabkan oleh infeksi parasit cacing Taenia solium dan tidak hanya itu saliva juga dapat mendeteksi intracerebral pada pasien cysticercosis (Acosta, 1990).

  Hasil penelitian tentang uji saliva untuk deteksi Fasciolosis ini memberikan informasi baru yang cukup membantu karena saliva masih dapat mendeteksi keberadaan F. gigantica pada masa prepaten walaupun kurang sensitif dibandingkan dengan uji serologis. Walaupun demikian masih perlu peningkatan

  

KESIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua ternak sampel adalah 100% positif Fasciolosis pada uji ELISA”In House”. Sedangkan uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu 16 -58% ternak yang dinyatakan positif. Hasil ini mengindikasi bahwa uji biologis menggunkan saliva dapat digunakan untuk deteksi Fasciolosis walaupun kurang sensitif seperti uji serologis.

DAFTAR PUSTAKA

  from patients with neurocysticercosis,” Journal of Clinical Laboratory Analysis, vol. 4, no. 2, pp. 90–94.

  Boray JC. 2007. Liver fluke disease in sheep and cattle. Prime Fact 446: 1–10. Brandtzaeg, P. 2007. “Do salivary antibodies reliably reflect both mucosal and systemic immunity?Annals of the New York Academy of Sciences, vol.

  1098, pp. 288–311. Burgess, Graham W. 1988. Elisa Technology In Diagnosis and Research. James Cook University of North Queensland.

  Dixon, K.F. 1964. The relative suitability of sheep and cattle as host for liver fluke Fasciola hepatica. J. Helmint. 38:203-212. Estuningsih SE, Widjajanti S, Adiwinata G. 2004. Perbandingan antara uji

  ELISA-Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi. JITV. 9:55-60.

  Farrell, C.J., D.T. Shen and R.B. Webcott. 1981. An enzyme-linked

  Acosta, E. 1990. “Antibodies to the metacestode of Taenia solium in the saliva

  Kooshan, M., G.R. Hashemi and A. Naghibi. 2010. Use of somatic and secretory-

  Excretory antigen of Fasciolosis hepatica in diagnosis of sheep by

ELISA. american-eurasian J. Agric. & Environ, Sci. 7 (2): 170-175

  Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-4.

  Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Lawrence HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of

  disease and monitoring of general health. J Can Dent Assoc, 2002; 68(3): 170-4.

  Malawati, I. 2013. Sensitivitas dan Spesifisitas ELISA menggunakan komponen

  cairan eksretory dan sekretorycacing Fasciola gigantica untuk deteksi Fasciolosis pada sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas

  Mataram. Mataram Mitchell GBB. 2007. Liver Fluke. Edisi ke-4. London: Blackwell. Murphy, E. G., Regulatory Aspects of Sunscreen in United Stated in N. J. Lowe

  immunosorbent assay for diagnosis of Fasciola hepatica infection in cattle. Am. J. Vet. Res. 42: 237-240. Sriasih, M., E. Yulianti, Khalid. 2005. Penggunaan Hasil Ekskresi/Sekresi Fasciola gigantica sebagai antigen untuk deteksi Fasciolosis pada sapi.

  Laporan Penelitian. Hibah UPT MIPA-UNRAM. Suhardono. 1997 . Epidemiology and control of Fasciolosis by Fasciola gigantica

  in ongole cattle in West Java. Ph.D Thesis . James Cook University of North Queensland, Australia.

  Sulityowati A. 2002. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali.

  http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/16/ekor/2656300.html (27 januari 2015).

  Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007.Veterinary Parasitology. Ed ke-3. UK: Blackwell Publishing.

Dokumen yang terkait

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 18

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Manajemen

0 0 17

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 12

TUGAS AKHIR Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 15

KANDUNGAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT PAKAN TERNAK DENGAN ADDITIF DEDAK JAGUNG PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan

0 0 11

STRUKTUR POPULASI DAN PERSENTASE WARNA BULU SAPI BALI YANG MENYIMPANG DARI WARNA BULU STANDAR BIBIT DI KOTA MATARAM PUBLIKASI ILMIAH untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada

0 0 15

FISIOLOGI NUTRISI ABOMASUM SAPI BALI JANTAN PUBLIKASI ILMIAH Diserahkan Guna Memenuhi Sebagian Syarat yang Diperlukan Untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Peternakan pada Program Studi Peternakan

0 1 11

SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS ELISA MENGGUNAKAN KOMPONEN CAIRAN EKSKRETORI SEKRETORI CACING Fasciola gigantica UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN JURUSAN T

0 0 12

1 KERAGAMAN LOKUS HEMOGLOBIN ( Hb) PADA AYAM KAMPUNG KULIT KUNING HASIL PERSILANGAN MENGGUNAKAN PEJANTAN DARI LOMBOK TIMUR PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan

0 0 15

POLA INFESTASI CACING HATI (Fasciola sp.) PADA SAPI BALI PUBLIKASI ILMIAH Diserahkan Guna Memenuhi Sebagian Syarat Yang Diperlukan untuk Mendapatkan Derajat Sarjana Peternakan pada Program Studi Peternakan

0 0 13