SKRIPSI PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

  SKRIPSI PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA Oleh: YOSI DHEMAS LARASATI UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA 2015

  SKRIPSI PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA Oleh: YOSI DHEMAS LARASATI NIM. 101111373 UNIVERSITAS AIRLANGGA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA 2015

  i PENGESAHAN Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi

  Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.) pada tanggal 28 Juli 2015

  Mengesahkan Universitas Airlangga

  Fakultas Kesehatan Masyarakat Dekan, Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S.

  NIP 195603031987012001 Tim Penguji 1. Siti Rahayu Nadhiroh, S.KM., M.Kes.

2. Sho’im Hidayat, dr., M.S.

  3. Terubus, S.Kep., Ns., M.KKK ii

  SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar

  Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.) Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

  Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

  Oleh : YOSI DHEMAS LARASATI NIM 101111373

  Surabaya, 7 Agustus 2015 Mengetahui, Menyetujui, Ketua Departemen, Pembimbing, Mulyono, S.KM., M.Kes.

  Sho’im Hidayat dr., M.S. NIP 195509191981031003 NIP 195411271985021001 iii

SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Yosi Dhemas Larasati NIM : 101111373 Program Studi : Kesehatan Masyarakat Fakultas : Kesehatan Masyarakat Jenjang : Sarjana (S1)

  Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang berjudul:

  “PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

  Apabila suatu saat nanti terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah diterapkan. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

  Surabaya, 14 Juli 2015 Yosi Dhemas Larasati

  NIM 101111373 iv

KATA PENGANTAR

  Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

  ” sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

  Dalam skripsi ini dijabarkan tentang analisis pengaruh debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja di bagian boiler PT X. Berdasarkan hasil pengukuran faal paru dan hasil pengukuran kadar debu di bagian boiler serta dibandingkan dengan kondisi faal paru pekerja bagian lain yang tidak terpapar debu batubara, maka akan dapat diketahui seberapa besar potensi paparan debu batubara tersebut untuk menimbulkan risiko gangguan faal paru pada pekerja.

  Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sho’im

  Hidayat, dr., M.S., selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, koreksi, dan saran serta memberikan waktunya untuk berdiskusi melalui pertemuan langsung hingga terwujudnya skripsi ini.

  Terima kasih penulis sampaikan pula kepada yang terhormat:

  1. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

  2. Mulyono, S.KM., M.Kes., selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

  3. Ibu, Bapak, Mas Bimo, dan nenek yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.

  4. Jajaran direksi PT X yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di PT X.

  5. EHFS Team PT X Surabaya, yaitu Bapak Arifin, Pak Intaha, Mas Dedy, Mas Ardi, Pak Parno, Pak Choirudin, Pak Kosim, Mas Sihab, Mas Dany, Pak Ali, dan Pak Yanto yang telah memberikan arahan dan bantuan selama penelitian.

  6. Bapak Benny dan Bapak Muslikan serta seluruh responden yang terhormat, terimakasih atas waktu dan kesediaan membantu penelitian ini.

  7. Ibu Diah dan Ibu Mahmudah yang dengan sabar memberikan bimbingan statistik.

  8. Sahabat RAS (Risnia, Fara, Marta, Windy, Denov, Santi, Olin, Oma Ifa, Zia, dan Fenty), Rezza, Marcel, dan Dewi, Adyra, Azzah, Budi, Kirwan, Laila, Tutus, dan Clairine yang selalu membantu dan menemani di segala situasi.

  9. Teman-teman seangkatan 2011 FKM UA.

  Semoga Allah SWT. memberikan kebaikan atas segala amal yang telah diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkan.

  Surabaya, Juli 2015 v

  ABSTRACT

  Coal dust can cause impaired lung function and even pneumoconiosis which led to irreversible lung damage. PT X is one of the industries that use coal as the fuel for its boiler.

  Boiler unit’s workers have the risk of impaired lung function because of the long-term inhalation of coal dust. The objective of this study was to analyze the effect of coal dus t exposure to the worker’s lung function.

  This was a desciptive study with cross sectional design. Data was collected by giving questionnaires, dust levels measurement, and the lung function test. The population of this study were 11 workers at boiler unit and 11 workers at packaging warehouse office. Data was analyzed by multiple linear regression to determine the most dominant variable.

  The boiler unit ’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office

  ’s workers to experience impaired lung function. But, the coal dust effect to that damage might be low. The average of the coal dust level at boiler unit

  3

  was 0,4174 mg/m . The multiple linear regression showed the most dominant factor that affected to the %FEV

  1

  value of boiler unit’s workers was the cigarette dose (β=

  • 0,522) and the exercise habits (

  β= -0,779) for %FVC value. Besides, the most dominant factor that affected to the %FEV

  1

  value of packaging warehouse’s workers was age (β= -0,515) and duration of employment (β= 0,595) for %FVC value.

  The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office’s workers to experience impaired lung function even though the effect of coal dust exposure estimated was low. Workers at boiler unit that have impaired lung function must be rotated to another workplace where there is no coal dust exposure and highly recommended that they have to stop smoking.

  Key words : lung function, coal dust, smoking habit vi

  ABSTRAK

  Batubara adalah bahan bakar fosil yang berpotensi menghasilkan debu batubara yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru hingga penyakit pneumokoniosis. PT X merupakan salah satu industri di Surabaya yang menggunakan mesin boiler berbahan batubara sehingga pekerja di bagian tersebut yang menginhalasi debu batubara dalam waktu lama berisiko mengalami gangguan faal paru. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif dengan rancang bangun

  cross sectional . Data penelitian ini didapatkan dengan memberikan kuisioner,

  pengukuran kadar debu di bagian boiler PT X, serta tes faal paru. Populasi penelitian ini adalah 11 pekerja bagian boiler dan 11 pekerja bagian kantor

  packaging warehouse . Data dianalisis menggunakan regresi linier dengan membaca nilai koefisien regresi.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja bagian boiler tiga kali lebih berisiko mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja bagian kantor

  packaging warehouse . Namun, pengaruh paparan debu batubara terhadap gangguan

  faal paru tersebut diperkirakan kecil. Kadar debu rata-rata di bagian boiler adalah

  3

  0,4174 mg/m . Hasil analisis regresi linier menunjukkan faktor yang paling dominan mempengaruhi status faal paru responden bagian boiler adalah dosis rokok untuk %FEV

  1 (β= -0,522) dan kebiasaan olahraga untuk %FVC (β= -0,779).

  Sedangkan, pada responden bagian kantor packaging warehouse yang paling dominan mempengaruhi nilai %FEV

  1

  adalah usia (β= -0,515) dan masa kerja untuk nilai %FVC (β= 0,595).

  Kesimpulan dari penelitian ini adalah pekerja di bagian boiler berisiko tiga kali lebih besar untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di bagian kantor packaging warehouse meskipun pengaruh debu batubara terhadap gangguan tersebut kemungkinannya rendah. Pihak manajemen PT X harus memindahkan pekerja bagian boiler yang mengalami gangguan faal paru ke lokasi kerja lain yang tidak terdapat paparan debu dan menyarankan pekerja di bagian boiler untuk berhenti merokok.

  Kata kunci: status faal paru, debu batubara, kebiasaan merokok vii

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL i

  HALAMAN PENGESAHAN ii

  HALAMAN PERSETUJUAN iii

  SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS iv KATA PENGANTAR v

  ABSTRACT vi

  ABSTRAK vii

  DAFTAR ISI viii

  DAFTAR TABEL x

  DAFTAR GAMBAR xi

  DAFTAR LAMPIRAN xii

  DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiii

  BAB I PENDAHULUAN

  1

  1.1 Latar Belakang Masalah

  1

  1.2 Identifikasi Masalah

  6

  1.3 Rumusan Masalah

  8

  1.4 Tujuan Penelitan

  8

  1.4.1 Tujuan Umum

  8

  1.4.2 Tujuan Khusus

  8

  1.5 Manfaat Penelitian

  9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  10

  2.1 Debu

  10

  2.1.1 Pengertian Debu

  10

  2.1.2 Jenis-Jenis Debu

  11

  2.1.3 Sifat-Sifat Debu

  12

  2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan

  12

  2.2 Batubara

  16

  2.2.1 Pengertian Batubara

  16

  2.2.2 Jenis-jenis Batubara

  17

  2.2.3 Karakteristik Batubara

  18

  2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara

  20

  2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara

  21

  2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia

  23

  2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia

  23

  2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia

  27

  2.3.3 Patofisiologi

  29

  2.4 Pemeriksaan Faal Paru

  30

  2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru

  34 BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

  40 BAB IV METODE PENELITIAN

  42

  4.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian

  42 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .

  42

  4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

  42

  4.3.1 Populasi Penelitian

  42

  4.3.2 Sampel Penelitian

  43 viii

  4.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Cara Pengukuran

  43

  4.5 Teknik dan Instrumen pengumpulan data

  46

  4.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

  51

  4.6.1 Teknik Pengolahan Data

  51

  4.6.2 Teknik Analisis Data

  52 BAB V HASIL PENELITIAN

  53

  5.1 Gambaran Umum PT X

  53

  5.1.1 Profil PT X

  53

  5.1.2 Kegiatan di Bagian Boiler dan Packaging WH PT X

  54

  5.2 Gambaran dan Perbedaan Karakteristik Responden

  55

  5.2.1 Usia Responden

  56

  5.2.2 Masa Kerja Responden

  57

  5.2.3 Status Gizi Responden

  58

  5.2.4 Kebiasaan Merokok Responden

  59

  5.2.5 Kebiasaan Olahraga Responden

  60

  5.3 Hasil Pengukuran Kadar Debu Batubara

  61

  5.4 Gambaran Status Faal Paru Responden

  63

  5.5 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1 dan %FVC Responden di PT X

  64 BAB VI PEMBAHASAN

  68 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

  78

  7.1 Kesimpulan

  78

  7.2 Saran

  78 DAFTAR PUSTAKA

  80 LAMPIRAN

  83 ix

  DAFTAR TABEL

  Nomor Judul tabel Halaman

  2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Faal Paru Berdasarkan Balai

  33 UPTK3 Surabaya

  4.1 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran

  43

  5.1 Distribusi Usia Responden di PT X Tahun 2015

  56

  5.2 Gambaran Perbedaan Statistik Usia Responden di PT X

  56 Tahun 2015

  5.3 Distribusi Masa Kerja Responden di PT X Tahun 2015

  57

  5.4 Gambaran Perbedaan Statistik Masa Kerja Responden di PT

  57 X Tahun 2015

  5.5 Distribusi Status Gizi Responden di PT X Tahun 2015

  58

  5.6 Gambaran Perbedaan Statistik IMT Responden di PT X

  59 Tahun 2015

  5.7 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Status Perokok

  59 Responden di PT X Tahun 2015

  5.8 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Dosis Rokok

  60 Responden di PT X Tahun 2015

  5.9 Distribusi Kebiasaan Olahraga Responden di PT X Tahun

  61 2015

  5.10 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Area Boiler Batubara PT

  61 X Tahun 2015

  5.11 Frekuensi Keluhan Subjektif Responden di PT X Tahun

  62 2015

  5.12 Distribusi Status Faal Paru Responden di PT X Tahun 2015

  63

  5.13 Gambaran Perbedaan Statistik % FEV

  1 dan %FVC

  64 Responden PT X Tahun 2015

  1

  5.14 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV

  65 dan %FVC pada Kelompok Terpapar dan Tidak Terpapar Debu Batubara di PT X, Tahun 2015 x

  DAFTAR GAMBAR

  Nomor Judul Gambar Halaman

  2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan 34 restriktif ekstraparenkimal dengan keterbatasan pada inspirasi dan ekspirasi. xi

DAFTAR LAMPIRAN

  6 Kuisioner Penelitian

  10 Dokumentasi Penelitian 109

  96

  9 Output SPSS

  94

  8 Hasil Pemeriksaan Faal Paru

  93

  7 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Bagian Boiler

  90

  xii

  Nomor Judul Lampiran Halaman

  5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

  86

  4 Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian

  85

  3 Sertifikat Laik Etik

  84

  2 Surat Izin Penelitian dari PT X

  84

  1 Surat Izin Penelitian dari FKM Universitas Airlangga

  89

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

  • = tambah
    • = negatif/kurang ≤ = kurang dari sama dengan > = lebih dari β = koefisien regresi β

  xiii

  Daftar Arti Lambang % = Persen / = per

  = Intercept Daftar Singkatan ACGIH = American Conference of Governmental Industrial Hygienist APP = Alat Pelindung Pernapasan CDC = Centers for Disease Control and prevention FEV

  1 = Forced Expiration Volume 1 second

  FVC = Forced Vital Capacity

  VC = Vital capacity TLC = Total Lung Capacity

  VT = Volume Tidal ERV = Expiration Residual Volume

  IRV = Inspiration Residual Volume RV = Residual Volume

  IC = Inspiratory Capacity FRV = Functional Residual Volume NAB = Nilai Ambang Batas MVV = Maximal Voluntary Ventilation

  ILO = International Labour Organization

  IMT = Indeks Masa Tubuh NIOSH = National Institute of Occupational Safety and Health SCBA = Self-Contained Breathing Apparatus SNI = Standar Nasional Indonesia COPD = Chronic Obstructive Pulmonary Disease

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Batubara adalah material mudah terbakar berwarna coklat sampai kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun bebatuan selama jutaan tahun. Batubara merupakan bahan bakar fosil yang jumlahnya paling melimpah sehingga sering digunakan sebagai bahan bakar mesin ketel uap (boiler) di industri. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar tersebut menghasilkan debu yang menjadi salah satu sumber polutan udara di kawasan industri. Paparan debu batubara setiap hari dalam waktu lama dapat menimbulkan penyakit akibat kerja berupa gangguan saluran pernapasan hingga penyakit pneumokoniosis (Government of Alberta, 2010).

  Beberapa negara di dunia telah menetapkan NAB untuk debu batubara.

  3

  3 Angkanya bervariasi, US menetapkan 2 mg/m , di Turki 5 mg/m , dan di United

3 Kingdom 7 mg/m . Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk

  3

  3

  batubara sesuai jenisnya, yaitu 0,4 mg/m untuk jenis anthracit dan 0,9 mg/m

  3

  jenis bituminous. Standar internasional menganut ketetapan 2 mg/m sebagai NAB debu batubara (Onder dkk, 2009). Semua ketetapan tersebut lebih rendah dibanding dengan ketetapan NAB debu umum karena debu batubara lebih berbahaya dibandingkan debu secara umum. Peraturan SNI 19-0232-2005 tentang NAB zat kimia di udara tempat kerja juga menyebutkan NAB untuk debu

  3

  batubara adalah 2 mg/m . Namun, banyak industri di Indonesia yang masih

  1 mengacu pada NAB debu secara umum yang tercantum dalam Permenakertrans Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang NAB faktor fisika dan kimia di tempat

  3

  kerja, yaitu 10 mg/m , untuk area boilernya yang menggunakan batubara. Hal itu membuat kemungkinan kadar paparan debu batubara di berbagai tempat kerja di

3 Indonesia lebih tinggi dari 2 mg/m sehingga peluang terjadinya gangguan saluran pernapasan terhadap pekerjanya lebih tinggi.

  Gangguan saluran pernapasan yang dialami oleh pekerja yang terpapar debu batubara secara berulang dalam waktu lama dapat berupa obstruksi, restriksi, maupun campuran keduanya. Obstruksi merupakan efek nonspesifik dari paparan debu batubara karena obstruksi dapat pula terjadi karena paparan selain debu batubara. Obstruksi dapat terjadi jika debu yang terhirup menumpuk di jaringan epitel saluran pernapasan dan menyebabkan inflamasi. Akibat inflamasi tersebut saluran pernapasan menyempit sehingga aliran udara terhambat. Debu batubara bersifat fibrogenik dapat menimbulkan efek spesifik berupa fibrosis jaringan interstisial paru, yaitu pembentukan jaringan ikat fibrosa yang dapat menurunkan elastisitas alveolus. Penurunan elasititas alveolus ini membuat volume udara yang ditampung alveolus berkurang sehingga terjadi restriksi paru (Suyono, 1995).

  Restriksi paru merupakan salah satu indikasi terjadinya penyakit pneumokoniosis. Debu asbes, silika, dan batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja kronis yang disebabkan oleh inhalasi debu batubara dalam waktu lama, dimana memicu terjadinya inflamasi alveolus dan akhirnya menghasilkan kerusakan paru (CDC, 2012). Pneumokoniosis pada pekerja yang terpapar debu batubara disebut coal

  workers’ pneumokoniosis atau antrakosis. Prevalensi antrakosis diperkirakan akan

  meningkat seiring dengan terus meluasnya area pertambangan batubara dan perkembangan industri. Pada debu batubara sering terdapat pula debu silika sehingga risiko terjadinya pneumokoniosis menjadi lebih besar. Fibrosis pada antrakosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berhenti progresivitasnya meskipun paparan debunya sudah dihilangkan sehingga sering berujung pada kematian akibat kegagalan fungsi paru (Susanto, 2011).

  Pemeriksaan untuk diagnosis antrakosis umumnya mahal dan rumit sehingga jarang industri yang memfasilitasi pemeriksaan tersebut untuk pekerjanya yang terpapar batubara. Hal itu membuat jumlah kasus antrakosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Terdapat tiga cara diagnosis, yaitu pemeriksaan faal paru, analisis debu penyebab, dan pemeriksaan radiologi.

  Pemeriksaan faal paru merupakan cara diagnosis yang paling sering dilakukan dibandingkan yang lainnya karena lebih murah dan mudah (Susanto, 2011).

  Analisis debu penyebab dilakukan untuk melihat debu mineral atau produk metabolismenya yang terdapat dalam makrofag. Pemeriksaan radiologi dengan foto toraks dan CT scan untuk melihat gambaran fibrosis yang terjadi dan ada tidaknya opasitas halus pada zona paru atas yang merupakan ciri dari antrakosis.

  Pemeriksaan faal paru dilakukan dengan menggunakan spirometri. Spirometri dapat menunjukkan kapasitas volume paru seseorang sehingga dapat mendeteksi obstruksi, restriksi, maupun campuran keduanya. Antrakosis berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis pada paru. Namun, pemeriksaan dengan spirometri ini tidak dapat memberikan kepastian bahwa gangguan faal paru yang terjadi merupakan akibat dari paparan debu batubara atau bukan (Susanto, 2011).

  Data tentang prevalensi antrakosis bervariasi di tiap negara di dunia. Hasil penelitian di Amerika menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kematian akibat antrakosis pada pekerja tambang batubara, yaitu 471 kasus pada tahun 2008 menjadi 486 kasus pada tahun 2010 (CDC, 2014). Usia pekerja yang terkena antrakosis berat relatif masih muda, yaitu dibawah 50 tahun (NIOSH, 2011). Di China, kasus antrakosis sebesar 48% dari total kasus pneumokoniosis (Liu dkk, 2009). Di Australia, terdapat lebih dari 1000 kasus pneumokoniosis dimana 6%- nya merupakan pneumokoniosis batubara (Smith dan Leggat, 2006).

  Di Indonesia, data nasional tentang prevalensi antrakosis masih belum ada. Data yang ada masih terbatas pada penelitian-penelitian berskala lokal pada berbagai industri yang berisiko terjadi gangguan saluran pernapasan akibat batubara. Prevalensi gangguan saluran pernapasan pada pekerja suatu tambang batubara, yaitu 6% obstruksi dan 7,8% restriksi (Razi dkk, 2008). Sebesar 54,9% pekerja yang berada di bagian coal handling PT PJB unit pembangkit Paiton mengalami gangguan faal paru restriktif (Puspita, 2011). Hasil penelitian lain pada pekerja boiler batubara di PT Indo Aciditama Tbk. sebanyak 25% mengalami restriksi ringan, 65% mengalami restriksi sedang, dan 10% lainnya normal (Asna, 2013). Semua hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat pekerja yang mengalami restriksi paru dan berhubungan dengan paparan debu batubara. Hal tersebut tidak dapat diabaikan bahwa kemungkinan pekerja tersebut dapat mengalami antrakosis.

  Mengingat bahwa gangguan faal paru akibat inhalasi debu batubara bersifat irreversible dan dapat berujung fatal, maka mencegah terjadinya paparan terhadap debu batubara merupakan hal terpenting. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan penyemprotan air di area penyimpanan batubara, pengaturan ventilasi yang bagus, serta regulasi penggunaan alat pelindung pernapasan. Selain itu juga harus ada program surveilens kesehatan melalui pemeriksaan faal paru pekerja yang berfungsi untuk diagnosis dini sebagai langkah pencegahan selanjutnya. Diagnosis dini bermanfaat agar gangguan faal paru yang terdeteksi segera mendapatkan perawatan untuk mencegah atau memperlambat progesivitas fibrosis parunya. (Fiswick, 2008).

  Telah lama diketahui bahwa pekerja yang bekerja di area berdebu seperti pengolahan batubara lebih mungkin megalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di area lain (Jones dkk, 2002). PT X merupakan salah satu industri yang mempunyai dua buah boiler berbahan bakar batubara yang beroperasi penuh selama 24/hari. Sebesar 11 orang pekerja boiler PT X yang terbagi ke dalam tiga shift kerja setiap harinya terpapar langsung debu batubara ketika loading-

  unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan

  pembersihan stop plant boiler. Pekerja di bagian boiler tersebut tidak semuanya patuh menggunakan respirator secara rutin saat bekerja sehingga risiko mengalami gangguan faal paru lebih tinggi. Namun, tidak menutup kemungkinan pekerja di bagian lain yang tidak terpapar debu batubara langsung juga mengalami gangguan faal paru. Hal tersebut karena kondisi faal paru seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang meliputi karakteristik individu. Karakteristik individu terdiri dari umur, ukuran tubuh, masa kerja, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga (Harrington, J.M dan Gill, 2005).

  Pada masa anak-anak hingga usia 24 tahun paru manusia masih berkembang seiring pertambahan usia. Namun, pada usia 30 tahun biasanya fungsi paru sudah mulai menurun secara gradual sekitar 20 ml tiap tahunnya (Guyton, 1997). Merokok dapat mengakibatkan hipertrofi sel mukosa dan bertambahnya kelenjar mukus sehingga terjadi obstruksi saluran pernapasan.

  Orang yang merokok dengan dosis ≥ 20 batang perhari berisiko enam kali lipat terkena bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok (Menezes dkk, 1994). Interpretasi hasil pemeriksaan fungsi paru pekerja harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut untuk menentukan gangguan fungsi paru yang terjadi disebabkan oleh paparan debu batubara atau bukan.

1.2 Identifikasi Masalah

  PT X adalah industri manufaktur dan agribisnis yang memproduksi minyak goreng dan margarin dari crude palm oil (CPO). PT X menggunakan dua buah boiler dengan bahan bakar batubara untuk menghasilkan uap panas bagi mesin produksi di refinery 1, refinery 2 dan refinery 3. Sebanyak 11 orang pekerja di bagian boiler yang terbagi ke dalam 3 shift, mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di PT X pada bagian lain karena setiap hari terpapar debu batubara langsung pada saat melakukan loading-

  unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan pembersihan stop plant boiler.

  Data dari laporan hasil pengukuran debu semester II tahun 2014 PT X menunjukkan konsentrasi debu dan partikulat di area boiler batubara < 0,001 mg/

  3

  3

  m , di cerobong batubara 210 mg/Nm , dan pada gudang penyimpanan batubara

  3

  0,033 mg/Nm . Meskipun kadar debu yang terukur masih di bawah NAB, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pekerja dibagian boiler yang bertahun-tahun terpapar debu batubara mengalami gangguan faal paru. Gangguan faal paru diawali dengan adanya gejala gangguan sistem pernapasan. Kemungkinan pekerja bagian boiler mengalami gangguan faal paru tersebut diperkuat oleh data hasil monitoring kesehatan rutin maupun data kunjungan karyawan ke poliklinik perusahaan selama Maret 2014 - Maret 2015 yang menunjukkan bahwa keluhan penyakit tertinggi pekerja adalah ISPA.

  Menurut Suma’mur (2011), gejala pada gangguan faal paru atau pneumokoniosis antara lain batuk kering, sesak napas, banyak dahak, dan kelelahan umum dimana gejala tersebut mirip dengan ISPA.

  Selama ini belum ada data mengenai pemeriksaan kesehatan khusus terhadap faaal paru pekerja bagian boiler PT X. Berdasarkan Permenaker Trans No. Per.02/MEN/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja, terdapat kewajiban melakukan pemeriksaan kesehatan khusus yang dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja tertentu. Pemeriksaan kesehatan khusus tersebut dapat dilakukan pada tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu mengenai gangguan kesehatannya.

  Selain karena paparan debu batubara, gangguan faal paru pekerja juga dipengaruhi oleh faktor karakteristik pekerja yang meliputi usia, masa kerja, lama paparan, status gizi, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan alat pelindung pernapasan, kebiasaan olah raga, dan riwayat penyakit saluran pernapasan. Oleh karena itu, sebagai pembanding kondisi faal paru pekerja bagian boiler yang terpapar langsung debu batubara diperlukan pemeriksaan terhadap kondisi faal paru pekerja lain yang tidak terpapar langsung oleh debu batubara, yaitu pekerja bagian kantor packaging warehouse, sehingga dapat terlihat risiko relatif gangguan faal paru pada pekerja bagian boiler dibandingkan dengan pekerja di bagian lain.

  1.3 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat d irumuskan permasalahannya yaitu “Apakah terdapat pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pada pekerja di PT X Surabaya

  ?”.

  1.4 Tujuan Penelitian

  1.4.1 Tujuan Umum

  Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X Surabaya.

  1.4.2 Tujuan Khusus

  Adapun tujuan khusus pada penelitian ini, antara lain:

  1. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga) bagian boiler dan bagian

  packaging warehouse PT X.

  2. Mengidentifikasi konsentrasi paparan debu di bagian boiler dan bagian packaging warehouse PT X.

  3. Mengidentifikasi gambaran faal paru pekerja di bagian boiler dan bagian PT X.

  packaging warehouse

  4. Menganalisis pengaruh paparan debu batubara, umur, masa kerja, status gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga terhadap status faal paru pekerja di bagian boiler dan bagian packaging warehouse PT X.

1.5 Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak, antara lain:

  1. Bagi perusahaan Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai kondisi faal paru perkerja yang terpapar debu batubara dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi faal paru tersebut sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk program kesehatan terkait faal paru pekerja.

  2. Bagi penulis Melatih kemampuan dalam menganalisis permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja serta menambah wawasan peneliti tentang pengaruh paparan debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja.

  3. Bagi institusi pendidikan Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi tambahan bagi penelitian-penelitian terkait pada masa mendatang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debu

2.1.1 Pengertian Debu

  Debu adalah partikel zat kimia padat yang terbentuk akibat adanya kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, penghalusan, pengepakan secara cepat, peledakan dan sejenisnya dari suatu benda organis maupun anorganis, misalnya batubara, kayu, bijih logam, kapur, dan batu. Sifat debu tersebut adalah tidak berflokulasi (tidak menggumpal) kecuali jika ada gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan dapat mengendap akibat adanya gaya gravit asi bumi (Suma’mur, 2011). Menurut definisi IUPAC (1990), selain karena aktifitas mekanis manusia, debu dapat tersebar di udara karena adanya kekuatan alam seperti angin dan letusan gunung berapi. Partikel debu tersebut biasanya berdiameter antara 1 – 100 µm.

  Lewis (1998) mendefinisikan debu berdasarkan ukuran dan sifatnya yaitu partikel kering yang halus atau bubuk yang ringan sehingga dapat melayang- layang di udara dalam beberapa waktu. Partikel debu berdiameter < 10 µm dan mempunyai sifat toksik dapat berbahaya jika terhirup dalam saluran pernapasan.

  Sedangkan dalam ilmu pencemaran udara, debu difinisikan sebagai partikel yang paling berpengaruh besar terhadap pencemaran udara. Sifat kimia dan sifat fisik debu tidak berbeda dengan zat asal debu tersebut.

  10

2.1.2 Jenis-jenis Debu

  Menurut Mengkidi (2006), jenis debu dapat dikelompokkan berdasarkan akibat fisiologisnya terhadap manusia atau tenaga kerja yang terpapar debu sesuai tingkat bahayanya, antara lain:

  1) Debu fibrogenik, yaitu debu yang dapat menyebabkan fibrosis pada sistem pernapasan. Contohnya adalah debu silika, debu asbes, timah putih, dan batubara. 2) Debu karsinogenik, yaitu debu yang dapat merangsang terbentuknya sel kanker. Contohnya debu hasil peluruhan radon, arsenik, dan asbes.

  3) Debu-debu yang mempunyai sifat toksik terhadap organ atau jaringan tubuh. Contohnya debu mercury, uranium, radium, torium, mangan, timbal, arsen, selenium, nikel, dan perak. 4) Debu radioaktif, yaitu debu yang mempunyai radiasi alfa dan beta.

  Contohnya bijih-bijih torium, uranium, dan radium. 5) Debu eksplosif, yaitu debu yang mudah meledak pada suhu atau kondisi teertentu. Contohnya debu metal. Batubara, bijih sulfida, dan debu organik. 6) debu inert (nuisance dust), yaitu debu yang mengandung < 1% kuarsa.

  Debu jenis ini dapat mengganggu kenyamanan dalam bekerja, menimbulkan iritasi pada kulit dan selaput lendir, serta dapat mengganggu pandangan mata. Kandungan kuarsanya yang rendah membuat debu jenis ini tidak dapat menyebabkan fibrosis paru. Contoh nuisance dust adalah debu dari gypsum, koalin, dan batu kapur.

  7) Respirable dust, yaitu partikel debu berukuran < 10 mikron yang dapat masuk ke dalm hidung hingga ke dalam paru bagian dalam.

  8) Inhalable dust atau irrespirable dust, yaitu debu yang tidak dapat masuk ke saluran pernapasan manusia bagian dalam karena ukurannya > 10 mikron. Debu jenis ini akan tertahan di hidung.

  2.1.3 Sifat-sifat Debu

  Debu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002): 1) Dapat mengendap, yaitu debu mengendap ke permukaan tanah atau benda karena adanya gaya gravitasi bumi. Namun, untuk debu yang berukuran relatif sangat kecil cenderung tetap melayang di udara. 2) Permukaannya basah, yaitu permukaan debu dilapisi oleh air yang sangat tipis. Hal ini berhubungan dengan sifat debu lainnya yaitu dapat menggumpal. 3) Dapat menggumpal, yaitu cenderung menempel satu sama lain bila kelembaban udara di atas titik saturasi dan adanya turbulensi di udara.

  4) Mempunyai listrik statis, yaitu sifat listrik yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan. Hal tersebut juga mempermudah debu untuk menggumpal. 5) Bersifat opsis, yaitu partikel yang basah/lembab dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam ruangan gelap.

  2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan

  Paparan debu yang terinhalasi dan terdeposit di saluran pernapasan dalam waktu lama berpotensi menimbulkan gangguan saluran pernapasan. Kemampuan debu untuk menimbulkan gangguan terhadap saluran pernapasan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Solubility adalah kemampuan kelarutan debu dalam air. Kelarutan dalam

  Solubility

  air ini berpengaruh terhadap lokasi terdepositnya debu tersebut. Debu yang mudah larut dalam air (soluble) akan terabsorbsi dari seluruh jalur pernapasan dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli. Sedangkan debu insoluble yang berukuran kecil dapat terdeposit di berbagai tempat. Debu insoluble dapat menembus alveoli lalu masuk ke saluran limfa atau ruang peribronkhial. Kemungkinan lain adalah debu insoluble tersebut ditelan oleh sel fagosit. Sel fagosit tersebut kemudian masuk ke dalam saluran limfa, atau ke ruang peribronkhial melalui dinding alveoli, atau ke bronkhioli, dimana selanjutnya oleh rambut- rambut getar (cillia) dipindahkan ke saluran pernapasan atas (Suma’mur, 2011).

  2) Jenis debu Jenis debu merupakan determinan utama terhadap bentuk gangguan saluran pernapasan yang timbul.

  3) Konsentrasi debu Semakin tinggi konsentrasi debu yang terinhalasi ke dalam saluran pernapasan maka semakin banyak debu yang terdeposit di sana. Maka, efek potensial terhadap terjadinya gangguan semakin tinggi dan semakin parah.

  4) Ukuran partikel debu Ukuran partikel debu menentukan lokasi terdepositnya debu di dalam saluran pernapasan dimana lokasi terdepositnya debu tersebut menentukan bentuk gangguan terhadap saluran pernapasannya. Debu berukuran 5-10 mikron akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas, ukuran 3-5 mikron akan berada di saluran napas tengah (trakea dan bronkhiolus), ukuran 1-3 mikron akan mengendap di permukaan alveoli, sedangkan yang berukuran di bawah 0,1 mikron akan melayang atau bergerak keluar masuk alveoli karena tidak mengalami pengendapan. Semakin kecil ukuran partikel debu maka dampak gangguan yang timbul akan semakin berbahaya (Suma’mur, 2011).

  5) Durasi paparan Pada umumnya, dampak gangguan saluran pernapasan akibat debu akan nampak setelah paparan dalam waktu bertahun-tahun. Semakin lama paparan, dosis paparan debu yang diterima juga akan meningkat sehingga dampak gangguan saluran pernapasan semakin parah.

  Debu yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dibedakan menjadi dua macam, yaitu debu kerja yang bersifat fibrogenik (dapat menyebabkan fibrosis jaringan) dan debu kerja nonfibrogenik. Contoh dari debu kerja yang mempunyai sifat fibrogenik adalah silika, asbes, dan batubara. Pekerja yang menghirup debu kerja fibrogenik dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak jaringan ikat paru. Sedangkan akumulasi debu nonfibrogenik biasanya hanya menimbulkan efek kerusakan yang sementara, alveoli tetap utuh, tidak terbentuk jaringan ikat, dan efek yang umum adalah iritasi. Debu nonfibrogenik disebut juga debu inert, contohnya adalah debu kaolin, titanium doiksida, barium sulfat, dan ferroksida (Harrianto, 2010).

  Debu mineral yang bersifat fibrogenik dapat menyebabkan kerusakan paru sehingga dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan napas. Mekanisme terjadinya kerusakan paru pada pneumokoniosis diawali dengan terjadinya penimbunan debu berukuran 1 - 3 mikron di alveoli. Adanya endapan debu tersebut menimbulkan reaksi jaringan berupa perubahan struktur permanen alveoli, pembentukan kolagen mulai sedang sampai maksimal, serta terbentuknya jaringan parut permanen dalam paru. Ketika terbentuk nodul-nodul jaringan kolagen, nodul-nodul tersebut melingkar mengelilingi debu, menarik pembuluh darah, limfa, dan saluran napas kecil yang ada di sekitarnya sehingga menyebabkan terjadinya keadaan iskemik paru dan merangsang pembentukan jaringan parut sekunder. Pembentukan jaringan parut tersebut menurunkan elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis sehingga volume udara yang ditampung alveolus menurun dan terjadilah restriksi paru (Suma’mur, 2011).

  Dampak paparan debu berupa iritasi dan pembengkakan paru biasanya disebabkan oleh debu nonfibrogenik yaitu beryllium, zinc chloride, boron

  hydrides , magnesium, cynamid, dan debu dari pestisida. Bila iritasi tersebut terus

  berlanjut dalam waktu lama maka dapat menjadi penyakit bronkitis kronis dan berkembang menjadi emfisema. Debu organik biasanya dapat menimbulkan efek alergi pada individu yang sensitif, misalnya debu gandum, spora jamur, teh, kopi, dan sebagainya. Penyakit kerja akibat debu bersifat alergen tersebut disebut asma kerja. Asma kerja merupakan serangan sesak napas paroksimal akibat adanya peningkatan kepekaan dari trakhea dan bronkhus karena adanya berbagai macam stimulus yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan secara menyeluruh. Selain karena debu organik, asma kerja juga dapat terjadi karena paparan debu logam (platinum, kromium, nikel), senyawa organik (formaldehid, isosianat, zat pewarna aktif, dan sebagainya), dan obat-obatan (khususnya antibiotik. Zat-zat alergen tersebut merangsang reaksi imunologis berupa bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa bronkus, dan sekresi lendir yang berlebihan pada bronkus (Harrianto, 2010).

2.2 Batubara

2.2.1 Pengertian Batubara

  Batubara merupakan material mudah terbakar berwarna coklat sampai kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun bebatuan selama jutaan tahun. Pemrosesan atau pengolahan batubara sebagai bahan bakar menghasilkan debu batubara. Debu batubara adalah material batubara yang berbentuk bubuk, berasal dari hancuran batubara saat terjadi proses pengolahan batubara yang meliputi pemecahan, penghalusan, transportasi, dan pelapukan. Debu batubara ini mengandung lebih dari 50 zat. Kandungan zat mineral batubara tersebut bergantung pada besar partikel debunya dan jenis batubaranya (Government of Alberta, 2010).

2.2.2 Jenis-Jenis Batubara

  Terdapat empat jenis batubara dimana perbedaan dari keempat jenis tersebut adalah berdasarkan jenis materi tumbuhan penyusun batubara tersebut.

  Keempat jenis batubara itu antara lain: 1) Lignite, yaitu batubara berwarna coklat kehitaman dan paling lembab sehingga tingkat panas yang dihasilkan rendah. Jumlah batubara jenis

  lignite ini paling besar di dunia. 2) Sub-Bituminous, yaitu batubara berwarna hitam yang mengandung

  kelembaban 15

  • – 30%. Jenis ini kurang mudah terbakar dibandingkan jenis bituminous.

  3) Bituminous, yaitu jenis batubara yang paling umum dan penting bagi industri karena nilai panas dan kulitas karbon batubara jenis ini paling bagus. 4) Anthracite, yaitu batubara berwarna hitam yang terletak di bagian bumi paling dalam dibandingkan jenis batubara yang lain. Jumlah batubara

  anthracite paling sedikit, konsentrasi karbonnya paling tinggi, dan nilai panasnya juga tinggi.

  Kadar debu yang dihasilkan antar jenis batubara berbeda-beda sesuai tingkatan umur batubaranya. Jenis lignite merupakan yang paling banyak menghasilkan debu, sedangkan yang paling sedikit menghasilkan debu adalah jenis anthracite (Government of Alberta, 2010).

2.2.3 Karakteristik Batubara

  Kandungan utama batubara adalah karbon, hidrogen, sulfur, fosfor serta silika bebas. Komposisi zat-zat tersebut bervariasi tergantung lokasi tambangnya.

  Karakteristik batubara meliputi (Aladin, 2011): 1) Berat jenis

  Berat jenis batubara berbeda-beda sesuai jenisnya. Berat jenis lignit dan

  3

  3

  3

  antrasit 1,5 g/cm , bituminous 1,25 g/cm , dan graffit 2,2 g/cm . Selain tergantung pada jenis batubaranya, berat jenis batubara juga dipengaruhi oleh jumlah dan jenis mineral yang dikandung abunya serta kerapatan porositasnya.

  2) Kandungan air/Kelembaban Baubara yang baik adalah batubara yang kering atau tidak lembab.

  Batubara yang lembab akan menjadi lengket sehingga menyulitkan proses pemecahan batubaranya. Selain itu, kandungan air batubara yang banyak dapat menurunkan nilai panasnya. 3) Zat terbang (volatile matter)

  Zat terbang adalah mineral yang terbentuk jika batubara dipanaskan sampai suhu 950°C. Zat terbang tersebut terdiri dari campuran gas senyawa organik yang akan mencair menjadi bentuk minyak dan tar bertitik didih rendah. Zat terbang ini penting untuk mengendalikan asap dan pembakaran pada proses pemanfaatan batubara sebagai sumber panas. Semakin tinggi zat terbang dari suatu pembakaran batubara maka semakin baik sifat penyalaan dan pembakarannya, semakin bagus nyala apinya

  (lama), semakin mudah melakukan pembakaran rendah Nox, dan mampu terbakar hingga habis. Sifat batubara yang demikian adalah yang cocok digunakan untuk bahan bakar boiler. Namun tingginya kandungan zat terbang juga berbahaya karena dapat terbakar secara spontan (spontaneous

  combustation ).