POTENSI PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI DESTINASI WISATA BARU - Politeknik Negeri Padang

POTENSI PENGEMBANGAN WISATA KAMPUNG NELAYAN DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI DESTINASI WISATA BARU

  1) 2) Haryani , Nurul Huda

  1) Perencanaan Wilayah dan Kota, FTSP, Universitas Bung Hatta Padang, Jl.Sumatera Ulakkarang Padang

  2)

Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Bung Hatta Padang,

Jl. Sumatera Ulakkarang Padang

  ) email : irharyanimtp@yahoo.co.id

  Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi pengembangan pariwisata kampung nelayan sebagai destinasi wisata baru di Kota Padang dengan pemberdayaan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode RRA dan PRA, penelitian deskriptif analitis dengan memakai analisis skoring/pembobotan. Indikator penentu yaitu: a) memiliki nilai budaya kampung nelayan yang mempunyai ciri khas, b) adanya aktivitas masyarakat nelayan yang unik dan c) memiliki sistem adat kampung nelayan), sedangkan indikator penunjang; a) tersedia sarana dan prsarana dasar, b) adanya fasilitas pendukung yang berciri khas, c) adanya partisipasi masyarakat nelayan, d) adanya pengelolaan pariwisata kampung nelayan dan e) adanya obyek wisata yang terdekat. Dari indikator tersebut selanjutnya ditentukan nilai daya tarik obyek wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo. Hasil dari penilaian indikator penentu dan indikator penunjang, kriteria daya tarik obyek wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo memiliki nilai 36 yang artinya termasuk kedalam nilai potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata baru Kampung Nelayan di Kota Padang..

  Kata kunci : potensi, destinasi, wisata, kampung nelayan Abstract This study to make an assessment of the potential development of new tourist destinations in the city of Padang is a fishing village with the travel community empowerment. The method used is the method of RRA and PRA, descriptive analytical research using analysis of scoring / weighting, qualitative and quantitative analysis and SWOT analysis. Of the determinants (of cultural fishing village which has a characteristic, the activity of fishing communities are unique and have a system of customary fishing village) and the indicator support (available facilities and prsarana base, their support facilities distinctively, the participation of fishing communities, their tourism management fishing village and the nearest tourist attraction), then set the value of tourist attraction Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo. The results of the assessment indicators and supporting decisive, criterion tourist attraction Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo has a value of 36, which means including the added value of high potential to be developed as new tourist destinations Kampung Nelayan in Padang.

  Keywords: potential, destinations, tourist, fishing village

1. Pendahuluan

  Salah satu permasalahan pariwisata yang ada di Sumatera Barat adalah belum terintegrasinya seni budaya dengan paket-paket wisata, dimana kebanyakan paket yang ditawarkan biro perjalanan belum terkait dengan event budaya masyarakat sehingga wisatawan tidak mendapat sajian-sajian menarik dari kunjungannya.

  Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat yang secara geografis merupakan kota pesisir yang berbatasan dengan Samudera Hindia, memiliki potensi wisata pantai dan wisata budaya selain juga potensi sektor perikanan. Salah satu obyek wisata andalan di Kota Padang adalah wisata Pantai Padang. Salah satu obyek wisata pantai di Kota Padang adalah kawasan pesisir Pasie Nan Tigo yang merupakan salah satu kampung nelayan yang cukup besar di Kota Padang dan sekaligus memiliki potensi wisata pantai. (Haryani, 2013).

  Hasil penelitian Haryani (tahun 2012 dan 2014) selain potensi dan ancaman bencana, permasalahan lain yang terjadi di kawasan nelayan Pasie Nan Tigo Kota Padang adalah belum dimanfaatkannya sumber daya kelautan dan pantai sebagai obyek wisata secara optimal. Walaupun dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kota Padang, kawasan nelayan Pasie Nan Tigo ditetapkan sebagai salah satu obyek wisata pantai, namun fakta akual belum ada atraksi wisata yang layak dijual serta belum adanya sarana dan prasarana yang representatif layaknya suatu obyek wisata, pada hal potensi alam, lingkungan dan budaya sangat menjanjikan. Walaupun sudah ditetapkan sebagai salah satu obyek wisata pantai, Pasie Nan Tigo belum memperlihatkan layaknya suatu obyek wisata pantai. Selain memiliki potensi wisata pantai dan bahari, kawasan pesisir Pasie Nan Tigo memiliki potensi destinasi wisata kampung nelayan yang dapat menjadi alternatif destinasi wisata baru di Kota Padang. Selanjutnya diharapkan kawasan nelayan Pasie Nan Tigo dapat dikembangkan sebagai salah satu destinasi pariwisata kampung nelayan Pasie Nan Tigo yang melibatkan partisipasi masyarakat sehingga satu persatu permasalah yang terjadi di bidang pariwisata di Sumatera Barat dapat diselesaikan. Dengan melibatkan partisipsi masyarakat dalam pengelolaan wisata kampung nelayan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampi dengan monitoring, diharapkan dapat menjadi sumber matapencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah melakukan eksplorasi secara komprehensif potensi dan permasalahan fisik lingkungan permukiman nelayan, sarana dan prasarana permukiman nelayan, sosial dan budaya masyarakat nelayan di Pasie Nan Tigo sebagai upaya identifikasi potensi atraksi pengembangan destinasi wisata baru wisata kampung nelayan. di Kota Padang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode RRA dan PRA, penelitian deskriptif analitis dengan memakai analisis skoring/pembobotan.

2. Tinjauan Pustaka Jenis Atraksi Wisata Bahari Pantai dan Kriteria

  Tabel 1: Bobot Kriteria Atraksi Wisata Bahari dan Pantai

No Jenis Atraksi Kriteria/Variabel Bobot

  0,32 0,23 0,15 0,10 0,09 0,07 0,03

  0,33 0,26 0,14 0,14

  7 Wisata Pantai (Volly pantai, berjemur, telusur pantai a. pasir putih, bersih (bebas sampah) b. suhu udara 17° – 26° c. view (pantai, pengunungan, laut, danau, sungai) d. ciri khas (ombak, air terjun)

  0,69 0,22 0,09

  6 Fishing/memancing a. kaya ikan dan variatif b. suasana alam nyaman c. laut /ombak tenang

  0,49 0,26 0,26

  5 Snorkling a. kaya biota laut b. dangkal/dasar laut mendapat sinar matahari c. permukaan air tenang

  4 Menyelam/diving a. tersedia keanekaragaman biota laut b. air tidak tercemar/bau c. kecerahan air laut 10-30 m d. suhu air laut 26°-30° C e. pH 6,5 – 8,5 f. ombak dan arus yang tenang g. keunikan ekosistem laut

  1 Surfing/selancar a.

  Atraksi wisata adalah segala sesuatu yang menjadi daya tarik dan bernilai pada satu obyek wisata yang dapat dilakukan oleh wisatawan. Menurut Nyoman S Pendit (2006), atraksi wisata atau obyek wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat. Dalam penelitian Haryani (2009) kelompok atraksi wisata bahari dan pantai beserta persyaratannya yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir jika memenuhi kriteria yang dapat dilihat pada tabel berikut.

  3 Canoing/boating/ bersampan a. permukaan laut tenang b. kecepatan angin rendah

  0,37 0,23 0,16 0,08 0,07

  2 Swiming/berenang a. air tidak tercemar/bau b. kecerahan air laut 10-30 m c. suhu air laut 26°-30° C , pH 6,5 – 8,5 d. ombak tenang e. tidak ada biota berbahaya

  0,48 0,23 0,16 0,08 0,05

  Karakteristik/ketinggian ombak b. Angin kecepatan sedang c. Air tidak tercemar d. Kedalaman laut e. Bentuk pantai

  c. air laut jernih dan tanpa polusi 0,69 0,24 0,06 e. pantai relatif lebar 0,12

  f. 0,04 kecepatan angin lemah

  8 Jet Sky dan

  a. 0,55 permukaan air tenang parasailing

  b. 0,25 area laut yang cukup luas c. angin kecepatan rendah/lemah 0,15

  d. 0,05 tidak ada terumbu karang

  Sumber: Haryani, 2009 Pengembangan Pariwisata Pesisir Untuk pengembangan suatu kawasan wisata, tidak hanya mengandalkan daya tarik semata yang dimiliki.

  Banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah ketersediaan transportasi, jasa dan akomodasi seperti hotel, tempat makan dan minuman serta sarana dan prasarana obyek wisata. Medlik dan Meddleton (1973) dalam The Produc Formulation in Tourism dan Oka A.Yoeti (2008) mengatakan jika akan mengembangkan daerah tujuan wisata haruslah ada hal-hal sebagai berikut. (1) Adanya

  Attraction , yaitu suatu obyek wisata yang menarik dan dapat diandalkan. Atraksi mencakup obyek wisata yang

  selain harus mudah dicapai juga harus unik dan bernilai tinggi, (2) Adanya Supporting Facilities seperti hotel, angkutan, toko souvenir, infrastruktur yang baik dan sebagainya dan (3) Adanya Accessibilities, yaitu kemudahan kunjungan menuju dan dari obyek/atraksi wisata, kemudahan mencapai hotel dan lainnya. Ada 8 indikator yang dipakai dalam analisis yaitu (1) Budaya kampung nelayan dengan variabel jenis atraksi seni khas kampung nelayan dan jenis tradisi unik dan asli khas kampung nelayan. (2) Lokasi obyek wisata yang sudah ada disekitar kampung nelayan dengan variabel jarak dengan obyek wisata terdekat yang sudah ada dan lingkup daerah pengembangan. (3) Kegiatan sehari-hari masyarakat nelayan yang unik yang berciri khas kampung nelayan dengan variabel jenis kegiatan sehari-hari masyarakat kampung nelayan yang unik dan berciri khas. (4) Sistem adat kampung nelayan dengan variabel sistem adat yang masih berlaku di kehidupan masyarakat kampung nelayan. (5) Partisipasi masyarakat nelayan dengan variabel partisipasi masyarakat dan partisipasi pokdarwis kampung nelayan. (6) Sarana dan prasarana dasar Wisata Kampung Nelayan dengan variabel ketersediaan sarana dan prasarana dasar yang mendukung pengembangan desa wisata kampung nelayan. (7) Ketersediaan fasilitas pendukung wisata kampung nelayan yang berciri khas dengan variabel ketersediaan fasilitas penginapan yang berciri khas kampung nelayan dan masyarakat nelayan, ketersediaan toko souvenir yang menjual barang berciri khas kampung nelayan dan ketersediaan fasilitas rumah makan yang berciri khas dan menjual kuliner kampung nelayan. (8) Kelembagaan dengan variabel ketersediaan pengelolaan kawasan desa wisata kampung nelayan.

  Karakteristik Masyarakat Nelayan Aktivitas dan perilaku komunitas nelayan dapat diidentiifikasikan dalam perilaku sosial budaya dan ekonomi.

  Pada perilaku sosial budaya ditunjukan melalui adanya beberapa karakter khusus yaitu : Interaksi untuk berkelompok tinggi dikarenakan selain masa hidup di perahu cukup lama (antara 8 jam

   sehari, bahkan sampai 30-45 hari) dan tantangan hidup sangat besar maka keterikatan dan ketergantungan dengan komunitas sangat tinggi.

   pengguna perahu, keterkaitan dengan jenjang community leadership
 juga
 berkaitan
 dengan kesepakatan daerah-daerah tangkapan. Dengan demikian pengelompokan- pengelompokan yang terjadi dilingkungan nelayan akan sangat kuat karena dilandasi adanya kesepakatan-kesepakatan tersebut.

  Konvensi sering terjadi dilingkungan komunitas nelayan, mulai dari tingkat kesepakatan jual-beli ikan,

   Kekerabatan yang dibentuk berdasar atas ikatan kedaerahan yaitu dasar asal pemukim, ikatan mata pencaharian yaitu spesifikasi sebagai nelayan, sebagai pengrajin industri kecil perikanan, ikatan keagaman, dan ikatan kondisi pisikologis. Ikatan kekerabatan mengarah pada kecenderungan terjadinya pengelompokan/meng-clustered antara unit permukiman dan kebutuhan akan ruang aktivitas.

  Ikatan kekerabatan yang terbentuk memberikan ciri khas pada penataan pemukiman komunitas nelayan.

  Sedangkan pada aspek ekonomi, perilaku komunitas nelayan adalah:  keterampilan
 dan ciri ketradisionalan
 yang masih melekat

  Keterbatasan
 pengetahuan, menjadi
 nelayan sulit untuk masuk dalam pola ekonomi formal. Hal ini yang menjadi semakin terisolasinya kawasan nelayan. Mata rantai kegiatan ekonomi komunitas, baik dalam bentuk mata pencaharian pokok maupun mata

   pencaharian sampingan melalui usaha kecil dan industri rumah tangga dan tradisional menciptakan kebutuhan ruang- ruang transisi terhadap pola ruang kawasan. Implikasi dari perilaku sosial dan ekonomi tersebut akan mengarah pada pembentukan struktur permukiman.

3. Metode Penelitian

  Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode partisipasi masyarakat (Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Analitis dengan memakai analisis Skoring/pembobotan.

  Tabel 2: Indikator dan Variabel Wisata Kampung Nelayan Indiktor Variabel Alasan Pemilihan Variabel

  1. Budaya Kampung  Jenis atraksi seni khas kampung nelayan  Budaya khas kampung nelayan merupakan sajian Nelayan utama dalam destinasi wisata kampung nelayan

   Jenis tradisi unik dan asli khas kampung nelayan sehingga perlu diketahui budaya khasnya

  2. Lokasi obyek wisata yang  Jarak dengan obyek wisata terdekat yang sudah  Obyek wisata yang sudah ada disekitar kampong sudah ada disekitar kampung ada nelayan dapat menjadi salah satu daya tarik bagi nelayan wisatawan

   Lingkup daerah pengembangan pariwisata yang sudah ada 3. Kegiatan sehari-hari

   Jenis kegiatan sehari-hari masyarakat kampung  Jenis kegiatan sehari-hari masyarakat diperlukan masyarakat nelayan yang nelayan yang unik dan berciri khas sebagai daya tarik utama dalam pengembangan unik yang berciri khas desa wisata kampung nelayan kampong nelayan 4. Sistem adat kampung

   Sistem adat yang masih berlaku di kehidupan  Sistem adat yang masih berlaku, dibutuhkan untuk nelayan masyarakat kampung nelayan diketahui terkait dengan penerimaan masyarakat nelayan dengan desa wisata kampong nelayan yang akan dikembangkan

  5.Partisipasi masyarakat  Partisipasi masyarakat kampung nelayan  Keterlibatan masyarakat nelayandan kelompok nelayan masyarakat budaya terkait pengembangan desa

   Partisipasi kelompok pariwisata kampung wisata kampung nelayan merupakan merupakan nelayan hal penting.

  6. Sarana dan prasarana dasar  Ketersediaan sarana dan prasarana dasar yang  Ketersediaan sarana dan prasarana dasar penting Wisata Kampung Nelayan mendukung pengembangan desa wisata untuk memprediksi kebutuhan wisatawan terkait kampung nelayan dengan peningkatan jumlah wisatatawan yang berkunjung

  7. Ketersediaan fasilitas  Ketersediaan fasilitas penginapan yang berciri  Fasilitas pendukung yang berciri khas dan dapat pendukung wisata kampung khas kampung nelayan dan masyarakat menjadi salah satu daya tarik desa wisata kampung nelayan yang berciri khas nelayan nelayan  Ketersediaan toko souvenir yang menjual barang berciri khas kampung nelayan  Ketersediaan fasilitas rumah makan yang berciri khas dan menjual kuliner kampung nelayan

   Ketersediaan pengelolaan kawasan desa wisata Pengelola kawasan desa wisata “kampung  kampung nelayan nelayan” diperlukan agar pengembangan desa wisata dapat berkelanjutan

8 Kelembagaan

4. Hasil dan Pembahasan Indikator Penentu Pengembangan Obyek Wisata Kampung Nelayan

  Hasil kajian beberapa literatur bahwa untuk pengembangan suatu obyek wisata kampung nelayan ada dua indikator yaitu indikator penentu dan indikator penunjang. Indikator penentu adalah hal terpenting untuk pengembangan obyek wisata yaitu mencakup variabel: a) memiliki budaya kampung nelayan, b) adanya aktivitas masyarakat nelayan yang unik dan c) memiliki sistem adat kampun nelayan.

a) Sejarah Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo dan Lingkungan

  o o ’ ’’

  Kelurahan Pasie Nan Tigo terletak pada 18

  30

  20 BT

  • – 0 6’30’’ LS yang merupakan bagian dari kelurahan pesisir di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Propinsi Sumatera Barat. Luas daerah 593,08 Ha yang awal berdiri terdiri dari 7 RW dan 31 RT. Kelurahan Pasie Nan Tigo merupakan gabungan dari 3 desa yang mempunyai latar belakang geografis dan budaya yang sama. Ketiga desa tersebut adalah Desa Pasie Sabalah (RW 1, RW 2, RW 3), Desa Pasie Kandang (RW 4, RW 5) dan Desa Pasie Jambak (RW 6 dan RW 7). Ketiga desa tersebut pada akhirnya digabung menjadi 1 yaitu Kelurahan Pasie Nan Tigo yang terdiri dari 7 RW (sampai tahun 2009), tahun 2010 menjadi 10 RW dan pada tahun 2013 sampai dengan sekaarang (tahun 2016) menjadi 14 RW. Kelurahan Pasie Nan Tigo juga mempunyai 1 (satu) buah pulau yaitu Pulau Sao dengan luas 12,46 Ha dan keliling 1.310,79 m. Hasil penelitian tahun sebelumnya di Kelurahan Pasie Nan Tigo memiliki potensi wisata kampung nelayan selain wisata pantai ”Pasie Jambak”. Wisata pantai Pasie Jambak terletak di RW VII, sedangkan potensi wisata kampung nelayan di Kelurahan Pasie Nan Tigo, tidak pada semua RW hanya pada RW yang secara
administrasi berbatasan langsung dengan pantai yaitu pada 9 RW dan selanjutnya dalam penelitian ini di kaji secara mendalam. Hasil penelitian dan pengabdian pada masyarakat (Haryani) 10 tahun terakhir, masyarakat di Kelurahan Pasie Nan Tigo terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang yaitu dari Nagari Ulakan Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pesisir Selatan yang notabene berada diwilayah pesisir disekitar Pasie Nan Tigo Kota Padang. Pendatang semula menjadi buruh nelayan atau Anak Buah Kapal (ABK), lama kelamaan menetap di Kelurahan Pasie Nan Tigo hingga sekarang. Jumlah penduduk di Kelurahan Pasie Nan Tigo pada tahun 2011 adalah 11.577 jiwa, 2.057 KK yang terdiri dari 5.539 jiwa laki-laki dan 5.938 jiwa perempuan dengan kepadatan 795 jiwa/km. Sementara itu terdapat 20 KK penduduk kategori Pra Sejahtera, 1.700 KK Kurang Sejahtera dan 337 KK Sejahtera. Sejak terjadi gempa pada tahun 2009 di Kota Padang dengan kekuatan 7,9 SR menyebabkan pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir pada umumnya mengalami penurunan (minus) yaitu pada tahun 2008, tahun 2009 dan tahun 2010 pertumbuhan penduduk -3,56 %. Mata pencaharian masyarakat di Pasie Nan Tigo yakni PNS, ABRI, Polisi, Pensiunan dan Nelayan dimana sebagai nelayan adalah mata pencaharian yang memiliki porsi terbesar yaitu sebesar 43,9 %. Dari jumlah nelayan yang terdapat di Pasie Nan Tigo, 35 % diantaranya masuk kategori miskin. Di pesisir Pasie Nan Tigo sebanyak 788 KK mendapat bantuan dari Pemerintah melewati program Raskin (Beras untuk rakyat miskin). Penduduk yang mendapat bantuan sosial Raskin ini menyebar diseluruh RW pesisir dimana RW yang paling banyak mendapat bantuan raskin adalah RW VII dan RW XIV. Bahkan tahun 2016 sudah dialokasikan bantuan bedah rumah dari KemenPUPera untuk masyarakat Pasie Nan Tigo sebanyak 130 unit. Sebagai wilayah pesisir nan cantik, kampung nelayan Pasie Nan Tigo memiliki potensi alam yang luar biasa. Dengan garis pantai sepanjang 7,2 km Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo selain memiliki budaya kampung nelayan yang unik juga memiliki berbagai potensi atraksi alam yang unik diantaranya atraksi wisata di muara sungai, pantai dan sungai. Hal ini tidak terlepas dari posisi geografis kampung nelayan yang berbatasan langsung dengan dua buah sungai besar yaitu Sungai Muaro Penyalinan dan Sungai Batang Kandis sehingga dapat dikembangkan berbagai atraksi wisata di muara sungai dan sepanjang sungai tersebut selain wisata pantai dan wisata bahari/laut.

b) Potensi Atraksi Wisata Budaya “Ritual Tolak Bala”

  Selain potensi penduduk dan alam/lingkungan (pantai, muara, sungai dan bahari), Kampung nelayan Pasie Nan Tigo memiliki potensi atraksi budaya yang sangat menarik yaitu potensi wisata budaya masyarakat nelayan yang terkenal yaitu “Tolak Bala” (penangkal bahaya). Dulunya “tolak bala” dilakukan setiap tahun, namun sayang sejak terjadi gempa besar di Kota Padang pada tahun 2009, ritual “tolak bala” tidak dilakukan lagi.

  Di kawasan Pasie Nan Tigo , ritual “tolak bala” dilaksanakan pada siang hari sambil berkeliling kampung dan sepanjang pantai. “Tolak bala” adalah acara adat yang berisi doa keselamatan agar dijauhkan dari bencana dan marabahaya dan juga untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan. T olak bala” tidak sekedar memanjatkan do’a serta puji-pujian kepada yang Maha Kuasa menurut penafsiran mereka, namun dilanjutkan dengan Baureh dan makan bersama. Baureh adalah prosesi memercikkan air yang dilakukan oleh dukun nagari/kampung kepada masyarakat yang hadir. Air dipercikkan dengan menggunakan alat bantu berupa tumbuhan alam yang terdiri dari Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin yang telah dimantra-mantrai dan diasapi bakaran kemenyan.

  Bersamaan dengan percikan air, berbagai harapan pun dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa, termasuk memohon kesehatan jasmani dan rohani serta dijauhkan dari marabahaya maupun penyakit yang akan mendera. Adakalanya, masyarakat membekali dirinya dengan Sitawa, Cikumpai, Cikarau, Sidingin untuk dimantra- mantrai, kemudian dibawa pulang dan digunakan untuk melakukan prosesi “baureh” di rumah masing-masing. Usai prosesi “baureh”, dilanjutkan dengan makan bersama. Ritual “tolak bala” diiringi dengan pemotongan hewan sapi atau kambing. Kepala sapi atau kambing dibawa ketengah laut kemudian dibuang ketengah laut sebagai sesaji untuk menguasa laut. Sedangkan badannya dibuat masakan/lauk untuk dimakan bersama-sama pada saat prosesi makan bersama. Ritual tolak bala’ biasanya dipimpin oleh tetua adat, ninik mamak, aparat kelurahan yang membacakan sejumlah doa. Kemudian dilanjutkan dengan ritual membuang uang logam dan sesajian ke sungai/laut, dengan tujuan agar segala kesusahan dan marabahaya hanyut bersama uang logam dan sesaji tersebut. Ritual tolak bala’ ini berlanjut dengan menjalankan tradisi Pararakan. Yaitu, mengarak sebuah miniatur mesjid yang ditempeli uang kertas, keliling kampung. Setelah diarak, miniatur masjid tersebut diberikan kepada mesjid yang membutuhkan bantuan. Usai serah-terima miniatur masjid, para ninik mamak langsung mengadakan acara adat makan bajamba dan dilanjutkan dengan prosesi dzikir bersama hingga pagi hari yang dilakukan hanya oleh kaum lelakinya saja . Ritual tolak bala dulunya dilakukan oleh masing- masing suku/kampung, baik kampung “Pasie Sabalah”, “Pasie Tangah”, “Pasie Ujung”/ “Pasie Jambak” dimana semua kampung tersebut menjadi Kampung Pasie Nan Tigo

  (pasar yang terdiri dari 3 kampung) sekarang.

  “Mandarahi Biduk”/”Malimau Kapa”

  “Mandarahi biduak” atau “Malimau Kapa”/perahu/kapal adalah salah satu ritual adat yang ada di kampung nelayan Pasie Nan Tigo. “Malimau” kapal memiliki dua versi, yaitu “malimau” kapal baru yang pertama kali

  mau turun kelaut dan jika kapal-kapal nelayan selalu sial dalam setiap operasi (selalu ada halangan atau kesulitan memperoleh hasil tangkapan). “Malimau” kapal baru prinsipnya merupakan suatu upacara untuk minta izin kepada Allah SWT untuk mengelola isi lautan. “Malimau kapal” juga bertujuan untuk membuang sial. Upacara “malimau kappa” yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan rangkaian upacara tergantung dari pantangan yang dilanggarnya, tetapi jika nahkoda ( sama dengan

  “tungganai” untuk kapal tonda atau bagan, sama dengan pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke dukun kapal untuk kapalnya di”limau”i.

  Sebelum perahu yang baru dibeli di bawa ke laut untuk digunakan oleh nelayan , maka dilakukan upayara “mendarahi biduk” yang bertujuan agar kapal membawa berkah dan mendapat hasil yang banyak serta selamat dilindungi oleh Yang Kuasa.

  “Mendarahi Biduak” dilakukan dengan memotong seekor ayam yang dilakukan oleh seorang “siak”/ orang alim ulama dan disaksikan oleh pemilik “biduk” sembari membacakan doa-doa dan darahnya di mandikan di dala m “biduk”. “Biduk” disandarkan di tepi pantai terdekat untuk memudahkan proses ”mendarah biduk”. Pada malam harinya dilaksanakan acara berdoa yang dihadiri oleh anggota “biduk” (ABK) yang berjumlah lebih kurang 10-

  12 orang, keluarga pemilik “biduk” dan orang “siak”/alim ulama.

  Aktivitas Sehari-hari Masyarakat Kampung Nelayan

  Aktifitas masyarakat kampung nelayan Pasie Nan Tigo terbagi dua kelompok yaitu aktivitas nelayan dan aktivitas keluarga nelayan (ibu dan anak). Aktivitas nelayan pada umumnya adalah melaut yang dilakukan oleh kepala keluarga. Nelayan di Pasie Nan Tigo jika dilihat dari jenis alat tangkapnya terdiri dari 4 katagori nelayan, yaitu a) Nelayan “Bagan”, b) Nelayan “Payang”, c) Nelayan “Pukek” dan c) Nelayan “Pancing”. Masing-masing nelayan memiliki karakteristik aktivitas yang dapat dilihat pada tabel berikut.

  Tabel 3: Karakteristik Nelayan di Pasie Nan Tigo Jenis Alat Nelayan “Bagan” Nelayan “Payang” Nelayan “Pukek” Nelayan “Pancing” Tangkap

  Fasilitas Kapal

  • Biduk/perahu motor Sampan (non mesin) Kepemilikan Pribadi Pribadi Pribadi Pribadi Alat tangkap Bagan Payang/jaring panjang Pukat/jaring pendek Pancing, jala Waktu 05.00- 09.00 07.00- 10.00

   2 hari - 1 minggu  Sepanjang waktu (Menginap di

  17.00

  • – 22.00

   Jika air jernih tengah laut)  berangkat jam 15.00 sore

  Biaya  Rp. 10 jt  Rp. 250.000,-  Rp. 250.000,-  Rp. 25.000-

  30.000,-  Minyak dan makan  minyak  minyak

   umpan Jumlah nelayan

  16 1 org

  • – 20 org  10  10 org
  • – 12 org Bahan jaring

  Benang “Nilon” Benang “Tetoron” Benang “Tetoron” Benang “Nilon”

  • Bentuk jaring Vertikal kantong kantong Jumlah pemilik 51 orang 32 orang 6 orang 320 orang

  Sumber: Survey Primer dan Analisis, April 2016

  Selain melaut aktifitas para nelayan di Pasie Nan Tigo adalah: a) memperbaiki dan membuat perahu/kapal/pera hu/”biduk”, b) memperbaiki dan membuat jala, c) “mencolok pukek” (mewarnai Jala), c) mengecat dan mendisain badan perahu

  , d) membuat kemudi “biduk” (“daun biduk) dan e) “memanjek karambia” (memanjat pohon kelapa dengan menggunakan binatang “beruk”/monyet). Sementara itu aktivitas keluarga nelayan (istri dan anak) adalah mengolah kuliner yang berbahan baku hasil laut tangkapan para nelayan. Hasil olahan kuliner yang berciri khas di Pasie Nan Tigo adalah: a) Palai Bada (pepes ikan teri) dan “Palai Pucuak Parancih” (palai pucuk ubi /daun ubi), b) “Palai bada” dan “palai pucuk parancih”, c) Rakik Maco (Rempeyek ikan “maco”), d) Olahan Makanan “Lauak Pukek dan Lauak Karang”/ikan karang) dan e) Pengolahan Ikan Tradisional

c) Sistem Adat Kampung Nelayan

  Adat secara sederhana dapat diartikan sebagai peraturan hidup sehari-hari yang sifatnya mengikat orang perorang dan masyarakat untuk tunduk dan mematuhinya. Adat Minangkabau mempunyai daya lentur yang luar biasa. Meski demikian perlu diketahui bila daya lentur adat itu tidak sama. Hal ini sesuai dengan klasifikasi adat Minangkabau yang terbagi dalam empat tingkat, yaitu (a) adat nan sabana adat, (b) adat yang diadatkan, (c) adat yang teradat, dan (d) adat-istiadat. Dari deretan ini dapat disimak bila daya lentur yan g paling tinggi adalah “adat-istiadat” yang berada di tingkat bawah. Yang dimaksud adat- istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu ”nagari”/kampung yang mengikuti pasang naik dan surut situasi di masyarakat. Sumatera Barat pada umumnya dan Minangkabau khususnya (termasuk Kelurahan Pasie Nan Tigo Kota Padang), dikenal sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan agama, hal ini dapat dilihat dari falsafah hidup yang telah menjadi cita-cita, dan pedoman dalam kehidupan masyarakat yaitu nilai falsafah hidup

  

“Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang artinya adalah adat berlandaskan syariat,

syariat berlandaskan kitab Alquran.

  Nilai positif dari aspek sosial budaya yang merupakan kultur dari masyarakat Kota Padang yang juga dimiliki oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya adalah nilai kebersamaan, demokratis dan gotong-royong.

  Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang, saciok bak ayam, sadantiang bak basi, duduak samo randah, tagak samo tinggi, duduak saurang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang yang artinya berat

  sama dipikul, ringan sama dijinjing, seciap seperti ayam, sedenting seperti besi, duduk sama rendah, tegak sama tinggi, duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Nilai tersebut di atas diharap kan akan dapat diaktualisasikan dengan baik dalam sistem pemerintahan “nagari” yang tengah dikembangkan saat ini di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Barat, dan Kota Padang sebagai ibu kota provinsi. Nilai positif ini harus terus ditumbuh-kembangkan dalam masyakat Kota Padang agar kota mampu tumbuh dan berkembang dengan daya dukung segenap lapisan masyarakat. Apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang ini, dimana daerah sangat dituntut untuk mampu menggali segala potensi ekonomi, sosial dan budaya yang dimiliki untuk dapat menggerakkan roda pembangunan dan mencapai masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri masyarakat Minangkabau adalah sistem kekerabatannya yang bersifat matrilineal. Sistem sosial atas kehidupan kekerabatan yang menganut sistem garis keturunan ibu ini menjadikan garis keturunan dan harga benda-benda diperhitungkan melalui garis ibu bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita dan bukan suaminya. Dalam sistem kekerabatan ini terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu (a) garis keturunan menurut garis ibu, (b) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang saat ini dikenal istilah eksogami matrilineal, dan (c) ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga.

  Indikator Penunjang Pengembangan Obyek Wisata Kampung Nelayan

  Variabel yang dipakai untuk mengukur indikator penunjang dalam pengembangan destinasi wisata baru kampung nelayan adalah; a) tersedianya sarana dan prasarana dasar, b) adanya fasilitas yang berciri khas kampung nelayan, c) adanya partisipasi masyarakat nelayan, d) adanya lembaga/pengelolaan wisata dan e) lokasi obyek wisata yang sudah ada disekitar kampung nelayan.

  Tabel 4: Ketersediaan Sarana dan Prasarana Kampung Nelayan No Variabel Keterangan

  1 Sarana dan Prasarana Dasar a.

  • b.

  Air bersih Ada (air sumur/air tanah kualitas air terkadang payau)

  • c.

  Persampahan Ada (komunal/tradisional/dibakar)

  • d.

  Drainase Tidak ada

  • e.

  Listrik Ada

  • f.

  Jaringan internet/komunikasi Ada

  • g.

  Tempat ibadah Ada, kondisi cukup baik

  • h.

  Pasar “Banda Aie” Ada, pasar pagi, tradisional

  • i.

  Fasilitas pendidikan Ada (TK,SD,PTS)

  • j.

  Fasilitas kesehatan Ada (poliklinik)

  Jalan  Jarak dari pusat Kota Padang: 11 km  Panjang jalan sepanjang pantai: 7,2 Km, sepanjang 4,7 km sudah dipasang batu krip dan 2,5 km belum  Kondisi Jalan: jalan utama aspal tetapi pada kampung nelayan jalan tanah/pasir dan sering tergerus abrasi pantai  Moda transportasi: di jalan utama moda angkutan kota sedangkan ke obyek wisata kampung nelayan moda tranportasi adalah ojek motor

  2 Fasilitas kampung nelayan Pasie Nan Tigo a.

  • b.

  Dermaga Tidak ada

  Kanal/tambatan perahu Ada secara tradisional, untuk sementara di laut lepas, Muaro Penjalinan dan

  Sungai Batang Kandis c. TPI/Tempat Pelelangan Ikan Secara permanen tidak tersedia. TPI tradisional terdapat di dekat pasar pagi

  • ”Banda Aie”, 1 unit ada di Pasie Sabalah dengan kondisi buruk d.
  • tradisional ((pembersihan, pantai berjarak 5-15 m dari pasang tertinggi didepan masing-masing rumah perebusan, pengasapan, nelayan rendaman) e.

  Tempat pengolahan ikan Tersedia secara tradisonal, kondisi buruk, sejajar garis pantai, terletak disepanjang

  • olahan, peralatan, suku cadang, bahan bakar)

  Gudang ((penyimpanan ikan Ada, kondisi temporer dan kurang layak

  f. Depo minyak/SPBN Ada, namun perlu peningkatan kuantitas minyak sehingga semua nelayan terlayani - dan renovasi tempat karena sudah terkena abrasi pantai g.

  • pantai di Pasie Kandang h.

  Cold storage/gudang pendingin Tersedia secara tradisional, kondisi buruk & temporer, terletak 5 m dari bibir

  • dari bibir pantai di Pasie Kandang

  Pasar Pasar kaget/pagi ”Banda Aie” ketika nelayan kembali dari melaut berjarak 5 m

  3 Partisipasi masyarakat nelayan Jasa wisata yang diinginkan masyarakat: Jasa kuliner/rumah makan: 15,6 % - Jasa penginapan/homestay: 12,5 %

  • Tembat bersantai/gazebo/pondok bersantai: 12,6 %
  • Jasa sewa perahu: 43,8 %
  • Jasa sewa alat pancing: 3,1 %
  • Jasa event “tolak bala”: 3,1 % - Usaha jasa yang berkembang saat ini adalah parkir, sewa toilet dan sewa ojek
  • yang menjadi usaha alternatif yang berkembang

  4 Pengelola Wisata (Pokdarwis) Belum terbentuk/belum ada

  5 Obyek wisata yang ada disekitarmya Terdapat di 2 RW (VII dan XIV) Kelurahan Pasie Nan Tigo dengan jenis wisata pantai yaitu Obyek Wisata “Pasie Jambak” dan “Muaro Baru” a.

  Jumlah pengunjung hari kerja: 30 orang b. Jumlah pengunjung hari libur: 150 orang

  c. Jumlah pengunjung hari besar: 200 orang

  Nilai Daya Tarik Obyek Wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo

  Ciri khas daya tarik wisata merupakan modal dasar untuk mengembangkan pariwisata. Selain itu, juga merupakan elemen inti dari produk pariwisata. Tanpa adanya daya tarik wisata yang khas, kepuasan dalam

  • – berpariwisata tidak akan tercapai, meskipun fasilitas dan layanan, konferensi, tempat ibadah, dan bermacam macam biro perjalanan tersedia. Daya Tarik merupakan modal utama yang memungkinkan datangnya pengunjung ke suatu obyek wisata. Dari indikator dan kriteria di atas selanjutnya ditentukan nilai daya tarik obyek wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo sebagai tabel berikut. Hasil dari penilaian kriteria daya tarik obyek wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo memiliki nilai 36 yang artinya termasuk kedalam nilai potensi tinggi untuk dikembangkan.

  Tabel : Penilaian Kriteria Daya Tarik Obyek Wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo Indikator/Kriteria Bobot Skor Nilai A. Indikator Penentu 1.

  3

  2

  6 Memiliki Nilai Budaya Kampung Nelayan 2.

  3

  2

  6 Aktivitas masyarakat nelayan yang unik yang berciri khas 3.

  3

  2

  6 Memiliki sistem adat kampung nelayan

  Indikator Penunjang 1.

  2

  2

  4 Tersedia sarana dan prasarana dasar 2.

  2

  2

  4 Adanya fasilitas pendukung wisata berciri khas 3.

  2

  2

  4 Adanya Partisipasi masyarakat nelayan 4.

  2

  1

  2 Adanya Kelembagaan/pengelolaan pariwisata 5.

  2

  2

  4 Lokasi obyek wisata yang sudah ada disekitar kampung nelayan

  Jumlah

  36 Sumber :Hasil Analisis 2016 Keterangan: Bobot; 3 : Penting, 2 : Cukup penting Skor; 2 : Tersedia/Ada, 1 : Tidak ada Nilai (Bobot skor); Nilai komulatif = Nilai mak

  • – nilai min =, (< 21= potensi rendah, 21 – 26 = potensi sedang, > 26 = potensi tinggi)

  3

5. Kesimpulan dan Saran

  a. Kesimpulan

  Secara fisik alami lingkungan permukiman nelayan sangat potensial sebagai destinasi wisata pantai dan wisata budaya. Dari 14 RW di Pasie Nan Tigo, 9 diantaranya merupakan wilayah pesisir (pantai) dimana 2 RW diantaranya sudah dijadikan obyek wisata pantai “Pasie Jambak” di RW VII dan sebagian RW XIV. Sehingga dari kondisi fisik alami ada 7 RW yang sangat potensial dijadikan destinasi wisata kampung nelayan Pasie Nan Tigo yaitu RW III, IV, VI, VIII, IX, X dan XII. Permasalahan prasarana jalan sepanjang 7,2 Km yang merupakan jalan lingkungan disepanjang pantai dalam kondisi rusak dikarenakan terkena abrasi pantai dan hanya sekitar 500 m jalan aspal dalam kondisi baik.

  Sedangkan listrik tersedia dan sumber air bersih adalah air sumur dengan kualitas air baik. Permasalahan lain yang ditemukan adalah kondisi lingkungan permukiman nelayan tidak dilengkapi oleh sistem drainase dan sistem persampahan yang baik dan kurangnya manajemen mitigasi resiko bencana terutama bencana abrasi. Sarana dan prasarana kenelayanan yang ada di kampung nelayan Pasie Nan Tigo diantaranya pasar pagi “Banda Aie” yang berfungsi juga sebagai TPI tradisional, tempat pengolahan ikan tradisional, SPDN/penjualan miny ak eceran, gudang penyimpanan ikan tradisional dan tambatan perahu/”biduak” dan tempat perbaikan perahu tradisional. Namun sayang kondisi sarana dan prasarana kenelayanan yang ada belum memenuhi standar yang layak sehingga harus perlu pembenahan baik secara kualitas maupun kuantitas melalui perencanaan untuk pengembangan kampung nelayan sebagai destinasi wisata baru di Kota Padang. Potensi sosial budaya masyarakat nelayan Pasie Nan Tigo yang dapat dikemas dan dikembangkan sebagai atraksi wisata kampung nelayan adalah aktivitas nelayan dan keluarga nelayan. Aktivitas nelayan selain melaut adalah memperbaiki dan membuat “biduk”/perahu, memperbaiki dan membuat jalan/”payang”/”pukek”, “mencolok pukek”/mewarnai jala, mengecat/mendisain badan perahu, membuat “daun biduk”/alat kemudi dari kayu dan “mamanjek karabia jo baruak”/memanjat pohon kelapa dengan menggunakan beruk.

  Sedangkan aktivitas keluarga nelayan (ibu dan anak-anak) diantaranya adalah mengolah kuliner diantaranya mengolah makanan tradisional/palai bada dan palai pucuk parancih, rakik maco, olahan makanan “Lauak Pukek dan Lauak Karang” dan pengolahan ikan tradisional/ikan asin. Sedangkan yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan budaya di kampung nelayan Pasie Nan Tigo yang dilakukan secara turun menur un adalah “tolak bala” yang merupakan aktivitas untuk memohon keselamatan bagi para nelayan dan memohon untuk mendapatkan hasil melaut yang berlimpah dalam kegiatan melaut.

  Permasalahan yang ditemukan sekaitan dengan potensi kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan yang masih sangat tradisional adalah perlu dikemas sedemikian rupa semua aktivitas masyarakat nelayan tersebut sehingga menjadi sangat menarik jika dijadikan sebagai atraksi wisata kampung nelayan. Disamping itu perlu kesiapan dan partisipasi masyarakat dalam rangka pengembangan kampung nelayan sebagai destinasi wisata baru di Kota Padang.

  b. Saran

  Bagi pengembangan destinasi wisata baru yaitu wisata kampun nelayan Pasie Nan Tigo, maka diperlukan beberapa strategi yaitu; a) Strategi Pengembangan Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas, b) Strategi Pengembangan Tata ruang dan Lingkungan, c) Strategi Pengembangan Kelembagaan dan SDM dan d) Strategi Pengembangan Pemasaran Wisata Kampung Nelayan

  Daftar Pustaka Buku Bengen, G.D.2002, Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut serta PrinsipPengelolaannya, IPB, Bogor.

  Dahuri, R.2001, Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Dusseldorp, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi.

  Jurnal Haryani, 2014, Potensi Pengembangan Atraksi Wisata Kampung Nelayan Pasie Nan Tigo di Tengah Ancaman Bencana Abrasi , Jurnal Mimbar, Volume 30 No.2, 189-198, Desember.

  Haryani, Ir,MT, 2012 dan 2013, Model Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dengan Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Pendidikan Tinggi Haryani, Ir,MT, 2006,Tata Ruang Kota Pesisir yang Ramah Bencana, The Internasional Conference Industry, UTM-Univ.

  Bung Hatta. Haryani, Ir, MT,2007, Kajian Konsep Permukiman Nelayan Berbasis Bencana di Kota Padang, Jurnal Universitas Riau, Riau. Haryani, Ir,MT,2009, Kajian Syarat Atraksi Wisata Bahari Berdasarkan Karakteristik Ekologis Pesisir dan laut, The Internasional Conference Industry, UTM-Univ. Bung Hatta. Haryani, Ir,MT,2009, Kajian Konsep Permukiman Nelayan Berbasis Bencana di Wilayah Pesisir Kota Padang, The Internasional Conference Industry, UTM-Univ. Bung Hatta, 2009 UU, PP, Permen Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep. 34/Men/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Menteri Kelautan dan Perikanan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001. Petunjuk Pelaksanaan Perbaikan Lingkungan Permukiman

  

Nelayan , PLP-KIP Nelayan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Perumahan dan

Permukiman, Jakarta.

  PP No. 69 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat PP No.21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Permendagri No. 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Penataan Ruang di Daerah Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Biodata Penulis Haryani, memperoleh gelar Insiyur (Ir), Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta, lulus tahun 1989. Tahun 1996 memperoleh gelar Magister Teknik (MT) dari Program Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada. Saat ini sebagai Staf pada Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta.