T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No 38PUUIX2011 tentang Pengujian Pasal 39 Ayat Huruf F UndangUndang Perkawinan T1 BAB I

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Setiap kehidupan bernegara tidak mungkin terlepas dari hukum,
masing-masing negara tentu memiliki aturan hukumnya sendiri yang
berfungsi untuk mengatur kehidupan warga negaranya. Pengertian hukum
itu sendiri adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang
menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat, yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan

tadi

berakibat


diambilnya

tindakan.1

Indonesia

merupakan negara hukum, hal ini di buktikan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana.
Hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan hukum yang menentukan
perbuatan-perbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan
pidana-pidana yang seharusnya dikenakan.2 Moeljatno memberikan definisi
hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:3
“1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai
1

J.C.T Simorangkir, S.H., dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hlm. 66
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2012, Hlm. 13
3
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Renika Cipta, Jakarta, 2008, Hlm. 1

2

2

ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja
yang melanggarnya.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka
yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang
diduga telah melanggar ketentuan tersebut.”

Menurut pemberlakuannya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus yang mana dalam penulisan

ini lebih difokuskan kepada hukum pidana umum. Hukum pidana umum
adalah hukum pidana yang berlaku untuk umum dan hanya terbatas pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundangundangan terkait saja.4 Menurut Andi Zainal Abidin, hukum pidana umum
adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara
(subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum
tertentu.5 Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus
adalah hukum pidana yang terletak di luar KUHP dan memiliki sejumlah
ketentuan khusus terhadap KUHP.
Pada dasarnya, hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana serta kapan
orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tetapi hukum
pidana juga berkaitan dengan proses peradilan yang harus dijalankan
seseorang. Proses penegakan hukum pidana diwujudkan melalui Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan prosedur pelaksanaannya

4
5

Frans Maramis, Op.Cit., Hlm. 9
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 18


3

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hasil
akhir dari proses penegakan hukum pidana adalah dengan dijatuhkannya
putusan pengadilan dalam suatu persidangan di peradilan. Putusan
pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat kongkret berfungsi untuk
menegakan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika apa yang seharusnya sesuai
dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi.6 Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal tiga macam putusan pengadilan
yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 193 ayat (1)
KUHAP. Jenis-jenis putusan hakim pidana yang diatur dalam KUHAP
yaitu:
1.

Putusan Bebas (Vrijspraak)
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa


diputus bebas” (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
2.

Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van
Rechtsvervolging)

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

hukum” (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
3.

6

Putusan Pemidanaan

Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia: Sebuah Pemahaman Awal, Mandar Maju,
Bandung, 2016, Hlm. 48


4

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan

menjatuhkan pidana” (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Putusan pengadilan lahir dari suatu proses pengadilan terhadap suatu
kasus yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Lembaga peradilan dalam
menjalankan kewenangannya memutus suatu kasus, didasarkan pada asas
independensi dan asas imparsialitas peradilan. Independensi berarti bahwa
kekuasaan mengadili adalah kekuasaan lembaga peradilan yang tidak boleh
diintervensi oleh lembaga negara lain, sedangkan asas imparsialitas
peradilan merupakan dimensi khusus dari asas independensi peradilan
menyangkut kapasitas lembaga peradilan dalam menempatkan dirinya di
antara para pihak dimana hal itu harus tercermin dalam putusannya.7
Lembaga peradilan dalam menjalankan kewenangannya memutus suatu
kasus dipresentasikan dalam suatu persidangan yang proses pelaksanaannya
diketuai oleh hakim.
Pengertian hakim di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 1 angka 5

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim adalah salah satu elemen dasar
7

Ibid., Hlm. 53

5

dalam sistem peradilan selain jaksa, polisi, dan penasehat hukum. Struktur
dari kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dikatakan “Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang
merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam
mengadili dan menegakkan hukum.8 Hakim memiliki kebebasan untuk
menjatuhkan suatu putusan pengadilan sesuai dengan kewenangannya.
Bebas dalam konsep kekuasaan hakim disini adalah kebebasan yang
bertanggung jawab dan tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan
orang lain. Kebebasan seorang hakim terbagi dalam dua jenis kebebasan
yaitu kebebasan eksistensial hakim dan kebebasan sosial hakim. Kebebasan
eksistensial adalah kebebasan hakiki yang dimiliki oleh setiap manusia
tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim
kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu
menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan.9 Akan
tetapi, seorang hakim dalam memutuskan sebuah putusan tetap harus
memperhatikan dan melibatkan unsur manusiawi di dalamnya. Sementara
8

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2012, Hlm. 34
9
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012,
Hlm. 170

6

itu, kebebasan sosial merupakan ruang gerak bagi kebebasan eksistensial,
kita hanya dapat menentukan sikap dan tindakan kita sendiri sejauh orang
lain membiarkan kita.10 Hakim diberi kebebasan dalam menjalankan
kekuasaannya menjatuhkan putusan dalam suatu persidangan. Secara
kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu11:
“ 1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.
2. Tidak
seorangpun
termasuk
pemerintah
dapat
mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan

dijatuhkan oleh hakim.
3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Hakim dalam menjalankan tugasnya haruslah dilindungi dan dijamin
dalam undang-undang. Hal ini bertujuan agar hakim dapat menjalankan
profesinya secara profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan
pemerintahan. Seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dan membuat
putusan haruslah bebas dari pengaruh-pengaruh12:
“1. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik
eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain.
2. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran kekuasaan
kehakiman sendiri.
3. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara.
4. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional
maupun internasional.
5. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the
press”.”

10


Ibid., Hlm. 171
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 104
12
Ibid., Hlm. 169

11

7

Kekuasaan kehakiman yang merdeka tentu selalu seiringan dengan
konsep kemandirian hakim, yang dimaksud dengan kemandirian hakim
adalah mandiri, tidak tergantung dan tidak terpengaruh terhadap apapun
atau siapa pun. Hakim atau peradilan sebagai tempat orang mencari keadilan
haruslah mandiri dan independen. Mandiri dalam arti tidak tergantung atau
terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar
putusannya itu objektif, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat
menciptakan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Hans Kelsen di
dalam bukunya mengatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara
yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.13
Memuaskan dalam arti keputusan yang diberikan Hakim dalam putusannya
telah memenuhi keinginan para pihak yang berperkara sehingga baik
penuntut umum maupun penasihat hukum merasa bahwa mereka telah
merasakan keadilan yang seadil-adilnya.
Akan tetapi, tidak seluruh putusan pengadilan yang dijatuhkan dalam
persidangan untuk menyelesaikan suatu perkara dianggap bersifat objektif
dan dapat memberikan rasa keadilan bagi masing-masing pihak yang
berperkara, oleh karena itu masing-masing pihak yang berperkara, baik
terdakwa maupun penuntut umum, dapat mengajukan upaya hukum
terhadap putusan yang dirasa belum memenuhi rasa keadilan.

13

Hans Kelsen, General Theory of Law and State , diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa
Media, Bandung 2011, Hlm. 7

8

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 12
KUHAP). Upaya hukum dibedakan menjadi dua, yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Menurut KUHAP, upaya hukum biasa dapat
berupa:
1.

Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa
ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas
putusan pengadilan negeri (Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP).

2.

Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta
pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi karena:
a.

Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b.

Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

c.

Proses peradilan tidak dijalankan sesuai Undang-Undang.

Sedangkan upaya hukum luar biasa dapat berupa:
1.

Kasasi demi kepentingan hukum.

2.

Peninjauan Kembali
Upaya hukum banding diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang No 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sedangkan upaya hukum kasasi
diatur dalam Pasal 244 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Permohonan banding dan kasasi dapat diajukan oleh
terdakwa atau penuntut umum terhadap semua putusan Pengadilan Negeri

9

kecuali putusan tersebut merupakan putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Undang-Undang
memberi kesempatan upaya hukum sebagai tindakan koreksi atau perbaikan
atas Putusan Pengadilan Negeri. Pemeriksaan banding kemudian dilakukan
oleh Pengadilan Tinggi dengan tujuan agar Putusan Pengadilan Negeri
tersebut dikembalikan ke arah ketentuan Undang-Undang yang sebenarnya
dan diharapkan dapat memberi rasa keadilan bagi para pihak berperkara
yang sebelumnya tidak dirasakan dalam Putusan Pengadilan Negeri. Jika
dalam putusan banding para pihak masih merasa belum mendapat keadilan,
terhadap putusan banding tersebut dapat dimohonkan upaya hukum kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Seperti kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel.

dengan

terdakwa

Andro

Suprianto dan Nurdin Prianto. Dalam putusan tersebut terdakwa Andro
Suprianto dan terdakwa Nurdin Prianto yang bekerja sebagai pengamen
didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan secara
bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338
KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP terhadap korban yang bernama
Dicky Maulana dan dituntut pidana masing-masing selama 13 tahun
dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar
para terdakwa tetap ditahan. Dalam persidangan baik penuntut umum dan
penasihat hukum menghadirkan saksi-saksi dari masing-masing pihak, akan
tetapi tidak ada satu pun saksi yang melihat langsung bahwa terdakwa telah

10

melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut
umum. Penasihat hukum para terdakwa dalam pembelaannya menyatakan
bahwa para terdakwa tidak melakukan perbuatannya sebagaimana didakwa
oleh penuntut umum dan bahwa penyidikan bertentangan dengan hukum
yang kemudian mengakibatkan berita acara pemeriksaan cacat hukum
sehingga berita acara pemeriksaan, surat dakwaan, dan surat tuntutan batal
demi hukum serta tidak bisa dijadikan dasar untuk memenjarakan para
terdakwa dan mengajukan eksepsi atas surat dakwaan tersebut pada tanggal
9 Oktober 2013 dan Majelis Hakim menolak eksepsi penasehat hukum
terdakwa.
Pada

Putusan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel.

pada

amar

putusannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan
bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Pembunuhan secara bersama-sama” dan
menjatuhkan pidana 7 tahun penjara kepada masing-masing terdakwa. Pada
putusan pengadilan negeri tersebut, baik penuntut umum maupun penasehat
hukum merasa belum mendapatkan keadilan yang selayaknya dan memohon
upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi terhadap putusan tersebut,
yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikeluarkan Putusan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI yang pada amar
putusannya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam
Dakwaan Primair maupun Subsidair dari Dakwaan Penuntut Umum, majelis
hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya mengatakan

11

kurangnya bukti yang menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan
tindak pidana sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam
dakwaannya, sehingga majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta
kemudian membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam
usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut
umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata
cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh
leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
dianggapnya di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.14 Alat
bukti mempunyai fungsi yang sangat penting dalam persidangan, karena alat
bukti merupakan salah satu elemen dasar yang dapat mempengaruhi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.
Penuntut umum kemudian memohon upaya hukum kasasi terhadap
putusan banding tersebut dan oleh Mahkamah Agung dikeluarkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 1055 K/PID/2014. Pada pertimbangannya,
majelis hakim agung mengatakan bahwa Judex Facti Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta telah tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan hukum
sehingga para terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan.
14

M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Hlm. 253

12

Pada praktik peradilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri atau di
tingkat Pengadilan Tinggi, hakim bisa saja memberikan putusan bersalah
atau putusan bebas kepada terdakwa. Apabila pada putusan hakim
menyatakan bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa dihukum sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dengan kemungkinan terdakwa tersebut
dapat memperoleh keringanan berdasarkan pertimbangan majelis hakim,
namun bisa juga putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa
menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum jika perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan suatu tindak pidana, atau menyatakan bebas,
yang artinya terdakwa tidak terbukti bersalah dan akan dibebaskan dari
segala tuntutan hukum, atau dengan kata lain hakim menolak dakwaan yang
diajukan oleh penuntut umum. Pada kasus ini Hakim Pengadilan Tinggi
menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa. Pengertian dan ketentuan
mengenai putusan bebas itu sendiri diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yaitu “ Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim

atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan
hukum acara pidana. Dalam kasus ini, karena kurangnya bukti yang
menunjukan bahwa para terdakwa telah melakukan tindak pidana
sebagaimana dikatakan oleh penuntut umum dalam dakwaannya, sehingga

13

akhirnya majelis hakim pengadilan tinggi DKI Jakarta kemudian
membebaskan kedua terdakwa dari seluruh dakwaan tersebut.

Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara banding tidak
selalu memberikan putusan yang sama dengan putusan hakim Pengadilan
Negeri. Seringkali putusan hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian
mengubah, memperbaiki, atau bahkan membatalkan putusan hakim
Pengadilan Negeri, begitu pula dengan Hakim Mahkamah Agung yang
mengadili pada tingkat kasasi. Hal ini terjadi dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.JktSel.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis
Bebas Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan
Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt

Sel

Jo.

Putusan

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014).

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah
yang akan diketengahkan yaitu, apa yang menjadi dasar pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana pembunuhan
dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo. Putusan
Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014 ?

14

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis
dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap tindak pidana
pembunuhan dalam studi kasus Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
Jo.

Putusan

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

Jo.

Putusan

Nomor:1055K/PID/2014.

D.

Manfaat Penelitian
1.

Manfaat Teoritis

Dengan

adanya

penelitian

ini

maka

diharapkan

dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum
pidana terutama pembuktian dan pertimbangan hakim dalam memutus
tindak pidana pembunuhan.

2.

Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran yuridis yang berkaitan dengan alasan pertimbangan Hakim
Tinggi dan Hakim Agung yang menjatuhkan putusan bebas terhadap
tindak pidana pembunuhan.

15

E.

Metode Penelitian

1.

Jenis Penelitian
Berdasarkan

tujuan

penelitian

yang

telah

dirumuskan

sebelumnya, maka jenis penelitian yang dipakai adalah Yuridis
Normatif, karena yang diteliti ialah pertimbangan hakim dan
penelitian dilakukan dengan menelaah putusan hakim dikaitkan
dengan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum
yang sedang penulis amati.15

2.

Jenis Pendekatan
Adapun

pendekatan

dalam

penelitian

ini

menggunakan

pendekatan yang bertitik fokus pada kasus (Case Approach) dimana
yang akan diteliti adalah berdasarkan fakta kasus yang terjadi dalam
Putusan

Pengadilan

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt

Negeri

Jakarta

Sel

Jo.

Selatan
Putusan

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI Jo. Putusan Nomor:1055K/PID/2014.

3.

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk menjawab pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian
dibutuhkan data berupa:

15

Peter Mahmud M., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hlm. 136

16

a.

Bahan Hukum Primer

1)

Undang-Undang

Nomor

48

Tahun

2009

tentang

Kekuasaan Kehakiman
2)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)/
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana

4)

Putusan

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Selatan

DKI

Jakarta

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel
5)

Putusan

Pengadilan

Tinggi

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

b.

6)

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1055K/PID/2014

7)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 65/PUU-VIII/2010

Bahan Hukum Sekunder

Bahan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah
literatur, buku-buku, koran-koran dan wacana-wacana sebagai
refrensi yang terkait untuk penulisan skripsi ini.

4.

Unit Amatan dan Analisa
a.

Unit amatan

Adapun yang menjadi unit amatan dalam penulisan ini
adalah

Putusan

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Selatan

17

Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel, Putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta Nomor:50/PID/2014/PT.DKI, Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 1055K/PID/2014, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b.

Unit analisa

Adapun yang menjadi unit analisa dalam penulisan ini
adalah pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas
pada perkara Putusan Nomor:1273/Pid.B/2013/PN.Jkt Sel Jo.
Putusan

Nomor:50/PID/2014/PT.DKI

Nomor:1055K/PID/2014.

Jo.

Putusan

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Siapakah "Fulanan" Dalam Surah Al-Furqan Ayat 28?

5 75 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12