1. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Disusun oleh :
AKHMAD FAHRUR ROZI

( 12100040 )

SEMESTER : VI / B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2015

1. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah nomor 28/PUU-XI/2013 atas
permohonan uji materiil UU No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi yang dinilai Ultra
Petita.
Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur; Pusat
Koperasi Unit Desa Jawa Timur; Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur; Pusat Koperasi
An-nisa Jawa Timur; Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur; Gabungan
Koperasi Susu , Agung Haryono, dan Mulyono. Mereka mengajukan permohonan
kepada MK untuk menguji. Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal

56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal
73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 UU No.17
tahun 2012 tentang Koperasi.
Sejumlah pasal tersebut mengatur norma badan hukum koperasi, modal
penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi dalam
Undang-Undang tersebut telah mencabut dari sebagian kedaulatan rakyat, demokrasi
ekonomi, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan yang dijamin oleh Konstitusi.
Maka dari itu Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur;
Pusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur; Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur; Pusat
Koperasi An-nisa Jawa Timur; Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur;
Gabungan Koperasi Susu mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal yang
terkadung dalam Undang-Undang Perkoperasian.
Dalam hal pengujian Undang-Undang yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas suatu Undang-Undang dan
menguji sejauh mana Undang-Undang yang bersangkutan sesuai atau bertentangan
dengan UUD 1945. Manakala Mahkamah Konstitusi memandang suatu undangundang bertentangan dengan UUD 1945 maka Undang-Undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Ketua Majelis Hakim MK menilai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Perkoperasian yang menyebut koperasi hanya berorientasi pada makna koperasi
sebagai entitas yang bernilai materialitas dan bukan pada penempatan serta

keterlibatan manusia (orang-orang) dalam proses terbentuk dan keberlangsungan
hidup koperasi. Hal ini menempatkan manusia menjadi objek badan usaha dan bukan
subjek dari koperasi berdasarkan tafsir historis, Pendirian koperasi oleh orang
perseorangan sebagaimana definisi koperasi dalam UU Perkoperasian tidak

disinggung sama sekali oleh para ahli maupun ICA atau ILO. ICA dan ILO justru
sangat jelas menandaskan bahwa Koperasi adalah perkumpulan orang-orang. Dengan
demikian salah besar bila definisi koperasi dititikberatkan pada pendirian koperasi
yang dilakukan oleh orang perseorangan. Penggunaan frasa “didirikan oleh orang
perseorangan”pada batasan pengertian koperasi dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Perkoperasian yang menjadikan koperasi mirip dengan ketentuan pendirian
commanditaire vennootschap (CV)
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) yang menyatakan, “Perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan
uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seseorang atau antara
beberapa orang perseroan yang bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk
keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.”Bahkan
Perseroan Terbatas (PT) saja sebagai sebuah badan hukum yang jelas-jelas
berorientasi mencari keuntungan, tidak didefinisikan sebagai badan hukum yang
didirikan oleh orang perseorangan. Definisi PT dalam Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan, “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya

disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya.
Terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.Definisi koperasi dalam UU
Perkoperasian menunjukkan political will dari pembentuk UU yang menyamakan
koperasi dengan perusahaan (PT, CV, UD, Firma, dan Perusahaan Perorangan).
Koperasi bukanlah PT yang diberi nama Koperasi. Pemilik PT adalah para pemegang
saham dan pelanggan PT adalah para konsumen yang membeli barang dan jasa dari
PT itu. Sedangkan pemilik Koperasi adalah juga pelanggannya s endiri. Jika P T
berusaha mencari laba yang dipungut dari para pelanggannya,maka Koperasi tidak
mencari laba. Sebab, tidak masuk akal memungut laba pada diri sendiri, karena
pelanggan adalah sekaligus pemilik yang sama.
Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa dalam Pasal 33 UUD
1945 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Di dalam Rancangan Soal Perekonomian Indonesia Merdeka yang diterima
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdapat uraian mengenai
koperasi yang menjadi pilihan untuk membangun perekonomian Indonesia. “Orang
Indonesia hidup dalam tolong menolong! Perekonomian Indonesia Merdeka akan
berdasar kepada tjita-tjita tolong menolong dan usaha bersama, jang akan
diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi.” (Muhammad
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, 1959, Hlm.
737).
Oleh karena itu, paham kolektif (kolektivisme) seharusnya yang mendasari
definisi koperasi, dan bukan paham individual (individualisme). Mohammad Hatta
pernah menyebutkan bahwa cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme
dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan
masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang
asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman
modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali dengan
koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia
pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan.
Sebagai badan hukum tidak mengandung pengertian substantif, merujuk pada
pengertian sebagai bangunan perusahaan khas. Pengertian koperasi ternyata telah
dielaborasi dalam pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang No. 17/2012, sehingga di

suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan
menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas," kata Anggota Hakim Konstitusi
Maria Farida Indrati. Hal ini tidak sejalan dengan koperasi seperti dimaksud dalam
Pasal

33

ayat

(1)

UUD

1945.

Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2), huruf a dan e dan Pasal 56 ayat (1) yang memberi
tugas kepada pengawas untuk mengusulkan pengurus, menerima atau menolak
anggota baru hingga memberhentikan anggota kontradiktif dengan Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 29 ayat (2) yang menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai nilai dasar
kegiatan koperasi. ”Pasal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi ”.

Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota koperasi membeli sertipikat
modal koperasi adalah norma yang tidak sesuai prinsip koperasi yang bersifat

sukarela dan terbuka dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. ”Ini
berarti orientasi koperasi telah bergeser ke arah usaha bersama sebagai modal (materil
dan finansial)
Dalam hal ini Mahkamah menegaskan bahwa Undang-Undang Perkoperasian
mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial yang mengesampingkan
modal sosial yang justru menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas
pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Serta pasal-pasal tersebut mengandung
kegiatan korporasi.
Dari analisa terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi pada pengujian UndangUndang Perkoperasian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
a) Dalam beberapa putusannya MK telah mengeluarkan putusan Ultra
Petita / memutuskan melebihi apa yang dimohonkan oleh Pemohon,
sementara menyangkut pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi
memberikan argument,diantaranya :
 UU yang diminta diuji merupakan ‘’jantung’’ Undang-Undang
segingg seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan
 Praktik Ultra Petita oleh MK lazim di Negara-negara lain
 Perkembangan Yurisprudensi pengadilan perdata Ultra Petita

diijinkan
 Terkait pengujian UU yang menyangkut kepentingan umum akibat
hukumnya yang bersifat erga omnes,berbeda dengan hukum
perdata ( privat )
 Kebutuhan kemasyarakatan dalam hal menuntut Ultra Petitatidak
berlaku mutlak
 Jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku
pada permohonan ( petitum )
 Permohonan keadilan ( ex aquo et bono) dianggap secara hukum
diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak diminta
b) Munculnya putusan Ultra Petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi
telah mengundang reaksi dari banyak pihak, pasalnya putusan yang
bersifat Ultra Petita dalam Mahkamah Konstitusi tidak memliki sebuah
dasar hukum yang jelas. Seandainya Ultra Petita diperbolehkan dan diatur
secraa jelas dalam undang-undang maka akan jelas mekanismenya. Yang
dikhawatirkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan yang
tidak diatur dalam Undang-Undang. Sehingga terkesan bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga yang superior. Dengan demikian maka dalam

rangka penerapan terhadap putusan Ultra Petita juga menjadi tidak

maksimal serta menimbulkan kontroversi
Maka alangkah sebaikmya putusan Ultra Petita di Mahkamah Konstitusi
sebaiknya diatur terkait dalam perumusan Undang-Undang yang bertujuan supaya
lebih rinci dan secara jelas dalam Undang-Undang atau UUD 1945 atau juga
dalam sebuah Peraturan Mahkamah Konstitusi sehingga dasar hukumnya menjadi
jelas dan tidak membuat kalangan public mengalami kebingungan dan diharapkan
Mahkamah Konstitusi tidak terlalu jauh menafsirkan sebuah UUD 1945 dalam
menjalankan tugasnya untuk menguji sebuah Undang-Undang. Sebab dapat
memunculkan putusan-putusan inkonstitusional dan menjadi kontroversi di
kalangan masyrakat.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945.Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang MK menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar 1945
Dalam beberapa putusannya MK telah memutuskan melebihi dari yang
dimohonkan (ultra petita). Namun, belum diaturnya ketentuan mengenai ultra
petita baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
serta Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaannya mengadili, menurut
hukum harus ditemukan hakim mengenai hukumnya. Kewajiban hakim menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat, karena pengadilan tidak boleh menolak perkara. MK harus
menemukan hukumnya utamanya dari hukum tertulis atau hukum tidak tertulis
yang sesuai dan tidak berlawanan dengan UUD 1945. Dengan pengujian UndangUndang, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim
pasif dalam hukum acara perdata. Pengujian Undang-Undang adalah mengenai
konflik norma hukum antara Undang-Undang dengan UUD 1945. Tugas hakim
sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili
kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam

pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta
kepentingan umum yang dilindungi.
1. Terkait dengan law making process atau proses pembentukan Undang-Undang
Perkoperasian yang dibuat oleh lembaga legislative maka disini saya akan
memaparkannya :
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NKRI 1945, kekuasaan untuk membentuk
undang-undang (“UU”) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).
Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI 1945 diatur bahwa setiap
rancangan undang-undang (“RUU”) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama.
Dalam UU 12/2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d.
Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Sedangkan, dalam

UU 27/2009, pembentukan UU diatur dalam Pasal 142 s.d. 163. Berdasarkan
ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib DPR tersebut, pada intinya
proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:
1.

RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden.

2.

RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau

alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
3.

RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan

lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
jawabnya
4.


RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional

(prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat
pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas
pembahasannya.
5.

Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik

kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU,
serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
6.

Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada

seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna
7.

DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa

persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan
8.

Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.

9.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,

rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus
10.Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar
musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian
pendapat mini fraksi
11.Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna
berisi:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota
secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. pendapat

akhir

Presiden

yang

disampaikan

oleh

menteri

yang

mewakilinya.
12.Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan
diambil dengan suara terbanyak
13.RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya
alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja.

14.Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang
APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
15.RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden
diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat
pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91