Pengan Ibu yang Memiliki Anak Autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autisme
2.1.1 Pengertian Autisme
Autis merupakan gangguan yang terjadi pada masa anak-anak, ditandai dengan
gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang terbatas dan
berulang. Gejala autis timbul sebelum anak berusia 3 tahun, meskipun dalam
beberapa kasus, tidak diakui sampai anak jauh lebih tua. Gangguan autis terjadi
empat sampai lima kali lebih sering pada anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Anak perempuan dengan gangguan autis lebih cenderung memiliki
keterbelakangan mental lebih parah (Sadock & Sadock, 2007).
Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa
aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui
pengalamannya. Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat
merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak
dengan orang. Orang dianggap sebagai benda yang tidak dapat diajak
berkomunikasi dan berinteraksi (Hasdianah, 2013)
Autis adalah suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya
sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak

usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa
saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa dan
semua etnis (Yatim, 2007).

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2 Penyebab Autisme
Penyebab autis belum diketahui, tetapi kemungkinan penyebab autis lebih
dari satu. Ada beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya autis (Sadock & Sadock, 2007):
2.1.2.1 Faktor biologi
Terdapat bukti kuat yang menunjukkan gangguan autis merupakan
gangguan perkembangan otak yang berhubungan dengan abnormalitas struktur
dan fungsi otak. Faktor ini dikarakteistikkan seperti penurunan jumlah sel
purkinje pada bagian posterior inferior belahan otak, kecacatan pada dendrit dan
perkembangan saraf di sistem limbik, hipoplasia pada lobulus otak ke VI, VII, dan
ukuran struktur batang otak, vermis otak, serta komponennya signifikan lebih
kecil pada penderita autis dibandingkan dengan grup kontrol (Sadock & Sadock,

2007).
2.1.2.2 Faktor genetik
Beberapa hasil survei didapatkan 2-4% saudara kandung penderita autis
juga mengalami autis. Para peneliti menampilkan DNA saudara kandung autis
lebih dari 150 pasang, mereka mendapatkan bukti kuat mengenai bahwa
kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis. Selain itu,
ditemukan juga penyimpangan pada lengan panjang kromosom 15 dan kromosom
sex. Lebih kurang 1% penderita autis juga mengalami fragile X syndrome,
gangguan genetik pada lengan panjang kromosom X. Gangguan ini lebih rentan
pada laki-laki sebab mereka hanya memiliki satu kromosom X dan sebesar 30-

Universitas Sumatera Utara

8

50% fragile X syndrome berhubungan dengan gangguan mental (Sadock &
Sadock, 2007).
2.1.2.3 Faktor imunologi
Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian immunologi dapat
berkontribusi pada gangguan autis. Limfosit anak-anak autis bereaksi dengan

antibodi ibu dapat menyebabkan saraf embrio, extraembrio, dan jaringan
mengalami kerusakan selama kehamilan (Sadock & Sadock, 2007).
2.1.2.4 Faktor neuroanatomi
Anak-anak gangguan autis dilahirkan dengan ukuran otak yang normal.
Akan tetapi, ukuran otak signifikan bertambah besar ketika berumur 2-4 tahun.
Studi MRI yang membandingkan anak autis dengan anak normal sebagai kontrol
menunjukkan 9 bahwa volume otak anak autis lebih besar, meskipun pada
umumnya penderita autis yang mengalami retardasi mental yang berat memiliki
ukuran kepala yang lebih kecil. Rata-rata kenaikan ukuran terjadi pada lobus
occipital, lobus parietal, dan lobus temporal dan tidak terdapat perbedaan pada
lobus frontal. Pembesaran spesifik pada hal ini tidak diketahui. Peningkatan
volume dapat muncul mungkin dari 3 mekanisme yang berbeda, yaitu
peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan peningkatan
produksi jaringan otak nonneural, seperti sel glial ataupun pembuluh darah. Lobus
temporal dipercaya merupakan daerah yang penting terhadap abnormalitas pada
penderita autis, hal ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan beberapa
orang penderita autis mengalami kerusakan pada lobus temporal. Pada hewanhewan bila terjadi kerusakan bagian temporal akan mengalami kehilangan

Universitas Sumatera Utara


9

perilaku sosial yang normal, kegelisahan, tingkah yang berulang – ulang, dan
keterbatasan tingkah laku (Sadock & Sadock, 2007).
2.1.2.5 Faktor Biokemikal
Beberapa studi melaporkan individu autis tanpa retardasi mental memiliki
insidensi hiperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak gangguan autis juga
terdapat konsentrasi tinggi asam homovanillik (metabolisme utama dopamin) di
cairan otak (CSF) yang berhubungan dengan tingkah laku meniru- niru dan
menarik diri (Sadock & Sadock, 2007).
2.1.2.6 Faktor prenatal
Infeksi virus pada intrauterin dan gangguan metabolisme memiliki peranan
penting dalam patogenesis gangguan autis. Intrauterin yang terpapar obat
teratogenik, thalidomide, dan valproate implikasi menyebabkan gangguan autis
(Sadock & Sadock, 2007).
2.1.3 Kriteria Diagnostik Autisme
Adapun kriteria anak dikatakan autis, yang didefinisikan oleh The DSM –
V (Diagnostic and Atatistical Manual of Mental Disorder), edisike-5
dikembangkan oleh American Psychiatric Association adalah terdapat 6 gejala
dari gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas,

berulang, dan meniru dengan minimal 2 gejala dari gangguan interaksi sosial dan
masing-masing 1 gejala dari gangguan komunikasi, dan pola perilaku yang
terbatas, berulang, dan meniru.
Gangguan dari interaksi sosial yaitu: 1) gangguan pada perilaku nonverbal
seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak isyarat yang biasanya

Universitas Sumatera Utara

10

mengatur interaksi awal, 2) tidak mampu mengembangkan hubungan dengan
teman sebayanya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya, 3) kurangnya
spontanitas membagi kebahagiaan, minat, ataupun hasil yang dicapai dengan
orang lain, dan 4) kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.
Gangguan komunikasi seperti: 1) keterlambatan pada perkembangan
bahasa verbal, 2) bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan
untuk memulai dan mempertahankan percakapan dengan orang lain, 3)
penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan meniru-niru, dan 4) kemampuan
bermain kurang variatif, kurang spontan.
Pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru seperti: 1) menunjukkan

minat yang terbatas, 2) terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas
yang tidak ada fungsinya, 3) menunjukkan gerakan-gerakan stereotip (misalnya
menjentikkan jari-jari, membenturkan kepala, berayun ke depan dan belakang,
berputar dan 4) seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
Terjadi keterlambatan/fungsi abnormal paling sedikit satu dari hal-hal
berikut ini: interaksi sosial, kemampuan berbicara/ berbahasa, bermain imajinatif
ataupun simbolik sebelum umur 3 tahun.
2.1.4

Penanganan Autisme

Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain:
2.1.4.1 Terapi Obat (medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan

yang bertujuan untuk

memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan
menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang.


Universitas Sumatera Utara

11

Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat,
pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat dan
mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan
yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena
itu perlu ada kehatihatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya
berlangsung jangka panjang (Danuatmaja, 2003).
2.1.4.2 Terapi Pekerjaan
Bagi individu autis, terapi pekerjaan (OT: occupational therapy) dilakukan
untuk meningkatkan keterampilan dalam hidup sehari-hari seperti pelatihan
menggunakan toilet, megenakan pakaian dan memfokuskan gerak tubuh untuk
semua kegiatan sehari-hari contohnya memperbaiki motorik halus (menggenggam
pena untuk menulis atau menggunakan gunting untuk memotong), memperbaiki
motorik kasar (bersepeda, menendang bola atau berlari), keterampilan
mempersepsi (dibutuhkan untuk mengatur tubuh di dalam ruang dan
mempertahankan suatu postur tubuh selain juga memilahkan di antara bentukbentuk dan mengestimasi jarak), keterampilan visual (untuk membaca dan
menulis), dan keterampilan bermain (Sastry & Agirre, 2012)

2.1.4.3 Terapi Fisik
Para terapis fisik menggarap perkembangan otot, kekuatan dan
koordinasinya, menargetkan keterampilan motorik kasar pada anak-anak seperti
duduk, bergulung dan berdiri. Ketika anak bertumbuh, terapi fisik memfokuskan
untuk menolong keterampilan yang mensyaratkan koordinasi lebih kompleks
seperti menendang, melempar dan menangkap, dan menghindar. Fokusnya lebih

Universitas Sumatera Utara

12

dari sekadar perkembanagan fisik, karena bisa meliputi juga kemampuan untuk
terlibat di dalam olahraga dan permainan pada umumnya. Tujuan dan pendektan
terapi fisik di titik ini bisa saja tumpang-tindih dengan tujuan dan pendekatan
terapi pekerjaan. Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anakanak dengan masalah alergi makanan tertentu sering terjadi anak autis, seperti
gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam
berat. Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan
mempengaruhi fungsi otak. Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah
GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak
mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten

adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah
protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat
dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein
menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal
ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang berdampak
pada menurunnya tingkat kecerdasan. (Sastry & Agirre, 2012)
2.1.4.4 Terapi Biomedis
Terapi biomedis ini sebenarnya dipinam dari penggunan yang sudah mapan
dibidang-bidang lain kedokteran yang kemudian diperluas atau diubah jika ingin
digunakan untuk menangani autisme. Contohnya di dalam praktis klinik standar,
chelation dapat digunakan untuk menangani keracunan akut, dan antbiotik
menangani infeksi bakteri.

Universitas Sumatera Utara

13

2.1.4.5 Terapi Sistem Kekebalan Tubuh
Terapi sistem kekebalan tubuh melibatkan pemberian antibodi untuk
membantu individu melawan bakteri dan virus. Teori yang mendasarinya

menyatakan bahwa individu tidak punya sistem kekebalan tubuh yang kuat atau
tidak menghasilkan antibodi yang cukup sehingga membuatnya rentan dari infeksi
yang menyebabkan simtom autisme muncul. Namun, tidak ada bukti yang bisa
mengaitkan pemberian antibodi dengan perbaikan autisme. Selain itu biaya
penanganan ini sangat mahal (Sastry & Agirre, 2012).
2.1.5

Dampak Autisme pada Orangtua

Mengasuh anak dengan autisme jauh lebih sukar daripada mengasuh anak
biasa. Beberapa dampak autisme pada orangtua yang memiliki anak autis, antara
lain (Sastry & Agirre, 2012):
2.1.5.1 Tekanan terhadap Sumber Daya
Orangtua yang memiliki anak autis menghadapi lebih banyak persoalan
daripada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus lainnya saat ingin
mendapatkan perawatan kesehatan, intervensi dan terapi sesuai yang dibutuhkan
putra-putri mereka. Tantangan-tantangan ini dan beban-beban finansial, pekerjaan
dan waktu yang terkait, jelas besar sekali untuk keluarga-keluarga dengan ASD,
bahkan mesti dibandingkan dengan keluarga yang anak-anaknya memiliki
kebutuhan kesehatan mendesak.

Sebuah survei online menyimpulkan bahwa 80% dari 4.295 keluarga yang
dipoling Interactive Autism Network (IAN) (2009) melaporkan bahwa situasi
finansial mereka terpengaruh negatif lantaran mengasuh anak autis. Banyak juga

Universitas Sumatera Utara

14

orangtua yang mencatat efek karier negatif lantaran terlalu banyak minta libur
untuk mengasuh anak autis mereka, bahkan berhenti kerja atau studi mereka.
2.1.5.2 Stres Orangtua yang Anaknya Mengalami Autisme
Ibu yang memiliki anak autis mengalami stres lebih besar daripada ibu dari
anak-anak sindrom X rapuh atau sindrom Down (Abbeduto dkk, 2004).
Kekhawatiran akan masa depan anak berada di puncak daftar sembilan dari
sepuluh orangtua, menurut survei IAN tahun 2009. Kebanyakan orangtua
merasakan dampak negatif dari 3 hal berikut: perilaku anak, kemunduran, dan
sulit diberikan perawatan. Penanganan yang melelahkan dan mengecewakan
menyerang hampir separuh orangtua sebagai stresor negatif.
Meski banyak riset yang menyoroti para ibu, ternyata para ayah dari anakanak dengan ASD juga mengalami stres, meski kadarnya lebih rendah. Secara
umum, orangtua dari anak-anak autis melaporkan problem psikologis lebih
banyak daripada orangtua lain, dan banyak mengalami perasaan terisolasi.
Tantangan-tantangan stres lain juga umum dirasakan adalah depresi, kecemasan,
dan kemarahan.
2.1.5.3 Efek bagi Kesehatan Fisik
Sebuah riset di Swedia tentang efek-efek kesehatan bagi orangtua yang
memiliki putra-putri ASD menemukan dampak kesehatan yang signifikan bagi
ibu, khususnya jika anaknya hiperaktif atau memiliki masalah perilaku (Allik,
Larson, dan Smedje, 2006). Tim riset lain menanyai 299 orangtua untuk mengkaji
kehidupan mereka secara detail. Dibandingkan dengan orangtua lain, orangtua
dari anak autis terlibat di aktivitas fisik lebih buruk, selain juga kesehatan

Universitas Sumatera Utara

15

psikologis dan hubungan sosial lebih buruk dengan seluruh kualitas hidup lebih
rendah.
2.1.5.4 Efek bagi Pernikahan
Stres, tantangan finansial, sosial, psikologis dialami orangtua yang memiliki
anak autis tentunya mempengaruhi juga hubungan suami-istri didalam keluarga.
Banyak orangtua yang berjuang keras menghadapi anak ASD mereka mengatakan
adanya tekanan pada pernikahan mereka, dan beberapa dari mereka melaporkan
kepuasan lebih rendah dari hubungan mereka. Isu-isu pernikahan yang lain
meliputi pembagian pekerjaan di rumah dan penyangkalan pasangan terhadap
diagnosis. Sebuah penelitian menunukkan bahwa orangtua yang punya anak ASD
memiliki tingkat perceraian lebih tinggi (23 lawan 14 persen di rentang usia
pernikahan 6 tahunan). Bagi orangtua dikeluarga biasa, risiko perceraian mulai
merosot setelah anak meraih usia 8 tahunan, namun bagi keluarga ASD, tidak ada
penurunan dalam risiko perceraian (Hartley dkk, 2010).
2.2

Studi Fenomenologi
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan

fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data
yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Selain itu,
pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia
terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan memberikan gambaran terhadap
makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang
dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau

Universitas Sumatera Utara

16

konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada
apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka
menafsirkan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang
berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah
untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit &
Beck, 2012).
Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan
yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana
peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa
adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha
untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).
Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak.
Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah kurang atau sama dengan 10 orang
partisipan. Partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode convenience
sampling yaitu partisipan dalam suatu penelitian responden yang berhak mengisi
kuesioner tergantung sepenuhnya kepada kemudahan peneliti (Sekaran, 2003).
Teknik ini juga disebut teknik aksidental. Menurut Sugiyono (2006), sampel
aksidental adalah teknik penentuan responden berdasarkan siapa saja yang secara
kebetulan dipandang cocok sebagai sumber data makan akan dijadikan pastisipan.
Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses
analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah
Collaizi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi

Universitas Sumatera Utara

17

Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah
fenomena (Polit & Beck, 2012).
Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck 2012) menyatakan bahwa ada tujuh
langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut
meliputi:1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan
mereka,2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, 3)
menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan,4) mengelompokkan
makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema,5) mengintegrasikan
hasil kedalam bentuk deskripsi,6) memformulasikan deskripsi lengkap dari
fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, dan 7)
memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi
akhir .
Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck 2012) untuk
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data
divalidasi

dengan

beberapa

kriteria,

yaitu

credibility,

transferability,

dependability, confirmability.
Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data
dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya
oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan.
Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan
yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement),
ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation),
diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negatif (negative case

Universitas Sumatera Utara

18

analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks),
dan pengecekan anggota (member checking).
Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil
penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek lain
yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas
eksternal. Maksudnya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan
dalam situasi lain.
Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan
data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi
untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah
proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah
dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk
memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut
reliabilitas atau syarat bagi validitas.
Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan
kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan
dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan
hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam
penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Confirmability merupakan
kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.

Universitas Sumatera Utara