BOOK Ani Yuningsih Konsistensi Kearifan Lokal

Konsistensi Kearifan Lokal di Desa Wisata
“Sunda Buhun”
(Studi Interaksi Simbolik Tokoh Adat di Desa Wisata
Cireundeu-Cimahi-Jawa Barat dalam Melestarikan
Budaya “Sunda Buhun” )
Ani Yuningsih
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung
[email protected]

Pendahuluan
Pertama kali menginjakkan kaki di Desa Cireundeu, daerah
Leuwi Gajah, Cimahi, Jawa Barat, tahun 2012, sudah terasa adanya
keunikan yang khas, karena tidak sama dengan desa-desa lain yang
ada di Jawa Barat, yang sudah terkena sentuhan modernisasi. Di pintu
gerbang desa ini berseliweran para pemuda desa yang menggunakan
baju pangsi hitam dan ikat kepala batik berwarna cokelat. Desa
Cireundeu merupakan salah satu desa wisata yang terpilih oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, untuk dijadikan desa
binaan yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan menjadi
pusat pengembangan budaya Sunda Buhun serta kearifan lokal Sunda
lainnya yang sudah hampir punah.

Pinisepuh dan tokoh-tokoh adat di Desa Cireundeu memiliki
komitmen yang kuat untuk secara konsisten mempertahankan
penerapan kearifan lokal yang merujuk pada adat Tatali Karuhun
budaya Sunda Buhun. Tidaklah mengherankan, dengan konsistensinya
tersebut, Desa Cireundeu terpilih menjadi desa yang mendapat bantuan
pemberdayaan desa wisata melalui program PNPM Pariwisata pada
tahun 2012. Warga Desa wisata Cireundeu sendiri, berpartisipasi aktif
dan berupaya keras mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda Buhun
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam aktivitas
keseharian, pengelolaan desa, cara berbisnis, cara berkomunikasi,
maupun aktivitas sosial lainnya yang dibutuhkan. Uniknya cara
makan warga Desa Cireundeu juga berbeda dari masyarakat pada
umumnya, yaitu hanya memakan makanan berbahan dasar singkong,
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

51

dan segala variannya yang berasal dari bahan dasar pohon singkong,
yang dikembangkan secara kreatif oleh ibu-ibu warga masyarakat Desa
Cireundeu sendiri.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui pola
komunikasi dalam proses interaksi simbolik yang dilakukan tokoh adat
setempat dalam membangun dan mempertahankan nilai budaya serta
kearifan lokal Sunda Buhun, kemudian peneliti juga ingin mengetahui
makna dan konsistensi nilai “makan singkong” di kalangan warga
masyarakat Desa Cireundeu, serta ingin mengetahui motif warga desa
dalam membangun citra desa wisatanya, melalui pelestarian budaya
Sunda Buhun.
Penelitian ini penting untuk dilakukan, mengingat setiap potensi
wisata yang baik di wilayah Indonesia perlu dipertahankan dan
diberdayakan seoptimal mungkin. Program pemberdayaan yang tepat
akan dapat diperoleh dan diterapkan dengan baik, jika pemerintah
dan pihak berkepentingan lainnya memahami pola komunikasi
dan pola pemikiran masyarakat di desa yang bersangkutan.
Program pemberdayaan desa wisata juga perlu dikaji, agar mampu
mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal budaya setempat sehingga
memiliki “nilai jual” pariwisata, tanpa merusak konsistensi dan
kekuatan makna nilai itu sendiri. Pendekatan yang tepat dan bijaksana,
pada gilirannya akan menjadikan desa-desa wisata di Indonesia
berkembang dengan baik, cadangan devisa negara naik, dan sekaligus

tingkat kesejahteraan warga desanya meningkat. Pendekatan dan
pemahaman akan pola interaksi simbolik yang tepat, akan melahirkan
model pemberdayaan yang tepat untuk mempertahankan citra desa
wisata yang berbudaya luhur, mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal
setempat secara konsisten dan bersahaja.

Kajian Teori
Teori Interaksi Simbolik
George Herbert Mead menyatakan bahwa komunikasi manusia
berlangsung melalui pertukaran simbol serta pemaknaan simbolsimbol tersebut. Teori interaksionisme simbolik, ide dasarnya adalah
sebuah simbol, karena simbol ini adalah suatu konsep mulia yang
memberikan nilai lebih bagi derajat manusia. Simbol muncul sebagai
52

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

kebutuhan setiap individu dan kelompok untuk berinteraksi dengan
sesamanya. Proses interaksi antar individu, diawali suatu tindakan
atau perbuatan yang diawali dengan pemikiran, yang diekspresikan
melalui simbol-simbol. Terbentuknya simbol diawali dari kebutuhan

masyarakat, untuk membangun tindakan sosial secara kolektif.
Sementara itu, menurut Blumer (1969), teori interaksi simbolik disebut
juga sebagai teori sosiologi interpretatif.  Pokok pikiran interaksi
simbolik ada 3 (tiga), yakni: Bahwa manusia bertindak (act) terhadap
sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning). Pokok-pokok pendekatan
interaksi simbolik yang diungkapkan pada konsep Blummer adalah
“….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian
mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri),
tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan
sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh
individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak,
sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa
susunan tindakan individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/
pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya” (Zetlin,
1995:332).
Teori Konstruksi Citra
Pembentukan citra yang positif oleh organisasi atau kelompk
sosial tertentu, jika dilakukan secara kontinyu dan konsisten, akan
memberikan kepercayaan kepada khalayak. Terbentuknya kepercayaan
publik terhadap sebuah lembaga, termasuk dalam hal ini terhadap

desa Cireundeu, dapat meningkatkan proibilitas dan eksistensi desa
Cireundeu sebagai desa wisata yang unik dan dikenal baik terutama
karena seni dan budaya serta kreatiitas kulinernya yang berbasis
kearifan lokal Sunda Buhun. Tujuan dari pembentukan citra, umumnya
adalah untuk menghindari kesalahpahaman, mengevaluasi berbagai
aktivitas dan program, dan meningkatkan daya tarik khalayak atau
publik.
Proses terbentuknya citra menurut Hawkins et All dapat dilihat
pada gambar berikut :

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

53

Gambar 1. Proses Terbentuknya Citra Perusahaan
Sumber : Hawkins (2000)

Menurut Jose M. Pina (2004:8), aspek-aspek yang mempengaruhi
pembentukan citra perusahaan adalah:
1. Reputation, merupakan pendapat atau pandangan umum terhadap

suatu organisasi atau perusahaan.
2. Credibility, merupakan penilai atau sikap percaya terhadap
perusahaan.
3. Service quality, merupakan penilaian atau sikap global berkenaan
dengan superioritas suatu jasa.
4. Extension quality, adalah kualitas yang diterima oleh konsumen
setelah perusahaan melakasanakan perluasan.
5. Fit, merupakan peluang untuk menggunakan secara bersama-sama
pelayanan yang telah ada dengan pelayanan setelah perusahaan
melaksanakan perluasan.
Shirley Harisson (2005:256) berpendapat juga bahwa dalam
pembentukan citra yang pengaruhi oleh persepsi seseorang, maka ada
3 (tiga) hal penting yang menjadikan penentunya, yaitu:
1. Cognitive/Kognitif, merupakan bentuk tanggapan persepsi
pernyataan tentang satu keyakinan seseorang terhadap suatu objek.
Tujuannya adalah untuk menanamkan suatu pengetahuan ke dalam
benak seseorang.
2. Afective/Afektif, merupakan bentuk tanggapan emosional
mengenai pernyataan tentang suka atau tidak suka terhadap suatu
objek. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi atau merubah

attitude seseorang.
3. Behavioral/Perilaku, merupakan bentuk tanggapan tindakan
mengenai pernyataan tentang perilaku. Tujuannya adalah untuk
membuat seseorang melakukan sesuatu.

54

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Makna dalam Komunikasi
Makna berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya;
Makna bukan hanya arti, tetapi lebih berupa penafsiran yang bersifat
interpretif. Proses terbentuknya makna dimulai dari adanya pesan
dan tindakan komunikasi, ketika seseorang menghadapi sesuatu yang
dijumpainya. Blumer mengatakan, bahwa makna yang muncul dari
interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah
individu itu menafsirkannya terlebih dahulu.
Weber, seorang sosiolog yang berusaha memahami tindakantindakan sosial dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab
tindakan tersebut. Menurutnya, inti dari sosiologi adalah arti yang nyata
dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan–alasan subyektif.

Itulah yang kemudian menjadi pokok penyelidikan Max Weber dan
disebutnya sebagai Verstehende Sociologie. Verstehen merupakan kata dari
bahasa Jerman yang berarti pemahaman. Dalam hal ini verstehen adalah
suatu metode pendekatan yang berusaha mengerti dan memahami makna
yang mendasari dan mengitari peristiwa atau fenomena sosial dan historis.
Pendekatan ini bertolak pada gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung
oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya
(Weber, 2006). Anggota masyarakat sebagai aktor, selalu memberikan
makna atas berbagai peristiwa atau fenomena sosial dan historis dimana
dia hidup dan berinteraksi secara berkesinambungan. Makna suatu
nilai kearifan lokal dan makna suatu nilai budaya, terbangun atas dasar
kehendak para aktor, dalam hal ini tokoh adat atau wewengku adat di desa
Cireundeu, yang melahirkan makna yang terpateri di benak para aktor, lalu
dikemas dalam bentuk simbol-simbol budaya dan dikomunikasikan dari
generasi ke generasi, sehingga muncullah konsistensi penerapan atas nilai
budaya tertentu, dan lalu diperkuat dengan norma adat Tatali Karuhun.
Teori Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Widjaja (2003:169) pemberdayaan masyarakat
adalah upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki
masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat

dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan
diri secara mandiri baik di bidang ekonomi, sosial, agama dan budaya.
Lebih lanjut Kartasasmita (1996:95) mengemukakan bahwa upaya
memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara yakni:
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

55

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi
bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat
adalah keyakinan dan potensi kemandirian tiap individu perlu untuk
diberdayakan. Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada
proses kemandirian tiap individu, yang kemungkinan meluas ke
keluarga, serta kelompok masyarakat baik ditingkat lokal maupun
nasional.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan
menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan,
menyediakan prasarana dan sasaran yang baik isik (irigasi, jalan, dan

listrik). Maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan) yang
dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah. Terbentuknya
akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya,
seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan
pemasaran. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat ini yang penting
antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan
dan kesehatan, serta akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi
seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar.
3. Memberdayakan masyarakat dalam arti melindungi dan membela
kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan
harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau
mungkin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat oleh karena
itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar
sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan
membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.
Menurut Adisasmita (2006:35)” Pemberdayaan masyarakat adalah
upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat pedesaan
yang lebih efektif dan efesien, seperti:
1. Aspek masukan atau input. Seperti Sumber Daya Manusia (SDM),

dana, peralatan atau sarana, data, rencana, teknologi.
2. Aspek proses. Seperti pelaksanaan, monitoring dan pengawasan.
3. Aspek keluaran dan out put. Seperti pencapaian sasaran, efektivitas
dan eisiensi.
56

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Menurut Sumaryadi (2010) pemberdayaan masyarakat adalah
“upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan langkah upaya
memperkuat kelembagaan masyarakat agar mereka mampu
mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam
suasana keadilan sosial yang berkelanjutan”.
Komunikasi Pariwisata
Pengertian Pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara
dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan- tujuan diluar tempat
dimana mereka biasanya hlidup dan bekerja dan kegiatan-kegiatan
mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan itu. Komunikasi
pariwisata adalah suatu aktivitas manusia dalam menyampaikan
informasi tentang perjalanan kesuatu daerah maupun objek wisata
yang akan di kunjungi wisatawan sambil menikmati perjalanan dari
suatu objek wisata ke objek wisata lainnya, agar wisatawan tertarik dan
sampai pada suatu tindakan untuk mengunjungi.
Industri pariwisata memiliki karakter unik, bahwa sektor
pariwisata memberikan efek berantai (multiplier efect) terhadap
distribusi pendapatan penduduk di kawasan sekitar pariwisata,
elastis terhadap krisis nasional yang terjadi dalam arti tidak terlalu
terpengaruh oleh krisis keuangan dalam negeri, ramah lingkungan,
serta kenyataan bahwa industri pariwisata merupakan industri yang
hampir tanpa konlik.
Banyak negara sangat bergantung pada industri pariwisata sebagai
sumber pajak dan pendapatan untuk perusahaan yang menjual jasa
kepada wisatawan. Adapun strategi untuk menuju sasaran tersebut dapat
dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain: 1) Mengembangkan
muatan lokal tentang kebudayaan dan pariwisata untuk seluruh
jenjang pendidikan umum maupun khusus; 2) Perubahan paradigma
pembangunan industri budaya pariwisata dari industri yang berbasis
sumber daya menjadi industri yang berbasis pengetahuan; 3)
Pengembangan kebudayaan dan pariwisata di daerah yang relatif
belum berkembang untuk mengundang investasi sektor-sektor lain;
4) pengembangan produk kebudayaan dan pariwisata yang beragam,
sesuai dengan identitas daerah; dan 5) Pengembangan gerbang primer
sebagai pintu masuk ke wilayah yang bersangkutan guna meraih pasar
internasional.
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

57

Desa Wisata
Menurut Wiendu (1993), desa wisata merupakan suatu bentuk
integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata biasanya
memiliki kecenderungan kawasan pedesaan yang memiliki kekhasan
dan daya tarik sebagai tujuan wisata.
Tipe Desa Wisata
Menurut pola, proses, dan tipe pengelolanya desa atau kampung
wisata terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka
(Wiendu,1993).
1. Tipe Terstruktur
Tipe terstruktur ditandai dengan karakter sebagai berikut:
a. Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesiik
untuk kawasan tersebut. Kelebihan tipe ini adalah dalam citra yang
ditumbuhkan mampu menembus pasar internasional.
b. Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat lokal sehingga
dampak negatif yang ditimbulkan diharapkan terkontrol dan
pencemaran sosial budaya akan terdeteksi sejak dini.
c. Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan
perencanaan yang integratif dan terkoordinir sehinga diharapkan
menjadi agen untuk mendapatkan dana internasional sebagai
unsur utama menangkap jasa dari hotel-hotel berbintang.
2. Tipe Terbuka
Tipe ini ditandai dengan karakter tumbuh dan menyatunya kawasan
dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola masyarakat
lokal. Distribusi pendapatan yan didapat dari wisatawan dapat
langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak
negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal
sehingga sulit dikendalikan.
Syarat Untuk Menjadi Desa Wisata
Suatu kawasan dikatakan dapat menjadi desa wisata harus
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut (Syamsu dalam Prakoso,
2008):
58

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

1. Faktor kelangkaan adalah sifat dari atraksi wisata yang tidak bias
dijumpai atau langka di tempat lain.
2. Faktor kealamiahan adalah sifat atraksi wisata yang belum pernah
mengalami perubahan akibat campur tangan manusia.
3. Keunikan, yakni sifat atraksi wisata yang memiliki keunggulan
komparatif disbanding objek wisata lain.
4. Faktor pemberdayaan masyarakat yang mampu menghimbau agar
masyarakat ikut serta dan diberdayakan dalam pengelolaan objek
wisata di daerahnya.
Desa wisata dilihat sebagai bentuk industri pariwisata yang berupa
kegiatan mengaktualisasikan perjalanan wisata identik meliputi
sejumlah kegiatan yang bersifat menghimbau, merayu, mendorong
wisatawan sebagai konsumen agar menggunakan produk dari desa
wisata tersebut atau mengadakan perjalanan wisata ke desa wisata
tersebut atau disebut pemasaran desa wisata. Komponen produk
pariwisata itu sendiri terdiri atas angkutan wisata, atraksi wisata, dan
akomodasi pariwisata (Soekadijo, 2000).

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma
interpretif dengan studi interaksi simbolis, untuk memperoleh
gambaran pola komunikasi dan pertukaran simbol-simbol kearifan
lokal antar tokoh adat dengan sesama pengelola desa dan dengan warga
masyarakat, serta makna nilai-nilai budaya Sunda Buhun di kalangan
warga Desa Cireundeu, dalam upaya membangun citra desa wisata yang
berbudaya dan berkearifan lokal Sunda Buhun. Penelitian dilakukan
selama dua kali, yaitu tahun 2012 selama 3 bulan dan tahun 2016 selama
3 bulan dengan biaya dari Kementerian Pariwisata dan biaya mandiri.
Subjek penelitian adalah tokoh adat dan pengelola desa, serta warga
desa Cireundeu. Pengumpualan data dilakukan dengan melakukan
wawancara mendalam dan observasi lapangan, juga melakukan diskusi
dengan kelompok fokus aktivis pembina ibu-ibu setempat. Adapun
objek penelitiannya adalah pola interaksi simbolik dalam membangun
dan mempertahankan konsistensi nilai-nilai kearifan lokal Sunda
Buhun di desa wisata Cireundeu, sebagai dewa wisata yang mendapat
program pemberdayaan dari PNPM bidang Pariwisata.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

59

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisis dan interpretasi hasil penelitian, menunjukkan adanya
beberapa temuan penting: pertama, terdapat proses interaksional
simbolik yang unik antara para tokoh adat, antara tokoh adat dengan
warga masyarakat, serta antar warga masyarakat dalam membangun
nilai budaya dan kearifan lokal Sunda Buhun di Desa wisata Cireundeu.
Dengan model sederhana, proses interaksi simbolik tersebut
memberikan gambara pola komunikasi sebagai berikut:

Gambar 2. Pola Interaksi Simbolik Tokoh/Wewengku Adat
Sumber: Hasil Penelitian (2017)

Tokoh atau wewengku adat yang menjadi pimpinan di desa
menerapkan budaya/ tradisi “Sawala Gawe” atau musyawarah kerja,
yang mengikutsertakan pengurus desa, kelompok kerja, kelompok seni
budaya, serta LKM desa. Pengurus desa terdiri dari personal pengelola
desa yang sudah mendapat tugas dan fungsi yang jelas, kelompok
kerja, kelompok seni budaya yang terdiri atas kelompok angklung
buncis, calung, seragam pencak silat, gondang dan lain-lain, juga LKM
desa yang terdiri atas kelompok pengembang industri kuliner kreatif.
Komunikasi berlangsung dengan karakter sangat terbuka, timbal balik
serta lintas generasi, di antara para pemangku adat dan para pengurus,
serta kelompok-kelompok kerja dan kelompok seni budaya yang
60

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

ada. Semua kelompok mendapat kesempatan untuk menyampaikan
usulan program kegiatannya secara terbuka, dibahas secara terbuka,
dan diputuskan bersama untuk dituangkan ke dalam program kerja
desa. Sehingga program terintegrasi dengan baik. Setiap pengelolaan
program diketuai pleh koordinator atau lulugu yang dipercaya dan
dipilih oleh warga desa.
Prinsip khas lainnya dalam pola komunikasi di desa Cireundeu,
adalah semua bekerja saling membantu, bekerja simultan antar bagian.
Secara kelembagaan yang aktif adalah sebanyak 50 orang. Proses
kaderisasi berjalan baik, setiap malam minggu “nonoman” atau kawula
muda berkumpul dikasih arahan atau didampingi oleh sesepuh (tokoh
adat) dan lulugu (koordinator).yang lebih senior (wawancara dengan
Asep, tokoh adat, 2016)
Karakteristik sosial budaya yang menonjol pada pola interaksional
simbolis di kalangan tokoh adat dengan warganya adalah merujuk
pada nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, kolektiitas atau
kebersamaan yang kuat, dan rasa cinta akan adat tatali karuhun (nilainilai kearifan lokal).
Temuan kedua, adalah adanya kekuatan dan konsistensi nilai
budaya dan kearifan lokal “makan singkong” dengan segala variannya
dari pohon singkong, di kalangan warga desa wisata Cireundeu.
Berikut ini adalah model gambaran ringkas konsistensi nilai budaya
“makan singkong” yang dilestarikan dan dibanggakan oleh warga desa
wisata Cireundeu.
Tokoh atau wewengku adat desa Cireundeu mewariskan tradisi
“makan singkong” dan bukan makan makanan lainnya di kalangan
warga desa. Konsistensi tradisi ini diteruskan dan disosialisasikan
dari geberasi ke gemerasi, oleh para lulugu kepada para nonoman,
hingga mengakar dan membudaya. Hanya makan singkong dengan
segala variannya memiliki makna bahwa warga harus peduli terhadap
lingkungan dan wajib melestarikan lingkungan. Singkong adalah
tanaman yang tumbuh subur di wilayah desa tersebut, mudah ditanam
dan dipanen, mudah dipelihara, sumber daya alam singkong yang
melimpah tersebut perlu disyukuri dengan cara menjadikannya bahan
makanan pokok yang utama, dan bahan makanan tambahan lainnya.
Citra desa Cireundeu sebagai desa dengan tradisi hanya makan

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

61

singkong, malah mendongkrak nama baik desa, dan meningkatkan
nilai wisata yang dimilikinya, karena warga desa juga sangat kreatif
membuat makanan olahan dari bahan dasar singkong.

Gambar 3. Konsistensi dan Makna Budaya “Makan Singkong”
Sumber: Hasil Penelitian (2017)

Kreativitas yang berakar dari konsistensi kearifan lokal “makan
singkong” ini menjadikan desa cukup sejahtera karena mempunyai
sumber penghasilan melalui pengembangan keterampilan pengolahan
dan produksi makanan dengan bahan dasar singkong. Keuntungan atau
nilai tambah lain dari konsistensi budaya makan singkong ini, membuat
desa memiliki produksi rumahan yang khas dan laku di pasaran, yaitu
produk makanan pokok dan berbagai jenis makanan pendukung, yaitu
eggroll (semprong), rangining, ranginang, awug, dendeng, kerupuk dll,
yang semuanya berbahan dasar singkong. Ibu-ibu desa dan menjadi
sejahtera yang terlibat dan terikat budaya kuliner “singkong” sudah
mencapai 70 KK. Dengan disponsori oleh pemeritah setempat, ibuibu tokoh LKM kuliner singkong ini juga menyelenggarakan pelatihan
keterampilan kuliner singkong olahan kepada para wisatawan, dan
pembelajar dari daerah sekitar dan dari daerah lain di luar Jawa, yang
tertarik kepada hal yang sama.
Temuan ketiga, adalah adanya gambaran motif warga Desa
Cireundeu dalam mempertahankan dan membangun citra desa wisata
Sunda Buhun. Secara umum, motif wewengku adat dan warga desa
62

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Cireundeu dalam melestarikan nilai kearifan lokal dan budaya Sunda
Buhun, terdiri atas tiga jenis motif sebagai berikut:

Gambar 3. Motif Melestarikan Budaya Sunda Buhun Di Kalangan Warga Desa
Sumber: Hasil Penelitian (2017)

Motif penyebab adalah motif awal yang menjadikan warga desa
mempertahankan nilai budaya Sunda Buhun, yaitu adanya kecintaan dan
ikatan budaya yang kuat, adanya kepatuhan terhadap orang tua dan adat
tatali karuhun, sehingga merasa bersalah atau pamali jika dilanggar. Serta
kondisi alam yang mendukung. Sedangkan motif pendorong, adalah motif
yang datang kemudian, yaitu kesadaran bahwa keunikan adat budaya
mereka ternyata dapat menjadi sumber penghasilan, karena termasuk
kategori ekonomi kreatif, diantaranya sering mendapat undangan
manggung seni budaya degung; kacapi suling; gondang; karinding; calung;
angklung buncis; pencak silat, dan dekorasi event ala Sunda Buhun, di
berbagai event di Bandung dan Jawa Barat. Di bidang kuliner, warga desa
sering mendapat pesanan makanan olahan berbahan dasar singkong,
sehingga kesejahteraan keluarga meningkat.
Sedangkan motif komprehensif, merupakan motif gabungan yang
merupakan kesadaran di kalangan warga Desa Cireundeu untuk lebih
meningkatkan kompetensi diri di bidang seni budaya Sunda Buhun dan
kuliner khas singkong, sehingga mereka mulai haus akan pendidikan,
pemberdayaan serta apresiasi yang lebih meningkat dari waktu ke
waktu.
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

63

Penutup (Simpulan dan Saran)
Simpulan yang dapat diterik berdasarkan hasil penelitian adalah:
pertama, Pola interaksi Interaksi Simbolik dalam Membangun Nilai
Budaya dan Kearifan Lokal di desa Cireundeu, dilakukan secara
unik dengan menggunakan simbol-simbol yang khas dan asli berasal
dari budaya Sunda Buhun. Proses komunikasi dan interaksi yang
berlangsung bersifat demokratis, terbuka dan timbal balik, dengan
dilandasi sikap jujur dan saling menghargai.
Kedua, terdapat kekuatan dan konsistensi nilai budaya dan
kearifan lokal “makan singkong” yang dipertahankan di kalangan
warga desa wisata Cireundeu. Makna yang dimiliki dari budaya
makan singkong adalah citra desa wisata yang unik dan khas, tujuan
ekonomis juga tercapai secara kreatif melalui wisata kuliner. Kekuatan
dan konsistensi budaya makan singkong juga merupakan salah satu
media untuk sosialisasi dan pelestarian budaya di kalangan warga desa
Cireundeu, yang secara bertahap menyebar ke desa-desa lain yang
memiliki karakter sumber daya alam yang hampir sama di Indonesia.
Ketiga, motif warga Desa Cireundeu dalam melestarikan budaya
Sunda Buhun, terdiri atas 3 (tiga) kategori motif, yaitu motif penyebab,
berupa keterikatan pada adat tatali karuhun, motif pendorong, berupa
terbentuknya citra desa wisata kreatif yang memberika kesejahteraan
bagi warga desa, serta motif komprehensif, yaitu kebutuhan untuk
meningkatkan kompetensi diri.
Mengacu pada hasil penelitian, ada beberapa rekomendasi yang
perlu disampaikan, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis
perlu dilakukan penelitian komunikasi pariwisata, kearifan lokal dan
ekonomi kreatif secara terpadu yang akan melahirkan model dan teori
yang komprehensif dalam khasanah bidang komunikasi pariwisata.
Secara praktis, program pemberdayaan desa wisata, sebaiknya
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan aspek media,
promosi, serta peningkatan kompetensi para pelaku usaha wisata
tradisional.

64

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Datar Pustaka
Adisasmita, Rahardjo. (2006). Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Blumer, Herbert. (1969). Symbolic Interactionism: Perspectif and
Method. New Jersey: Harper and Row.
Harrison, Shirley. (2005). Marketers Guide To Public Relations. New
York: John. Willwy And Sons, Inc.
Hawkins, et al. (2000). Consumer Behaviour Building Marketing
Strategy. Mc Graw Hill.
Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep
Pembangunan yang berakar pada Masyarakat. Jakarta: Bappenas.
Nuryanti, Wiendu (1993). Concept, Perspective and Challenges,
Konferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pina. Jose M. (2004). Modelling he Impact of Services Brand Extensions
on Corporate Image. Journal of Marketing.
Prakoso, Aditha Agung. (2008). Pengembangan Desa Wisata Melalui
Pendekatan Rute Wisata Kasus : Desa Wisata Srowolan, Sleman,
DIY. Yogyakarta: UGM.
Soekadijo. (2000). Anatomi Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sumaryadi, I Nyoman. (2010). Sosiologi Pemerintahan dari Perspektif
Pelayanan, Pemberdayaan, Interaksi, dan Sistem Kepemimpinan
Pemerintahan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Weber, Max. (2006). Sosiologi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Widjaja, HAW. (2003). Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli,
Bulat dan Utuh. Jakarta: PT Raja Graindo Persada.
Zetlin, Irving. (1995). Sosiologi Ditafsirkan Kembali. Gajah Mada
University Press.Yogyakarta.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

65