PIDATO ILMIAH KEARIFAN LOKAL DALAM PUSAR
PI DATO I LMI AH
“KEARI FAN LOKAL” DALAM PUSARAN MODERNI TAS ( Studi Kasus: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger
dalam Proses Penganggaran)
Oleh: Dr. Ana Sopanah, SE., M.Si., CMA. Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Widyagama Malang
Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat Universitas Widyagama Malang Dalam Rangka Wisuda Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana
Semester Gasal 2013/ 2014 dan Dies Natalis Ke 29 Universitas Widyagama Malang
Malang 29 Maret 2014
PIDATO ILMIAH 1 “KEARIFAN LOKAL” DALAM PUSARAN MODERNITAS
(Studi Kasus: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Proses Penganggaran)
Disampaikan pada Rapat Terbuka Senat Universitas Widyagama Malang dalam rangka Wisuda Program Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana Semester Gasal 2013/2014
dan Dies Natalis Ke 29 Universitas Widyagama Malang Tanggal 29 Maret 2014
Oleh: Dr. Ana Sopanah, SE., M.Si., CMA. Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Widyagama Malang
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, Selamat Pagi dan Salam Sejatera Untuk Kita Semua,
Kepada Yang Terhormat:
Ketua dan Pengurus Yayasan Pembina Pendidikan Indonesia Widyagama Malang Rektor Universitas Widyagama Malang Anggota Senat Universitas Widyagama Malang Para Wisudawan dan Orangtua Wisudawan Segenap Civitas Akademika dan Karyawan Universitas Widyagama Malang Serta para mahasiswa, alumi dan undangan lain yang berbahagia,
Pertama, Marilah Kita panjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas limpahan Rahmat-Nya kita semua dapat hadir dalam keadaan sehat pada acara Wisuda Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana. Kepada seluruh wisudawan dan keluarga, saya atas nama pribadi mengucapkan SELAMAT dan SUKSES atas prestasi yang telah diraih. Ucapan selamat juga kami sampaikan kepada Universitas yang telah berhasil mendidik lulusan baru yang siap berkiprah dalam pembangunan nasional.
Kedua, Wisuda kali ini adalah istimewa karena bersamaan dengan acara Dies Natalis ke 29. Semoga Universitas Widyagama Malang dapat terus meningkatkan kualitas dalam mengemban amanah Tridharma; mencetak manusia-manusia yang berilmu dan berkarakter, menyelenggarakan penelitian dan pengabdian yang memberikan manfaat iptek dan kesejahteraan masyarakat. Saya berharap ditahun mendatang Universitas Widyagama tetap menjadi Universitas Unggulan dan Terbaik di Jawa Timur.
Ketiga, saya mengucapkan terimakasih kepada Rektor dan sidang senat pada hari ini, yang memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato ilmiah menandai pengelenggaraan Dies Natalis ke 29. Semoga pidato ini bermanfaat dan memperkaya khasanah keilmuan sivitas akademika.
Hari ini juga menjadi istimewa. Kita kedatangan tamu Undangan dari Australia yaitu Professor Janek Ratnatunga, MBA, PhD, Dip. M, FCA, CPA, ICMA, CMA. He is Chief Executive Officer of the Institute of Certified Management Accountants and Professor of Accounting at the University of South Australia (UniSA). He is my Dean and Head of Commerce at UniSA When I took Sandwich Program at UniSA. Now He is President of Florida International University. Thank you very much for your coming in My Univesity for Graduation Ceremony.
1 Naskah dapat didownload dari http://widyagama.ac.id/r2012/wp-
content/uploads/2014/03/PIDATO-ILMIAH-ANA-SOPANAH.pdf
Hadirin Yang Berbahagia,
Sebuah kehormatan dan kebahagian yang tidak akan pernah terlupakan, dengan segala kerendahan hat
i, saya akan menyampaikan Pidato Ilmiah dengan Judul “KEARIFAN LOKAL” DALAM PUSARAN MODERNITAS: Studi Kasus; Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Proses Penganggaran. Mengapa saya mengambil tema ini?. Saya ingin menunjukkan bahwa di Zaman Modernitas dan Era Globalisasi saat ini, masih ada sebuah suku di Indonesia, tepat nya Suku Tengger di Gunung Bromo yang tetap mempertahankan “Nilai Kerarifan Lokal” dalam kehidupannya, yang kemudian terinternalisasi ketika mereka beranggaran, baik pada saat penyusunan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban anggaran. Seandainya, nilai-nilai kearifan lokal ini menjadi pedoman tidak hanya masyarakat di Suku Tengger, tetapi menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat di Indonesia, khususnya para pejabat baik eksekutif maupun legislatif, Pemda maupun Pemerintah Pusat, pengelolaan dana APBN maupun APBD, saya yakin kesejahteraan masyarakat Indoensia akan semakin meningkat karena tidak akan ada lagi (minimal) Korupsi APBN dan APBD karena semua proses melibatkan rakyat, transparan, jujur, adil dan akuntabel.
Pidato Ilmiah yang akan saya paparkan merupakan bagian dari Disertasi saya yang telah diuji pada tanggal 15 Juli 2013, dan dipublikasikan dalam Jurnal International The Journal of Applied Management Accounting Reserch (JAMAR) Edisi Summer 2013. dengan Judul “Beyond Ceremony; The Impact of Local Wisdom on Public Participation in Local Government Budgeting. Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Janek Ratnatunga yang telah membantu proses editing. Selain itu, Makalah (Paper) ini juga menjadi “Makalah Terbaik” dalam Ajang Bergengsi di Simposium Nasional Akuntansi (SNA) ke 16 di Manado pada tanggal 25-28 September 2013.
Hadirin yang saya muliakan,
Wong Tengger tidak paham good governance, tetapi semua masyarakat, tokoh adat, pamong desa bekerja bersama-sama untuk menciptakan pemerintahan desa yang baik dan transparan
(Supoyo, Petinggi Tengger, 30 Januari 2010)
A. Apakah Partisipasi Masyarakat dan Mengapa Penting?
Dalam dekade terakhir, di negara berkembang termasuk Indonesia, isu good governance menjadi perdebatan karena ada tuntutan perubahan dalam pengelolaan kehidupan kenegaraan. Perubahan dari sisi pemerintah yang diharapkan adalah perubahan dalam penggunaan sumber daya publik yang lebih efisien dan efektif (Sukardi, 2009; 36). Sementara itu, perubahan dari sisi masyarakat terdapat peningkatan demokratisasi yang ditandai salah satunya dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan urusan publik (Muluk, 2007).
Partisipasi Masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan public. Mardiasmo (2002) yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam penganggaran harus dilakukan pada setiap tahapan dalam siklus anggaran mulai dari penyusunan, pelaksanaan, sampai dengan pertanggungjawaban. Sisk (2002) juga menegaskan, bahwa partisipasi merupakan kunci sukses dalam pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, meskipun partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan perencanaan penganggaran daerah dianggap sangat penting, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih sangat rendah
(Cooper dan Elliot, 2000, Laurian dan Adams, 2004). Rendahnya partisipasi tersebut misalnya ditunjukkan oleh Laurian dan Adams (2004) yang rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam berbagai temu publik. Temu publik dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi rasional, namun demikian temu publik ini tetap berperan untuk memelihara sistem (Cooper dan Elliot, 2000, Laurian dan Adams, 2004). Rendahnya partisipasi tersebut misalnya ditunjukkan oleh Laurian dan Adams (2004) yang rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam berbagai temu publik. Temu publik dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi rasional, namun demikian temu publik ini tetap berperan untuk memelihara sistem
Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan anggaran telah dilakukan oleh penulis sejak tahun 2003. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003, 2004, 2005 menunjukkan hasil bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan penganggaran sangat penting karena dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hasil lain juga menunjukkan bahwa meskipun partisipasi sangat penting dalam realitasnya partisipasi masyarakat masih rendah. Penelitian lanjutan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 menemukan adanya perubahan partisipasi masyarakat, yang semula rendah menjadi tinggi karena adanya dorongan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.
Pentingnya partisipasi adalah sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek- proyek akan gagal; k edua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang ditawarkan oleh Habermas dalam bentuk partisipasi politik. Dengan partisipasi politik maka masyarakat dapat mempengaruhi pemerintah dan meminta komitmen serta akuntabilitas pemerintah (Cornwall dan Gaventa, 2001; 127).
Partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut manfaat pembangunan (Krina, 2003) Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah partisipasi dalam proses penganggaran daerah yang terdiri dari tahap penyusunan (perencanaan), tahap implementasi anggaran, dan tahap pertanggungjawaban anggaran. Partisipasi masyarakat yang terjadi di daerah berbeda-beda tergantung pada karakteristik lingkungan, ekonomi, budaya, dan politik yang terjadi di daerah tersebut. Teori yang sangat terkenal dalam menunjukkan kadar partisipasi masyarakat dikemukakan oleh Arnstein (1971) sebagai tangga partisipasi (Ladder of Participation). Teori ini menjelaskan tentang partisipasi sebagai kekuasaan warga dalam mempengaruhi perubahan dalam pembuatan kebijakan. Dalam teori tangga partisipasi terdapat tiga derajat partisipasi yang kemudian diperinci menjadi delapan tangga partisipasi. Lebih lengkap delapan tangga partisipasi Arnstein (1971; 4) dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1: Delapan Tangga Partisipasi Publik
8 Kontrol oleh warga
Partisipasi penuh
7 Pendelegasian wewenang Derajat kuasa warga 6 Kemitraan
5 Konsesi (penentraman) Partisipasi simbolik 4 Konsultasi
( tokenism )
3 Pemberian Informasi 2 Terapi
Tidak ada partisipasi 1 Manipulasi
Non partisipasi
Sumber: Arnstein (1971) Berdasarkan 8 tangga partisipasi tersebut, kira-kira masyarakat Suku Tengger menempati
tangga yang mana?
B. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penganggaran Daerah
Siapa yang paling berkuasa untuk menentukan anggaran?. Pertanyaan ini begitu penting untuk menentukan siapa pihak yang paling berkuasa dan memainkan peran-peran politik dalam mengatur anggaran. Dalam banyak wacana dan diskusi, eksekutif mempunyai peran yang lebih dominan dalam penyusunan anggaran di bandingkan legislatif (Wiratraman, 2004; 1). Namun, sering terjadi politik bargaining (tawar menawar) anggaran antara eksekutif dan legislatif yang didasarkan bukan pada kebutuhan masyarakat, tetapi didasarkan pada kepentingan individu maupun kelompok pemain politik tersebut.
Permainan politik anggaran yang terjadi di berbagai daerah jenisnya beragam. Secara umum “tawar menawar” anggaran yang sering terjadi didasarkan kepada berapa besar nilai proyek dan untuk apa proyek tersebut dilakukan. Selain “tawar menawar” nilai proyek dan daerah pelaksanaan proyek, kasus yang ramai menjadi perbincangan publik adalah “makelar proyek”. Banyaknya anggota badan anggaran (banggar) DPR menjadi makelar proyek yang berperan dalam memuluskan program yang diusulkan oleh eksekutif.
Berbagai kasus di atas menunjukkan bahwa anggaran sebagai instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya, dalam prakteknya tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi. Kepentingan pribadi dan kelompoknya yang biasa disebut sebagai “kepentingan politik” seringkali memiliki bobot prioritas yang sangat besar dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Politik penganggaran yang terjadi di pemerintah pusat maupun di berbagai daerah merupakan bentuk sederhana atau miniatur dari ruwetnya politik di Indonesia secara umum. Politik anggaran dapat diartikan sebagai proses pengalokasian anggaran yang di dasarkan pada kemauan pejabat yang berkuasa. Rubin (2000) menyebutkan dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Berbagai persoalan politik anggaran di atas mengharuskan masyarakat berpartisipasi dalam proses penganggaran untuk memastikan bahwa anggaran digunakan untuk pembangunan yang berkeadilan (Mariana dan Edi, 2008; 2). Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah.
Tulisan ini akan menggambarkan partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran, baik dalam perencanaan, implementasi maupun pertanggungjawabannya dalam konteks masyarakat Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Perbedaan ini memungkinkan melahirkan bentuk partisipasi yang berbeda dengan desa lainnya di Indonesia.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian akuntansi sekarang ini telah berkembang dan lebih menekankan pada aspek manusia dan realitas sosial serta fungsi utama akuntansi sebagai media simbolis. Akuntansi kini dipandang sebagai suatu praktik yang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang disebabkan oleh manusia dan konteks sosial dimana akuntansi itu beroperasi dan juga akibat interaksi akuntansi dengan organisasi-organisasi lain atau fenomena sosial (Hopwood, 1989; Burgstahler dan Sundem, 1989; Caplan, 1989). Selain itu, para peneliti bidang akuntansi keperilakuan telah melakukan studi terhadap riset terdahulu sehingga terjadilah pembentukan tubuh pengetahuan/ body of knowledge tentang akuntansi yang sistematis. Riset mereka telah memberikan dasar interpretasi pemahaman akuntansi sekaligus memberikan apresiasi terhadap manusia dan konteks sosial akuntansi.
Sebagai bagian dari ilmu ekonomi dan politik, kebijakan penganggaran daerah merupakan realitas sosial yang tentunya juga dipengaruhi oleh perilaku orang atau masyarakat yang terlibat di dalamnya, di antaranya adalah eksekutif, legislatif, LSM dan masyarakat itu sendiri. Bahkan beberapa riset menjelaskan bahwa, selain dipengaruhi oleh Sebagai bagian dari ilmu ekonomi dan politik, kebijakan penganggaran daerah merupakan realitas sosial yang tentunya juga dipengaruhi oleh perilaku orang atau masyarakat yang terlibat di dalamnya, di antaranya adalah eksekutif, legislatif, LSM dan masyarakat itu sendiri. Bahkan beberapa riset menjelaskan bahwa, selain dipengaruhi oleh
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang ingin mengungkap realitas sosial dalam proses penganggaran daerah berbasis kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger. Studi ini menggali dan memahami nilai-nilai lokalitas yang ada pada masyarakat Suku Tengger dan menjelaskan keberadaan nilai lokalitas tersebut dalam proses penganggaran, sehingga paradigma dalam penelitian ini adalah interpretif dengan pendekatan etnometodologi. Etnometodologi menyangkut studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari, khususnya aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja ( taken for granted). Etnometodologi membatasi penyelidikan atas ungkapan indeksikal dan tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.
D. Hasil Penelitian
1. Menggali Kearifan Lokal Di Suku Tengger
Rona wajah yang memerah, kain sarung yang selalu dililitkan dilehernya, serta kupluk atau topi yang menjadi penutup kepala merupakan ciri khas
dan penanda Suku Tengger yang merupakan hasil adaptasi untuk menyesuaikan dengan suhu Gunung Bromo yang begitu dingin dan beku.
(Yudi, 1 Februari, 2010) Wong Tengger
Suku Tengger merupakan sebuah suku yang tinggal di daerah pedalaman pegunungan Bromo yang tersebar di 4 (empat) kabupaten,
yaitu Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Pasuruan. Jumlah desa di seluruh 4 (empat) kabupaten yang dihuni oleh Suku Tengger sebanyak 33 (tiga puluh tiga) desa. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mengamati Suku Tengger yang ada di Desa Ngadisari Kabupaten Probolinggo yang merupakan desa tertinggi dan paling dekat lokasinya dengan Kawah Gunung Bromo dibandingkan desa- desa lain.
Gobyah (2003) mengatakan bahwa kearifan lokal ( local wisdom) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Geriya (2003) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).
Menurut Sukari et al. (2004) nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari didasarkan pada konsep hidup masyarakat Suku Tengger yang didasarkan pada hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam ( tryadic relationship). Hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan dengan ketaatan beribadah sesuai agama hindu dan melakukan berbagai upacara adat budaya. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia diwujudkan dengan sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu membantu) yang didasari semboyan
“sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong menolong). Terakhir, hubungan manusia dengan alam diwujudkan dengan melakukan berbagai upacara adat yang berkaitan dengan siklus alam dan juga melakukan pemeliharaan alam.
Selain konsep hidup yang dijelaskan di atas masyarakat Suku Tengger mempunyai pandangan hidup prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah; prasetya berarti setya; prayitna berarti waspada. Nilai kearifan lokal yang dapat di identifikasi dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger diantaranya: ramah tamah, kepatuhan (setuhu), guyub rukun, sanjan-sinanjan (tolong menolong), gotong royong (sayan), dan kejujuran (prasaja). Berbagai nilai kearifan lokal tersebut mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Suku Tengger. Dalam penelitian ini, nilai kearifan lokal yang akan dijelaskan adalah nilai yang terinternalisasi dalam proses penganggaran.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 3 (tiga) nilai kearifan lokal yang terinternalisasi dalam proses penganggaran yaitu nilai kepatuhan ( setuhu), nilai kegotongroyongan ( sayan), dan nilai kejujuran (prasaja). Nilai kepatuhan atau setuhune wong tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan penganggaran dan mengikuti jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan pemerintah meskipun sesungguhnya mekanisme tersebut sudah dilakukan. Nilai kearifan lokal kegotong royongan (sayan) diwujudkan dalam implementasi pembangunan di wilayah Suku Tengger. Nilai kearifan kejujuran (prasaja) diwujudkan dalam proses pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
2. “Setuhune” Wong Tengger; Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan
Modernisasi yang masuk ke wilayah tengger tidak akan melunturkan identitas wong tengger, mereka berpegang teguh pada ajaran welas asih pepitu dan tetap melakukan berbagai upacara adat (Supoyo, Petinggi, 30 Januari 2010)
Petikan
wawancara di atas
Upacara Unan-Unan
menunjukkan
bahwa meskipun Masyarakat Adat Tengger menerima pengaruh kehidupan modern yang dibawa oleh pendatang (wisatawan), tetapi
mereka masih tetap memegang teguh nilai-nilai budaya setempat. Bahkan mereka mampu mengasimilasikan
pengaruh- pengaruh modern ke dalam budaya adat mereka. Masyarakat Suku Tengger Patuh dengan adat istiadat sampai saat ini. Berbagai upacara adat seperti Karo, Kasodo, Unan-Unan dan lain-lain tetap dilaksanakan untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah arus modernitas dan globalisasi. Selain patuh pada adat istiadat, masyarakat Suku Tengger patuh kepada pemerintah. Mereka tetap melakukan Musyawarah Dalam Proses Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) baik yang formal sesuai dengan ketentuan pemerintah, maupun nonformal “Ala Wong Tengger”.
Berikut Hasil kutipan diskusi dengan Bapak Supoyo selaku Petinggi Tengger pada tanggal 31 Desember 2010 seperti disampaikan dalam kutipan berikut.
Peneliti : Pak Inggi, musrenbang desa sini kapan ya Pak? Apa sudah ? Petinggi : Belum bu yang formal, dalam waktu dekat ini, nanti saya kabari ya. Tapi
Bulan Desember kemarin ada acara rembug warga Tengger, yang hampir dihadiri oleh seluruh masyarakat Tengger
Peneliti : Owh gitu, rembug warga Tengger tujuannya untuk apa pak?
Petinggi : Rembug Warga Tengger dilakukan untuk mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan selama satu tahun sekaligus forum untuk mengusulkan pembangunan.
Peneliti : Berarti sudah musyawarah ya pak, tetapi apa musrenbang yg sesuai aturan tetap dilakukan. Petinggi : Iya bu, masyarakat tengger patuh sama pemerintah, jadi meskipun
informalnya sudah musyawarah, formalnya tetap dilakukan.
Dari kutipan hasil wawancara tersebut di atas ungkapan indeksikalitas tentang kepatuhan secara eksplisit disampaikan oleh Petinggi. Makna dari ungkapan ini adalah bahwa nilai kearifan lokal kepatuhan terinternalisasi dalam proses perencanaan pembangunan. Makna refleksivitas dari ungkapan “...Tapi Bulan Desember kemarin ada acara rembug warga Tengger, yang hampir dihadiri oleh seluruh masyarakat Tengger...” menunjukkan bahwa hadirnya seluruh warga tengger menunjukkan nilai kepatuhan terhadap undangan disampaikan oleh Petinggi. Jadi nilai kearifan lokal kepatuhan terbentuk karena masyarakat Suku Tengger patuh kepada pemimpin dan pemerintah.
Pelaksanaan Musrenbang Desa Ala Tengger di Desa Ngadisari menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam tangga partisipasi yang ketiga yaitu derajat tangga partisipasi penuh. Tangga ini ditandai dengan adanya kemitraan, pendelegasian wewenang dan adanya kontrol oleh warga. Pelaksanaan Musrenbang Ala Tengger dengan sebutan “Rembug Desa Tengger” menjadi temuan menarik, karena partisipasi informal ini merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh desa dengan memperhatikan nilai kearifan lokal. Nilai kearifan lokal kepatuhan atau dalam bahasa Tengger “ Setuhu” di wujudkan dengan tetap melakukan mekanisme musrenbang formal meskipun roh partisipasinya terdapat dalam musrenbang informal. “Setuhu” yang merupakan salah satu nilai kearifan lokal Suku Tengger tetap dipertahankan dalam konteks penganggaran merupakan bentuk kepatuhan kepada pemerintah daerah dan pusat. Jadi partisipasi masyarakat di Suku Tengger adalah tidak sekedar formalitas ( ceremonial) seperti dikebanyak desa lainnya di Indonesia.
3. Kegotong-Royongan Yang Membumi: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Pembangunan
Hayo rowang hangayahi kardi, nora kendat pembangunan deso, pamuji murih becik’e, supoyo tansyah maju (mari saudara-saudara menjalankan kewajiban, jangan sampai berhenti membangun desa, memuji sesuatu yang lebih baik, supaya senantiasa maju (Langgam Mbagun Deso)
Pembangunan diartikan sebagai proses perubahan yang terencana
yang melibatkan pemerintah dan
Kegotongroyongan Dalam
masyarakat. Jika pembangunan hanya melibatkan pemerintah, maka tujuan pembangunan tidak akan tercapai, hanya
Pembangunan
sebatas menghabiskan anggaran. Penelitian yang dilakukan oleh Sopanah (2011) menunjukkan bahwa terjadi fenomena penolakan pembangunan sumur bor dari dana APBD di RT 03 RW 02 Kelurahan Polowijen dengan nilai 5 juta di tolak oleh warga setempat karena dianggap prosesnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak partisipatif.
Berbagai permasalahan pembangunan yang terjadi di masing-masing kota/kabupaten di Indonesia hampir sama yaitu dominannya penguasa dalam menentukan pembangunan sehingga pembangunan dianggap hanya sekedar proyek yang akan menguntungkan siapa yang berkuasa. Beberapa penelitian tentang anggaran mendukung hasil bahwa penentuan alokasi anggaran untuk pembangunan banyak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi serta kekuasan dan politik internal (Hackman (1985) dalam Covaleski et al (1996) dan Wildavsky (2004).
Dalam mengimplementasikan berbagai pembangunan maka masyarakat Suku Tengger selalu menerapkan nilai-nilai kegotong-royongan ( sayan). Beberapa pekerjaan yang didanai oleh APBD berdasarkan hasil observasi penulis dilapangan dilakukan secara gotong royong. Sedangkan dalam kegiatan yang berupa pemberdayaan nilai kegotong-royongan diwujudkan dalam bentuk rembug atau musyawarah untuk menentukan sebuah keputusan.
Berikut kutipan hasil wawancara dengan Bapak Joko yang sedang berada dalam wilayah pembangunan jalan menuju Gunung Bromo.
Peneliti : Pak kalau boleh tahu, pembangunan ini dana nya dari mana ya pak? Pak Joko : Dari APBD Peneliti
: Jadi memang, suku tengger sangat diperhatikan oleh pemerintah terbukti
dengan banyaknya pembangunan yang didanai oleh APBD
Pak Joko : Iya... Peneliti
: Swadaya dari masyarakat ada gak pak? Pak Joko : Swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong, kalau ada dalam bentuk dana nilainya kecil...
Dalam kutipan tersebut secara eksplisit terdapat ungkapan atau indeksikalitas yang menyatakan bahwa “Swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong, kalau ada dalam bentuk dana nilainya kecil..”. Secara reflektif juga tersirat bahwa banyaknya pembangunan di Suku Tengger merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah kepada Suku Tengger tersebut. Walaupun usulan pembangunan yang diusulkan oleh Desa Tengger tidak semua didanai atau terrealisasi, namun kalau di prosentasi jumlahnya diatas 30%, hal ini kalau dibandingkan dengan realsiasi pembangunan di desa lain lebih tinggi. Desa lainnya rata- rata realisasi pembangunannya 10-20%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Suku Tengger dan hasil observasi penulis dapat disimpulkan bahwa nilai kegotong-royongan atau Sayan sangat mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat Suku Tengger mulai dari kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, maupun kehidupan bernegara dimana masyarakat Suku Tengger mempunyai beberapa pedoman hidup yang dijadikan sebagai panutan dan pedoman meskipun arus modernisasi masuk di wilayah Tengger. Arus modenisasi tidak mempengaruhi karakter kegotong-royongan masyarakat Suku Tengger. Nilai kearifan lokal sayan yang ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat Suku Tengger terinternalisasi dalam sikap hidup dan kemudian diterapkan dalam pembangunan dengan melakukan gotong-royong di setiap pembangunan yang ada di wilayah Tengger.
Nilai kegotong- royongan merupakan modal sosial yang sangat baik di masyarakat Suku Tengger. Oleh karena itu nilai kegotong-royongan harus tetap dipertahankan ditengah arus modernisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya seharusnya mulai berbenah dengan mengadopsi nilai kegotong royongan yang ada di Suku Tengger. Dengan menginternalisasi nilai kegotong royongan maka egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistorsi.
4. Pertanggungjawaban Ala Rakyat “Tengger”; Membangun Kejujuran Untuk Kesejahteraan
“ Saya sebagai pemimpin Suku Tengger yang telah dipilih oleh masyarakat dan tokoh adat, setiap tahunnya mempertanggungjawabkan kegiatannya secara langsung kepada masyarakat. Ini
merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya” (S, 20 Februari 2012).
Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Probolinggo kepada DPRD
merupakan mekanisme pertanggungjawabn secara formal. Selain pertanggungjawaban formal Bupati Probolinggo menyampaikan LKPJ secara langsung kepada
rakyat di alun-laun Kraksan pada tanggal 20 Februari 2012. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan oleh Bupati, juga dilakukan oleh Petinggi Suku Tengger. Berdasarkan hasil wawancara dengan Petinggi (kepala desa) Suku Tengger bentuk pertanggungjawaban ini merupakan bentuk kejujuran yang telah dilakukan oleh pemimpin kepada rakyatnya. Sementara dari sisi masyarakat Suku Tengger sendiri melihat bahwa rembug desa merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger yang manfaatnya sangat banyak bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih serta transparan. Hal ini seperti yang diungkap pada saat wawancara sebagai berikut:
“ Saya sebagai pemimpin Tengger yang telah dipilih oleh masyarakat dan tokoh adat, setiap tahunnya mempertanggungjawabkan kegiatannya secara langsung kepada masyarakat. Ini merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya” (S, 3 Februari 2011).
“ Kegiatan rembug warga Tengger merupakan kegiatan rutin tahunan yang sangat bagus sebagai ajang silaturhmi. Dalam kegiatan itu banyak sekali warga Tengger yang hadir untuk mendengarkan pertanggungjawaban secara langsung pak Petinggi. Pertanggungjawaban ini merupakan kejujuran pemimpin terhadap warganya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan (P, 3 3 Februari 2011)
Berbagai ungkapan di atas menunjukkan terdapat nilai kearifan lokal kejujuran yang terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan selama satu tahun. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan oleh Kepala Desa Ngadisari selaku Petinggi Suku Tengger merupakan bentuk kejujuran yang dilakukan pemimpin kepada rakyat yang telah memilihnya. Terlepas dari motif politik di balik pertanggungjawaban ala rakyat, kegiatan ini perlu mendapatkan ruang apresiasi bahwa ada niat baik dari Bupati sebagai pemimpin untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya di depan rakyat secara langsung. Dalam konteks pertanggungjawaban petinggi kepada masyarakat Suku Tengger yang dilaksanakan pada akhir tahun yaitu bulan Desember dengan sebutan “rembug desa Tengger” merupakan bentuk internalisasi nilai kearifan lokal kejujuran dan keterbukaan pemimpin atau Petinggi Tengger kepada masyarakatnya secara langsung. Bentuk pertanggungjawaban ini tidak ditemui di desa lainnya di luar Wilayah Tengger.
E. Ikhtisar
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Musrenbang Desa di Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dilakukan baik Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Musrenbang Desa di Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dilakukan baik
Kearifan lokal ( local wisdom) masyarakat Suku yang berhasil ditemukan dan terinternalisasi dalam konteks penganggaran daerah yaitu: Setuhu, Sayan, dan Prasaja. Nilai kearifan lokal kepatuhan ( setuhu) terinternalisasi dalam proses perencanaan, nilai kearifan lokal gotong royong (sayan) terinternalisasi dalam implementasi pembangunan, dan nilai kearifan lokal kejujuran (prasaja) terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan.
Temuan penelitian memperkuat teori tentang partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah yang lebih efektif jika memperhatikan nilai kearifan lokal. Nilai keari fan lokal yang merupakan “kekayaan Bangsa Indoensia” harus tetap “dipertahankan” dalam pusaran modernitas. Nilai kearifan lokal ini diharapkan akan mewarnai proses penganggaran daerah baik di tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, maupun Pemerintah Pusat. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan pembangunan di Indonesia semakin leboh baik sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, tidak ada lagi kemiskinan dan pengangguran, Korupsi APBN dan APBD, karena semua proses melibatkan rakyat, transparan, jujur, adil dan akuntabel.
Mengakhiri Pidato Ilmiah ini, saya mengajak seluruh alumi Universitas Widyagama Malang yang di wisuda hari ini, untuk menjaga nama baik almamater tercinta di tempat kerja (bagi yang sudah bekerja), bagi yang belum bekerja marilah kita ciptakan lapangan usaha baru sesuai dengan ilmu yang telah saudara dapatkan di sini serta sesuai dengan kemampuan dan minat saudra. Saya atas nama pribadi menghimbau agar saudara mempromosikan Universitas Widyagama kepada keluarga besar, teman, kolega dan lain- lainnya agar bergabung dengan Universitas Widyagama yang kita cintai ini. Semoga Pidato Ilmiah ini bermanfaat dan menjadi inspirasi kita semua untuk tetap berkarya demi kehidupan yang lebih baik. Mohon maaf atas segala kekurangannya.
Billahitaufiq Wa l Hidayah, Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, Sherry R., 1971. “Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation” in Edgar S. Cahn and Barry A. Passet. Citizen Participation: Effecting Community Change. New York: Praegar Publishers.
Burgstahler, David dan Sundem, Gary L., (1989), The Evolution of Behavioral Accounting Reseach in the United States, 1968-1987, Behavioral Research In Accounting Volume
1, Printed in USA. Cornwall, Andrea, dan Gaventa, John, 2001. From Users and Choosers to Makers and
Shapers: Repositioning Participation in Social Policy, IDS Working Paper 127, Juni 2001.
Covaleski, M.A., M. Dirsmith, dan S. Samuel. 1996. Managerial Accounting Research: The Contributions of Organizational and Sociological Theories, Journal of Management Accounting Research, Vol. 8: 1-35
Cooper L. and Elliot, J. (2000). “Public participation and social acceptability in the philippine EIA process”, Journal of Environmental Assessment Policy and Management, 2(3): pp 339-367.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b Gobyah, I Ketut (2003) Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www.balipos.co.id,
didownload 17/9/03. Hackman, J.D., (1985). Power and Centrality in the Allocation of Resources in Colleges and,
Universities, Administrative Science Qaarterly, 30: pp 61-77. Hopwood, A.G. 1989. Behavioral Accounting In Retrospect And Prospect, Behavioral
Research In Accounting, Volume 1, pp: 1-22 Krina P., Loina Lalolo. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi &
Partisipasi, Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Laurian, Lucie. 2004. Public Participation in Environmental Decision Making: Findings from Communities Facing Toxic Waste Cleanup, Winter
Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI Yogyakarta Mariana and Edi, 2008, Representative democracy is Minimal Representation, Courtesy IRE
http://ireyogya.org/id/flamma/flamma-32-demokrasi-perwakilan-yang-minim keterwakilan.html;download= 58521e4e2bd3d4b988cbd17d7365df3c#downloadFile
Muluk, M.R. Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu Media-Lembaga Penerbitan FIA- Unibraw, Malang.
Rubin, Irene S., (2000). The Politics Of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing, 4th Edition, 4 th ed. New York: Chatham House.
Siegel, G. and Marconi, H.M. (1989), Behavioral Accounting, South Western Publishing Co. Ohio, USA.
Sisk, T.D. (Editor) (2002). Democracy at the Local Level: International IDEA Handbook Regarding Engagement, Representation, Conflict Management and Governance, Seri
4, Internasional IDEA, Jakarta, Indonesia. Sopanah, 2003. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik
Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, dalam Proceding Simposium Nasional akuntansi VI, Membangun Citra Akuntan melalui Peningkatan Kualitas Pengetahuan, Pendidikan dan Etika Bisnis, Surabaya, 16-17 Oktober 2003
_______, Wahyudi, Isa dan Azmi, Happy. 2004. Strategi penguatan masyarakat dalam pengawasan proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang, Laporan penelitian tidak dipublikasikan MCW dan YAPPIKA.
_______, dan Wahyudi, Isa. 2005a. Strategi Penguatan Masyarakat sipil dalam meminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005
_______ dan Wahyudi, Isa. 2005b. Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat terhadap Pengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005
Sopanah, A. (2011). “Refusal of a local goverment budgeting: an interpretive case study”, Asia Pacific Journal of Accounting and Finance, June, Departement of Accounting, Faculty of Economic, University of Indoensia, 1(2): pp. 165-177
Sukardi, Akhmad. 2009. Participatory Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Pressindo. Yogyakarta. Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Wildavsky, A. 2004. The New Politics of The Budgetary Process. Fifth Edition. Pearson Education Inc. United States.
Wiratraman, R.H.P., 2004, Pro-Poor Budget: Analisis Anggaran Sebagai Kerja Akar Rumput dan Strategi Merebut Sumberdaya Keputusan Yang Berpihak Bagi Rakyat Miskin, LBH, Surabaya
Lampiran: Analisis Indeksikalitas dan Refleksifitas
Tabel 1: Analisis Indeksikalitas dan Refleksifitas Kepatuhan
Tahapan Bentuk
Refleksivitas Bagian 1:
Data
Indeksikalitas
Makna dari upacara kasodo Menggali
Mengikuti Upacara Adat
Ungkapan Menbudpar
Secara eksplisit menbudpar
untuk mencari berkah dan Nilai
yaitu Kasada.Ugorampe
Jero Wajik Pada saat
menyatakan bahwa masyarakat
keselamatan dg melempar Kearifan
yang harus disediakan
upacara Kasodo
suku tengger patuh pada Tuhan
adalah berbagai hasil bumi “Masyarakat Suku Tengger YME, Orang tua, guru dan sebagain hasil bumi di Lokal
kawah bromo sebagai tanda Kepatuhan bentuk ongkek.
yang disiapkan dalam
Patuh Pada Catur Guru”
pemerintah.
menghormati Dewa Bromo. Mengikuti Upacara yang
Makna penentuan hari H berhubungan dg Siklus
Ungkapan Dukun Pandita Secara eksplisit Dukun Pandita
untuk pelaksanaan sabda kehidupan yaitu upacara
(seorang yang mempunyai menyatakan bahwa proses
perkawinanharus sesuai perkawinan. Ugorame yang keagamaan termasuk
tugas di bidang
perkawinan yang harus dilakukan
masyarakat Suku Tengger adalah dengan hitungan tengger harus disediakan adalah
pelaksanaan upacara dan lamaran, sabda perkawinan, temu berdasarkan perhitungan tumpeng, gedang ayu,
weton dan pasaran. ingkung, sego golong,
pembinaan adat)
penganten, bebanten.
“Masyarakat Suku Tengger Semua proses ini harus di patuhi Masyarakat SukuTengger jenang abang dan putih,
percaya ada hari-hari yang arang-arang kambang,
mempunyai tata cara dan dan dilaksanakan.
tidak boleh untuk ketan dan kelapa.
aturan tersendiri dalam
melangsungkan suatu hajat. Mengikuti Upacara berhu- Ungkapan Wong Sepuh
pemilihan jodoh”
Makna upacara entas-entas bungan dengan Siklus
Secara eksplisit Wong Sepuh
“Entas-Entas merupakan menyatakan upacaya Entas-Entas adalah untuk kehidupan yaitu upacara
menyempurnakan arwah Entas-Entas. Ugorampe
upacara sakral yang harus harus dilakukan untuk menebus
orang yang telah meninggal dalam upacara ini adalah
dilakukan untuk
arwah sanak saudaranya yang
telah meninggal, kalau masyarakat dunia dan semoga masuk ke kain putih, cepel, bebek,
mengentaskan arwah
Suku Tengger tidak patuh maka ia alam nirwana cowek, beras, kulak, ayam.
leluhur
akan maka mendapatkan musibah.
Tabel 2: Analisis Indeksikalitas dan Refleksifitas Kegotong-royongan
Tahapan Bentuk
Refleksifitas Bagian 1:
Data
Indeksikalitas
Makna dari upacara karo Menggali Nilai yaitu Karo .Ugorampe yang (Petinggi) pada saat
Mengikuti Upacara Adat
Ungkapan Kepala Desa
Secara eksplisit Kepala Desa
adalah mengadakan Kearifan
(Petinggi) menyatakan bahwa
harus disediakan Kayopan Upacara Karo “Masyarakat masyarakat menyambut upacara pemujaan terhadap Syang Lokal
Agung, yang terdiri dari tiga Suku Tengger bersuka cita karo dengan penuh suka cita, Hyang Widhi Wasa dan Kegotong
menghormati arwah royongan
nyiur berisi sembilan buah
merayakan karo dan untuk mereka mengenakan pakaian
tumpeng kecil beserta lauk keperluan upacara mereka baru, makanan berlimpah dan leluhur. pauk seperti apem, pisang, menyiapkan sesaji
untuk upacara di balai desa
seikat pisang gubahan, daun bersama- sama”
secara bersama-sama dan
sirih, kapur dan sepotong
bergotong royong oleh semua
pinang atau jambe ayu.
masyarakat Suku Tengger.
Mengikuti Upacara yang
Secara eksplisit Dukun Pandhita Makna yang terkandung berhubungan dengan Adat
Ungkapan
dalam pelaksanaan yaitu Upacara Unan-Unan
Dukun Pandhita
menyatakan bahwa Sesajian
upacara unan-unan Ugorame yang harus
“Dalam upacara Unan-
yang harus disediakan sangat
banyak, masing-masing 100 dan adalah pemberian kurban disediakan Sesajian yang
Unan, diadakan
akan di tanggung secara gotong kepada raksasa agar tidak harus disediakan serba 100 ternak yaitu Kerbau.
penyembelihan binatang
mengganggu buah, yaitu berkatan 100
royong oleh seluruh warga
ketenteraman dunia, dan buah, lauk-pauk 100, nasi
Sesajian yang harus
masyarakat desa Setelah
penyucian diri dari 100, jajan 100.
disediakan serba 100
sesajian dimantrai dibagi ke
kegelapan. bersama-sama. , pada upacara ini Menggali Informasi berkaitan Ungkapan Dukun Pandhita Secara Eksplsit Dukun
buah”.
masyarakat dan dimakan
Makna dari upacara Pujan Dengan Upacara Pujan
“Upacara Pujan Kasanga menyatakan Pelaksanaan Pujan Kasanga adalah Kasanga
diawali dengan para
Kasanga melibatkan semua
memohon kepada Syang
wanita yang mengantarkan lapisan masyarakat, dari anak-
Hyang Widhi Wasa untuk
sesaji ke rumah kepala
hingga dewasa, pria, wanita untuk membersihkan desa dari
desa untuk dimantrai
bergotong-royong keliling desa mara bahaya dan
dukun”
membunyikan bunyi-bunyian
bencana.
Tabel 3: Analisis Indeksikalitas dan Refleksitas Kejujuran
Refleksifitas Bagian 1:
Tahapan Bentuk
Data
Indeksikalitas
Mengikuti Upacara Adat Ungkapan Dukun “Jika 44 Secara implisit makna kata kotor Makna dari upacara kasodo Menggali Nilai yaitu Kasada. Ugorampe hari sebelum perayaan
adalah didesa tersebut ada orang dilakukan untuk mencari Kearifan
berkah dan keselamatan Lokal
yang harus disediakan Kasada ada orang yang
yang telah berbuat kesalahan,
dengan melempar sebagain Kejujuran
adalah berbagai hasil
meninggal, maka dari desa sehingga diharapkan
bumi yang disiapkan
hasil bumi di kawah gunung dalam bentuk ongkek.
tersebut tidak membuat
kejujurannya untuk tidak
ongkek karena dianggap mengikuti upacara kasada
bromo sebagai tanda bromo sebagai tanda
kotor”
dengan melempar ongkek.
Makna dari upacara dengan Dukun tentang pada saat Wawancara “
Ungkapan Dukun Pandhita Secara eksplisit Dukun Pandhita
Megeng Patigeni adalah Upacara Adat yaitu
menyatakan bahwa “Semua
Dukun wajib melakukan megeng meminta keselamatan desa, Megeng Patigeni Pujan melakukan megeng
Semua Dukun wajib
patigeni, untuk tidak berhubungan meminta supaya mantra Kapitu. Ugorampe yang patigeni pada saat upacara dengan duniawi khususnya tidak dukun mujarab, dan meminta harus disediakan adalah pujan kapitu”
kumpul istri” disini di tuntut
supaya keluarga diberi
keselamatan, rezeki dan rumah Dukun
tumpeng yang dibawa ke kejujuran dan kekuatannya.
kesejahteraan.
Tabel 4: Analisis Indeksikalitas dan Refleksitas Kepatuhan: Berpartisipasi Dalam Perencanaan Penganggaran Tahapan
Bagian 2: Wawancara
“..Bulan Desember kemarin ada Mengikuti dan
Diksusi dengan
“..masyarakat tengger patuh sama
Dengan Petinggi Petinggi tentang pemerintah, jadi meskipun informalnya acara rembug warga Tengger, Mengamati
yang hampir di hadiri oleh seluruh Proses
Tengger
musrenbang.
sudah musyawarah, formalnya tetap
masyarakat Tengger. Perencanaan
dilakukan.”
“..naik bu..sedikit...rata-rata 10%, Penganggaran dengan kaur
Wawancara
Diskusi dg Kaur
“ ya kita manut aja dengan anggaran
dana swadaya juga 10% dari total pemerintahan
pemerintah tentang yang ada..”
pelaksanaan
“Gak pernah bu, warga sini patuh sama yang dianggarkan.
musrenbang.
pak inggi dan pemerintah.”
Wawancara Diskusi dengan Ibu- “..biasanya hanya sedikit usulan yang Ibu-ibu di desa sini rajin mengikuti dengan Ibu
kegiatan PKK di Balai Desa Kades dan
Ibu PKK tentang
didanai, tetapi kita juga gak pernah
Ngadisari Pengurus PKK pembangunan Wawancara
Peran PKK dalam
protes, gak ilok (tidak sopan)..”
“Musrenbang desa menurut saya masyarakat
Diskusi pada saat
“..meskipun di akhir tahun desa kami
merupakan kegiatan silaturahim tengger
pelaksanaan
telah menyepakati usulan, kami tetap
antar warga Tengger..” Wawancara
musrenbang kec
melakukan Musrenbang Desa
Kami percaya bahwa semua hari baik, “..kami percaya bahwa dengan masyarakat
Dikusi tentang
menghitung hari baik, semua proses tengger
penetuan hari baik tapi ada satu hari yang paling baik
untuk melakukan kegiatan warga
akan berjalan dengan lancar....”
Tabel 5: Indeksikalitas dan Refleksifitas Kegotongroyongan: Berpartisipasi dalam Pembangunan Tahapan
Bagian 2: Wawancara
“Swadaya dari masyarakat dalam Mengamati
Wawancara dengan “ Proyek pembangunan jalan didanai
oleh APBD, sedangkan warga Tengger bentuk dana ada tetapi nilainya kecil...” Proses
Dengan
masyarakat yang
Masyarakat
sedang membangun memberikan sumbangan berupa
Pelaksanaan
jalan
gotong- royong tenaga dan makanan...”
Pembangunan Wawancara Wawancara dengan “Gotong-royong tidak hanya dilakukan “...gotong-royong juga dilakukan pada Dengan
saat masyarakat ada yang mempunyai Masyarakat
masyarakat
pada saat pembangunan desa...”
hajatan seperti sunatan ...” Wawancara
“Sebelum upacara kasada di Dengan
Wawancara dengan “Semua kegiatan dilakukan secara
laksanakan, biasanya bapak-bapak Masyarakat
masyarakat
bergotong royong dan saling
melengkapi...”
berkumpul ngurus upacara, yang ibu- ibu ngurus ugo rampe (ongkek)...”
Tabel 6: Indeksikalitas dan Refleksifitas Kejujuran: Berpartisipasi dalam Pertanggungjawaban Pembangunan Tahapan
Bagian 2: Wawancara
“..Bentuk pertanggungajwaban secara Dalam bentuk media apapun Kepala Mengamati
Wawancaar
langsung kepada rakyat merupakan Daerah berkewajiban menyampaikan Proses
Dengan
dengan Bupati
laporan pertanggungjawaban atas kinerja Pertanggung
Masyarakat
Probolinggo
tanggungjawab moral saya kepada
pemerintahan yang tidaklah harus rigit jawaban
rakyat yang telah memilih saya...”
dan kaku
Pembangunan Wawancara
“petinggi juga melaporkan kegiatan- Dengan
Wawancara
Selain petinggi (kepala desa)
kegiatan keagamaan yang didanai oleh Masyarakat
dengan Petinggi melaporkan semua pembangunan
Tengger
yang telah dilakukan dan dibiayai oleh swadaya masyarakat APBD
Wawancara
..pertanggungjawaban Ini merupakan Berbagai rangkaian kegiatan berjalan Dengan
Wawancara
bentuk kejujuran seorang pemimpin secara baik dan transparan. Masyarakat
dengan Bupati
Probolinggo
terhadap rakyat yang dipimpinnya
Lampiran Curiculum Vitae
I. Data Pribadi
Nama
: Dr. Ana Sopanah, SE, MSi., CMA.
TTL
: Brebes, 11 Agustus 1979
Agama
: Islam
Alamat Kantor : Fakultas Ekonomi Universitas Widya Gama Malang . Jl.
Borobudur No 35 Malang
Telp
: 0341-492282, 411291 pswt 213 Fax 0341- 496919 Alamat Rumah : Jl.Cakalang Kav AURI No 16 Polowijen Malang Telp/Hp/
anasopanah@gmail.com
Jab. Akademik : Lektor Suami
: Isa Wahyudi, S.Psi., M.Psi., Psikolog.
Anak
: Rabindra Annesa Danesjvara
II. Pendidikan No Keterangan
Lulus (IPK)
Tempat