Evaluasi Hybrid Library Pada Perpustakaan Universitas Negeri Padang

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS 2.1 Perpustakaan Konvensional dan Digital

Perpustakaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang merefleksikan perubahan yang terjadi dimasyarakat. Perpustakaan atau library didefenisikan sebagai tempat buku-buku yang diatur untuk dibaca dan dipelajari atau dipakai sebagai bahan rujukan. Istilah perpustakaan juga diartikan sebagai pusat media, pusat belajar, sumber pendidikan, pusat informasi, pusat dokumentasi dan pusat rujukan (The American Library Association yang dikutip oleh Mahmudi, 2006). Untuk perpustakaan modern, dengan paradigma baru (kerangka berpikir atau model teori ilmu pengetahuan), koleksi perpustakaan tidak hanya terbatas pada buku-buku, majalah, koran, atau barang tercetak (printed matter) lainnya. Koleksi perpustakaan telah berkembang dalam bentuk terekam, dan digital (recorded matter).

Alur perubahan perpustakaan bisa dinarasikan seperti berikut, perpustakaan tradisional dengan akses tertutup bergeser ke perpustakaan dengan akses terbuka. Perpustakaan dengan akses terbuka kemudian bergeser ke perpustakaan otomatis, perpustakaan yang otomatis kemudian berubah menjadi elektronik, kemudian elektronik berubah menjadi digital dan akhirnya berakhir di perpustakaan digital dan memiliki aspek yang berbeda.

Menurut Ogunsola (2011) traditional library were collection of books, manuscripts, journal, and others sources of recorded information. Sedangkan WTEC hyper-library (1999) menjelaskan bahwa karakteristik perpustakaan konvensional adalah:


(2)

- emphashis on storage and preservation of physical items, particularly books and periodicals

- cataloging at a high level rather than one of detail, e.g., author and subject indexes as opposed to full text

- browsing based on physical proximity of related materials, e.g., books on sociology are near one another on the shelves

- passivity; information is physically assembled in one place; user must travel to the library to learn what is there and make use of it.

Berdasarkan teori di atas perpustakaan konvensional merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi buku, manuskrip, jurnal, sumber informasi terekam lainnya dan terbitan yang terbatas pada bentuk cetak dengan akses manual. Keseluruhan proses mulai dari proses pengadaan sampai sirkulasi dilakukan dengan cara manual.

Era digital telah membawa perubahan pada setiap bidang layanan di perpustakaan, baik itu bidang pembinaan koleksi termasuk preservasi koleksi, maupun bidang layanan pengguna. Era digital membuktikan bahwa pemustaka tidak selalu harus datang ke perpustakaan, namun perpustakaanlah yang mendatangi pemustaka. Era digital juga telah membawa pergeseran citra terhadap perpustakaan dari yang manual, dibatasi oleh gedung, dan untuk akses masuk harus melalui berbagai prosedur, kesulitan akses dan pemanfaatan koleksi, dan lain-lain. Kini di era digital pemustaka bisa mengakses dan memanfaatkan koleksi perpustakaan di manapun dan kapanpun. Harapan-harapan pemustaka tersebut bisa terwujud dengan dibangunnya perpustakaan yang bisa diakses di manapun dan kapanpun, yaitu dengan model perpustakaan digital.

Pada dasarnya, perpustakaan digital sama saja dengan perpustakaan biasa, hanya saja memakai prosedur kerja berbasis komputer dan sumber daya digital. Menurut Widyawan yang dikutip oleh Saleh (2010, 2) Perpustakaan digital


(3)

(digital library) menawarkan kemudahan bagi para pengguna untuk mengakses sumber-sumber elektronik dengan alat yang menyenangkan pada waktu dan kesempatan yang terbatas. Sedangkan menurut Saffady yang dikutip oleh Saleh (2010, 3) mendefinisikan digital library adalah perpustakaan yang mengelola semua atau sebagian yang substansi dari koleksi-koleksinya dalam bentuk komputerisasi sebagai bentuk alternatif, suplemen atau pelengkap terhadap cetakan konvensional dalam bentuk mikro material yang saat ini didominasi koleksi perpustakaan.

Saleh (2010,4) juga menjelaskan kelebihan perpustakaan digital dibanding dengan perpustakaan konvensional adalah sebagai berikut

1. Menghemat ruangan

Karena koleksi perpustkaan digital adalah dokumen-dokumen berbentuk digital, maka penyimpanan akan sangat efisien.

2. Akses ganda (multiple acces)

Kekurangan perpustakaan konvesional adalah akses terhadap koleksinya bersifat tunggal. Artinya apabila ada sebuah buku dipinjam oleh seorang pemustaka, maka anggota lain yang akan meminjam harus menunggu buku tersebut dikembalikan terlebih dahulu. Koleksi digital tidak demikian.

3. Tidak dibatasi oleh ruang dan waktu

Perpustakaan dapat dikses dari mana saja dan kapan saja dengan catatan ada jaringan komputer (computer internetworking). Sedangkan perpustakaan konvensional hanya bisa diakses jika orang tersebut datang ke perpustakaan pada saat perpustakaan membuka layanan.

4. Koleksi dapat berbentuk multimedia

Koleksi perpustakaan digital tidak hanya bersifat teks atau gambar saja. Koleksi perpustakaan digital dapat berbentuk kombinasi antara teks gambar dan suara.

5. Biaya lebih murah

Secara relatif dapat dikatakan bahwa biaya untuk dokumen digital termasuk murah. Mungkin tidak sepenuhnya benar. Namun melihat sifat e-book yang bisa digandakan dengan jumlah yang tidak terbatas dan dengan biaya yang murah, mungkin kami akan menyimpulkan bahwa dokumen elektronik tersebut biayanya sangat murah.


(4)

Federasi perpustakaan di Amerika Serikat juga memberi batasan istilah perpustakaan digital sebagaimana dikutip oleh Pendit (2007, 29) sebagai berikut:

“Digital Libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual acces to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by a defined community or set of communities.”

Defenisi di atas merumuskan bentuk organisasi perpustakaan digital, dan jelas terlihat bahwa organisasi tersebut memerlukan pegawai dengan tata kerja dan tujuan kerja, serta komunitas yang diharapkan dapat memanfaatkan jasa mereka. Konsep perpustakaan digital semakin sering dikaitkan dengan organisasi yang mengoleksi rujukan ke sumberdaya yang berbasis Web di internet, dan bukan sumberdaya itu sendiri. Batasan terakhir memberi makna yang lebih luas dari dua terdahulu, yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber digital disamping pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat yang diharapkan dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.

Selanjutnya Tedd dan Large yang dikutip oleh Pendit (2007, 30), menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:

1. Memakai teknologi yang mengintegrasikan kemampuan menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas.

2. Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun eksternal. 3. Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk

memenuhi kebutuhan informai masyarakat tersebut karenanya perpustakaan digital merupakan integrasi institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat dan menyediakan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.


(5)

Tabel 2.1 Perubahan paradigma dari perpustakaan tradisional ke digital

Paradigm shift Traditional Library Digital Library

Library Building => Virtual Library (You go to the library => The library comes to you)

– Design, size, location of the library building – Other than warehousing library materials, library building has other important societal functions

– Electronic resources, hardware, software, telecommunications

Ownership => Access

– “Buy and own” books and journals, etc

– “Annual

subscriptions” for access

Just In Case => Just In Time

– 80% of books and

journals, etc. “purchased and owned” have never been used – Buy and own – “just in case”

– Document delivery, print on demand, pay per view, etc.

– “just in time” Unlimited Use =>

Pre-Defined Limited Use

– “Buy and own” books and journals, etc. for unlimited use by any users

– Number of

simultaneous logons (concurrent users) – 12 month subscriptions – By registered users

only One At A Time =>

Many At A Time

– One book or journal can be read by one user at a time

– One user can read one book or journal at a time

– One database can be accessed by many users at the same time – One user can access

many databases or journals at the same time

Take Your Time => Don’t Waste My Time!

– Users wait for weeks or months for the library to purchase books or journals or through ILL – Users spend hours or days

going through printed pages to find and compile information needed

– Users want the

information right now

Isolation => Cooperation

– Do everything by myself and for myself

– Cooperation to eliminate unnecessary duplication of efforts – Cooperation to

increase resources through sharing (Wang 2003)


(6)

Tabel 2.1 menjelaskan bahwa perubahan paradigma dari perpustakaan konvensional ke digital meiliki perbedaan dari beberapa segi seperti bangunan dan tempat penyimpanan koleksi pada perpustakaan konvensional berupa gedung, namun pada perpustakaan digital berupa electronic resources. Akses informasi yang lebih mudah pada perpustakaan digital karena berupa real time acces, sedangkan pada perpustakaan konvensional harus membutuhkan waktu untuk menemukan koleksinya. Penggunaan koleksi yang terbatas jumlah pada perpustakaan konvensional, namun tidak pada perpustakaan digital.

Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan konvensional adalah perpustakaan yang memiliki koleksi tercetak dan terekam lainnya yang terbatas pada bentuk cetak dan keseluruhan proses pengadaan sampai sirkulasi masih menggunakan akses yang manual. Sedangkan perpustakaan digital adalah perpustakaan yang memiliki sumber informasi elektronik dengan prosedur kerja berbasis komputer dan sumber daya digital. Dengan aspek meliputi sumber informasi tercetak dan sumber informasi elektronik.

2.2 Teknologi Informasi di Perpustakaan

Istilah Teknologi Informasi (TI) merupakan kombinasi dua istilah dasar yaitu teknologi, informasi dan komunikasi. Menurut Hariyadi yang dikutip oleh Ardoni (2005), teknologi informasi diberi batasan sebagai teknologi pengadaan, pengolahan, penyimpanan, dan penyebaran berbagai jenis informasi dengan memanfaatkan komputer dan telekomunikasi yang lahir karena “... adanya


(7)

dorongan-dorongan kuat untuk menciptakan teknologi baru yang dapat mengatasi kelambatan manusia mengolah informasi...".

Teknologi informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global (Wardiana, 2002).

Lebih jauh Hasugian (2000) mengartikan bahwa teknologi informasi sebagai perpaduan antara:

1. komputer yang mencakup komponen perangkat keras dan perangkat lunak, 2. komunikasi data yang memungkinkan komputer yang berdiri sendiri

terintegrasi pada jaringan komputer baik lokal maupun internasional, 3. media penyimpanan dan metode yang merepresentasikan data dengan

tujuan untuk memperoleh, mengolah, menyimpan, serta menyampaikan informasi.

Chauhan (2004) menyimpulkan bahwa “ ICTs is a generic term referring to technologies that are used for collecting, storing, editing and passing on (communicating) information in various forms”, dengan menggunakan perangkat perangkat seperti: computer, internet, digital camera, webcam, smart card, scanner, e-book, printer, electronic journals, WEB-OPAC, animation, E-Mail, CDROM, DVD, RFID Technologies.


(8)

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi informasi merupakan istilah umum untuk teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengedit, dan menyampaikan informasidalam berbagai bentuk dengan menggunakan perangkat elektronik seperti: komputer, internet, kamera digital, kamera web, kaertu pintar, pemindai, buku elektronik, pencetak, jurnal elektronik, WEB-OPAC, animasi, surel, CDROM, DVD,dan teknologi RFID. 2.2.1 Penerapan Teknologi informasi di Perpustakaan

Menurut Ishak (2008) penerapan TI di perpustakaan bersamaan dengan perkembangan budaya manusia itu sendiri. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari tahapan evolusi format dokumen yang menjadi koleksi perpustakaan, antara lain dimulai dari bahan cetak (paper material), microfilm, CD-ROM/DVD, komputer, internet, wireless, sampai format web. Perkembangan ini menjadikan Great Technology Great Library yang maksudnya dengan teknologi yang modern maka akan tercipta perpustakaan yang modern juga.

Penerapan TI di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain:

a. Sebagai sistem manajemen perpustakaan bidang pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi, keanggotaan, statistik dan lain sebagainya. Fungsi ini sering diistilahkan sebagai bentuk Automasi Perpustakaan.

b. Sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan, dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Bentuk penerapan TI ini sering dikenal dengan perpustakaan digital (digital library).

Kedua fungsi penerapan TI tersebut dapat dilakukan secara terpisah atau dilakukan secara terintegrasi dalam sistem informasi perpustakaan. Kondisi ini


(9)

tergantung dari kemampuan software yang digunakan, sumber daya manusia dan infrastruktur peralatan teknologi informasi yang digunakan.

Berikut faktor pendukung dan keuntungan pemanfaatan TI di perpustakaan menurut Ishak (2008).

Faktor pendukung pemanfaatan TI di perpustakaan antara lain: a. kemudahan dalam mendapatkan produk TI

b. harga semakin terjangkau

c. tuntutan layanan masyarakat (right information, right user dan right now)

Keuntungan pemanfaatan TI di perpustakaan antara lain:

a. mempermudah dan mengefisiensikan pekerjaan pengelolaan perpustakaan

b. memberikan layanan yang lebih baik pada pengguna c. meningkatkan citra perpustakaan dan pustakawan

d. mengembangkan infrastruktur regional, nasional dan global

Pada dasarnya teknologi informasi mengalami kemajuan dalam dua arah: 1. Pengembangan produk, yaitu pengembangan perangkat sistem dan konsep-

konsepnya (gagasan, prosedur), dengan cakupan aplikasi di segala bidang yang mengharuskan manusia berhubungan dengan informasi, dilihat dari perangkat yang digunakan.

2. Aplikasi produk dan konsep tersebut pada sejumlah kegiatan tertentu, antara lain di bidang industri, keuangan dan perdagangan, percetakan, militer, dan untuk pengelolaan pekerjaan di kantor.

Aplikasi teknologi informasi yang tercakup dalam ruang lingkup suatu sistem informasi, baik itu perpustakaan maupun pusat-pusat dokumentasi dan informasi. Penerapan teknologi informasi dalam ruang lingkup suatu sistem informasi seperti perpustakaan dapat terbagi dalam empat bidang utama yang dikemukan oleh Suwanto (2006, 23-2 4) yaitu:

1. Library Housekeeping

Library housekeeping atau pengelolaan perpustakaan, merupakan istilah umum yang mengacu pada berbagai macam kegiatan rutin yang perlu dilakukan


(10)

agar perpustakaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi dapat dilakukan dengan menggunakan sistem yang terpadu yang terdiri dari beberapa modul, yaitu akuisisi atau pengadaan, pengatalogan, sirkulasi, pengaksesan katalog umum atau yang dikenal dengan nama OPAC (Online Public Acces Catalog), dan peminjaman antar perpustakaan.

Konsep integrasi akhir-akhir ini telah diterapkan secara luas pada sistem housekeeping perpustakaan. Istilah Sistem perpustakaan yang terintegrasi (Integrated Library System) sering digunakan sebagai indikasi bahwa sub-sistem atau modul-modul yang ada diintegrasikan semuanya membentuk Sistem Informasi Tunggal yang berbasis komputer yang mampu melakukan tukar menukar informasi dari satu modul ke modul lain, serentak oleh beberapa modul yang berbeda sehingga memungkinkan penggunaan dan pemanfaatan data oleh sistem akan lebih efisien. Sebagai contoh: informasi pengarang / judul akan digunakan bersama oleh modul : akuisisi, pengatalogan, sirkulasi, OPAC (Online Public Acces Catalog), dan informasi pengelolaan. Dari semua modul atau sub sistem ini yang paling penting bagi pemakai adalah sub sistem OPAC, yang memungkinkan pengaksesan online ke katalog. Sistem perpustakaan yang terintegrasi ini kemudian dikenal secara luas dengan nama otomasi perpustakaan. Secara umum ada tiga generasi otomasi perpustakaan, yaitu:

Generasi I: Otomasi aktivitas-aktivitas pemrosesan, sepert akuisisidan pengatalogan ditambah dengan pengendalian sirkulasi

Generasi II: Pengembangan dan pemasangan sistem yang terintegrasi termasuk OPAC


(11)

Generasi III: Dibangun Local Area Network (LAN) dengan kemampuan komputerisasi dan komunikasipada stasiun kerja individu

Pengertian otomasi Perpustakaan kalau dilihat dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu library automation. Kata automation di dalam microcomputer dictionary berarti : (1) Perubahan dari suatu proses atau prosedur secara otomatis; (2) Pelaksanaan proses dengan sarana-sarana otomatis. Adapun konsep Otomasi berdasarkan Encyclopedia of Science and Technology, Vol.1, menggambarkan penerapan mesin-mesin komputer pada penyimpanan, pemrosesan data-data bisnis, teknis, maupun ilmiah. Dengan demikian otomasi perpustakaan berarti penggunaan komputer untuk semua kegiatan perpustakaan mulai dari pengadaan, pengolahan, sampai ke layanan sirkulasi.

2. Information Retrieval

Sistem informasi untuk temu kembali informasi secara elektronis pertama kali digunakan untuk pencarian data lokal dilakukan dengan menggunakan katalog. Kemudian dengan adanya kemajuan teknologi informasi temu kembali informasi atau yang dikenal dengan penelusuran informasi juga mengalami kemajuan, yaitu dengan penggunaan sarana-saran elektronis. Ada tiga macam sarana dalam penelusuran informasi atau temu kembali informasi secara elektronis, yaitu :

a) Pangkalan data lokal b) CD-ROM

c) Jaringan Wide Area Network (WAN), atau yang banyak dikenal melalui internet.


(12)

3. General Purpose Software

General purpose software yang dapat digunakan di lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dokumentasi dan informasi adalah :

a. Word Processing: untuk pengolah teks dan pencetakan. b. Spreadsheets: untuk kalkulasi keuangan

c. Graphics: untuk presentasi statistik

d. Desktop Publishing: untuk penerbitan dan percetakan yang profesional e. Electronic mail: untuk pendistribusian pesan

4. Library networking

Istilah Library networking mempunyai cakupan yang luas, tetapi bisaanya meliputi

a. Kerjasama antar perpustakaan atau jaringan informasi antar lembaga-lembaga yang bergerak di bidang informasi yang sama atau relevan, atau pengkaitan komputer perpustakaan atau lembaga informasi (Pusdokinfo) dengan lembaga lainnya di dalam institusi untuk membentuk LAN (Local Area Network).

b. Pengkaitan komputer lembaga Pusdokinfo ke komputer lain yang jauh jaraknya untuk membentuk Wide Area Network atau yang sering dikenal dapat berhubungan melalui internet.

LAN dan WAN adalah jenis jaringan yang digunakan untuk automasi perpustakaan yang dilihat dari lingkup geografisnya. LAN adalah suatu jaringan komputer dengan daerah kerja relatif kecil, dalam satu lokal; dan WAN adalah jaringan komputer yang daerah kerjanya mencakup radius antar kota, antar pulau,


(13)

dan bahkan antar benua. Sebenarnya masih ada jenis lain, yang disebut Metropolitan Area Network (MAN ), dengan daerah kerja antara 30 sampai 50 km, yang merupakan alternatif pilihan untuk membangun jaringan komputer kantor-kantor dalam satu kota. (Suwanto 2006, 23-24)

2.2.2 Fungsi Teknologi Informasi di Perpustakaan

Setelah mengetahui penerapan teknologi informasi, maka fungsi utama Teknologi Informasi menurut (Suwanto 2006, 26) pada dasarnya adalah :

1. Mengatur informasi “Ing-Griyo”(in-house information ) atau informasi yang ada di dalam lembaga informasi tersebut, serta mengusahakannya agar dapat di temu balik.

2. Mengakses pangkalan data luar (ektern), yaitu pangkalan data dari lembaga-lembaga lain, maupun belahan dunia lain.

Fungsi-fungsi lainnya, yaitu : 1. Meringankan beban kerja

2. Efisien dan menghemat waktu dan tenaga staf

3. Meningkatkan jasa perpusdokinfo dan fungsi-fungsi baru. 4. Membangun jaringan kerja dan kerjasama.

Secara umum fungsi teknologi informasi di perpustakaan berfungsi untuk mempermudah setiap kegiatan dan layanan yang ada di perpustakaan, baik yang bersangkutan dengan pengelolaan informasi maupun fungsi lain terhadap pekerjaan para pustakawan.

Surachman (2005) menjelaskan apabila perpustakaan ingin mengimplementasikan TI dalam layanan dan aktifitasnya, perlu direncanakan secara matang. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan dalam


(14)

perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu, tenaga, pikiran dan keuangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan TI pada perpustakaan, yakni:

1. Dukungan top manajemen / lembaga induk 2. Kesinambungan / kontinuitas

3. Perawatan dan pemeliharaan 4. Sumber daya manusia

5. Infrastruktur lainnya seperti listrik, ruang/gedung, furnitur, desain interior, jaringan komputer, dan sebagainya.

6. Pengguna perpustakaan seperti faktor kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dan lain-lain.

Hal-hal tersebut di atas akan menentukan sejauh mana penerapan TI di perpustakaan khususnya dilayanan perpustakaan dapat berjalan dengan baik.

Surachman (2005) menambahkan pemanfaatan TI dalam bidang layanan perpustakaan ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti:

a. Layanan Sirkulasi

Pemanfaatan TI dalam bidang layanan sirkulasi dapat meliputi banyak hal diantaranya adalah layanan peminjaman dan pengembalian, statistik pengguna, administrasi keanggotaan, dan lain-lain. Selain itu dapat juga dilakukan silang layan antar perpustakaan yang lebih mudah dilakukan apabila teknologi informasi sudah menjadi bagian dari layanan sirkulasi ini. Teknologi saat ini sudah memungkinkan adanya self-services dalam layanan sirkulasi melalui fasilitas barcoding dan RFID (Radio Frequency Identification). Penerapan teknologi komunikasipun sudah mulai digunakan seperti penggunaan SMS, faksimili dan internet.


(15)

b. Layanan Referensi & Hasil-hasil Penelitian

Pemanfaatan TI dalam layanan referensi dan hasil-hasil penelitian dapat dilihat dari tersedianya akses untuk menelusuri sumber-sumber referensi elektronik/digital dan bahan pustaka lainnya melalui kamus elektronik, direktori elektronik, peta elektronik, hasil penelitian dalam bentuk digital, dan lain-lain.

c. Layanan Journal /Majalah/Berkala

Pengguna layanan jurnal, majalah, berkala akan sangat terbantu apabila perpustakaan mampu menyediakan kemudahan dalam akses ke dalam jurnal-jurnal elektronik, baik itu yang diakses dari database lokal, global maupun yang tersedia dalam format compact disk dan disket. Bahkan silang layan dan layanan penelusuran informasipun bisa dimanfaatkan oleh pengguna dengan bantuan teknologi informasi seperti internet.

d. Layanan Multimedia /Audio-Visual

Layanan multimedia/audio-visual yang dulu lebih dikenal sebagai layanan “non book material” adalah layanan yang secara langsung bersentuhan dengan TI. Pada layanan ini pengguna dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk kaset video, kaset audio, microfilm, microfische, compact disk, laser disk, DVD, home movie, home theatre, dan lain lain. Layanan ini juga memungkinkan adanya media interaktif yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk melakukan pembelajaran, dan sebagainya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam layanan perpustakaan adalah pengguna yang mempunyai keterbatasan, seperti penglihatan yang kurang,


(16)

buta, pendengaran yang kurang dan ketidakmampuan lainnya. Layanan multimedia/audio-visual memungkinkan perpustakaan dapat memberikan pelayanan kepada para pengguna dengan kriteria ini. Sebagai contoh dari bentuk penerapan teknologi untuk itu adalah audible e-books, digital audio books, infoeyes (virtual reference), braille, dan sebagainya.

e. Layanan Internet & Computer Station

Internet saat ini menjadi bintang dalam TI. Orang sudah tidak asing lagi untuk menggunakan internet dalam kehidupannya. Untuk itu mau tidak mau perpustakaan harus dapat memberikan layanan melalui media ini. Melalui media web perpustakaan memberikan informasi dan layanan kepada penggunanya. Selain itu perpustakaan juga dapat menyediakan akses internet baik menggunakan computer station maupun wifi/access point yang dapat digunakan pengguna sebagai bagian dari layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Pustakawan dan perpustakaan juga bisa menggunakan fasiltas web-conferencing untuk memberikan layanan secara online kepada pengguna perpustakaan. Web-Conferencing ini dapat juga dimanfaatkan oleh bagian layanan informasi dan referensi. OPAC atau Online Catalog merupakan bagian penting dalam sebuah perpustakaan, untuk itu perpustakaan perlu menyediakan akses yang lebih luas baik itu melalui jaringan lokal, intranet maupun internet.

f. Keamanan

Teknologi informasi juga dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan kenyamanan dan keamanan dalam perpustakaan. Melalui fasilitas


(17)

semacam gate keeper, security gate, CCTV dan lain sebagainya, perpustakaan dapat meningkatkan keamanan dalam perpustakaan dari tangan-tangan jahil yang tidak asing sering terjadi dimanapun.

g. Pengadaan

Bagian Pengadaan juga sangat terbantu dengan adanya teknologi informasi ini. Selain dapat menggunakan TI untuk melakukan penelusuran koleksi-koleksi perpustakaan yang dibutuhkan, bagian ini juga dapat memanfaatkannya untuk menampung berbagai ide dan usulan kebutuhan perpustakaan oleh pengguna. Kerjasama pengadaan juga lebih mudah dilakukan dengan adanya TI.

Jadi, pemanfaatan TI dalam layanan perpustakaan dari waktu ke waktu akan terus berkembang baik itu untuk keperluan automasi perpustakaan maupun penyediaan media / bahan pustaka berbasis TI. Mulai dari layanan, pengadaan dan keamanan pada perpustakaan.

2.2.3 Dampak Teknologi Informasi di Perpustakaan

Sumber daya manusia di perpustakaan terutama para pustakawan, termasuk asisten pustakawan adalah front liner (garis terdepan) dari scientif discovery (penemuan-penemuan ilmiah). Oleh karena itu apabila dengan adanya internet di perpustakaan, maka merekalah yang akan menerima dampak terbanyak baik positif maupun negatif. Bagi orang yang introvert (yaitu jenis kepribadian yang mempunyai karakterisitik menutup diri), teknologi ini akan memberikan tempat untuk mengekspresikan diri yang lebih bebas. Karena pada dasarnya dengan adanya penelusuran melalui internet pustakawan tersebut tidak perlu selalu


(18)

menghadapi pemakai face-to-face, demikian pula bagi pemakai yang introvert. Pengaruh lain bagi pustakawan muda yang mempunyai wawasan luas, mempunyai dorongan maju, teknologi ini akan dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan kinerja perpustakaan, termasuk pelayanan kepada pemakai.

Meskipun banyak kelebihan yang dapat dinikmati dengan adanya kemajuan teknologi informasi, seperti yang dapat dilihat dari fungsi-fungsi teknologi, namun ada pula dampak negatifnya. Dampak teknologi informasi secara umum adalah :

1. Bila tidak terjadi perluasan kesempatan kerja, akan terjadi pengangguran. 2. Tidak ada perlindungan data

3. Karena adanya arus informasi melewati perbatasan negara (Transborder Data Flow), termasuk informasi sensitif akan menimbulkan dampak negatif terhadap bidang ekonomi, dan budaya.

4. Hak cipta tidak terlindungi

5. Sukar melakukan kontrol kearsipan. (Suwanto, 26)

Jadi, dampak yang diberikan oleh penggunaan teknologi informasi di perpustakaan bisa menjadi positif dan bisa berdampak negatif tergantung dari sikap penggunanya.

2.3 Hybrid Library (Perpustakaan Hibrida)

Istilah hybrid library (perpustakaan hibrida) pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak. Hybrid library adalah


(19)

campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.

Menurut Borgman yang dikutip oleh Saputro (2008, 3) mengungkapkan bahwa hybrid library adalah perpustakaan yang didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi yang tercetak yang dapat diakses melalui jarak dekat maupun jarak jauh. Para pustakawan dan teknolog di Inggris mendefinisi hybrid library sebagai perpustakaan yang secara bersama-sama menghimpun koleksi jenis baru yaitu koleksi digital dengan koleksi jenis lama yaitu koleksi tercetak (Pendit 2008, 239). Dengan kedua jenis koleksi ini memungkinkan bagi mereka yang tidak familiar tengan teknologi informasi tetap mengakses koleksi tercetak dan bagi mereka yang familiar dengan teknologi informasi dapat mengakses koleksi digital untuk memenuhi kebutuhan informasinya.

Hybrid library sendiri adalah seperti yang dikemukakan oleh Hutton (2001,4):

“A hybrid library is a library where “new” electronic information resources and ‘traditional’ hardcopy resources co-exist and are brought together in an integrated information service, accessed via electronic gateways available both on-site, like a traditional library, and remotely via internet or local computer networks”.

Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan hybrid library adalah merupakan bentuk perpaduan antara perpustakaan tradisional dan perpustakaan digital/elektronik yang terintegrasi melalui akses jaringan elektronik dan dihubungkan melalui jaringan internet atau jaringan lokal komputer. Inilah yang menjadikan layanan perpustakaan berbasis TI sangat dekat dengan konsep


(20)

hybrid library. Seperti yang disampaikan Stephen Pinfiel yang dikutip Surachman (2005):

“A hybrid library is not just a traditional library (only containing paper-based resources) or just a virtual library (only containing electronic resources), but somewhere between the two. It is a library which brings together a range of different information sources, printed and electronic, local and remote, in a seamless way.”

Jadi dalam hybrid library, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas antara koleksi tercetak dengan koleksi noncetak, artinya konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak terpisah tetapi terintegrasi.

2.3.1 Konsep dan Model Hybrid Library

Menurut Saputro (2008, 3) konsep hybrid library berusaha mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi digital. Hybrid library memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya. Hybrid library berusaha memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi digital dan penggunaan teknologi komputer tidak bisa dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak. Sedangkan Pendit (2007, 33-35) menjelaskan hybrid library merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola hybrid library adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai format.


(21)

Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan digital. Rusbridge (1998) mengatakan setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan hybrid library, yaitu:

1. HyLife (Hybrid Library of the Future)

Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekamir teori dan praktik hybrid library yang terdiri atas layanan elektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan hybrid library. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

2. Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan hybrid library. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan hybrid library dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yang memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan hybrid library.

3. HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment) Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model hybrid library dalam lingkungan akademik yang nyata. Proyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.


(22)

4. Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource) dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak hybrid library terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.

5. Agora, membangun sistem manajemen hybrid library ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.

Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan suatu konsep hybrid library yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi tertentu. Yang membedakan perpustakaan digital dengan hibryd library adalah: Pertama, hybrid library masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital. Kedua, hybrid library memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.

Sedangkan menurut Ulumi (2008) konsep hybrid library sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka.


(23)

Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.

Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan perguruan tinggi saat ini secara tidak sadar dan langsung telah mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini. Hanya saja hal itu masih kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep hybrid library ini tidak bisa dipisahkan, artinya antara pengembangan resources dalam bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan pengembangan resources “digital/elektronik”. Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi antara sumber tercetak dan elektronik.

Jadi dalam hybrid library, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik atau virtual, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus dapat menerapkan konsep hybrid library ini secara lebih “benar” sehingga pengembangan perpustakaan lebih terarah dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan terkesan hanya mengikuti trend belaka. Hal lain adalah perubahan paradigma informasi yang akan dapat dijaga dengan penerapan yang benar terhadap apa yang dinamakan hybrid library.

Perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber yang berupa buku dengan sumber-sumber yang dapat diakses secara elektronik/digital.


(24)

Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HeadLine tahun 1998 terhadap harapan pemakai London School of Economics, The London Business School, dan University of Hertsfordshire dengan diterapkannya hybrid library pada perpustakaan perguruan tinggi tersebut disimpulkan bahwa pemakai membutuhkan:

1. One stop shopping dan electronic full-text. Pemakai menginginkan sumber informasi yang mereka butuhkan tersedia dalam bentuk teks lengkap. Mereka tidak menghendaki perpustakaan hanya sekedar menyediakan cantuman bibliografi saja, sedangkan bentuk teks lengkapnya tersedia pada pangkalan data lainnya.

2. Mampu melakukan penelitian secara mandiri. Bisaanya pemakai cenderung mengikuti dan mencari daftar pustaka yang ada pada suatu artikel atau dokumen yang sedang mereka baca. Mereka menghendaki link dengan sumber informasi tersebut.

3. Akses dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak selalu betah belajar di perpustakaan. Mereka terkadang lebih suka menghabiskan waktu di rumah atau di mana saja untuk mengerjakan tugas-tugas yang sedang mereka kerjakan. Untuk ini, pemakai tentu harus memiliki seperangkat komputer yang telah tersambung dengan internet. Jasa seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemakai.

4. Nilai tambah. Pemakai sering membutuhkan informasi lanjut dari perpustakaan. Tidak semua pemakai suka bertanya langsung kepada pustakawan. Untuk itu, mereka membutuhkan sarana bertanya yang tersedia dalam format on-line atau lebih dikenal dengan FAQs (Frequently Asked Questions).


(25)

Tabel 2.3.1 Evolusi teknologi di perpustakaan

Perpustakaan Koleksi Penggunaan

teknologi

keterangan Perpustakaan

konvensional

Berbasis kertas Mula-mula

menggunakan tangan (manual), kemudian berkembang teknologi seperti mesin ketik dan duplikator kartu

Disebut juga perpustakaan tradisional Perpustakaan konvensional Berbasis kertas serta bentuk nonbuku seperti DVD, film dan peta

Teknologi seperti mesin ketik dan duplikator kartu Perpustakaan terotomasi Berbasis kertas serta bentuk nonbuku seperti DVD, film dan peta

Komputerisasi kegiatan perpustakaan berulang-ulang seperti pengatalogandan penelusuran Perpustakaan elektronik. Koleksinya berbasis kertas serta koleksi analog. Perpustakaan hibrida Koleksi berbasis perpustakaan beserta digital Otomasi data bibliografis materi berbasis kertas, teknologi digital pada koleksi perpustakaan maupun yang diunduh dari internet Istilah ini banyak digunakan dalam literatur Inggris Perpustakaan digital Koleksinya didominasi oleh koleksi digital

Digitalisasi materi Istilah dalam literatur

Amerika utara. (Sulistyo-Basuki 2007).

2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Hybrid Library

Hybrid library memiliki potensi yang besar dalam langkah perubahan perpustakaan konvensional menuju perpustakaan digital. Dalam perkembangannya tersebut ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang ditimbulkan oleh perencanaan hybrid library seperti yang di jelaskan Hermawan (2009, 30-31) yaitu:


(26)

1. Kelebihan hybrid library

a. Sumber data yang tersedia lebih banyak dan beraneka ragam, selain itu dapat digunakan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

b. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari perpustakaan yang sekarang sudah ada

c. Lebih efektif, pengguna perpustakaan tidak harus memilih mencari buku dengan melihat satu persatu di rak, tetapi dapat melihat koleksi buku dengan indeks katalog yang sudah diterapkan dengan sistem informasi digital.

d. Pendekatan lebih terstruktur, memberikan kandungan data yang lebih jelas dan dapat berpindah dari satu katalog ke katalog buku yang lain. e. Berbagai istilah yang terangkum dalam suatu buku dapat dengan cepat di

cari arti serta maknanya.

f. Penyimpanan data dapat bertahan lama dan dapat diperbaharui dengan mudah, serta tempat penyimpanannya memerlukan sedikit tempat.

g. Jaringan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dapat dilakukan dengan lebih mudah.

2. Kekurangan hybrid library

a. Bahan-bahan yang ada kadang keaslian datanya masih ada yang belum bisa dipertanggung jawabkan (data digital)

b. Pengetahuan tentang hybrid library pada masyarakat masih kurang, terutama sistem yang ada.

c. Keterampilan masyarakat akan penggunaan sarana teknologi digital masih belum merata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hybrid library adalah bentuk perpaduan perpustakaan dengan konsep tradisional dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu sama lain dengan mempertahankan kedua jenis koleksi secara terintegrasi melalui akses jaringan elektronik dan terhubung melalui jaringan internet. Dari jenis perpustakaan di atas, maka aspek dari hybrid library yang akan dirancang merupakan jenis dari perpustakaan umum. Karena bidang ilmu yang akan digunakan dalam konsep pustaka data meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan.


(1)

Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna

mewujudkan perpustakaan digital. Rusbridge (1998) mengatakan setidaknya ada

lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan hybrid

library, yaitu:

1. HyLife (Hybrid Library of the Future)

Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekamir teori dan praktik hybrid library yang terdiri atas layanan elektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan hybrid library. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

2. Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan hybrid library. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan hybrid library dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yang memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan hybrid library.

3. HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment) Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model hybrid library dalam lingkungan akademik yang nyata. Proyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.


(2)

4. Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource) dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak hybrid library terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.

5. Agora, membangun sistem manajemen hybrid library ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.

Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog

berkolaborasi mengembangkan suatu konsep hybrid library yang tetap

mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus

menomorduakan macam koleksi tertentu. Yang membedakan perpustakaan digital

dengan hibryd library adalah: Pertama, hybrid library masih memiliki koleksi

tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana

perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk

digital. Kedua, hybrid library memperluas konsep cakupan jasa informasi

sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi

komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.

Sedangkan menurut Ulumi (2008) konsep hybrid library sangat jelas yaitu

mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai


(3)

Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah

koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.

Sebenarnya apabila dilihat, perpustakaan perguruan tinggi saat ini secara

tidak sadar dan langsung telah mengembangkan sebuah konsep perpustakaan ini.

Hanya saja hal itu masih kurang terasa dan terlihat berdiri sendiri-sendiri. Konsep

hybrid library ini tidak bisa dipisahkan, artinya antara pengembangan resources dalam bentuk “tradisional” juga harus seimbang dan dipadukan dengan

pengembangan resources “digital/elektronik”. Perpustakaan harus

mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang terintegrasi antara

sumber tercetak dan elektronik.

Jadi dalam hybrid library, pengguna selain memanfaatkan koleksi yang

tercetak juga dapat memanfaatkan koleksi yang dapat diakses secara elektronik

atau virtual, baik melalui jaringan lokal maupun jaringan internet. Ada sinergitas

antara koleksi tercetak dengan elektronik atau virtual, artinya konsep tradisional

dan elektronik kedudukannya saling melengkapi satu dengan lainnya, tidak

terpisah dan terintegrasi. Perpustakaan perguruan tinggi ke depan harus dapat

menerapkan konsep hybrid library ini secara lebih “benar” sehingga

pengembangan perpustakaan lebih terarah dan tidak berdiri sendiri-sendiri dan

terkesan hanya mengikuti trend belaka. Hal lain adalah perubahan paradigma

informasi yang akan dapat dijaga dengan penerapan yang benar terhadap apa yang

dinamakan hybrid library.

Perpustakaan harus dapat memadukan antara sumber-sumber yang berupa


(4)

Perpustakaan harus mengembangkan sebuah konsep layanan informasi yang

terintegrasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HeadLine tahun 1998

terhadap harapan pemakai London School of Economics, The London Business

School, dan University of Hertsfordshire dengan diterapkannya hybrid library pada perpustakaan perguruan tinggi tersebut disimpulkan bahwa pemakai

membutuhkan:

1. One stop shopping dan electronic full-text. Pemakai menginginkan sumber informasi yang mereka butuhkan tersedia dalam bentuk teks lengkap. Mereka tidak menghendaki perpustakaan hanya sekedar menyediakan cantuman bibliografi saja, sedangkan bentuk teks lengkapnya tersedia pada pangkalan data lainnya.

2. Mampu melakukan penelitian secara mandiri. Bisaanya pemakai cenderung mengikuti dan mencari daftar pustaka yang ada pada suatu artikel atau dokumen yang sedang mereka baca. Mereka menghendaki link dengan sumber informasi tersebut.

3. Akses dari mana saja dan kapan saja. Pemakai tidak selalu betah belajar di perpustakaan. Mereka terkadang lebih suka menghabiskan waktu di rumah atau di mana saja untuk mengerjakan tugas-tugas yang sedang mereka kerjakan. Untuk ini, pemakai tentu harus memiliki seperangkat komputer yang telah tersambung dengan internet. Jasa seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemakai.

4. Nilai tambah. Pemakai sering membutuhkan informasi lanjut dari perpustakaan. Tidak semua pemakai suka bertanya langsung kepada pustakawan. Untuk itu, mereka membutuhkan sarana bertanya yang tersedia dalam format on-line atau lebih dikenal dengan FAQs (Frequently Asked Questions).


(5)

Tabel 2.3.1 Evolusi teknologi di perpustakaan

Perpustakaan Koleksi Penggunaan

teknologi

keterangan Perpustakaan

konvensional

Berbasis kertas Mula-mula

menggunakan tangan (manual), kemudian berkembang teknologi seperti mesin ketik dan duplikator kartu

Disebut juga perpustakaan tradisional Perpustakaan konvensional Berbasis kertas serta bentuk nonbuku seperti DVD, film dan peta

Teknologi seperti mesin ketik dan duplikator kartu Perpustakaan terotomasi Berbasis kertas serta bentuk nonbuku seperti DVD, film dan peta

Komputerisasi kegiatan perpustakaan berulang-ulang seperti pengatalogandan penelusuran Perpustakaan elektronik. Koleksinya berbasis kertas serta koleksi analog. Perpustakaan hibrida Koleksi berbasis perpustakaan beserta digital Otomasi data bibliografis materi berbasis kertas, teknologi digital pada koleksi perpustakaan maupun yang diunduh dari internet Istilah ini banyak digunakan dalam literatur Inggris Perpustakaan digital Koleksinya didominasi oleh koleksi digital

Digitalisasi materi Istilah dalam literatur

Amerika utara. (Sulistyo-Basuki 2007).

2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Hybrid Library

Hybrid library memiliki potensi yang besar dalam langkah perubahan perpustakaan konvensional menuju perpustakaan digital. Dalam

perkembangannya tersebut ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang

ditimbulkan oleh perencanaan hybrid library seperti yang di jelaskan Hermawan


(6)

1. Kelebihan hybrid library

a. Sumber data yang tersedia lebih banyak dan beraneka ragam, selain itu dapat digunakan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

b. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah dari perpustakaan yang sekarang sudah ada

c. Lebih efektif, pengguna perpustakaan tidak harus memilih mencari buku dengan melihat satu persatu di rak, tetapi dapat melihat koleksi buku dengan indeks katalog yang sudah diterapkan dengan sistem informasi digital.

d. Pendekatan lebih terstruktur, memberikan kandungan data yang lebih jelas dan dapat berpindah dari satu katalog ke katalog buku yang lain. e. Berbagai istilah yang terangkum dalam suatu buku dapat dengan cepat di

cari arti serta maknanya.

f. Penyimpanan data dapat bertahan lama dan dapat diperbaharui dengan mudah, serta tempat penyimpanannya memerlukan sedikit tempat.

g. Jaringan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dapat dilakukan dengan lebih mudah.

2. Kekurangan hybrid library

a. Bahan-bahan yang ada kadang keaslian datanya masih ada yang belum bisa dipertanggung jawabkan (data digital)

b. Pengetahuan tentang hybrid library pada masyarakat masih kurang, terutama sistem yang ada.

c. Keterampilan masyarakat akan penggunaan sarana teknologi digital masih belum merata.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hybrid library adalah bentuk

perpaduan perpustakaan dengan konsep tradisional dan elektronik kedudukannya

saling melengkapi satu sama lain dengan mempertahankan kedua jenis koleksi

secara terintegrasi melalui akses jaringan elektronik dan terhubung melalui

jaringan internet. Dari jenis perpustakaan di atas, maka aspek dari hybrid library

yang akan dirancang merupakan jenis dari perpustakaan umum. Karena bidang

ilmu yang akan digunakan dalam konsep pustaka data meliputi berbagai bidang