Buat Narita

Respon imun terhadap stress akut
Lanjutan dari penjelasannya (LO no. 2)
Paradox cortisol Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan
mobilisasi pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam invasi.
Peningkatan cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian sistem
imun, sehingga sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin mengalami reposisi. Sel
tersebut dikirimkan ke bagian tubuh yang paling berisiko luka atau terkena infeksi,
seperti kulit terutama di mukosa rongga mulut dan kelenjar limfe. Tetapi secara
umum terjadi penekanan fungsi imun yang disebut paradox cortisol yang bersifat vital
karena semua proses homeostasis dimobilisasi untuk persiapan reaksi melawan atau
lari. Deposit imuno kompleks pada mukosa oral dapat menyebabkan lesi dengan
menarik leukosit PMN yang mana berperan melepaskan enzim yang diturunkan dari
jaringn ikat dan menghasilkan ulserasi.
Haikal, Mohammad.2009.Skripsi “ Aspek Imunologis Stomatitis Aftosa
Rekuren”.FKG Universitas Sumatera Utara
Nurdin, Adnil Edwin.2010.PENDEKATAN PSIKONEUROIMUNLOGI.Majalah
Kedokteran Andalas

Faktor Predisposisi
1. Faktor Genetik
Faktor genetic dianggap memainkan peranan yang sangat besar pada pasien yang

menderita RAS. Insiden RAS dipercaya meningkat pada pasien yang memiliki
riwayat keluarga positif terkena RAS. Kurang lebih 50% keturunan derajat pertama
dari penderita RAS juga akan mengidap RAS. Sircus berpendapat bahwa bila kedua

orang tua menderita RAS maka diperkirakan besar kenungkinan timbul RAS pada
beberapa anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga RAS akan menderita RAS
sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga RAS.
Probabilitas perkembangan RAS mungkin sangat dipengaruhi oleh status RAS orang
tua dan terdapat hubungan yang signifikan antara RAS pada kembar monozygote tapi
tidak pada kembar dizygote.
Faktor genetic RAS diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human
leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. Pada
penelitian yang dilakukan pada penderita RAS dengan etnik yang berbeda ditemukan
hubungan yang signifikan antara HLA dengan RAS, namun karena sample penelitian
ini sedikit maka dianggap tidak mewakili populasi.1 Pada penelitian di Turki
ditemukan jumlah HLA yang tidak signifikan dibandingkan subyek kontrol sehat.
Antigen HLA klas I dan II terlihat pada epithelium basal dan pada sel perilesi pada
semua lapisan epithelium pada fase awal ulserasi yang rupanya di mediasi oleh
interferon gamma (IFN-ã) yang dilepaskan oleh sel T. Antigen ini menyerang sel-sel
melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan terlepasnya sel

mononuclear ke epithelium khususnya lapisan prickle sel sehingga terjadi kontak
dengan apoptosis prickle sel yeng kemudian di fagosit oleh neutrofil.
2. Faktor Lokal
Faktor lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah trauma, rokok, dan alergi obat atau
makanan serta beberapa bahan kimia. Trauma juga dianggap dapat menimbilkan
RAS, pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis bahwa sekelompok ulcer
terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut.2 Rees dalam penelitiannya
pada 128 penderita RAS, terdapat 20 orang yang mengaku mengalami trauma
mukosa mulut. Trauma yang menstimulasi timbulnya lesi RAS seperti gigitan ringan
pada mukosa, sikat gigi, dan suntikan pada mulut atau makanan yang runcing. Perlu

diingat bahwa trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan
berkembangnya RAS pada semua penderita tetapi trauma sebaiknya dipertimbangkan
sebagai faktor pendukung.
Khusus untuk rokok terdapat hubungan yang terbalik antara perkembangan RAS
dengan penggunaan berbagai bentuk tembakau.Ini sangat bertolak belakang dengan
pemahaman bahwa rokok sebagai sumber iritasi dalam rongga mulut yang dapat
menyebabkan timbulnya berbagai ulcer dalam rongga mulut salah satunya adalah
stomatitis nicotina.
Hubungan terbalik tersebut didasarkan dari beberapa penelitian epidemiologi dimana

ditemukan insiden RAS yang rendah pada semua partisipan yang merokok. Penelitian
pada 34 pasien RAS tipe minor dan major di Turki ditemukan penurunan jumlah
insiden RAS pada individu yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok
(kelompok kontrol) yaitu ± 8,8% vs 25,2%. Pada penelitian lain dengan sampel tim
baseball ditemukan bahwa dari 17 orang pemain yang merokok mengalami
penurunan insiden RAS yang signifikan.
Menurunnya insiden RAS pada perokok diduga berhubungan dengan meningkatnya
mekanisme keratinisasi mukosa mulut akibat rokok. Selain itu nikotin mungkin
berperan sebagai protektif faktor. Selain itu orang yang merokok mungkin mengalami
stress pisikologis yang lebih rendah dibandingkan yang tidak merokok.
Pada beberapa daerah tertentu, ditemukan adanya hubungan antara RAS dengan
alergi makanan. Dari hasil pemeriksaan ditemukan 25-27 % patien mengalami RAS
akibat alergi. Lesi RAS muncul pada beberapa pasien setelah mengkomsumsi
makanan yang mengandung coklat, sereal, keju, susu sapi, atau jus. Antibodi susu
sapi telah ditemkan pada pasien RAS.Sebaliknya banyak makanan yang
menyebabkan alergi terbukti tidak menyebabkan RAS seperti tomat, stroberi.

Mengenai penggunaan obat-obatan ditemukan obat antineoplasma menyebabkan 37
% stomatitis ulseratif yang diberikan pada pasien yang menderita leukemia. Catopril
juga diduga bisa menyebabkan stomatitis, mengingat catopril dapat menyababkan

serostomia. Obat-obatan lain yang dianggap dapat menyebabkan stomatitis adalah
obat antimikroba, barbiturate, obat nonsteroid anti inflamasi, dan sulfonamide.
Peningkatan insiden RAS juga ditemukan akibat penggunaan sodium lauryl sulphate
(SLS) yang dikandung dalam pasta gigi sedangkan insiden RAS didapatkan menurun
pada penderita yang menggunakan pasta gigi yang bebas dari sodium lauryl sulphate.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa agen tersebut juga merupakan faktor predisposisi
terjadinya RAS.
3. Faktor Hormon
Pada wanita, sekelompok aphthous stomatitis sering terlihat di masa pra-menstruasi
bahkan banyak yang menggalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan
dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen
dan progesterone.
Pada masa pra-menstruasi (phase lhuteal menstruasi) korpus luteum menyekresi
sejumlah besar progesterone dan estrogen. Hormon ini memberi umpan balik negatif
terhadap kelenjar hipopisis anterior dan hypothalamus kira- kira 3-4 hari sebelum
menstruasi sehingga menekan produksi hormon pada kelenjar tersebut seperti FSH,
LH, maupun hormon pertumbuhan. Menurunnya kerja hormon hipoposis akan
mempengaruhi seluruh/hampir seluruh jaringan tubuh termasuk rongga mulut.
Dimana kemampuan sintesis protein sel akan menurun sehingga metabolisme sel-sel
juga akan menurun.

Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesterone
secara mendadak.Penurunan estrogen mengakibatkan terjadi penurunan aliran darah
sehingga suplai darah utamanya daerah perifer menurun sehingga terjadinya
gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses

keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan lunak
mulut sehingga rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi RAS. Beberapa
ahli berpendapat bahwa progesterone juga memegang peranan dalam terjadinya RAS.
Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian ephitel mukosa rongga
mulut. Meskipun belum ada literature yang menjelaskan hal ini secara lebih terperinci
namun ada kemungkinan beberapa penderita RAS mengalami progesterone dermatitis
autoimun.
4. Faktor Defisiensi Nutrisi
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x
lebih besar terkena RAS dibandingkan orang yang sehat. Sekitar 20 % penderita RAS
defisiensi hematinic, tapi di Amerika Serikat hal tersebut tidak dilaporkan. Telah
banyak fakta yang mendukung bahwa pasien yang menderita RAS kemungkinan
mengalami defisiensi satu atau beberapa hematinic.
Pada penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan RAS dengan menurunnya
intake makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1, akan tetaapi pada

peneituan ini tidak dilakukan pengujian hubungan antara intake makanan dengan
fakta-fakta deficiensi haematologi.
Pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan di India dilaporkan adanya korelasi
antara konsentrasi nitrat dalam air minum dengan timbulnya RAS, nitrate
mengakibatkan meningkatnya aktivitas cytochrome B5 reductase dalam darah dan
kerentanan terjadinya recurrent stomatitis. Penjelasan dari teori ini berhubungan
dengan adanya kelebihan oxidasi NADH yang medukung timbulnya inflamasi pada
mukosa mulut.
Defisiensi vitamin B1, B2, dan B6 telah ditemukan pada 28% pasien yang menderita
RAS akan tetapi alasan mengapa defisiensi vitamin tersebut menyebabkan RAS

masih belum diketahui pasti. Namun diduga defisiensi vitamin tersebut memegang
peranan penting dalam patogenesis RAS. Mengingat defisiensi vitamin tersebut
menyebabkan menurunnya kualitas mukosa sehingga bakteri mudah melekat pada
mukosa, dan menurunnya sintesis protein sehingga menghambat metabolisme sel.

5. Faktor Imunologi
Dewasa ini ada kecendrungan untuk menganggap penyakit yang penyebabnya tidak
diketahui pasti berhubungan dengan autoimunitas, termasuk RAS. Lehner telah
membuktikan bahwa autoimunitas merupakan penyebab, ia menyatakan bahwa pada

sejumlah besar penderita aphthous stomatitis terlihat adanya antibody pada mukosa
fetus.2 Dalam beberapa penelitian imunophatgenesis ditemukan bahwa ulcerasi
mungkin disebabkan oleh aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa
mulut dimana pemicunya tidak diketahui.
Telah terbukti bahwa pada pasien RAS terjadi perubahan cell-mediated imun. Pada
pasien RAS kemungkinan terjadi respon imunologi yang abnormal terhadap jaringan
mukosa mulut sendiri. Pada penderita RAS mungkin terjadi peningkatan jumlah
limfosit T CD8+ dalam aliran darah perifer dan atau terjadi penurunan limfosit T
CD4+ meskipun jumlah total limfosit T CD3+ menurun di perifer. Pada penderita
RAS aktif, kemungkinan terjadi penurunan persentase CD4+ virgin T sel dan
peningkatan persentase CD4+ memori T sel. Selain itu terjadi peningkatan jumlah sel
Yä dibandingkan subjek kontrol yang normal dan pasien dengan inaktif RAS.
Dimana sel Yä memegang peranan penting dalam antibody dependent cell mediated
cytotokcyt (ADCC). Akan tetapi hubungan yang pasti mengenai peningkatan sel T Yä
dengan RAS masih belum jelas.
Pada fase preulseratif RAS, ditemukan infiltrasi lokal mononuclear yang terdiri dari
large granular limfosit (LGL) dan CD4+. Fase ulseratif terlihat CD4+ cytotoxic
suppressor cell tetapi selama masa penyembuhan berangsur-angsur digantikan oleh

sel CD4+, dan kadang terlihat pula leukosit PMN.

Seperti telah disebutkan diatas, dapat terjadi peningkatan sel T Yä yang penting
dalam ADCC. Pada penelitian invitro ditemukan toksisitas leukosit darah perifer
pasien RAS terhadap mukosa epithel mulut meningkat dan besar kemungkinan terjadi
karena reaksi ADCC terhadap mukosa mulut. Konsep ini didukung oleh pengetahuan
bahwa sel mononuclear darah perifer pada pasien RAS menyebabkan lisis sel mukosa
mulut. Selain itu, sel CD4+ pada daerah perifer pasien RAS dapat menyebabkan lisis
sel epitel. Hal itu mungkin saja terjadi mengingat CD4+ dan CD8+ memediasi
terjadinya reaksi sititoksin pada RAS.
Meskipun ada perubahan mediasi system imun pada RAS, mekanisme mediasi
limfosit B yang melibatkan ADCC dan kompleks imun juga telah diteliti. Mengenai
immunoglobulin, telah ada laporan yang menghubungkannya dengan RAS. Defisiensi
IgG mungkin mempredisposisi timbulnya infeksi bakteri dan diketahui menghasilkan
respon imun. Bagaimanapun ulserasi dalam rongga mulut tidak bersamaan dengan
defisiensi IgG. Sehingga hubungan ini masih dipertanyakan hingga sekarang.
Dari semua fakta diatas, meski tidak menyatukan teori mengenai imunopatogenesis
RAS, namun diketahui bahwa adanya ulserasi pada RAS terjadi karena ada reaksi
sititoksik limfosit dan monisit pada mukosa mulut. Tetapi pemicu dari respon tersebut
belum diketahui. Penderita RAS besar kemungkinan memiliki mediator local active
inflamatori yang tidak terkontrol atau terlalu aktif, yang mungkin saja terjadi akibat
trauma lokal. Jumlah IL-2, IFN-ã dan TNF-á meningkat pada lesi jaringan pada

penderita RAS. Jumlah TNF-á banyak pada lesi RAS dibandingkan pada traumatic
ulser.
6. Faktor Mikroorganisme
Mikroba lokal pada RAS mungkin menjelaskan mengapa hanya mukosa mulut yang

dipengaruhi. Belum ada fakta yang menjelaskan hal tersebut dan dasar infeksi RAS
belum diketahui pasti.
Streptococcus diduga sangat berpengaruh dalam patogenesis RAS, baik itu secara
langsung maupun melalui stimulus antigen yang mungkin melakukan reaksi silang
dengan mukosa mulut. Streptococcus L-form ditemukan pada penderita RAS yang
merupakan tipe dari S.sanguis, meski pada penelitian selanjutnya di golongkan
sebagai tipe dari S.mitis. Meskipun dalam beberapa penelitian ditemukan respon yang
tidak signifikan dibanding subyek kontrol namun hal tersebut dapat dimaklumi
mengingat tidak ada predominan cell mediated dalam patogenesis RAS. Reaksi silang
antara streptococcus dengan mukosa mulut telah ditemukan dan memperlihatkan
jumlah serum antibodi yang signifikan.
Hingga kini belum ada data yang akurat yang mendukung bahwa etiologi RAS adalah
infeksi. Begitu juga dengan virus. Beberapa fakta mendukung bahwa reaksi silang
antara bakteri heat shock protein dan komponen epitel berperan penting dalam
terjadinya RAS.

7. Faktor Stress
Stress sangat berpengaruh pada sejumlah perubahan hidup yang terjadi termasuk
kemampuan dalam menimbulkan suatu penyakit. Stress dapat disertai rasa cemas dan
kadang terlihat adanya depresi. Kejadian stress dapat memberikan respon terhadap
tubuh baik itu respon fisiologis, respon psikologis, respon hormonal, maupun respon
hemostatik. Aktifnya hormon glukokortikoid pada orang yang mengalami stress
menyebabkan meningkatnya katabolisme protein sehingga sintesis protein menurun.
Akibatnya metabolisme sel terganggu sehingga rentan terhadap rangsangan (mudah
terjadi ulcer).
Faktor stress dalam perkembangan RAS masih kontafersial. Pada beberapa pasien
terapat hubungan antara RAS dengan meningkatnya faktor stress. Selama stess

berlangsung dapat terjadi defisiensi niasin dan ascorbid acid. Telah dilakukan
penelitian mengenai hubungan RAS dengan stress, utamanya stress emosiaonal, dari
penelitian tersebut ditemukan insiden yang tinggi pada mahasiswa kedokteran dan
kedokteran gigi yaitu sebesar 66 % dimana jumlah ini lebih besar dibandingkan
masyarakat umum yaitu sebesar 10-20%. Sterss fisik juga dianggap sebagai
patogenesis timbulnya RAS. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada
anggota militer dimana diketahui memiliki insiden yang tinggi terkena ulcer rongga
mulut.

8. Faktor Penyakit Sistemik
RAS ditemukan pada penderita penyakit sistemik seperti inflammatory bowl disease,
chorn disease, HIV dan AIDS, dan celiac sprue. Celiac sprue atau sprue topical yang
merupakan sindroma malabsorpsi yang tidak diketahui penyebabnya, yang sering
terjadi di Asia dan Karibia. Penyakit ini berhubungan dengan kekurangan folat dan
malabsorbsi vitamin B12, lemak, dan nutrient lainnya. Dengan adanya kelainan
malaabsorbsi tersebut maka akan semakin memicu terjadinya defisiensi nutrisi yang
merupakan factor predisposisi timbulnya RAS.
Recurrent Aphthous Stomatitis merupakan penyakit yang ditandai dengan eritema dan
ulcer rekuren pada mukosa mulut. Bentuk ulcer lonjong atau uvoid dengan tepi yang
berbatas tegas dan tertutup selaput putih kekuningan. Meskipun kenyataanya
stomatitis aphthous merupakan penyakit mukosa oral yang paling sering terjadi pada
manusia, namun penyebabnya masih belum dimengerti. Faktor-faktor yang dianggap
sebagai faktor predisposisi antara lain faktor genetic, faktor local, hormonal,
defisiensi nutrisi, stress, dan gangguan imunologi, dan penyakit sistemik.
Faktor genetic RAS diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human
leucocyte antigen (HLA). Faktor lokal yang dimaksud dalam hal ini adalah trauma,
rokok, dan alergi obat atau makanan serta beberapa bahan kimia. Hormon yang

dianggap berperan penting dalam timbulnya RAS adalah estrogen dan progesterone.
Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel
termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan
reaksi yang berlebihan terhadap jaringan lunak mulut sehingga rentan terhadap iritasi
lokal sehingga mudah terjadi RAS.
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2,B6, B12) kemungkinan 2x
lebih besar terkena RAS dibandingkan orang yang sehat. Telah terbukti bahwa pada
pasien RAS terjadi perubahan cell-mediated imun. Pada pasien RAS kemungkinan
terjadi respon imunoligi yang abnormal terhadap jaringan mukosa mulut sendiri.
Miyyasha.2007.Factor of Recurrent Apthous
Stomatitis.http://missyasha.blogspot.co.id/2007/09/faktor-predisposisi-timbulnyaras.html [Online].Diakses tanggal 16 Februari 2016

Perawatan
Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah :
1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami
yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari
faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien dapat
mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.
Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan
menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi
yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga

kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur
menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah dengan
tujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan
meningkatkan periode bebas penyakit.
Bagi pasien yang mengalami stomatitis aftosa rekuren mayor, perawatan
diberikan dengan pemberian obat untuk penyembuhan ulser dan diinstruksikan cara
pencegahan. Bagi pasien yang mengalami SAR akibat trauma pengobatan tidak
diindikasikan. Pasien yang menderita SAR dengan kesakitan yang sedang atau parah,
dapat diberikan obat kumur yang mengandung benzokain dan lidokain yang kental
untuk menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit.
Bagi menghilangkan rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan
zilactin secara topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran
impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga
diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia. Selain
itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek yang sama.
Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan dan sebelum
tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan zilactin yang
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada
ulser.
Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau
topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan
fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian
prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah. Hasil
terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu.
Thalidomide adalah obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan anti
inflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren

mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis
telah membatasi penggunaannya.
Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan
penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin
diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc sirup
direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu.
Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR,
namun oleh karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang
diindikasikan.Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat
merusak jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka
akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.