Studi Deskriptif Mengenai Dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada Mahasiswa Angkatan 2005 Fakultas 'Psikologi' Universitas 'X' Bandung (Studi Mengenai Psychological Well-Being pada Mahasiswa yang Belum Mengontrak Mata Kuliah Skripsi).

(1)

viii UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat psychological well-being pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas ‘X’ Universitas ‘Y’ Bandung yang belum, mengontrak skripsi. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai psychological well-being yang ditinjau dari dimensi-dimensinya yaitu self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positif relationship with other dan environmental mastery.

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, dengan menggunakan kuesioner. Pemilihan sampel dilakukan dengan accidental sampling. Jumlah sampel yang diambil adalah 70 orang. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan alat ukur psychological well-being dari Ryff (1989). Jumlah item dalam kuesioner tersebut adalah 84 item. Hasil validasi terdiri dari 74 item dengan nilai validasi berkisar antara 0,311-0,806 dan nilai reliabilitas sebesar antara 0,702-0,931.

Berdasarkan hasil pengolahan data, dimensi-dimensi dari PWB pada mahasiswa Fakultas X Universitas Y angkatan 2005 yang belum mengontrak skripsi bila diurutkan dari persentase tertinggi sampai terendah adalah purpose in life, personal growth, autonomy, positif relation with other, self accepetence dan enviromental mastery Dimensi-dimensi dari psychological well-being yang tergolong tinggi yang terbanyak adalah purpose in life (68.57% tinggi) dan terendah environmental mastery (51.43% tinggi). Dimensi-dimensi dari psychological well-being cenderung terkait dengan faktor suku atau etnis dan tipe kepribadian menurut McCrae & Costa.

Peneliti mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lebih lanjut derajat hubungan antara Psychological Well-Being dengan trait personality dan value dari suku/etnis agar lebih dapat terlihat derajat keterkaitannya. Selain itu, untuk pimpinan dan dosen Fakultas ‘X’ Universitas ‘Y’ dapat merancang seminar atau pelatihan guna meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being mahasiswanya yang kurang tinggi. Untuk mahasiswa Fakultas ‘X’ Universitas ‘Y’ dapat mengikuti seminar dan pelatihan guna meningkatkan dan mempertahankan derajat psychological well-beingnya.


(2)

ix UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABLE xii DAFTAR BAGAN xiii DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xv BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.5 Kerangka Pemikiran ... 11

1.6 Asumsi ... 24

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 25

2.1 Definisi Psychological Well-Being ……… 25

2.2 Sejarah dan perkembangan Psychological Well-Being.. 25

2.3 Dimensi-dimensi Psychological Well-Being………….. 32

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi PWB …….…... 38

2.5 Big Five Personality Trait ... 40


(3)

x UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 59

3.1 Rancangan Penelitian ……… 59

3.2 Bagan Rancang Penelitian ... 60

3.3 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional ... 60

3.2.1 Variabel Penelitian ………... 60

3.2.2 Defenisi Operasional ……….. 61

3.4 Alat Ukur ... 61

3.4.1 Psychological Well-Being Questionnaire .. 62

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 64

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 65

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling ... 67

3.5.1 Populasi Sasaran ... 67

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 67

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 68

3.6 Teknik Analisa ... 68

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 69

4.1 Gambaran Responden ……….. 69

4.2 Hasil Penelitian ……….. 71


(4)

xi UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 86

5.1 Kesimpulan ………. 88

5.2 Saran ………. 91

Daftar Pustaka ………. 93

Daftar Rujukan ………. 95


(5)

xii UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Table 2.I Definitions of theory-guided dimensions of well-being 37

Table 3.1 Table alat ukur 62

Table 3.2 Kriteria penilaian 64

Table 3.3 Alat ukur trait personality 65

Table 3.4 Validasi alat ukur 66

Table 3.5 Realibilitas alat ukur 67

Table 4. 1 Gambaran jenis kelamin 69

Table 4. 2 Gambaran etnis atau suku bangsa 69

Table 4. 3 Gambaran IPKnya 70

Table 4.4 Gambaran subjek berdasarkan trait dominan 70 Table 4.5 Tingkat dimensi-dimensi PWB pada angkatan 2005 71


(6)

xiii UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka piker 23


(7)

xiv UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Gambar 2.1 Inti dimensi dari PWB dan teori yang mendasarinya 31


(8)

xv UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kata Pengantar Kuesioner

Lampiran 2 Angket Identitas dan Data Penunjang

Lampiran 3 Kuesioner Psychological Well-Being sebelum validasi Lampiran 4 Kuesioner Psychological Well-Being setelah validasi Lampiran 5 Big Five Personality Questionnaire

Lampiran 6 Validitas dan Realibilitas Lampiran 7 Hasil Penelitian

Lampiran 8 Gambaran Responden Lampiran 9 Skor Mentah

Lampiran 10 Skor standar yang telah dibobot Lampiran 11 Distribusi frekuensi

Lampiran 12 Frekuensi gambaran responden Lampiran 12.1 Distribusi frekuensi IPK

Lampiran 12.2 Distribusi frekuensi penghasilan total kedua orang tua Lampiran 12.3 Distribusi frekuensi penghayatan terhadap penghasilan Lampiran 12.4 Crosstab antara penghasilan orang tua dengan penghayatan

mahasiswa

Lampiran 13 Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

Lampiran 13.1 Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan trait personality Lampiran 13.2 Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan Jenis kelamin


(9)

xvi UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA Lampiran 13.4 Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan penghasilan total

kedua orang tua

Lampiran 13.5 Crosstab dimensi-dimensi PWB dengan penghayatan terhadap penghasilan


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang, yang mau tidak mau dituntut untuk giat membangun dalam segala bidang kehidupan, terutama dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi di era globalisasi ini. Saat ini Indonesia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan negara lain dalam hal jumlah sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya ini digunakan sebagai modal utama dalam pembangunan di segala bidang. Untuk mencapai kemajuan tersebut, kualitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan, hal ini dikarenakan manusia merupakan pengelola dari sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Dalam pengembangan sumber daya manusia, pendidikan memegang peranan kunci, yaitu sebagai pendekatan dasar dan bagian penting dalam suprasistem pembangunan bangsa (Djudju Sudjana, Pikiran Rakyat, 15 Februari 2005: 20).

Dalam dunia pendidikan di Indonesia, mahasiswa merupakan ujung tombak pembangunan bangsa sehingga peranannya sangat penting dalam memajukan bangsa. Mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik dalam catatan sejarah dikarenakan mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dan motor penggerak perubahan, karena itu mahasiswa memiliki berbagai peran dalam pembangunan bangsa. Selain peran


(11)

akademik, mahasiswa dituntut mempunyai moral yang baik dan menjadikannya teladan bagi kaum terpelajar, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta peran politik sebagai pressure group bagi pemerintah yang zalim (Mamad Ismail, 4 Peran Mahasiswa, www.kammi.or.id).

Pada kenyataannya saat ini sulit ditemukan mahasiswa yang unggul dalam berbagai perannya. Seperti kata Mamad, Kastrat KAMMI Komsat Universitas Tanjungpura Pontianak, kegiatan mahasiswa saat ini lebih berorientasi pada hedonisme (hura - hura dan kesenangan), kurang peka terhadap lingkungan, terlebih lagi dalam bidang akademik, karena masih banyak mahasiswa yang tidak serius dalam perkuliahannya. Kegiatan hedonisme saat ini membuat mahasiswa lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa serta berdampak pada prestasinya akademiknya (Mamad Ismail, 4 Peran Mahasiswa, mengeluarkan potensi terbaiknya adalah orang-orang yang mencapai self-realization, dikarenakan seseorang hidup tidak hanya memenuhi kesenangan atau hasrat saja tetapi berusaha melakukan sesuatu dengan mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya (Ryff, 2006).

Pernyataan Aristotle tersebut sejalan dengan ide dasar dari berberapa ahli psikologi humanistik dan eksistensialisme seperti self-actualization dari Maslow (1968), full functioning dari Carl Roger (1961), individuation dari Carl Jung (1933), dan mental health dari Jahoda (1958), bahwa seseorang bergerak kearah positif,


(12)

3

berusaha mencapai potensi sebenarnya (Ryff, 2006). Seorang tokoh psikologi perkembangan bernama Carol Ryff berusaha menggabungkan berbagai ide tersebut dalam suatu konsep multidimensional yang disebut Psychological Well-Being (PWB). Menurut Ryff, PWB adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya. PWB memiliki enam dimensi, tiap dimensinya menjelaskan bagaimana seseorang berusaha berfungsi secara positif dalam menghadapi tantangan-tantangan hidupnya. Dimensi-dimensi PWB tersebut adalah self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive relationship with other, environmental mastery (Ryff, 1989).

Ryff mengungkapkan bahwa orang yang mempunyai PWB tinggi akan senantiasa merusaha mengerluarkan potensi terbaiknya untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya, begitu pula dengan mahasiswa, mahasiswa yang memiliki PWB tinggi akan berusaha mengeluarkan potensi yang dimilikinya untuk menghadapi tantangan-tantangan selama perkuliahannya. Mahasiswa didalam perkuliahan mengalami berbagai cobaan dari masalah motivasi yang rendah, gaya hidup dan pergaulan yang cenderung mengarah hodonisme, sehingga dibutuhkan usaha dan daya juang yang keras bagi mahasiwa untuk meraih gelar sarjananya (Heni Purwono, suaramerdeka.com/2008/02/23). Bagi mahasiswa, PWB tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan akademis, Thuneberg (2007) berpendapat bahwa PWB adalah akar dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia sekolah atau kampus. Kampus seharusnya


(13)

dipenuhi dengan kesenangan, semangat, usaha dan kerja keras dalam perkuliahannya, disini PWB merupakan mediator dari harapan (hope), sehingga orang yang tidak terpenuhi PWBnya akan menunjukan kehilangan harapan sebagai learners dan tidak termotivasi (Deci &Ryan, 2000, Ryan & Deci, 2002 dalam Thuneberg, 2007).

Hal tersebut juga dialami mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X khususnya angkatan 2005. yang saat ini dihadapkan tuntutan akhir sebagai mahasiswa. Sesuai dengan kebijakan Direktorat Universitas X, masa studi pada Fakultas Psikologi di Universitas X dapat ditempuh selama 4 tahun atau delapan semester dengan beban 144 SKS, sehingga, mahasiswa angkatan 2005 memiliki tuntutan dan tantangan yang lebih dibandingkan semester-semester sebelumnya. Mereka saat ini sedang dipenghujung kuliah atau semester delapan, di semester tersebut mahasiswa angkatan 2005 seharusnya sudah mengontarak tugas akhir atau skripsi sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana. Untuk mengontrak skripsi mahasiswa Fakultas Psikologi diwajibkan telah lulus matakuliah Usulan Penelitian dengan nilai minimal C, telah menempuh minimal 132 SKS, dan persentase nilai D maksimal 20% dengan IPK minimal 2.00 (Panduan Penulisan Skripsi Sarjana, 2007). Namun berdasarkan data yang diperoleh dari Tata Usaha Fakultas Psikologi saat ini, mahasiswa angkatan 2005 yang berjumlah 216 orang, dan sebanyak 16 mahasiswa sedang mengontrak mata kuliah skripsi, 112 mahasiswa mengontrak mata kuliah Usulan Penelitian/Lanjutan, dan sebanyak 88 mahasiswa belum mengontrak kedua-duanya. Berdasarkan data diatas disimpulkan bahwa sebanyak 92% mahasiswa


(14)

5

Fakultas Psikologi dan Universitas X belum mengontrak skripsi pada semester 8, dan dengan belumnya mereka mengontrak skripsi dapat dipastikan kelulusan mereka tertunda atau melewati waktu yang ditentukan yaitu 4 tahun.

Berdasarkan hasil wawancara acak yang dilakukan peneliti pada 20 mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi di Universitas X yang belum mengontrak skripsi, didapat 16 mahasiswa masih terganjal dalam menyelesaikan outline Usulan Penelitian sedangkan 4 mahasiswa lainnya belum mengontrak Usulan Penelitian sehingga saat ini sehingga mereka semua belum dapat mengontrak skripsi. Ketika ditanya hambatan-hambatan yang mereka hadapi selama perkuliahan sehingga menyebabkan mereka terlambat mengontrak skripsi antara lain dapat berasal dari dirinya sendiri (internal) seperti rasa malas,ingin senang-senang terlebih dahulu, merasa kurang pandai, perasaan jenuh dalam kuliah dan dari luar dirinya (eksternal) seperti mata kuliah persyaratan yang belum lengkap. Apabila ditanyakan hal yang menghambat selama proses belajar mengajar dikalas salah satunya adalah mata kuliah yang kurang menyenangkan serta cara mengajar dosen yang kurang menarik sehingga hal ini membuat mereka menjadi tidak semangat dikalas, mereka mengikuti kelas hanya untuk memenuhi kewajiban absen semata.

Dari hasil wawancara yang lebih mendalam didapat sebanyak 55% (11 mahasiswa) merasa dirinya kurang pandai, merasa tidak mampu untuk berbuat banyak dalam mengikuti perkuliahan, kadang merasa iri dengan teman yang lebih sukses, kadang mereka merasa menyesal karena tidak diberi kepandaian yang cukup.


(15)

Mereka melihat temannya yang telah berhasil lulus sidang menggugah mereka semangat dalam segara menyusul namun kadangkala mereka merasa dirinya tidak mampu sehingga mereka menjadi malas dalam memulai menyelesaikan UP mereka.. Berdasarkan teori PWB, mahasiswa tersebut memiliki kecenderungan self-acceptance yang rendah. Yang dimaksud dengan self-acceptance, menurut Ryff adalah sikap positif akan dirinya, penerimaan diri seseorang baik kekurangan atau kelebihan juga, terkait masa kini maupun masa lalu. Sedangkan 45% (9 mahasiswa) orang dapat menerima kekurangan dirinya dan memandang dirinya secara positif, mampu mengerjakan apa yang menjadi tugas-tugasnya (self-acceptance cenderung tinggi)

Dalam wawancara terungkap bahwa teman-teman mereka berperan dalam rendahnya nilai ujian. Sebanyak 55% (11 mahasiswa) sering merasa sulit menolak ajakan teman-teman. Apabila ada teman yang mengajak main walaupun besoknya ujian mereka tidak dapat menolak. Dalam mengontrak mata kuliah pilihan pun mereka sering kali mengikuti ajakan teman-teman mereka, sehingga kadang mereka mengontrak mata kuliah yang tidak disenangi sehingga nilai ujian mereka tidak makasimal. Menurut Ryff hal diatas merupakan ciri autonomy yang cenderung rendah, autonomy sendiri dapat diartikan sejauh mana kemandirian seseorang, mampu mengambil keputusan bukan karena tekanan lingkungan. Sedangkan 45% (9 mahasiswa) merasa keputusan mereka tidak banyak dipengaruhi teman-teman mereka (autonomy cenderung tinggi), mereka dapat menolak ajakan teman-temannya secara halus apabila hal tersebut bertentangan dengan dirinya.


(16)

7

Hasil dari wawancara juga mengungkapkan, sebanyak 65 % mahasiswa tersebut (13 mahasiswa) kurang mampu menyelesaikan target atau rencana perkuliahan yang mereka tetapkan semula, mereka sering lalai dalam belajar dan cenderung mencari kesenangan diluar dan bersenang-senang, hal tersebut kadang membuat lupa akan tugas mereka sebagai mahasiswa. Menurut Ryff ciri-ciri tersebut dapat merujuk pada dimensi purpose in life yang cenderung rendah, purpose in life itu sendiri dapat diartikan sebagai keyakinan-keyakinan yang memberi perasaan bahwa terdapat tujuan dan makna didalam hidupnya. Simmons (1980) menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki purpose in life cenderung memiliki nilai intelektual, tanggung jawab dan self-control. Nilai tersebut mendukung siswa pada setting pendidikan yang lebih tinggi, dan membantu dalam memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan mereka (Christy D. Moran, Purpose in Life, Student Development, and Well-Being: Recommendations for Student Affairs Practitioners, 2001). Sedangkan 35 % (7 mahasiswa) sisanya, mengungkapkan mereka dapat menetapkan target dan mampu merealisasikan target tersebut melalui cara belajar. Mereka merasa tidak betah untuk terus tetap di kampus dan ingin segera terjun ke dunia kerja yang seperti mereka cita-citakan (purpose in life cenderung tinggi).

Dari hasil wawancara juga ditemukan sebanyak 70% (14 mahasiswa) menyatakan mereka tidak pernah mengikuti kegiatan apapun yang dapat mengembangkan dirinya, mereka hanya membaca buku-buku atau browsing internet apabila ada tugas saja. Hal ini dapat digolongkan sebagai personal growth yang


(17)

cenderung rendah, menurut Ryff personal growth dapat diartikan sejauh mana individu mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Sedangkan 30% (6 mahasiswa) sering mengikuti aktivitas yang dapat mengembangkan diri mereka seperti seminar, pelatihan atau aktif dalam organisasi. Dari hasil wawancara mereka mengungkapkan dengan mengikuti pelatihan, organisasi atau seminar diharapkan akan berguna ketika mereka memasuki dunia kerja. Hal ini dapat digolongkan personal growth yang cenderung tinggi.

Hasil wawancara yang lebih mendalam mengenai hambatan dalam perkuliahan, mereka mengungkapkan adanya banyak aturan yang harus diterapkan seperti praktikum, serta tugas kuliah yang menumpuk dan sulit dimengerti serta cara dosen pengajar kurang menarik. Sebanyak 75% (15 mahasiswa) merespon hal tersebut dengan berdiam diri serta tidak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan tersebut Ciri-ciri tersebut dapat digolongkan sebagai seseorang yang memiliki environmental mastery yang cenderung rendah. Environmental mastery menurut Ryff dapat diartikan kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya. Sebaliknya sebanyak 25% (5) mahasiswa dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut dengan membentuk kelompok belajar apabila menemui materi yang sulit atau mereka aktif bertanya didalam kelas, serta memberikan umpan balik terhadap dosen sehingga perkuliahan menjadi lebih hidup ( environmental mastery yang cenderung tinggi).


(18)

9

Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa pada 20 mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi di Universitas X memiliki kecenderungan yang bervariasi pada dimensi self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, dan enviromental mastery, terdapat 55% mahasiswa memiliki self acceptance yang cenderung rendah dan 45% cenderung tinggi, 65% mahasiswa memiliki purpose in life yang cenderung rendah dan 35% cenderung tinggi, 55% mahasiswa memiliki autonomy yang cenderung rendah dan 45% cenderung tinggi, 70% mahasiswa memiliki personal growth yang cenderung rendah dan 30% cenderung tinggi, serta 75% mahasiswa memiliki enviromental mastery yang cenderung rendah dan 25% cenderung tinggi. Adanya kecenderungan yang rendah pada beberapa dimensi PWB ini memperngaruhi kemampuan mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi dan Universitas X dalam mengatasi hambatan perkuliahan mereka, khususnya dalam menyelesaikan tuntutan akhir mereka sebagai mahasiswa.

Berdasarkan hasil kesimpulan dan survey awal diatas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti mengenai gambaran Psychological Well-Being pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X Bandung.


(19)

1.2 Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran Psychological Well-Being pada mahasiswa angkatan 2005 yang belum mengontrak

skripsi Fakultas Psikologi Universitas X Bandung yang ditinjau dari dimensi-dimensinya.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1. 3. 1 Maksud Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai Psychological Well-Being pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X Bandung.

1. 3. 2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive relationship with other, environmental mastery

pada mahasiswa angkatan 2005 yang belum mengontrak skripsi Fakultas Psikologi Universitas X Bandung


(20)

11

1.4 Kegunaan Penelitian 1. 4. 1 Kegunaan Teoritis

• Memberikan tambahan referensi untuk ilmu Psikologi di khususnya psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan.

• Memberikan informasi kepada peneliti yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Psychological Well-Being.

1. 4. 2 Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada dosen, dekan, mengenai pentingnya Psychological Well-Being bagi mahasiswa dan memberikan gambaran

tingkat dimensi-dimensi PWB sehingga dosen atau dekan dapat mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang perlu ditangkatkan dengan cara seminar, konseling ataupun pelatihan.

• Memberikan informasi pada mahasiswa mengenai pentingnya Psychological Well-Being untuk proses belajar mengajar melalui

konseling, pelatihan atau seminar.

1.5 Kerangka Pemikiran

Manusia sebagai seorang individu harus melewati setiap tahapan dalam kehidupannya, mulai sejak dalam kandungan sampai meninggal. Dalam melewati


(21)

tahapan perkembangan tersebut, individu akan mengalami berbagai cobaan dan tantangan kehidupan, namun individu tetap dituntut untuk dapat mengeluarkan potensi yang optimal sehingga individu dapat melewatinya dengan kepuasan. Saat ini mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X berada dalam tahap perkembangan dewasa awal dengan rentang usia 20-30 tahun. Pada tahap ini mereka memiliki tugas perkembangan yang khas yaitu kemandirian dalam membuat keputusan dan kemandirian ekonomi. Kemandirian dalam membuat keputusan yang dimaksud adalah membuat keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan serta gaya hidup yang akan dipilih oleh individu tersebut. Kemandirian ekonomi adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang cenderung menetap (John W. Santrock, 2004) Untuk dapat memenuhi tugas tersebut, menyelesaikan kuliah merupakan tugas yang penting sebagai jalan seorang mahasiswa untuk memasuki dunia pekerjaan dan mencapai kemandirian ekonomi.

Sesuai dengan kebijakan Direktorat Universitas X, masa studi pada Fakultas Psikologi dapat ditempuh selama 4 tahun atau delapan semester dengan beban 144 SKS. Secara umum, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas X pada semester 8 memiliki tuntutan dan tantangan yang lebih dibandingkan semester-semester sebelumnya. Mereka saat ini sedang dipenghujung kuliah atau semester delapan, di semester tersebut mahasiswa angkatan 2005 seharusnya sudah mengontrak tugas akhir atau skripsi sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana. Situasi tersebut menjadi tantangan tersendiri sehingga mereka dituntut untuk mengerahkan


(22)

13

kemampuannya secara optimal agar dapat melewatinya dengan baik. Apabila mereka dapat melewatinya maka akan muncul suatu kepuasan tersendiri karena berhasil menyelesaikan tantangan dengan mengerahkan kemampuan terbaik, hal ini yang disebut Ryff sebagai Psychological Well-Being atau disingkat PWB.

Psychological Well-Being menurut Ryff adalah evaluasi hidup seseorang yang

menggambarkan bagaimana cara dia mempersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Ketika seorang mahasiswa berhasil melewati tantangan akademisnya seperti menyelesaikan tugas-tugasnya sendiri dan dengan penuh perjuangan, tentu akan merasa kepuasan tersendiri dan berbeda bila dibandingkan dengan mahasiswa yang menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tidak mengerluarkan kemampuannya secara optimal. Menurut Ryff seseorang yang berusaha untuk mencapai sesuatu dengan potensi terbaiknya untuk memperbaiki atau meningkatkan keadaan hidupnya akan memiliki psychological well being yang tinggi (Ryff 2005).

Untuk mengambarkan konsep PWB, Ryff mengajukan model multidimensi dengan enam dimensi yaitu: self-acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive relationship with other, enviromental mastery dan setiap dimensi

menggambarkan healthy, well, dan full functioning dalam kerangka human positif functioning (Ryff 2006).


(23)

Self-acceptance menekankan pentingnya penerimaan diri baik kekurangan

atau kelebihan juga kejadian masa lalu atau masa kini. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini akan mempunyai sikap yang positif terhadap dirinya, menerima dirinya baik aspek yang positif maupun negatif, dan memandang positif masa lalu. Sedangkan mahasiswa yang memiliki skor rendah akan merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalunya, merasa iri pada temannya yang berhasil dan menyesal akan ketidakmampuan dirinya.

Dimensi kedua adalah purpose in life, dimensi ini menggambarkan seberapa penting seseorang merasa berarti dalam hidupnya. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini menganggap penting arti hidupnya, mereka merasa hidupnya berharga dengan begitu mahasiswa tersebut akan berusaha menetapkan tujuan dan perencanaan dalam hidupnya, mereka mengetahui tujuan dari kuliahnya, membuat perencanaan masa depannya dan berusaha untuk mencapai target-targetnya. Apabila mahasiswa memiliki skor yang rendah pada dimensi ini maka ia akan memiliki sedikit tujuan hidup, ia tidak tahu tujuan ia kuliah dan tidak dapat menyususun target-targetnya.

Dimensi autonomy menggambarkan sejauh mana kemandirian seseorang, pengambilan keputusan bukan karena tekanan lingkungan tetapi dengan internal locus of evaluation yaitu mengevaluasi diri sendiri sesuai dengan standard pribadinya

sendiri tanpa melihat persetujuan orang lain. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini mampu mengambil keputusan dengan mantap tanpa terpengaruh


(24)

15

oleh teman-temannya. Apabila ia memiliki skor yang rendah pada dimensi ini, ia cenderung mudah terpengaruh oleh temannya, keputusannya mudah terpengaruh oleh lingkungan dan temannya, terfokus pada harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan yang penting.

Pada dimensi personal growth, menggambarkan sejauhmana individu mempunyai keinginan untuk mengembangkan diri, terbuka dengan pengalaman baru, menyadari potensi yang dimiliki, selalu memperbaiki diri dan tingkah laku. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini senantiasa untuk memperbaiki diri, mengembangkan dirinya, seperti ikut seminar atau membaca buku untuk menambah wawasan. Sedangkan mahasiswa yang memiliki skor rendah, cenderung kurang suka mengembangkan diri, merasa dirinya tidak dapat berkembang sepanjang waktu, merasa tidak dapat mengembangkan sikap atau perilaku baru.

Pada dimensi kelima adalah positive relationship with other, dimensi ini menggambarkan kemampuan untuk menjalin hubungan antar pribadi yang hangat, memuaskan, saling mempercayai serta terdapat hubungan saling memberi dan menerima. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini mempunyai sikap yang hangat, dapat mempercayai orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki empati, afeksi dan intimasi yang kuat. Mengerti hubungan saling memberi dan menerima. Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung tertutup, sulit mempercayai orang lain, sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan peka


(25)

terhadap orang lain, kadang merasa terisolasi dan frustrasi dalam hubungan interpersonal.

Dimensi enviromental mastery meliputi kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya. Mahasiswa yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini mampu membentuk lingkungannya sendiri seperti membuat kelompok belajar, mahasiswa tersebut juga dapat menggunakan segala kesempatan yang ada dengan efektif. Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini akan sulit untuk merubah atau meningkatkan lingkungan sekitar menjadi lebih baik dan tidak menyadari kesempatan yang ada disekitarnya, dan kesulitan menangani masalah-masalah sehari-harinya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi PWB pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X dapat berasal dari faktor personality trait dan sosiodemografik (Ryff 2002). Ryff menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian trait extraversion, conscientiousness, agreeableness, openess to experience, dan neurotic dengan dimensi-dimensi dari Psychological Well-Being (Ryff 2002).

Seperti trait extraversion, trait ini berkaitan erat dengan purpose in life, self-acceptance dan personal growth, environmental mastery (Ryff 2002). Orang yang memiliki trait extraversion cenderung dipenuhi emosi yang positif, antusias, bergairah, bersemangat dan optimis, mereka cenderung memiliki activity level yang


(26)

17

tinggi, selalu sibuk dan mempunyai banyak aktivitas. Mereka juga dikenal asertif, terus terang, mengambil tanggung jawab dan mengarahkan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Mahasiswa yang dominan pada trait extravert cenderung merasakan antusias dan optimis, mereka memandang hidup sebagai tantangan, mereka menghadapi tuntutan-tuntutan perkuliahan dengan semangat dan optimis sehingga mereka dapat melihat adanya visi ke depan dengan begitu mereka dapat menetapkan sasaran dan tujuan dalam perkuliahannya dan dalam pelaksanaannya mereka juga ditunjang oleh activity level yang tinggi yang memberikan semangat dalam melaksanakan pekerjaannya. Sifat optimis, kemampuan melihat visi kedepan serta menetapkan sasaran dan tujuan tersebut merupakan gambaran dari purpose in life yang tinggi. Mahasiswa dengan kepribadian ini juga lebih mudah menyesuaikan diri dan merasakan emosi yang positif dan optimis sehingga ia dapat menerima dirinya apa adanya baik kelebihan maupun kekurangannya (self-acceptance).

Mahasiswa yang dominan pada trait extraversion juga cenderung aktif, semangat dan antusias dalam menghadapi aktivitas maupun tuntutan perkuliahannya, sehingga mereka punya hasrat yang tinggi dan aktif dalam mengembangkan diri mereka, mengikuti pelatihan atau seminar, mereka juga mudah merasa bosan sehingga munyukai aktivitas baru untuk mengembangkan diri mereka sebagai mahasiswa (personal growth). Mahasiswa ini juga dikenal asertif, mereka mau mengarahkan orang lain ataupun lingkungan sesuai dengan kebutuhan atau nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya (environmental mastery).


(27)

Selain itu trait conscientiousness berpengaruh pada dimensi purpose in life, self-acceptance dan environmental mastery (Ryff, 2002). Individu yang memiliki trait

conscientiousness yang kuat cenderung untuk mengontrol, meregulasi dan mengarahkan impuls atau dorongan-dorongannya, individu tersebut juga mempunyai achievement-striving yaitu keinginan atau hasrat untuk berusaha keras mencapai

prestasi yang baik atau tinggi. Dalam usaha mencapai prestasinya tesebut ditopang juga dengan self-discipline, yaitu kemampuan untuk bertahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya hingga selesai, serta orderness yaitu keinginan untuk teratur dan terorganisir (McCrae & Costa, 1992).

Pada mahasiswa yang memiliki trait conscientiousness, mereka mempunyai keinginan untuk berusaha mencapai prestasi yang tinggi, membuat target-target untuk mencapai tujuannya serta gigih dalam melaksanakan rencana-rencana atau agenda telah mereka tetapkan dalam kuliah sehingga hal tersebut membuat mereka yakin dalam menjalaini hidup dan menganggap hidup itu berharga dan penting (purpose in life). Mahasiswa yang dominan pada trait conscientiousness selalu mempunyai hasrat

untuk berprestasi yang baik, membuat goal dan perencanaan mencapai tujuannya, sifat seperti itu membuat mahasiswa mempunyai pandangan yang positif terhadap dirinya, hal ini menggambarkan dimensi self-acceptance yang tinggi. Dengan demikian mahasiswa yang dominan pada trait ini akan berusaha mengatur lingkungan mereka agar dapat mencapai tujuan serta memilih lingkungan yang sesuai yang dapat


(28)

19

menunjang ambisi mereka, mereka juga memaksimalkan segala kesempatan yang ada agar tujuan mereka tercapai (environmental mastery).

Trait lainnya adalah neurotic, sifat dari neurotic ini membuat seseorang cenderung mengalami emosi yang negatif seperti kecemasan, kemarahan dan agresi. Orang yang memiliki level neurotic tinggi cenderung reaktif secara emosional. Mereka merespon secara emosional pada situasi yang mungkin tidak berdampak apa-apa pada kebanyakan orang, reaksi mereka cenderung lebih intens dari kebanyakan orang. Reaksi emosi negatif mereka cenderung bertahan dalam jangka waktu yang lama, dalam arti mereka sering mengalami bad mood. Masalah dalam meregulasi emosi ini dapat mengurangi kemampuan untuk berpikir jernih, mempuat keputusan dan coping stress yang efektif (McCrae & Costa, 1992).

Kecenderungan yang tinggi pada trait ini berdampak pada dimensi self-acceptance yang berkaitan dengan penerimaan dirinya, baik aspek positif maupun negatif. Mereka cenderung menginterpretasikan situasi biasa sebagai hal yang mengancam, dan frustrasi kecil sebagai hal yang menyulitkan atau tidak ada harapan, hal ini membuat mereka cenderung merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dan menyesal akan ketidak mampuannya (self-acceptance yang rendah). Mahasiswa yang dominan pada trait ini juga cenderung mudah merasa cemas, keadaan tersebut membuat mahasiswa menjadi ragu dalam membuat keputusan, kadangkala keraguan tersebut membuat mereka sulit menentukan pilihan, dengan begitu mereka menjadi


(29)

sulit dalam mengatur lingkungan sesuai dengan kebutuhannya serta memilih lingkungan yang sesuai dengan dia (environmental mastery yang rendah).

Namun disisi lain, mahasiswa yang dominan pada trait neurotic akan berusaha mengurangi kegelisahan, ketegangan serta keragu-raguan mereka dengan cara membuat perencanaan secara teliti dan matang untuk mencegah suatu hal yang tidak diharapkan, mereka juga akan berusaha menetapkan tujuan yang ideal yang dapat dicapai mereka serta sering mengevaluasi tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan. Membuat perencanaan yang teliti serta selalu mengevaluasi tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat digambakan sebagai purpose in life yang tinggi

Sedang agreeableness berkaitan erat dengan dimensi autonomy dan positif relation with other (Ryff, 2002). Orang yang memiliki trait agreeableness tinggi lebih menekankan keharmonisan sosial, mudah untuk bekerjasama, menekankan pentingnya bersama dengan orang lain (McCrae & Costa, 1992). Mahasiswa yang agreeable dipandanag sebagai orang yang penuh perhatian, friendly, penolong, murah

hati, dan berbagi dengan orang lain. Mereka mempunyai pandangan yang optimis mengenai human nature, percaya bahwa seseorang pada dasarnya jujur, baik dan dapat dipercaya (positive relation with other), namun disisi lain sifat agreeableness menjadi tidak dapat diandalkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan objektif yang berkaitan erat dengan dimensi autonomy.


(30)

21

Pada trait openess to experience berhubungan erat dengan dimensi personal growth. Sifat dari openess to experience adalah petualang, menghargai seni,

imaginative, serta punya rasa ingin tahu. Sifat mereka yang cenderung membandingkan dirinya dengan orang terdekat, lebih kreatif dan lebih sadar mengenai perasaan dirinya berkaitan erat dengan sifat-sifat orang yang memiliki personal growth yang tinggi yaitu keinginan untuk mengembangkan diri, terbuka

akan pengalaman baru dan menyadari potensi yang dimiliki (McCrae & Costa, 1992). Pada mahasiswa, mereka senang akan perubahan termasuk mengembangkan diri mereka, ketika mereka berada di tingkat akhir kuliah, mereka akan berusaha mencari cara-cara baru guna mempersiapkan diri ketika mencari dan memasuki dunia kerja salah satunya dengan mengembangkan diri mereka baik dengan mengikuti kursus, pelatihan ataupun seminar-seminar.

Selain itu faktor sosiodemografik seperti usia, status sosial ekonomi etnis/suku, gender, dan status marital memiliki hubungan yang signifikan juga terhadap dimensi-dimensi PWB. Ryff menemukan hubungan yang kuat antara usia dengan dimensi PWB, menurutnya terjadi peningkatan pada dimensi autonomi dan environmental mastery pada dewasa awal hingga dewasa menengah, hal ini mungkin

disebabkan pada usia yang lebih tua, seseorang akan mempunyai peran yang lebih besar dalam status sosialnya, seperti income, pendidikan dan kesempatan pekerjaan (Ryff 2002) namun dari masa dewasa tengah menuju dewasa akhir cenderung terjadi penurunan pada dimensi personal growth dan purpose in life.


(31)

Status sosiodemografik lain seperti etnis atau suku juga berpengaruh pada PWB karena terdapat keterkaitan dengan nilai-nilai budaya yang dianut dengan dimensi PWB. Gender juga berkaitan erat dengan PWB, kecenderungan wanita mudah terbuka dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya berkorelasi positif dengan dimensi positive relation with other dibandingkan dengan pria yang lebih menekankan individualism dan autonomy (Gilligian, 1982 dalam Ryff, 2002). Status marital juga menjadi prediktor terhadap dimensi self-acceptance dan purpose in life, hasil penelitian yang dilakukan Ryff menunjukan individu yang telah menikah memiliki kecenderungan yang tinggi pada dimensi self-acceptance dan purpose in life dibandingkan individu yang belum menikah (Ryff 1989).

Dari uraian diatas dapat digambarkan melalui skema kerangka pikir sebagai berikut:


(32)

23

Trait Personality

Self Acceptence Purpose in life

Enviromental mastery Personal growth

Autonomy Positif relation with other

Mahasiswa angkatan 2005

Fakultas X Universitas Y

usia Suku/etnis Gender

Extraversion Neurotic

Conscientiousness Openess to Experience

Agreeableness

Tinggi

Rendah

Status marital sosial ekonomi

Faktor sosiodemogafik

PSYCHOLOGICAL WELL BEING 1.5 Bagan Kerangka Pemikiran


(33)

1.6 Asumsi

• Setiap manusia mempunyai mengalami tantangan-tantangan selama rentang hidupnya, begitupula dengan mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X.

• Dalam menghadapi tantangan tersebut setiap mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X mengevaluasi dirinya berbeda-beda yang disebut sebagai

Psychological Well-Being.

• PWB pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X dapat dilihat dari enam dimensinya yaitu: self acceptance, purpose in life, autonomy, personal growth, positive relationship with other, eviromental mastery.

• Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dimensi-dimensi PWB pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X dapat berasal dari personality trait dan sociodemografic factor.

• Pada personality trait, extraversion, neurotic dan conscientiousness merupakan prediktor yang kuat terhadap self acceptance, purpose in life, dan environmental mastery. Agreeableness berkaitan erat dengan dimensi autonomy dan positive relation with other dan trait openess to experience bersama extraversion

berhubungan erat dengan dimensi personal growth.

• Dalam sociodemografic factor, ras/etnis, usia, gender, dan satatus marital dapat mempengaruhi semua dimensi dari PWB.


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya berserta saran yang bernilai praktis dan terarah sesuai dengan hasil penelitian

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai tingkat Psychological Well-Being pada mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X yang belum mengontrak skripsi yang ditinjau dari dimensi-dimensinya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Mahasiswa angkatan 2005 Fakultas Psikologi Universitas X yang belum mengontrak skripsi memiliki tingkat dimensi-dimensi PWB tergolong tinggi rata-rata diatas 50%.

2. Mahasiswa yang memiliki tingkat dimensi-dimensi PWB tergolong tinggi

diurutkan dari persentase terbanyak adalah dimensi purpose in life, personal growth,


(35)

3. Dimensi purpose in life berkaitan dengan : Trait personality, mahasiswa yang

dominan pada trait openness to experience, neurotic, conscientiousness dan

extraversion cenderung memiliki tingkat purpose in life yang tinggi sedangkan trait

agreeableness cenderung memiliki tingkat purpose in life yang rendah.

4. Dimensi personal growth:

• mahasiswa yang dominan pada trait openness to experience, neurotic,

conscientiousness dan extraversion cenderung memiliki personal growth yang

tinggi sedangkan trait agreeableness cenderung memiliki personal growth yang

rendah.

• mahasiswa yang bersuku Batak cenderung memiliki tingkat personal growth

yang rendah dibandingkan dengan suku atau etnis lainnya.

5. Dimensi autonomy:

• mahasiswa yang dominan pada trait agreeableness cenderung memiliki tingkat

dimensi yang rendah dibandingkan dengan trait lainnya.

• mahasiswa yang beretnis jawa cenderung memiliki tingkat autonomy yang


(36)

90

6. Dimensi positif relation with other :

• mahasiswa yang dominan pada trait extraversion dan conscientiousness

cenderung memiliki tingkat positif relation with other yang tinggi

dibandingkan dengan trait lainnya.

• mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki tingkat

positif relation with other yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

7. Dimensi self-accepetence:

• mahasiswa yang dominan pada trait openness to experience, extraversion, dan

conscientiousness cenderung memiliki tingkat self-accepetence yang tinggi,

namun mahasiswa yang dominan pada trait neurotic dan agreeableness

cenderung memiliki tingkat self-accepetence yang rendah.

• mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki tingkat

self-accepetence yang tinggi sedangkan mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki

memiliki tingkat self-accepetence yang rendah.

8. Dimensi environmental mastery berkaitan dengan :

• mahasiswa yang dominan pada trait neurotic dan agreeableness cenderung

memiliki tingkat environmental mastery yang rendah dibandingkan dengan


(37)

• mahasiswa yang beretnis Jawa dan Sunda cenderung memiliki tingkat

environmental mastery yang rendah sedangkan etnis Batak dan Tionghoa

cenderung memiliki tingkat environmental mastery yang tinggi.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasional untuk melihat

hubungan antara dimensi-dimensi dari Psychological Well-Being dengan trait

personality agar lebih dapat terlihat derajat keterkaitannya.

2. Dari hasil penelitian ini terlihat adanya pola keterkaitan antara dimensi-dimensi

Psychological Well-Being dengan etnis atau suku, untuk itu perlu diteliti lebih lanjut seberapa kuat hubungan antara suku atau etnis dengan dimensi-dimensi PWB serta meneliti value-value dari tiap suku dan dikaitkan dengan dimensi-dimensi PWB.

5.2.2 Saran praktis

1. Hasil penelitian ini memberi masukan bagi mahasiswa Fakultas X dan Universitas

Y mengenai Psychological Well-Being-nya, yang dilihat dari tiap dimensi.

Mahasiswa yang memiliki tingkat dimensi PWB yang tinggi dapat dipertahankan, sedangkan mahasiswa yang memiliki tingkat dimensi PWB yang rendah dapat


(38)

92

ditingkatkan dengan berbagai cara seperti mengikuti berbagai pelatihan, seminar atau konseling, contohnya dengan mengikuti pelatihaninternal locus of control bagi

mahasiswa yang memiliki environmental mastery yang rendah serta dapat mengikuti

retret pengenalan diri dan kemampuan serta konseling pribadi untuk meningkatkan

self-acceptence, positif relation with other dan autonomy serta dapat memberikan

seminar motivasi untuk meningkatkan personal growth dan purpose in life,

2. Dekan dan dosen perlu memperhatikan Psychological Well-Being mahasiswanya

dengan memberi pelatihan, seminar ataupun konseling seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, S. 2005. The relationship between student psychological well being, behavior and educational outcome: A lesson from mindmatter plus

demonstration schools. Australian Journal of Guidance & Counseling, 15.

235-240.

Friendenberg, Lisa.1995. Psychological Testing: Design, Analysis and Use. Boston. Allyn and Bacon.

Moran, C.D. 2001. Purpose in life, student development, and well-being:

recommendations for student affairs practitioners. NASPA Journal, Vol. 38.

269-279.

McCrae. R. R., & Costa, P. T.. Jr. (1997). Personality trait structure as a human

universal. American Psychologist. Vol. 52, No. 5, 509-516.

--- & Costa, P. T., Jr. (1991). The NEO Personality Inventory: Using

the five-factor model in counseling. Journal of Counseling and

Development, 69,367-372.

--- & John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and

its applications. Journal of Personality: 60, 175–215.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor

Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of

psychological well-being. Journal of Personality and Social

Psychology,57, 1069-1081.

--- & Singer, B. 2006. Know thyself and become what you are :

Eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness

Studies, 9, 13-39.

--- & Keyes,C.L.M 1995. The structure of psychological well-being

revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

--- & Keyes,C.L.M., Shmotkin, D. 2002. Optimizing well-being : The

empirical Encounter of two tradition. Journal of Personality and Social

Psychology, 82. 1007-1022.

Santrock, John W. 2003. Life Span Development. Jakarta. Erlangga


(40)

94

Thuneberg, H. 2007. Is a Majority Enough? Psychological Well-Being and its

Relation to Academic and Prosocial Motivation, Self-Regulation and Achievement at School. Academic Dissertation. Faculty of Behavioral


(41)

DAFTAR RUJUKAN

Agustin, Meri I. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological

Well-Being pada Mahasiswa Psikologi Universitas ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Darmali, Feniana. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological

Well-Being pada Guru SMA ‘X’ Bandar Lampung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Feiliana. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Chinese Values pada Siswa/i Keturunan

Tionghoa SMP ‘X’ di Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Dewi, Yvonne T. 2006. Survey Mengenai Value Schwartz pada Suku Jawa di

Kabupaten Bantul. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Harian Pikiran Rakyat, 15 Februari2005: 20. Bandung.

Heni Purwono, 2008. Mahasiswa Terjerat Hedonisme Sistemik. suaramerdeka.com

Mamad Ismail. 2008. 4 Peran Mahasiswa

Nasution Rozaini . 2003. Taknik Sampling. http://library.usu.ac.id/

Pasaribu, Bontor M. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Self-Regulation pada

Mahasiswa Anggota Aktif Panduan Suara Mahasiswa di Universitas ‘X’ Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Sinuhaji Nurintan. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Schwartz’s Values Pada

Remaja Batak Karo di Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Unger, Rhoda. Crawford, M. 1992. Woman and Gender : A feminist psychology.

USA. McGraw-Hill.

Sunarjo, Jacqueline T. 2009. Menelusuri Keraton Ngayogyakarta Untuk Menilikik

dan Belajar Makna Pengabdian yang Ditinjau dari Teori Well-Being. PKL Psikologi Sosial. Universitas Kristen Maranatha. Bandung.


(1)

90

6. Dimensi positif relation with other :

• mahasiswa yang dominan pada trait extraversion dan conscientiousness

cenderung memiliki tingkat positif relation with other yang tinggi

dibandingkan dengan trait lainnya.

• mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki tingkat

positif relation with other yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

7. Dimensi self-accepetence:

• mahasiswa yang dominan pada trait openness to experience, extraversion, dan

conscientiousness cenderung memiliki tingkat self-accepetence yang tinggi,

namun mahasiswa yang dominan pada trait neurotic dan agreeableness

cenderung memiliki tingkat self-accepetence yang rendah.

• mahasiswa yang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki tingkat self-accepetence yang tinggi sedangkan mahasiswa yang berjenis kelamin laki-laki

memiliki tingkat self-accepetence yang rendah.

8. Dimensi environmental mastery berkaitan dengan :

• mahasiswa yang dominan pada trait neurotic dan agreeableness cenderung memiliki tingkat environmental mastery yang rendah dibandingkan dengan


(2)

• mahasiswa yang beretnis Jawa dan Sunda cenderung memiliki tingkat

environmental mastery yang rendah sedangkan etnis Batak dan Tionghoa

cenderung memiliki tingkat environmental mastery yang tinggi.

5.2 Saran

5.2.1 Saran teoritis

1. Perlu dipertimbangkan untuk melakukan penelitian korelasional untuk melihat hubungan antara dimensi-dimensi dari Psychological Well-Being dengan trait

personality agar lebih dapat terlihat derajat keterkaitannya.

2. Dari hasil penelitian ini terlihat adanya pola keterkaitan antara dimensi-dimensi

Psychological Well-Being dengan etnis atau suku, untuk itu perlu diteliti lebih lanjut

seberapa kuat hubungan antara suku atau etnis dengan dimensi-dimensi PWB serta meneliti value-value dari tiap suku dan dikaitkan dengan dimensi-dimensi PWB.

5.2.2 Saran praktis

1. Hasil penelitian ini memberi masukan bagi mahasiswa Fakultas X dan Universitas Y mengenai Psychological Well-Being-nya, yang dilihat dari tiap dimensi.

Mahasiswa yang memiliki tingkat dimensi PWB yang tinggi dapat dipertahankan, sedangkan mahasiswa yang memiliki tingkat dimensi PWB yang rendah dapat


(3)

92

ditingkatkan dengan berbagai cara seperti mengikuti berbagai pelatihan, seminar atau konseling, contohnya dengan mengikuti pelatihaninternal locus of control bagi mahasiswa yang memiliki environmental mastery yang rendah serta dapat mengikuti

retret pengenalan diri dan kemampuan serta konseling pribadi untuk meningkatkan

self-acceptence, positif relation with other dan autonomy serta dapat memberikan

seminar motivasi untuk meningkatkan personal growth dan purpose in life,

2. Dekan dan dosen perlu memperhatikan Psychological Well-Being mahasiswanya

dengan memberi pelatihan, seminar ataupun konseling seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, S. 2005. The relationship between student psychological well being, behavior and educational outcome: A lesson from mindmatter plus demonstration schools. Australian Journal of Guidance & Counseling, 15. 235-240.

Friendenberg, Lisa.1995. Psychological Testing: Design, Analysis and Use. Boston. Allyn and Bacon.

Moran, C.D. 2001. Purpose in life, student development, and well-being: recommendations for student affairs practitioners. NASPA Journal, Vol. 38.

269-279.

McCrae. R. R., & Costa, P. T.. Jr. (1997). Personality trait structure as a human universal. American Psychologist. Vol. 52, No. 5, 509-516.

--- & Costa, P. T., Jr. (1991). The NEO Personality Inventory: Using the five-factor model in counseling. Journal of Counseling and Development, 69,367-372.

--- & John, O.P. (1992). An introduction to the five-factor model and its applications. Journal of Personality: 60, 175–215.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor

Ryff, C.D. 1989. Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology,57, 1069-1081.

--- & Singer, B. 2006. Know thyself and become what you are : Eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39.

--- & Keyes,C.L.M 1995. The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727. --- & Keyes,C.L.M., Shmotkin, D. 2002. Optimizing well-being : The

empirical Encounter of two tradition. Journal of Personality and Social Psychology, 82. 1007-1022.

Santrock, John W. 2003. Life Span Development. Jakarta. Erlangga


(5)

94

Thuneberg, H. 2007. Is a Majority Enough? Psychological Well-Being and its Relation to Academic and Prosocial Motivation, Self-Regulation and Achievement at School. Academic Dissertation. Faculty of Behavioral Sciences at the University of Helsinki. Helsinki


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Agustin, Meri I. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Mahasiswa Psikologi Universitas ‘X’ Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Darmali, Feniana. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Psychological Well-Being pada Guru SMA ‘X’ Bandar Lampung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Feiliana. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Chinese Values pada Siswa/i Keturunan Tionghoa SMP ‘X’ di Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Dewi, Yvonne T. 2006. Survey Mengenai Value Schwartz pada Suku Jawa di Kabupaten Bantul. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Harian Pikiran Rakyat, 15 Februari2005: 20. Bandung.

Heni Purwono, 2008. Mahasiswa Terjerat Hedonisme Sistemik. suaramerdeka.com Mamad Ismail. 2008. 4 Peran Mahasiswa

Nasution Rozaini . 2003. Taknik Sampling. http://library.usu.ac.id/

Pasaribu, Bontor M. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Self-Regulation pada Mahasiswa Anggota Aktif Panduan Suara Mahasiswa di Universitas ‘X’ Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Sinuhaji Nurintan. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Schwartz’s Values Pada Remaja Batak Karo di Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Unger, Rhoda. Crawford, M. 1992. Woman and Gender : A feminist psychology. USA. McGraw-Hill.

Sunarjo, Jacqueline T. 2009. Menelusuri Keraton Ngayogyakarta Untuk Menilikik dan Belajar Makna Pengabdian yang Ditinjau dari Teori Well-Being. PKL Psikologi Sosial. Universitas Kristen Maranatha. Bandung.