Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali T1 312011018 BAB I

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Prinsip hukum secara universal mengakui bahwa semua orang mempunyai hak yang sama di depan hukum (Equality Before The Law), serta berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas Peradilan yang efektif dari Pengadilan Nasional jika ada pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan1. Sejalan dengan asas

tersebut. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa:

Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau diperlakukan secara sewenang-wenang karna setiap orang berhak untuk didengar pendapatnya dimuka umum, diadili secara adil oleh Pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak dan kewajibanya, maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan2.

Dilihat dari tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaiaan, serta keadilan dapat dirumuskan dengan istilah yakni perlindungan. Jadi secara singkat tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, tetapi mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk

1 H. Parman Soeparman. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Reflika Aditama.2009.,h. 1.


(2)

2 menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan manusia3.

Peninjauan Kembali merupakan tugas Mahkamah Agung yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:

Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sehingga Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan satu kali sebagai unsur untuk melahirkan hukum yang bersifat final.

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara hierarkis kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 (constitutie is de hoogste wet). Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang

3 Ibid., h. 8


(3)

3 Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.

Ada dua alasan penting sacara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan dalam pembahasan mengenai Peninjauan Kembali, hal demikian telah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP)4, yakni

conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang pertama ialah terdapanya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang kedua

ialah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupah putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan5.

Kasus Antasari bermula ketika ia diajukan dimuka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta. Oleh Majelis Hakim PN Jakarta yang di Ketuai oleh Hakim Herry Swantoro. Dalam persidangan tersebut Antasari dianggap terbukti oleh Majelis Hakim, bekerja sama dengan pengusaha Sigit Haryo Wibisono untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Namun Antasari menolak semua tuduhan termasuk perselingkuhan yang menjadi motif utama pembunuhan tersebut dan mengaku tetap setia kepada Ida Laksmiwati yang telah menjadi istrinya selama lebih dari 26 tahun. Antasaripun didakwa dengan hukuman mati dan akhirnya oleh PN Jakarta Selatan ia divonis penjara selama 18 tahun.

4 Lihat masing-masing Pasal 263 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

5 Oemar Seno Adji, Herziening Gantirung Suap Perkembangan Delik. Erlangga Jakarta, 1981., h.


(4)

4 Statusnya sebagai tersangka membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK6.

Pada sidangnya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010. Dalam persidangan Ketua Majelis Hakim Herry Swantoro menyatakan, semua unsur sudah terpenuhi antara lain, unsur barang siapa, turut melakukan, dengan sengaja, direncanakan, dan hilangnya nyawa orang lain. Majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur Pasal 55 KUHP, sehinga majelis hakim tidak sependapat dengan pledoi terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari merencanakan akan mengajukan banding tetapi tidak jadi. Dalam persidangan di PN Jakarta Selatan. Antasari dijatuhi pidana penjara 18 tahun. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat hukuman yang dijatuhkan PN Jakarta Selatan7.

Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi yang diajukan. Antasari kemudian mengajukan Peninjaun Kembali dan membawa tiga bukti baru dan 48 kekhilafan hakim yang menjadi dasar buat dirinya mengajukan Peninjaun Kembali. Namun Peninjauan Kembali tersebut juga ditolak Mahkamah Agung. Tak puas dengan hal itu, Antasari menggugat KUHAP melalui uji judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Pada 8 Maret 2013 Antasari Azhar menggugat ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial review atas Pasal 268 ayat (3) undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yang memperbolehkan pengajuan Peninjauan

6 Lihat

http://www.kompasiana.com/andiansyori/tangisan-antasari-azhar-keadilan-tidak-dapat-dibatasi-dengan-waktu_54f82c8ca33311a3738b53d1. 12:14 WIB tgl 27 Oktober 2015.


(5)

5 Kembali hanya bisa diajukan satu kali. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, melanggar Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan untuk membatasi Peninjaun Kembali hanya satu kali karena sangat terkait dengan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kehidupan manusia. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa asas yuridis overted memang harus ada karena berkaitan dengan kepastian hukum. Namun untuk keadilan yang berkaitan dengan perkara pidana asas tersebut tidak dapat diterapkan karena hanya dengan Peninjaun Kembali satu kali, terlebih lagi ditemukanya bukti baru (novum) hal ini bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi.

Dalam isi permohonan yang diajukan oleh Antasari Azhar ke Mahkamah Konstitusi, bahwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010, putusan mana telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010; Bahwa terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010, Pemohon I mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor. 117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012 yang memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan. Bahwa karena telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, maka berdasarkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pemohon 1 tidak memiliki upaya hukum lain untuk membersihkan namanya, jika suatu saat terdapat bukti baru, yang memberikan putusan yang


(6)

6 berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 20108.

Pemohon Antasari Azhar, Perseorangan warga negara Indonesia selaku terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010. Terhadap putusan tersebut Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum biasa yaitu permohonan kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan tersebut, Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 117/PK/Pid/2011, tanggal 13 Pebruari 2012, yang amarnya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Antasari Azhar. Pemohon bermaksud mengajukan Peninjauan Kembali terhadap perkara tersebut, namun karena berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon Antasari Azhar, tidak dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lagi untuk membersihkan namanya, jika suatu saat terdapat keadaan baru yang dapat memberikan putusan berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010. Atas dasar dalil tersebut yang dihubungkan dengan hak konstitusional yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1),

8 Lihat putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali


(7)

7 menurut Mahkamah Konstitusi, Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi9.

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali bekali-kali. Sebelumnya Mahkamah Agung sudah lebih dulu megabulkan Peninjaun Kembali lebih dari sekali. Setidaknya ada sekitar tujuh kali Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan kedua kali. Hal ini berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah No. 10 Tahun 2009 yang isinya menghimbau agar Peninjaun Kembali itu tertib dan mengaitkan dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, tetapi di dalamnya juga mengatur bahwa;

Apabila ada bukti yang saling bertentangan antara satu dengan lainya maka Peninjauan Kembali tersebut dapat diperiksa.

Dari kasus posisi yang disebutkan di atas maka pertimbangan hakim dalam kasus Antasari Azhar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali. Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, penjelasanya sebagai berikut; Pasal 1 ayat (3) yang

9 Ibid


(8)

8 menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan :

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 28C ayat (1) menyatakan :

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,

Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan para Pemohon Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat10.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014. Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun

10 Ibid


(9)

9 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan Peninjauan Kembali, SEMA perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Bahwa pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali, selain diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas, juga diatur dalam beberapa Undang-Undang, yaitu: a). Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pasal 24 Ayat (2), berbunyi: “Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali” b). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi: “Permohonan

Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”

2. Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun


(10)

10 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tersebut;

3. Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali;

4. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang pengajuan Peninjauan Kembali yaitu apabilah ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana;

5. Permohonan Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut di atas agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 200911.

Berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang memeperkuat Peninjaun Kembali hanya satu kali. Dalam hal ini bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya sedapat mungkin


(11)

11 merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan tujuan hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukan oleh seorang hakim Indonesia, Bismar Siregar mengatakan;

Bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan tujuanya adalah keadilan12.

Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering dikaitkan dengan salah satu bidang pranata kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan yang paling utama dari hukum. Permasalahnya bila hukum ternyata tidak mampu mewujudkan nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Keadilan adalah tolak ukur baik buruknya suatu hukum. Hal ini diperkuat dengan teori-teori keadilan salah satunya ide dasar aliran Stoa didasarkan atas dua prinsip yaitu jangan merugikan seseorang dan berikanlah kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika prinsip ini ditaati barulah hal itu disebut adil13.

Pendapat aliran hukum alam menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam primer yang terdapat Stoisme menyatakan bahwa “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suumtribuere) dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere). Cicero mengatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia tetapi oleh alam14.

12 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Pers,2012.. h.218 13 ibid.,228


(12)

12 Sementara menurut pandangan kaum utilitarianisme, ukuran satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejateraan manusia (human wefare). Menurut aliran Realisme Hukum yang salah satu tokohnya John Rawls (A Theory of Justice 1971) berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ukuranya keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Memperlakukan keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan martabatnya sebagai manusia15.

Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rasional dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak pernah selesai terkait dengan persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan agar orang yang berada dibawah naungan hukum menikmati dan merasakan keadilan. Akan tetapi kenyataannya hukum sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial.

Pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum bahwa suatu negara didasarkan atas hukum sebagai satu-satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk

15 Ibid.. h.230


(13)

13 mencapai kehidupan lebih baik yang merupakan tujuan utama organisasi politik16.

Akan tetapi Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan hukum bukan tidak mungkin untuk kasus-kasus konkrit akan terjadi kesulitan akibat penerapan hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah tersebut, Aristoteles menguslkan adanya

equality sebagai koreksi terhadap hukum apabilah hukum itu kurang tepat karena bersifat umum17 .

Sedangkan Teorinya Gustav Radbruch mengajarkan adanya skala prioritas yang harus dijalankan, dimana perioritas pertama selalu keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum. Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum18.

Berbicara mengenai tujuan hukum pada menurut Gustav Radbruch memakai asas prioritas. Asas prioritas tersebut dijadikan sebagai sebagai tiga nilai dasar tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum maka faktanya hal tersebut akan menimbulkan masalah. Tidak jarang antara kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan,

16 Peter.Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Pernada Media Group 2008.,h.107 17 Ibid.

18 Dilihat


(14)

14 antara keadilan dengan kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Contoh yang mudah untuk dipahami adalah jika hakim dihadapkan dalam sebuah kasus untuk mengambil sebuah keputusannya adil19.

Pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, selain pengaruh civil law system yang menghendaki hakim mendasarkan diri secara ketat pada bunyi Undang-Undang meski Undang-Undang tersebut telah ketinggalan zaman. Maka penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga lebih condong mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Melihat dari sudut pandang ini tujuan utama hukum menjadi bukan keadilan melainkan kepastian. Hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran. Ukuran adil cenderung disesuaikan dengan rasa keadilan pribadi masing-masing. Masyarakat pada umumnya masih beranggapan putusan hakim yang ada masih kaku dengan dengan bunyi aturan dalam Undang-Undang. Keadilan adalah hak asasi yang harus dinikmati oleh setiap manusia yang mampu mengaktualisasikan segala potensi manusia.

Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga menegakan kepastian dan kemanfaatan. Berkaitan dengan hal tersebut asas prioritas yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang dalam masalah ini. Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal penting. Kemanfaatan dan kepastian hukum menduduki strata dibawah keadilan. Faktanya sampai saat ini

19Ibid.


(15)

15 diterapkannya asas prioritas ini membuat proses penegakan dan pemberlakuan hukum positif di Indonesia masih dapat berjalan.

Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Mendapatkan banyak pendapat yang melahirkan pro dan kontra. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur berpendapat bahwa;

Ketentuan Peninjauan Kembali yang membatasi sebenarnya menyangkut kepastian hukum dan keadilan. Pembatasan itu masuk ruang lingkup hukum acara yang menjadi pedoman court of justice peradilan. Peninjauan Kembali boleh berkali-kali, sampai kapan batas akhirnya, akan lebih banyak perkara narkoba dan korupsi mengajukan Peninjauan Kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memboleh Peninjauan Kembali lebih dari sekali juga bisa berimplikasi menghambat pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ketika perkara sudah dieksekusi, beberapa tahun kemudian seseorang mengajukan Peninjauan Kembali lagi, sepertinya perkara tersebut tidak ada akhirnya.20

Sedangkan pendapat yang berbeda disampaikan oleh Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan:

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP merupakan putusan yang arif dan bijaksana dalam memahami tujuan hukum yang harus memberi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Gayus Lumbuun mengatakan semangat putusan Mahkamah Konstitusi itu bukan hal baru sebagai terobosan hukum untuk memberi jaminan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan kepada masyarakat. Sebab SEMA No. 10 Tahun 2009 tertanggal 12 Juni 2009 membolehkan pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali baik terhadap perkara Perdata maupun Pidana. Memberi kesempatan Peninajaun Kembali lebih dari sekali juga tidak menjadikan menumpuknya perkara. Soalnya persyaratan pengajuan Peninjauan Kembali seperti diatur Pasal 268 ayat (2) KUHAP, seperti adanya keadaan baru (novum) tetap

20 Agus Sahbani,


(16)

16

berlaku.Menurut Gayus Lambuun, materi putusan Mahkamah Konstitusi itu harus disikapi dalam revisi KUHAP yang tengah berjalan. Jika materi revisi KUHAP tidak menyikapi persoalan ini dengan memberi jalan keluar dalam penerapannya, Mahkamah Agung bisa membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum dalam menjalankan kekuasaan kehakiman demi hukum keadilan dan Kebenaran21.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa:

Diperbolehkannya Peninjauan Kembali diajukan berkali- kali justru mempertimbangkan asas kehati-hatian dalam memutus. Dengan prinsip, jika ditemukan novum, upaya hukum luar biasa itu bisa diajukan dan itu bisa berulang kali22.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menegaskan bahwa:

Ketentuan Peninjauan Kemabali berkali-kali seharusnya tidak menjadi polemik untuk mempertanyakan di mana letak kepastian hukumnya. Menurutnya, harusnya mengetahui vonis pada tingkat kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu seharusnya eksekusi bisa dilaksanakan. Kalau tidak bisa dilaksanakan karena adanya ketentuan Peninjauan Kembali bisa diajukan berkali-kali23.

Di sisi lain Hakim Agung Suhadi menyatakan :

Peninjauan Kembali di ajukan berulang kali dalam perkara pidana hanya dapat diajukan satu (1) kali adalah untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, lambatnya eksekusi terhadap gembong narkoba24. Hal senada juga diutarakan oleh hakim ad-hoc tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi, Prof. Dr. Krisna Harahap. Kalau boleh dua kali, tiga kali, empat kali dan seterusnya, kapan bisa dieksekusi 25.

21 Ibid.

22 Koran Sindo,

http://nasional.sindonews.com/read/946663/149/ma-dinilai-membangkangi-konstitusi-1420520533. Diliahat 15:25 WIB, 21 Oktober 2015.

23 ibid

24 Andi Saputra,

http://news.detik.com/berita/2792201/lambatnya-eksekusi-gembong-narkoba-jadi-salah-satu-alasan-keluarnya-sema. Dilihat 15:35 WIB, 21 Oktober 2015.


(17)

17 Ketatnya persyaratan untuk permintaan Peninjauan Kembali adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, oleh karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan Hakim secara manusiawi. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peradilan Peninjauan Kembali adalah untuk mengadakan koreksi terakhir terhadap Putusan Pengadilan yang mengandung ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan Hakim. Oleh karena itu walaupun pranata Peninjauan Kembali semata-mata didasarkan pada syarat dan pertimbangan hukum tetapi tujuannya adalah demi keadilan bagi terpidana26.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan yang berbunyi;

Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Materi penjelasan tersebut kemudian diangkat ke dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan ketiga) berbunyi:

Negara Indonesia adalah negara hukum.

Demikian pula tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri, diangkat dari Penjelasan menjadi batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Repubik

26 Lihat Makalah Tentang Peninjauan Kembali, oleh H. Abdul Kadir Mappong, S.H., (Wakil


(18)

18 Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 yat (1). Hal ini akan menguatkan konsep negara hukum Indonesia27.

Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1) (perubahan ketiga), Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang-Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainya yang diberikan oleh Undang-Undang. Wewenang Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang selama ini diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi;

Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan Perundang-Undang dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan pertauran Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Wewenang tersebut dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. III/ MPR/1973, Pasal 11 Ayat (4) menyatakan:

Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil peraturan Perundang-Undang dibawah Undang-Undang.

Diatur kembali dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung28.

27 Ni’matul Huda. Lembaga Negara Hukum Masa Trnsisi Demokrasi. UII Pres Yogyakarta 2007.,

h.129-130

28 Ni’imatul Huda. dan R. Nazariyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.


(19)

19 Dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1), Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahanya. Selain wewenang itu, berdasarkan Pasal 24C ayat (2) jo Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga berkewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus mengenai pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainya atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden29.

Berdasarkan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya. Hal itu membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan hukum tertinggi mengatur penyelenggaaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi sehingga menjadi

29 Ibid., h. 144


(20)

20 hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardion of the democrazy), pelindung hak konstitusi warga negara (the protector of the citizen’s constitusional rights) serta perlindungan hak asasi manusia (the protector of human rights)30.

Sebagai lembaga negara produk reformasi, Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan, Mahkamah Konstitusi mengedepanan keadilan subtantif yaitu keadilan yang lebih disadarkan pada kebenaran material dari pada kebenaran formal-prosudural. Hal ini secara formal-prosudural benar bisa saja disalahkan jika secara material dan subtansinya melanggar keadilan. Inilah yang terjadi pada pembatasan peromohonan Peninjauan Kembali yang di batasi satu kali hal ini dapat mencederai rasa keadilan untuk setiap individu dalam mencari keadilan.

Berkaitan dengan penegakan prinsip keadilan oleh Mahkamah Konstitusi melahirkan tafsir yang ditentukan dalam putasan Mahkamah Konstitusi dipenuhi maka suatu norma atau Undang-Undang tetap konstitusional sehingga dipertahankan legalitasnya. Adapun jika tafsir yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi maka suatu norma hukum atau Undang-Undang menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat31.

30 Ibid.,h.145


(21)

21 Dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu : (i) keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), (ii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschekking) yang biasa disebut vonis32. Ketiga bentuk norma hukum tersebut ada

yang merupakan individual and concrete norms,dan ada pula yang merupakan

general and abstract norm, vonnis dan beschikking selalu bersifat individual and concrete, sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract33.

Seringkali bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga yang bersifat khusus atau independen tersebut dapat dikatagorikan sebagai peraturan umum yang tunduk kepada prinsip hirarki hukum berdasarkan tata urutan peraturan Perundang-Undangan yang lazim. Produk hukum pengaturan yang ditetapkan oleh pejabat tertentu yang secara protokoler sederajat tidak dapat dikatakan selalu mengikuti tingkatan pejabat yang menetapkan. Misalnya Gubernur Bank Indonesia memang secara portokoler sederajat dengan Menteri. Akan tetapi produk peraturan yang ditetapkanya sama seperti Peraturan Pemerintah, yaitu menjalankan Undang-Undang. Karena itu, kedudukan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga khusus itu lebih tepat disebut juga sebagai peraturan yang bersifat khusus (Lex Specialis). Semua peraturan yang ditetapkan oleh lembaga khusus dan independen itu dapat diperlukan sebagai bentuk peraturan

32 Jimly A Pengujian Undang-Undang, Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.

Cetakan Kedua, Sekertariatan Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h 1.

33 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, KonstitusiPjjress, Jakarta, 2006, h 6.


(22)

22 khusus yang tunduk pada prinsip Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Termasuk dalam katagori ini misalnya Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Hak Asasi Manusia, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia, Peraturan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan, dan sebagainya34.

Berkaitan dengan permasalahan hukum secara hirarki antara Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali dengan SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali ini bertentangan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sejumlah Undang-Undang seperti Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 48 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 .Mahkamah Agung keliru memahami putusan Mahkamah Konstitusi, seharusnya putusan itu tidak semata-mata sebagai dasar terpidana mengajukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali, tetapi jaminan negara bagi setiap orang untuk mengakses keadilan dengan menemukan bukti baru (novum) yang belum pernah ditemukan dalam sidang sebelumnya. Secara hirarki Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 setara dengan Undang-Undang sebagai penganti kekosongan hukum dalam Peninjauan Kembali lebih dari satu kali (regeling). Sedangkan SEMA sendiri secara hirarki tidak setara dengan Undang-Undang, SEMA hanya berlaku

34 ibid.h.80.


(23)

23 ditataran internal Mahkamah Agung sebagai himbauan kepada para hakim-hakim dibawah peradilan Mahkamah Agung (beschikking).

Mahkamah Agung tidak berwenang membuat Peraturan yang materi muatan seharusnya dituangkan dalam norma Undang-Undang. Sebab Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah menggariskan dimungkinkannya penerbitan SEMA yakni hanya dalam keadaan mendesak, terdapat peraturan terkait tidak jelas yang butuh penafsiran, substansinya tidak bertentangan dengan peraturan Perudang-Undangan. SEMA yang dikeluarkan bukanlah peraturan, tetapi dilihat dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimungkinkan SEMA berisi materi peraturan, seperti yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Tetapi SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali, seharusnya diatur dalam bentuk Undang-Undang sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Peninjauan Kembali, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa lebih dari satu kali. Dengan alasan keadilan, Mahkamah Konstitusi menyatakan tak memberlaku pasal tersebut, yang merugikan kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar. Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan bagi Antasari Azhar untuk melakukan


(24)

24 Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung yang tetap memberikan hukuman bagi dirinya.

Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar telah dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi Antasari Azhar untuk mengajukan lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut Antasari Azhar pada waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat. Putusan ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:

Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. Selain itu, alasan lain Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya


(25)

25 Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.

Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi.

Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan.” Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.” Menurut Mahkamah Konstitusi, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan Peninjauan


(26)

26 Kembali perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan Peninjauan Kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu tidak dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

Maksud baik dari Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan kekhawatiran yang lain, yaitu peluang untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali putusan kasus pidana secara berkali-kali tanpa memperhatikan atau menyadari bahwa “novum” yang diajukan, sesungguhnya bukanlah bukti baru. Tentunya

Mahkamah Agung harus memperketat syarat permohonan Peninjauan Kembali, dengan dapat mengatur lebih lanjut substansi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. Hal ini merupakan peraturan yang lebih memperjelas substansi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam ranah hukum acara di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Hal ini juga untuk menghindari salah tafsir adanya


(27)

27 pertentangan asas kepastian hukum dan asas keadilan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan salah tafsir dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali berkali-kali.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah sampaikan di atas maka rumusan dari penulisan ini sebagai berikut:

- Bagaimana analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali, untuk melahirkan keadilan yang substantif.

C.

Tujuan

Untuk mengetahui bahwa putusan yang di sahkan oleh Mahkamah Konsstitusi dapat melahirkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan sebagai pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan melalui penilitian ini dari segi teoritis :

- Pengembangan ilmu pengetahuan dalam memutus perkara Peninjauan Kembali yang dapat melahirkan, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.


(28)

28 Sedangkan pada tataran praktis:

- Memberikan masukan kepada lembaga hukum dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan para penegak hukum yaitu para hakim yang memeriksa permohonan Peninjauan Kembali yang kedua kali, semata untuk melahirkan keadilan bukan saja melihat pada tataran kepastian hukum semata.

E.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma-norma/ ketentuan hukum yang berlaku.

a.

Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah Yuridis Normatif. Dikatakan demikian karena sasaran penelitian Normatif diarahkan untuk pengkajian Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dengan mengaitkan pada ketentuan yang berlaku.

b.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi : Studi kepustakaan meliputi bahan-bahan :

- Bahan Hukum Primer

Yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,


(29)

29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

- Bahan Hukum Sekunder

Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum;

Keadilan Kepastian Dan Kemanfaatan (Prespektif Filsafat Hukum);

- Bahan hukum tersier

Kamus Aneka Filsafat Hukum

F.

Sistimatika Penulisan

a. BAB I : Pada Bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian yang akan dilakukan. Meliputi :

- Latar Belakang Masalah - Rumusan Masalah - Tujuan

- Manfaat Penelitian - Metode Penelitian

BAB II : Bab ini berisikan uraian kerangka teori, hasil penelitian dan analisis permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa


(30)

30 tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Dissenting Opinion dalam kasus putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang pembataan peninjauan kembali lebih dari satu kali


(1)

25 Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.

Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi.

Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan.” Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.” Menurut Mahkamah Konstitusi, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan Peninjauan


(2)

26 Kembali perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan Peninjauan Kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu tidak dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

Maksud baik dari Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan kekhawatiran yang lain, yaitu peluang untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali putusan kasus pidana secara berkali-kali tanpa memperhatikan atau menyadari bahwa “novum” yang diajukan, sesungguhnya bukanlah bukti baru. Tentunya

Mahkamah Agung harus memperketat syarat permohonan Peninjauan Kembali, dengan dapat mengatur lebih lanjut substansi yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. Hal ini merupakan peraturan yang lebih memperjelas substansi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam ranah hukum acara di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Hal ini juga untuk menghindari salah tafsir adanya


(3)

27 pertentangan asas kepastian hukum dan asas keadilan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dan salah tafsir dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali berkali-kali.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah sampaikan di atas maka rumusan dari penulisan ini sebagai berikut:

- Bagaimana analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali, untuk melahirkan keadilan yang substantif.

C.

Tujuan

Untuk mengetahui bahwa putusan yang di sahkan oleh Mahkamah Konsstitusi dapat melahirkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan sebagai pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan melalui penilitian ini dari segi teoritis :

- Pengembangan ilmu pengetahuan dalam memutus perkara Peninjauan Kembali yang dapat melahirkan, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.


(4)

28 Sedangkan pada tataran praktis:

- Memberikan masukan kepada lembaga hukum dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan para penegak hukum yaitu para hakim yang memeriksa permohonan Peninjauan Kembali yang kedua kali, semata untuk melahirkan keadilan bukan saja melihat pada tataran kepastian hukum semata.

E.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma-norma/ ketentuan hukum yang berlaku.

a.

Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah Yuridis Normatif. Dikatakan demikian karena sasaran penelitian Normatif diarahkan untuk pengkajian Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dengan mengaitkan pada ketentuan yang berlaku.

b.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi : Studi kepustakaan meliputi bahan-bahan :

- Bahan Hukum Primer

Yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,


(5)

29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

- Bahan Hukum Sekunder

Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum;

Keadilan Kepastian Dan Kemanfaatan (Prespektif Filsafat Hukum);

- Bahan hukum tersier

Kamus Aneka Filsafat Hukum

F.

Sistimatika Penulisan

a. BAB I : Pada Bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian yang akan dilakukan. Meliputi :

- Latar Belakang Masalah - Rumusan Masalah - Tujuan

- Manfaat Penelitian - Metode Penelitian

BAB II : Bab ini berisikan uraian kerangka teori, hasil penelitian dan analisis permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa


(6)

30 tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Dissenting Opinion dalam kasus putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang pembataan peninjauan kembali lebih dari satu kali


Dokumen yang terkait

Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Perspektif Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Sistem Hukum Islam)

0 12 0

SKRIPSI PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUUXI/ 2013 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DAPAT DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI TERHADAP VONIS PIDANA MATI.

0 2 11

PENDAHULUAN PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUUXI/ 2013 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DAPAT DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI TERHADAP VONIS PIDANA MATI.

0 2 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali T1 312011018 BAB II

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu Kali

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB II

0 6 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB IV

0 0 4

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 34/PUU-XI/2013 DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM.

0 2 100

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NO, 34/PUU-XI/ 2013 TENTANG KEBOLEHAN PENINJAUAN KEMBALI (PK) PERSPEKTIF SIYASAH DUSTURIYAH - Raden Intan Repository

0 0 63