UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 34/PUU-XI/2013 DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM.

(1)

TESIS

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 34/PUU-XI/2013 Dalam Rangka Mewujudkan Rasa Keadilan dan Kepastian hukum

OLEH :

FATIMATUZ ZAHRO’ F12213133

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Nama : Fatimatuz Zahro’ NIM : F12213133

Fakultas : Syariah

Progam Studi : Hukum Tata Negara

Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 mengenai peninjauan kembali (PK) khususnya perkara pidana menyatakan bahwa pasal 268 ayat 3 KUHAP bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya Novum. Putusan ini mengejutkan dunia hukum dan menuai kontroversi sehubungan dengan implikasi putusan MK tentang keadilan dan kepastian hukum sebagai tujuan hukum itu sendiri. Penelitian ini mengkaji landasan pemikiran Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi dan mengeluarkan putusan MK No.34/PUU-XI/2013 dan juga menelaah lebih dalam sisi kepastian hukum dan keadilan dari peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum Normativ. Penelitian hukum normative dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan primer berupa putusan MK No.34/PUU-XI/2013. Dari penelitian ini ditemukan landasan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi dan mengekuarkan putusannya adalah karena bertujuan untuk mecari keadilan dan kebenaran materiil, keadilan tidak bisa dibatasi oleh waktu, pengadilan melindungi Hak Asasi Manusia dengan tidak membatasi PK. Dalam penelitian ini juga di temukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi NO 34/ PUU-XI/2013 tidak mendektruksikan prinsip kepastian hukum. Karena kepastian hukum sudah ada sejak upaya hukum banding dan kasasi. Wujud nyata kepastian hukum ada ketika terpidana sudah dijatuhi putusan peninjauan kembali, terpidana masih menjalani hukuman yang putuskan oleh hakim.

Kata Kunci : Upaya Hukum Peninjauan Kembali,Mahkamah Konstitusi, keadilan dan kepastian Hukum


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

MOTTO ... x

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Kerangka Teori ... 13

G. Metode Peneltian ... 29

H. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II: SISTEM PERADILAN DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN ... 34

A. Keuasaan Kehakiman ... 34

1. Mahkamah Agung ... 42

2. Mahkamah Konstitusi ... 58

B. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan di Indonesia ... 61

1. Upaya Hukum Biasa ... 63

2. Upaya Hukum Luar Biasa ... 71

BAB III: LANDASAN YURIDIS MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENINJAUAN KEMBALI LEBIH DARI SEKALI PASCA PUTUSAN MK No 34/PUU-XI/2013 ... 86

A. Duduk Perkara ... 86

B. Pendapat Mahkamah Konstitusi ... 115

1. Kewenangan Mahkamah ... 115

2. Kedudukan Legal Standing Para Pemohon ... 116

3. Pokok Permohonan ... 120

4. Asas Nebis In Idem ... 126

BAB IV: UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MK No 34/PUU-XI/2013 UNTUK MEMENUHI KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM 136 A. Rasa Keadilan dan Kepastian Hukum ... 136 B. Peninjauan Kembali Lebih dari sekali tidak Mendekstruksikan Kepastian Hukum


(7)

BAB V: PENUTUP ... 159 A. Kesimpulan Penelitian ... 159 Saran


(8)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan reformasi konstitusional yang integral menuju proses demokrasi yang sejati Pasca amandemen UUD RI 1945 membawa perubahan penting bagi penyelenggara kekuasaan kehakiman di indonesia.1 Perubahan tersebut antara lain adalah Undang – undang Nomor 4 tahun 2004 dicabut dengan undang – undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang antara lain menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggarannya negara hukum republik indonesia. Penyelenggaran kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung serta peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara .

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya disebutkan dalam pasal 24 c ayat ( 1) UUD 19452

1

Prof. Dr. Jimmly Asshidqie, S.H., Mahkamah Konstitusi Feomena Hukum Tata Negara AbadXX, ( Jakarta: Konsorium Reformasi Hukum Nasional) cetakan pertama, 2004, p.11

2

Pasal 24 C ayat ( 1) UUD 1945 berbunyi : “ MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang puuannya bersifal final untuk menguji Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang Undang dasar memutus pembubaran partai politik dan memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum.


(9)

2

disebutkan mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar. Seringkali mendapat sorotan publik terutama terkait masalah putusan yang dikeluarkan. Putusan Mahkamah Konstitusi terkadang menimbulkan Kontroversi, dan menimbulkan pro kontra dalam masyarakat khususnya para ahli hukum. Dianggap kontroversial karena pertimbangan pertimbangan hakim dalam putusannya yang terkadang dianggap ganjil dan tidak sejalan dengan apa yang tertulis dalam suatu perundang undangan sehingga tidak dapat diterima.

Selain Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman juga terdapat Mahkamah Agung seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi sama putusan Mahkamah Agung juga terkadang menjadi sorotan publik dan menuai kontroversi. Sebagai salah satu contohnya Dikutip dari surat kabar harian kompas tanggal 25 November 1996 memuat berita/ pendapat –pendapat dengan judul “ MA Hendaknya jangan mengarang Hukum sendiri”3 pasalnya putusan MA mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku, menurut Prof. Dr. Satjipto Raharjo S.H mengatakan terdapat banyak kejanggalan dalam putusan MA yang mengabulkan kasus pakpahan, kejanggalan tersebut terletak pada sifat perkara. Artinya perkara yang sudah diputus bebas semestinya tidak boleh ada pengajuan Pk, namun dalam perkara pakpahan tersebut MA tidak hanya mengabulkan PK bahkan juga menjatuhkan vonis yang lebih berat lagi. Kejanggalan tersebut kesalahan sistem tetapi lebih banyak pada perilaku personel indvidu penegak

3


(10)

3

hukum. Beliau menegaskan sekali bahwa keputusan terakhir memang berada ditangan hakim agung meskipun hal itu dengan mengabaikan ketentuan KUHAP.

Dunia hukum digemparkan oleh putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013 mengenai pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan dan telah dikeluarkan dalam sidang pleno MK pada tanggal 6 Maret hari kamis 2014, menyatakan bahwasanya pasal 268 ayat( 3) KUHAP bertentangan dengan UUD N RI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, itu artinya Pk tidak hanya bisa diajukan sekali tetapi boleh berkali – kali. Putusan dikabulkanya permohonan uji materiil UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHP) terahadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945( UUD N RI) yang diajukan oleh Antasari Azhar kepada Mahkamah konstitusi, tak terelakkan lagi menuai pro dan kontra oleh beberapa pihak kususnya ahli hukum indonesia, Pasalnya putusan ini membawa imbas bagi dunia peradilan indonesia. Beberapa pihak mempertanyakan Pengajuan PK berkali berkali dapatkah memenuhi kepastian hukum ataukah hanya alat untuk menunda perkara . Selebihnya fenomena putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 dikhawatirkan akan berimplikasi pada terganggunya keseimbangan antara proses keadilan dengan kepastian hukum sebagai tujuan hukum.

Putusan MK dinilai memberikan keadilan dan perhargaan Hak asasi manusia (HAM) mengingat permohonan uji materiil KUHP diajukan oleh Antasari Azhar yang telah divonis selama 18 tahun penjara akibat didakwa membunuh direktur PT. Rajawali Putra Banjaran. Sebagaimana diputuskan di


(11)

4

tingkat pertama oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1532/Pid. B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 februari 2010 dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkrahct van gewisde ) dengan putusan Mahmakah Agung (MA) No. 1429K/Pid/2010 tanggal 21 september 2010 yang kemudian diajukan peninjuan kembali (PK) dan telah diputus oleh MA dengan putusan No. 117PK/Pid/2011 tanggal 13 februari 2012. Putusan MK tersebut berlaku untuk seluruh rakyat indonesia dan harus ditaati oleh siapapun meskipun permohonan uji materii dalam MK No.34/PUU-XI/2013 diajukan oleh terpidana Antasari Azhar karena berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD N RI 1945 putusan MK bersifat final dan mengikat (Final and Binding)4

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. Selain itu, alasan lain Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja

4

Lihat Shanti Dwi Kartika, Peninjaun Kembali antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Info singkat hukum ( kajian terhadap isu- isu terkini), Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014


(12)

5

setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan diputus,ada keadaan baru yang ditemukan saat peninjauan kembali sebelumnya belum ditemukan. 5

Terkait dengan upaya hukum luar biasa ( Extradiornary Remedy ) peninjauan kembali, bukan hanya kali ini saja peninjauan kembali mengundang sorotan publik. Berawal dari kasus Sengkon dan Karta pada akhir 1980 yang dipidana dan sedang menjalani pidananya, kemudia pelaku pidana terungkap secara nyata sehingga mengalami kesulitan untuk membatalkan hukuman sengkon dan karta. Selanjutnya pada akhir 1996 dengan putusan Mahkamah Agung No.55 Pk/Pid/1996, atas nama terpidana Dr. Muchtar Pakpahan6 para pakar silih berganti mengutarakan pendapat yang pada umumnya tidak menyetujui putusan Mahkamah Agung tersebut karena pk diajukan atas permohonan jaksa / Penuntut Umum terhadap putusan yang pada kasasi dibebaskan Mahkamah Agung. Jika diformulasikan dengan KUHAP, putusan Mahkamah Agung No. 55Pk/Pid/1996

5

Lihat Tim KHN, Putusan MK tentang PK menerobos Kesesatan dalam Peradilan, dalam Dialog Tim KHN, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt535504dacd13f/putusan-mk-tentang-pk--menerobos-kesesatan-dalam-peradilan, diakses pada tanggal 4 desember 2014 pada Hari Rabu

6

Muchtar Pakpahan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri medan dijatuhi pidana selama 3 tahun, atas putusan tersebut terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan kemudian dijatuhinputusan Penjara selama 4 tahun, kemuadia terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung kemudia Mahkamah Agung memutus Bebas atas terdakwa. Terhadap putusan bebas Mahkamah Agung tersebut jaksa / penuntut umum mengajukan peninjauankembali yang berdasarkan putusan PK MA tgl 25 Oktober 1996 No 55 PK/ Pid/ 1996, mengabulkan Pk yang diajukan jaksa/ penuntut Umum dan menjatuhkan pidana selama emoat tahun penjara.


(13)

6

memang tidak sesuai dengan yang diatur KUHAP karena permintaan PK oleh jaksa/ penuntut umum ataupun pihak korban, belom dijangkau oleh KUHAP. 7

Bertolak belakang dari pertimbangan MK Eka Lestaria8 menulis penelitian

tentang “ Implikasi yuridis tentang putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 atas

pemenuhan kepastian hukum dan keadilan” menyatakan putusan ini tidak

memenuhi kepastian hukum dan keadilan, ketidak pastian hukum dari putusan tersebut karena pertimbangan pada putusan a quo inkonsistensi dan saling kontradiktif dengan putusan sebelumnya yaitu putusan nomor 16/PUU-VIII/2010, sehingga menimbulkan keraguan dan ketidak jelasan . sedangkan ketidak adilan dari putusan tersebut karena permohonan yang dikabulkan oleh MK terkait PK hanya pada perkara pidana saja, sedangkan peusaha Negara tetap dibatasi hanya satu kali yang mana telah membatasi hak warga negara lainnya untuk mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha Negara.

Meskipun putusan Mk No. 34/PUU-XI/2013 membatalkan ketentuan pasal 268 ayat ( 3) KUHAP terkait peninjauankembali tidak memenuhi kepastian hukum dan keadilan, kembali pada Pasal 24C ayat (1) UUD N RI 1945 putusan MK bersifat final dan mengikat (Final and Binding ) maka dari itu menurut hemat peneliti perlunya diadakan suatu terobosan baru untuk mengatur pengajuan permohonan peninjauankembali agar tercapai kepastian hukum dan keadilan yang diinginkan, Karena regulasi yang lama belum mengatur peninjauan kembali pasca

7

DR. Leden Marpaung, S.H., Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauankembali Perkara Pidana. ( Jakarta : Sinar Grafika), cetakan kedua tahun 2004, p. 74

8


(14)

7

putusan MK No 34/PUU-XI/2013 maka sangat penting bagi MA untuk menyusun regulasi baru yang menjabarkan pesan dari putusan MK atau penyusunan perundang undangan dan revisi Rancangan Undang Undang KUHAP yang sekarang sedang digodok oleh DPR.

Berdasarkan uraian singkat diatas, tentang arti pentingnya keadilan yang merupakan hak di seluruh lapisan masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan sedikit uraian tentang pasca amandemen Lembaga kehakiman, Makamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan ditambahkan dengan suatu kasus sangat hangat yang telah menghebohkan dunia peradilan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, maka menarik bagi penulis untuk mengulas lebih lanjut tentang regulasi peninjauankembali dan kepastian hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi . Dalam hal ini penulis mengambil tema tentang atruran – aturan yang memadai dalam peninjauankembali dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan keadilan dengan judul:

upaya hukum PeninjauanKembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013

Dalam Rangka memenuhi Rasa keadilan dan kepastian Hukum

Rumusan Masalah

Berdasarkan Harapan memperoleh kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat sangat kuat tatkala mereka mempercayakan penyelesaian perkara pidana pada lembaga peradilan, meskipun secara nyata perwujudan keduanya sering kali sulit dapat terwujud. Namun demikian dengan tugas dan kewenangan


(15)

8

yang dimiliki, lembaga peradilan tetap diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan tersebut. Oleh karena berkaitan dengan persoalan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa ( Buitengewone Rechtsmiddelen) dan uraian tersebut di atas, maka disusun suatu perumusan masalah agar penelitian fokus kepada masalah-masalah tersebut, sebagai berikut:

1. Apa landasan yuridis Mahkamah Konstitusi memutuskan Peninjauankembali lebih dari satu kali?

2. Bagaimana kepastian hukum khususnya perkara pidana dari upaya hukum Peninjauankembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah:.

1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan Mahkamah Konstitusi melegalkan upaya hukum luar biasapeninjauankembali lebih dari satu kali dengan mengabulkan uji materi UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP terhadap UUD N RI.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan regulasi yang memadai untuk mengatur upaya hukum peninjauankembali pasca putusan MK No. 34/PUU-XI/2013. C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran teoritis maupun kegunaan praktis :


(16)

9

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana Indonesia. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi

konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Mahkamah Agung ketika menerima pengajuan permohonan peninjauankembali diatas peninjauankembali yang berkali berkali akibat yuridis dari pasca ptusan MK No 34/PUU-XI/2013.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian tentang konsep keadilan dan kepastian hukum dalam peninjauan kembali ini bukanlah penelitian yang benar-benar baru adanya, tetapi telah ada beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini yang telah di teliti oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun penelitian ini bukan berarti penelitian yang sama dengan sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian berjudul “Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh Putusan Hukum tetap oleh jaksa dalam praktik peradilan pidana di Indonesia”oleh Rustanto9dalam penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa dalam praktik peradilan telah diterima oleh Mahkamah Agung penerimaan tersebut

9

Penelitian ini merupakan sebuah Thesis yang ditulis oleh Rustanto progam Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar pada tahun 2011


(17)

10

didasarkan atas penafsiran ekstensif bahwa jaksa yang termasuk pihak yang mempunyai kepentingan dalam peninjauan kembali, selain itu didasarkan atas rasa keadilan dan asas keseimbangan dalam kepentingan pihak pihak dalam suatu perkara. Guna memberikan pada jaksa landasan yang kuat untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dikemudian hari maka ketentuan pasal 263 KUHAP perlu direvisi.

Penelitian berjudul Upaya Hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa dalam praktik peradilan pidana indonesia oleh Bambang Subiyanto10 penelitian ini mengkaji landasan pemikiran apa yang dipergunakan oleh jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali dan apa yang mendasari pertimbangan hakim menerima peninjauan kembali. Dikarenakan dalam Kitab Undang –Undang Hukum Acara Pidana memberikan Hak kepada terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun, dalam praktiknya ditemukan adanya peninnjauan kembali yang diajukan oleh jaksa. Dalam penelitian ini diketahui bahwa landasan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali adalah berdasarkan ketentuan pasal 263 ayat ( 3) KUHAP pasal 21 undang – undang No. 14 tahun 1970 yang telah dirubah terakhir dengan undang – undang No. 48 tahun 2009 dan praktik yurisprudensi yang telah membenarkan jaksa dalam sebagai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali. Dasar pertimbangan Hakim dalam menerima peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa adala Mahkama Agung dengan menafsirkan ketentuan 263 ayat (3) KUHAP

10

Penelitian ini merupakan sebuah Thesis yang ditulis oleh Bambang Subiyanto Progam Pasca sarjana Universitas Indonesia pada tahun 2012


(18)

11

dan undang – undang kekuasaan kehakiman melalui putusannya mencipatajkan hukum penerimaan permohonan peninjauan kembali guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak jaksa untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana untuk rasa keadilan yang tercermin di dalam masyarakat.

Penelitian berjudul Peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak Mahkamah Agung ditinjau dari Azas keadilan dan kemudahan Administrasi oleh Rezania Ulfa11 penelitian ini membahas tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak pada Mahkamah Agung. Masalah yang diangkat dalam thesis ini adalah biaya perkara yang dipukul rata untuk tiap pemohon serta tidak jelasnya batas waktu penyelesain kasus peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak pada Mahkamah Agung. Biaya perkara berunungan dengan azas keadilan serta waktu yang berhubungan dengan azas kemudaan administrasi. Berdasarkan thesis ini maka diperole fakta bahwa yang menjadi penyebab lamanya pengambilan lamanya pengambilan keputusan ditingkat peninjauan kembali adalah faktor Undang – Undang yang tidak jelas, institusi, struktur Makamah Agung, serta sumber daya manusia yang kurang kompeten.

Penelitian yang berjudul tentang Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana oleh Ristu Darmawan12 penelitian ini membahas tentang peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa

11

Penelitian ini merupakan sebuah Thesis yang ditulis oleh mahasiswi progam pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2010

12

Penelitian ini merupakan sebuah Thesis yang ditulis oleh mahasiswa progam pascasarjana universitas indonesia pada tahun 2012


(19)

12

penuntut umum kepada Mahkamah Agung teradap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Jaksa agung/ penuntut umum tidak menggunakan kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan haknya dan lebih memilih mengajukan peninjauan kembali. Ini menimbulkan beberapa implikasi hukum karena bertentangan dengan prinsip prinsip yang melekat pada peninjauan kemabali sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dengan dasar hukum ketentuan pasal 263 ayat (3) KUHAP, ketentuan pasal 24 ayat (1) undang

– undang Nomor 48 tahun 2009. Jaksa/ penuntut umum lebih tidak menggunakan hak kasasi demi kepentingan hukum dan lebih memilih peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dikarenakan ketentuan pasal 259 ayat (2) KUHAP dan ketentuan pasal 45 ayat (3) Undang – Undang Nomor 3 tahun 2009.

Penelitian yang berjudul tentang “Implikasi yuridis tentang putusan MK

No. 34/PUU-XI/2013 atas pemenuhan kepastian hukum dan keadilan” oleh Eka Lestaria13 menyatakan putusan ini tidak memenuhi kepastian hukum dan keadilan, ketidak pastian hukum dari putusan tersebut karena pertimbangan pada putusan a quo inkonsistensi dan saling kontradiktif dengan putusan sebelumnya yaitu putusan nomor 16/PUU-VIII/2010, sehingga menimbulkan keraguan dan ketidak jelasan . sedangkan ketidak adilan dari putusan tersebut karena permohonan yang dikabulkan oleh MK terkait PK hanya pada perkara pidana saja, sedangkan

13

Penelitian ini merupakan sebuah thesis yang ditulis oleh eka lestariana seorang mahasiswi pascasarjana jurusan kenegaraan Universitas gajah Mada Yogyakarta


(20)

13

peusaha Negara tetap dibatasi hanya satu kali yang mana telah membatasi hak warga negara lainnya untuk mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha Negara.

E. Kerangka Teori

Demi terwujudnya penegak hukum sesuai dengan harapan maka perlu diketahui unsur dari sistem hukum yang dapat berubah. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem Hukum sebenarnya mengadung tiga unsur yang dapat berubah yaitu:14

a. Struktur Hukum ( legal Structure) : pola yang menunjukkan bagaimana hukum intu dijalankan menurut ketentuan formalnya. Struktur hukum ini lebih mengarah kepada petugas penegak hukum yang berfungsi menjadikan hukum dapat berjalan dengan baik. Maksudnya adalah keseluruhan instusi penegak hukum beserta petugasnya, yang mencangkup: kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, kantor kantor pengacara dengan para pengacaranya dan pengadilan dengan para hakimnya.

b. Substansi Hukum ( Legal Subtance ) : yaitu peraturan – peraturan yang dipakai oleh para pelaku pada waktu melaksanakan perbuatan perbuatan serta hubungan – hubungan hukum yang memuat aturan tentang perintah dan larangan. Maksudnya adalah keseluruhan asas-

14


(21)

14

asas hukum, Norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

c. Budaya Hukum ( Legal Culture) : budaya hukum ini terkait dengan masyarakat dan para penegak hukum dalam menaati hukum itu sendiri. Kesadaran tersebut ditentukan oleh pengetahuan/ pemahaman para penegak hukum dan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Sehingga pada perkembangan selanjutnya akan tercipta budaya taat hukum dapat berupa kebiasaan kebiasaan, opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari masyarakat.15

Dengan demikian ketiga unsur diatas secara bersama sama atau secara sendiri sendiri tidak mungkin diabaikan demi terwujudnya penegak hukum yang sesuai denganharapan. Untuk itu pembenahan terhadap tiga komponen diatas harusdilaksanakan demi terwujudnya penegakkan hukum yang sesuai denga harapan. sehingga hukum benar benar dapat menjadi nahkoda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

1. Negara hukum

Pemikiran Negara Hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum

yang disebutnya dengan istilah “Nomoi”, kemudian ide tentang Negara hukum

populer pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi politik di eropa yang didominasi oleh absolutisme. Konsep hukum selanjutnya berkembang dalam dua

15


(22)

15

sistem hukum yaitu sistem hukum Eropa Kontinental dengan istilah Rechstate dan sitem hukum Anglo Saxon dengan istilah Rule of Law.16

Konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Frederich Sthal mengedepankan ciri- ciri dari sebuah negara hukum ( rechsstaat) yaitu sebagai berikut :

1. Adanya perlindungan hak hak asasi manusia

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak hak asasi manusia

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan – peraturan dan

4. peran administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan yang melanggar hukum oleh pemerintah.

Unsur negara hukum yang dikemukakan oleh imanuel kant dan Sthal, yaitu:

a. Adanya perlindungan teradap hak hak asasi manusia b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara

c. Adanya kepastian hukum d. Persamaan

e. Demokrasi

f. Pemerintahan yang melayani umum.17

16

Titik Triwulan Tutik, S.H. M. H Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher), Cetakan 1,p. 71


(23)

16

Sedangkan konsep Negara hukum yang dipelopori oleh A.V Dicey ( Rule of Law ) menekankan pada tiga tolak ukur yaitu supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum dan konstitusi yang didasarkan hak hak perorangan

Ciri – ciri negara hukum menurut Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. adalah adanya hak asasi manusi, adanya suatu peradilan yang bebas dan adanya legalitas dalam arti hukum segala bentuknya, yang dimaksud adalah untuk tindakan warga biasa ataupun penguasa haruslah dibenarkan oleh hukum.18

Phiipus M. Hadjon menyatakan bahwa negara hukum indonesia yang berdsarkan pancasila memiliki elemen sebagai berikut :

1. Keserasia antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan 2. Hubungan fungsional yang proposional antara kekuasaan negara

3. Penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal.

4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Dari uraian diatas nampak bawasanya salah satu dari elemen negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung beserta peradilan dibawah mahkamah

17

DR. H. Deddy Ismatulloh, S.H., M.Hum. dan Asep A. Sahid Gatara Fh, M. Si., Ilmu

Negara dalam Multi Prespektif ( Kekuasaan , Masyarakat, Hukum dan Agama), ( Bandung : CV. Pustaka setia), cetakan ke 2, 2007, p. 166

18

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., dasar dan struktur Ketata Negaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka cipta ), cetakan kedua edisi revisi,2001, p. 87


(24)

17

agung seperti peradilan negeri, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer.

Indroharto menyatakan bahwa hukum positif yang berlaku pada prinsip prinsip dasar cita cita seuah negara hukum adalah :

1. Asas legalitas, dimana pemerintahan dan lembaga lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh hukum atau harus dipertanggung jawabkan secara hukum .

2. Dihormatinya hak hak asasi yang tercermin dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan beragama yang merupakan sala satu hak yang paling asasi diantara hak hak asasi manusia.

3. Pembagian kekuasaan negara dan wewenang pemerintahan menurut undang –undang dasar 1945 dan peraturan perundangan yang lainnya artinya kekuasaan negara tidak dikonsentrasikan dalam satu tangan, melainkan berada dalam berbagai macam tangan aparat aparat kenegaraan yang selalu menjaga terlaksananya roda pemerintahan ini selalu dalam keadaan seimbang dan saling mengawasi.

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang bebas, yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah seperti yang telah diatur dalam UUD 1945 maupun UUD Nomor 14 Tahun 1970 dimana suatu perbuatan pemerinta dapat diajukan ke muka pengadilan untuk dinilai apaka perbuatan pemerintah yang bersangkutan bersifat melawan hukum atau tidak.


(25)

18

Dari uraian diatas asas legalitas dan kekuasaan kehakimah dilaksanakan dengan bebas tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun berdiri dalam posisi netral tidak memihak dan menempatkan semua orang sama dimata hukum.

2. Kekuasaan kehakiman

Menurut sarjana Prancis bernama Montesquieu dengan ajarannya yang

terkanal dengan nama “Trias Politica” bahwa kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Fungsi legislative biasanya dikaitkan dengan peran lembaga parlemen atau legisture, fungsi eksekutif dikatakan dengan peran pemerintahan dan fungsi yudikatif dengan lembaga peradilan. Menurut doktrin pemisahan kekuasaan tersebut, fungsi dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara guna mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasan. Telah jelas disini bahwa lembaga peradilan memegang peranan penting dalam menjaga negara agar jangan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga kekuasaan kehakiman haruslah berdiri sendiri dan mandiri serta bebas dari tekanan pihak manapun baik eksekutif maupun legislative.

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokratis haruslah mendiri dan terlepas dari campur tangan apapun dan dari manapun. Bagir Manan menyebutkan bahwa ada beberapa alasan kekuasaan kehakiman haruslah mandiri, yaitu:19

19

Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: dalam Tim LeIP, 2002), hlm. 13-24


(26)

19

a) kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia;

b) Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi;

c) Kekuasaan kehaiman yang mandiri diperlukan utuk menjamin netralitas terutama apabila terjadi sengketa antara warga negara dengan negara/pemerintah;

d) Penyelesaian sengketa oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik.

Penegasan kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945, yang menyatakan: “Kekuasaan kehakima adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”

Kemudian dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen menyatakan:

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah menggariskan beberapa prinsip pokok tentang kekuasaan kehakiman, yakni:


(27)

20

a) Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia;20

b) Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (peradilan Umum, Peradilan agama, peradilan milter, PTUN, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi) dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.21

Perlu digaris bawahi disini bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi juga kemandirian dalam proses peradilan dan kemandirian hakimnya. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain dari luar kekuasaan kehakiman dan dengan berbagai cara dan upaya mempengaruhi proses, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh badan peradilan, maka peradilan harus ditopang oleh hakim-hakim yang independen, yaitu mereka yang dipilih diantara anak bangsa yang memiliki integritas moral yang tinggi. Memiliki kualifikasi yang tinggi untuk mewujudkan supremasi lembaga peradilan.

Di luar itu, independensi hakim juga dikondisikan oleh tiga aspek yang terkait satu sama lain. Pertama, security oftenure, yaitu kepastian tentang jaminan masa kerja atau masa dinas hakim. Kedua, financial security, yaitu jaminan pendapatan

20

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

21


(28)

21

atau gaji yang cukup. Ketiga, administrative independence, merupakan kontrol yang dilakukan oleh lembaga peradilan terhadap penyelenggaraan administrasi peradilan untuk menunjang terlaksananya fungsi peradilan secara signifikan.

Sekalipun independensi syarat mutlak terbangunnya pengadilan yang dapat dipercaya, tetapi prinsip tersebut bukanlah kekebalan (imunitas). Penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan, dilaksanakan dengan baik, sumber daya dipakai secara patut. Independensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang berperkara, komitmen moral dan ketuhanan para hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), nilai-nilai keadilan, serta pengawasan.

Kemudian dalam menunjang kegiatan pengawasan terhadap kegiatan peradilan maka dibentuklah lembaga pengawas eksternal yang dinamakan dengan

“Komisi Yudisial”. Lembaga tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 B yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokratis haruslah mendiri dan terlepas dari campur tangan apapun dan dari manapun. Bagir Manan menyebutkan bahwa ada beberapa alasan kekuasaan kehakiman haruslah mandiri, yaitu:22

22

Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: dalam Tim LeIP, 2002), hlm. 13-24


(29)

22

e) kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia;

f) Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi;

g) Kekuasaan kehaiman yang mandiri diperlukan utuk menjamin netralitas terutama apabila terjadi sengketa antara warga negara dengan negara/pemerintah;

h) Penyelesaian sengketa oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah menggariskan beberapa prinsip pokok tentang kekuasaan kehakiman, yakni:

c) Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia;23

d) Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (peradilan Umum, Peradilan agama, peradilan milter, PTUN, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi)

23


(30)

23

dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.24

Seperti ditentukan dalam pasal 24 ayat ( 2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman dilakukan dua badan atau dua mahkamah yang satu bernama mahkamah agung dan yang lain bernama mahkamah konstitusi. Kedua mahkamah tersebut sederajat akan tetapi dengan fungsi dan peran yang berbeda. 25

3. Mahkamah Konstitusi26

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada mahkamah konstitusi mengenai :

a. Pengujian Undang – Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang _ unang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

c. Pembubaran partai politik

d. Pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden ndiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

24

Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

25

Arifin Firmansyah DKK,Hukum dan Kuasa Konstitusi ( catatan – catatan untuk membahas rancangan Undang Undang Mahkamah Konstitusi), ( jakarta: konsorsium Reformasi Hukum Nasional ), cetakan pertama, 2004, p. 18

26


(31)

24

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksudkan Undang

– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Wewenang dan kekuasaan Mahkamah Konstitusi : Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

a. menguji Undang – Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD N RI tahun 1945: memutus pembubaran partai politik dan memutus permusuhan hasil pemilihan umum

Mahkamah Konstusi wajib memberikan putusan atas Pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden ndiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksudkan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(32)

25

4. Mahkamah Agung ( MA )27

Mahkamah Agung adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 194, MA meruapakan pengadilan Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintahan dan pengaruh pengaruh lain. MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

a. Permohonan kasasi

b. Sengketa tentang kewenangan mengadili

c. Permohonan peninjauankembali putusan pengadilan yang memiliki hukum tetap .

5. Upaya Hukum dalam sistem peradilan di Indonesia

KUHAP membedakan upaya hukum menjadi dua macam, yaitu : upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding dan bagian kedua adalah pemeriksaan kasasi. Upaya hukum luar biasa juga terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian kesatu tentang kasasi demi kepentingan hukum oleh jaksa agung, dan bagian kedua tentang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap.

Dibentuknya lembaga peninjauan kembali atau PK perkara pidana berpijak pada asas PK yang dicantumkan pada pasal 263 ayat 1 KUHAP. Pasal ini menyatakan

27


(33)

26

bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada mahkamah agung. Jika lembaga PK suatu gedung maka gedung itu didirikan diatas pondasi yaitu ketentuan dalam ayat 1 tersebut. Jika pondasi gedung pk tersebut digali dan dibongkar pastilah gedung pk tersebut runtuh tidak berguna lagi. Sebagaimana dalam rumusan pasal 263 ayat ( 1) tersebut, asas pokok peninjauankembali terdiri dari tiga fondasi/ landasan kokoh dalam suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tiga landasan tersebut adalah :

a. Perminaan peninjauankembali dapat diajukan hanya terdapat putusan pemidanaan saja.

b. Permintaan peninjauankembali dapat diajukan hanya terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

c. Permintaan Peninjauankembali dapat diajukan hanya oleh terpida atau ahli warisnya saja.

Ketentuan ayat 1 tersebut sangat jelas dan tegas sehingga tidak apat ditafsirkan lagi, sesuai adagium interpretatio cecat in claris. Jika teks/kata kata atau redaksi Undang _ undang telah t6erang dan jelas, maka tidak dipernankan untuk ditafsirkan. Bahwa PK semata mata ditujukan bagi kepentingan terpidana dan ahli warisnya, sebagai jiwa atau nyawa dibentuknya lembaga Peninjauankembali. Dapat dicari pada dua landasan, yaitu filosofis dan sejarah


(34)

27

lembaga peninjauan kembali.28 Peninjauankembali adalah hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam menjatuhkan putusannya. Dalam KUHAP tidak dijelaskan apa maksud dari peninjauan kembali tetapi dijelaskan dalam pasal 263 ayat ( 1) KUHAP bahwa terhadap putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat dimintakan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 24 ayat ( 1) Undang –Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak - pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauankembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang Undang.29

Pasal 263 ayat ( 2) memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauankembali, yang dituangkan pemohon dalam surat permintaan peninjauan kembali dalam surat permintaan atau permohonan peninjauankembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan. Alasan pokok yang ada dalam pasal tersebut adalah30

28

Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali ( PK ) perkara Pidana : penegak Hukum alam praktik penyimpangan dan peradilan sesat, (Jakarta : Sinar Grafika), cetaan kedua, 2011, p.7

29

Dikutip dari penelitian Thesis tentang Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana oleh Ristu darmawan , p. 16

30

M.Yahya Harahap,S.H., Pembahasan Permasalahan dan pennerapan KUHAP( pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali), (jakarta : Sinar grafika ) edisi kedua, cetakan ke sembilan, tahun 2007, p. 622


(35)

28

1. Apabila ada keadaan baru atau Novum yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan yang kuat. 2. Apabila dalam pelbagai keputusan terdapat saling pertentangan yakni

pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara akan tetapi dalam putusan dalam perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

3. Apabila terdapat kehilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan.

Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang undang diterapkan secara tepat dan adil. Selain itu mahkamah agung juga akan mengisi kekosongan hukum terhadap aturan –aturan yang belum diatur, dengan cara mengeluarkan hukum sendiri untuk adanya kepastian hukum. Sedangkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang mengeluarkan putusan tentang peninjauan kembali lewat putusannya no 34/ PUU-XI/2013, nyatanya memberikan umpan yang negative dan juga positif terhadap sistem hukum di Indonesia.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Regulasi dalam upaya hukum PeninjauanKembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian


(36)

29

hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma yang meliputi asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.31 Dan merupakan penelitian kepustakaa yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari data yang terdapat dalam buku-buku, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian.

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah pengajuan permohonan peninjauankembali lebih dari satu kali yang kemudian ruang lingkup penelitian ini akan difokuskan pada suatu studi tentang regulasi atau aturan upaya hukum peninjauankembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013.

3. Sumber Bahan Hukum

Sebagai konsekuensi dari penelitian normatif maka data yang akan digunakan dalam penelitian ini secara keseluruhannya bersumber dari Data sekunder yang meliputi:32

a. Bahan hukum primer: yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar yang termasuk didalamnya amandemen terhadapnya, Undang-Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013 dan sebagainya.

31

Mukti Fajar ND da Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h: 34.

32

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, h:14.


(37)

30

b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer yang diperoleh peneliti melalui hasil penelitian buku-buku literatur, kamus hukum, teks-teks tentang hukum termasuk didalamnya adalah literatur-literatur yang diperoleh dari berbagai sumber media massa, serta penelitian terdahulu. c. Bahan hukum tersier: yaitu bahan hukum yang dapat menunjang

keterangan ataupun data yang terdapat dalam bahan-bahan hukum primer maupun sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus bahasa inggris, ensiklopedia dan lain sebagainya.

4. Metode Pendekatan.

Sebagai konsekuensi dari penelitian normatif, maka penelitian terhadap Regulasi dalam upaya hukum PeninjauanKembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013 ini menggunakan tiga macam metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yaitu suatu metode pendekatan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani serta menggunakan pendekatan konseptual yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dengan doktrin-doktrin di dalam Ilmu Hukum33. Dan selanjutnya menggunakan pendekatan historis ( historical Approach ) yaitu suatu metode pendekatan dengan menelaah sejarah daripada upaya hukum peninjauan kembali.

5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

33


(38)

31

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu:

a. Studi Dokumen, yakni diperoleh dengan mengkaji berbagai pearaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian ini dan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai legalisasi peninjauankembali lebih dari satu kali dengan mengabulkan uji materi UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP terhadap UUD N RI.

b. Studi kepustakaan, yakni dengan cara menelaah atau mengkaji serta membahas sumber dari literatur-literatur yang ada dan terkait dengan permasalahan yang diteliti yang diperoleh dari buku pustaka atau buku bacaan lain yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan, kerangka dan ruang lingkup permasalahan.

6. Analisa Bahan Hukum

Bahan Hukum yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yang menekankan pada penalaran dengan menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh disertai dengan penjelasan secara logis dan sistematis dengan menguraikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan perspektif atau sudut pandang tertentu yang disajikan dalam bentuk narasi sebagai proses untuk merumuskan suatu kesimpulan. A. Sistematika penelitian

Dalam menyajikan penulisan ini, penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:


(39)

32

Pada bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Adapun bab kedua adalah penjelasan tentang sistem peradilan dan upaya hukum di Indonesia pasca Amandemen , meliputi kekuasaan kehakiman yang terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan luar biasa .

Pada bab ketiga penulis memamparkan hasil penelitian dan pembahasan, alasan yuridis Mahkamah Konstitusi melegalkan upaya hukum peninjauan kembali lebih dari satu kali.

Pada bab keempat adalah regulasi yang seharusnya mengatur peninjauankembali pasca putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 34/PUU-XI/2013 demi memenuhi kepastian hukum.

Pada bab kelima penutup. Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan penulis dan rekomendasi penulis berbasis pada hasil penelitian yang penulis lakukan.


(40)


(41)


(42)

1

BAB II

SISTEM PERADILAN DAN UPAYA HUKUM DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN

Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam tesis ini penulis menjelaskan beberapa konsep terkait upaya hukum dalam sistem peradilan di Indonesia khususnya tentang kekuasaan kehakiman yang meliputi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta upaya hukum yang meliputi upaya hukum biasa dan luar biasa..

A. Kekuasaan Kehakiman

Negara kesatuan republik Indonesia adalah Negara Hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna Hukum dan keadilan berdasarkan Undang Undang dasar Republik Indonesia tahun 1945. Melintas sejarah lembaga peradilan setelah Indonesia merdeka diawal kemerdekaannya belum terlihat adanya perubahan terhadap lembaga peradilan. Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan Undang – Undang Dasar 1945, maka susunan pengadilan masih menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang – Undang No 34 tahun 1942 tersebut diatas. Perubahan mulai terjadi setelah dikeluarkanya Undang – Undang No 19 tahun 1948. Undang –Undang ini bermaksud melaksanakan pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman sekaligus juga mencabut Undang undang No 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan mahkamah agung dan kejaksaan agung. Menurut pasal 6 Undang- Undang No.19 tahun 1948 dalam Negara Republik Indonesia dikenal adanya tiga lingkungan peradilan yaitu:1

1. Peradilan umum

1

Moch Yuihadi , SH., Sejarah Lembaga Peradilan di Indonesia Manfaatnya bagi perkembangan Hukum di Masa Datang, p. 11


(43)

2

2. Peradilan tata usaha pemerintahan 3. Peradilan ketentaraan

Selanjutnya pasal 10 ayat 1 menyebutkan tentang sebagai “ pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang memeriksa dan memutus perkara perkara yang menurut hukum yang hidup

dalam masyarakat desa”. Tentang peradilan agama tidak disebutkan oleh undang undang No

19 tahun 1948 itu, hanya dalam pasal 35 ayat 2 ditetapkan bahwa perkara perkara perdata antara orang islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh pengadilan negeri, yang terdiri dari seorang hakim beragama islam, sebagai ketua dan dua orang hakim agama sebagai anggota.

Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan di dalam Konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan UUD 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik maka didalam KRIS diatur pula tentang syarat – syarat pengangkatan, penghentian, pemecatan kecakapan dan kepribadian daripada hakim. Badan –badan peradilan yang ada seperti badan peradilan umum tetap dipertahankan termasuk peradilan swapraja tetap dilanjutkan kecuali peradilan swapraja di Sumatra telah dihapuskan dengan Undang – Undang No 23 tahun 1947. Peradilan adat tetap dipertahankan demikian juga peradilan agama. KRIS telah mengatur pula peradilan tata usaha sekalipun belum ada peraturan pelaksanaannya.

Perubahan terhadap lembaga pengadilan kembali terjadi setelah republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan, ketika Negara RIS menggunakan KRIS, namun setelah RI menjadi Negara kesatuan KRIS tidak lagi digunakan yang digunakan adalah UUDS ( Undang Undang Sementara. Perubahan ini dengan sendirinya berpengaruh kepada lembaga peradilannnya karena UUDS tidak lagi mengenal daerah daerah atau Negara Negara bagian, berarti pula tidak dikenal lagi pengadilan pengadilan di daerah bagian, berarti pula tidak dikenal lagi


(44)

3

pengadilan pengadilan di daerah bagian. Sebagai realisasi dari UUDS maka pada tahun 1951 diundangkanya UU Darurat No.1 Tahun 1951. UU Darurat inilah yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa pengadilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan termasuk secara berangsunr – angsur menghapuskan pengadilan tertentu dan semua pengadilan adat. Melalui dekrit presiden 5 juli 1959 negara republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang sampai sekarang masih berlaku, sekalipun telah mengalami amademen. Sejak mulai berlakunya UUD 1945 lembaga pengadilan telah berbeda jauh dengan lembaga pengadilan sebelumnya. Sejak saat itu tidak dijumpai lagi swapraja, peradilan adat, peradilan desa namun badan badan peradilan telah berubah dan berkembang. Berdasarkan pasal 10 Undang Undang NO 14 Tahun 1970 menyebutkan adanya empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara.2

Kemudian setelah jatuhnya pemerintahan orde baru yang disertai dengan tuntutan reformasi disegala bidang termasuk hukum dan peradilan, maka para Hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia mendesak pemerintahan supaya segera mereformasi lembaga peradilan. Karena kekuasaan pengadilan yang ada saat itu masih belom bisa dipisahkan dari eksekutif oleh karena untuk urusan administrasi dan financial masih dibawah menteri kehakiman yang merupakan pembantu presiden. Perjuangan menjadi kekuasaan yudikatif yang mandiri dibawah mahkamah agung itu berlangsung cukup lama hingga kemudian mengalami perkembangan yang cukup mendasar, yakni setelah dikeluarkanya Undang Undang No 35 tahun 1999 tntang perubahan atas undang – undang No 4 tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dari sinilah kemudian keempat lingkungan

2


(45)

4

peradilan dikembalikan menjadi yudikatif dibawah satu atap Mahkamah Agung3. Undang – Undang itu sendiri kemudian dicabut dengan berlakunya Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman untuk menyesuaikan dengan adanya amandemen UUD 1945. Dengan berlakunya Undang Undang No 4 tahun 2004, kembali terjadi perubahan yang mendasar terhadap badan/ lembaga peradilan di Indonesia. Perubahanini tidak saja terjadi pada elemen lembaganya, melainkan perubahan itu terjadi pada pengorganisasianya baik mengenai organisasinya, administrasinya, dan financial, yakni semula berada dibawah kekuasaan kehakiman menjadi berubah dibawah kekuasaan Mahkamah Agung . oleh karena itu Hal – hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan financial lembaga pengadilan bukan menjadi urusan departemen hukum dan Ham melainkan menjadi urusan mahkamah agung. Sementara itu organisasi administrasi dan financial badan badan peradilan lainnya untuk masing masing lingkungan peradilan diatur dalam undang undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing masing. Perubahan pada elemen kelembagaan yakni ditandai dengan dilahirkanya Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang bertugas membentengi penyelewengan dan penyimpangan terhadap undang – undang Dasar.

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokratis haruslah mendiri dan terlepas dari campur tangan apapun dan dari manapun. Bagir Manan menyebutkan bahwa ada beberapa alasan kekuasaan kehakiman haruslah mandiri, yaitu:4

a) kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia;

3

Prof. Drs. C.S.T. Kansil ,SH., Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., Hukum Tata Negara Republik Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka cipta), cetakan 1,p. 161,

4


(46)

5

b) Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi;

c) Kekuasaan kehaiman yang mandiri diperlukan utuk menjamin netralitas terutama apabila terjadi sengketa antara warga negara dengan negara/pemerintah;

d) Penyelesaian sengketa oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik.

Penegasan kekuasaan kehakiman yang independen dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945, yang menyatakan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”

Kemudian dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen menyatakan:

“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah menggariskan beberapa prinsip pokok tentang kekuasaan kehakiman, yakni:

a) Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia;5

b) Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (peradilan Umum, Peradilan agama, peradilan milter, PTUN, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi) dengan tugas pokok untuk

5


(47)

6

menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.6

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu Negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas tanpa campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun. Dan dalam bentuk apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidak berpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengadakan penataan ulang lembaga yudikatif dan peningkatan kualifikasi hakim dan penataan ulang perundang perundangan yang berlaku. Impliksi dari ketentuan tersebut maka amandemen UUD 1945 membagi kekuasaan lembaga yudikatif dalam tiga kamar tricameral yaitu MA ( Mahkamah Agung), MK ( Mahkamah Konstitusi) dan KY ( Komisis Yudisial ).7

Pengertian kekuasaan kehakiman :

1. Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 yaitu pertama kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain lain badan kehakiman menurut undang undang, kedua sususan dan kekuasaan badan badan kehakiman itu dengan undang undang.

2. Menurut amandemen ketiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 yaitu pertama kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan yang menegakkan hukum dan

6

Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

7

Titik Tiwulan Tutik, S.H., M.H.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,( Jakarta: Cerdas pustaka publisher), p. 247, cetakan pertama, 2008.


(48)

7

keadilan, kedua kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

3. Menurut amandemen keempat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 yaitu badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang – undang.

Konsekuensi dari Undang –Undang kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan financial badan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Sebelumnya pembinaan badan –badan peradilan berada dibawah eksekutif ( Departemen kehakiman dah HAM, Departemen Agama, departemen Keuangan)dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada dibawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung:8

1. Organisasi, Administrasi, dan finiansial pada Direktorat jenderal badan peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara departemen kehakiman dan bak asasi manusia, pengadilan tinggi, pengadilan tinggi tata usaha Negara, pengadilan Negeri dan pengadilan Tata Usaha Negara terhitung sejak tanggal 31 maret 2004 dialihkan dari departemen kehakiman dan Hak asasi Manusia ke Mahkamah Agung.

2. Organisasi administrasi dan financial pada direktorat pembinaan peradilan agama departemen agama, pengadilan tinggi agama / Mahkamah Syariah propinsi dan

8

Yosaphat Bambang Suhendarto,SH., dalam Tesisnya yang berjudul “ Kekuasaan Kehakiman Pasca AmandemenUUD 1945”,Semarang : Universitas Diponegoro,p. 49


(49)

8

pengadilan agama/ Mahkamah syariah, terhitung sejak tanggal 30 juni 2004 dialihkakan ke departemen agama Mahkamah Agung.

3. Organisasi, administrasi dan financial pada pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, dan militer utama , terhitung sejak tanggal 1 september 2004 dialihkan dari TNI ke PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organic mahkamah agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI. Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, asset, keuangan, arsip/ dokumen dan anggaran menjadi berada dibawah Mahkamah Agung.

Kemudian dalam penulisan ini, penulis akan sajikan penjelasan lebih dalam lagi tentang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

1. Mahkamah Agung

Doktrin Trias politika cikal bakalnya bukan dari montesqiu yang kemudian dikenal sebagai penyempurna doktrin pemisahan kekuasaan tersebut. Adalah John Locke (1634-1704) yang mengemukakan untuk pertama kalinya, ide tentang pembagian kekuasaan ( distribution of power) yang diartikan sejara menejerial dalam kaitan dengan keharusan untuk mengatur kekuasaan dalam Negara agar tidak tumpang tindih. Konsep ini lebih merupakan kinerja hukum Administrasi jika dibandingkan dengan Hukum Tata Negara. Dasar pemikiran yang dikemukakan pada saat itu adalah dicegahnya kekuasaan yang berpusat pada satu tangan sebagai sebuah kekuasaan yang absolute yang pasti tidak memberikan perlindungan maksimal kepada rakyat dan kinerja Negara tidak akan tertata dengan baik. Konsep distribution of power John Locke adalah :


(50)

9

1. Kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan Undang – Undang sebagai Produk hukum yang harus dijadikan pegangan oleh semua elemen di dalam Negara.

2. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan peraturan dan undang undang termasuk didalamnya kekuasaan untuk mengadili pelangggaran terhadap undang undang.

3. Kekuasaan federative ialah seluruh kekuasaan yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan di dalam Negara terutama sekali dalam hubungannya dengan upaya dari pertahanan dari kejahilan Negara lain.

Menurut CF strong pembagian kekuasaan seperti itu dikarenakan adanya proses normal dari spesialiasi fungsi, fenomena ini bisa diamati pada semua bidang pemikiran dan tindakan yang disebabkan peradaban semakin bergerak maju, bertambahnya bidang aktivitas dan karena organ – organ pemerintahan menjadi semakin kompleks.9

Republik Indonesia sendiri tidak menganut ajaran Trias Politica dalam arti separation of powers akan tetapi menurut para pakar hukum, Indonesia menganut asas distribution of powers. Sebagai buktinya, wewenang untuk membuat Undang-Undang bukan merupakan monopoli legislatif tetapi juga dimiliki eksekutif (presiden) walaupun sebatas pada pengajuan Rancangan Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) Amandemen Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Namun demikian, prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (bebas) yang diterapkan pada lembaga yudikatif di Indonesia sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Trias Politica.

9

Abdul Ghofar, S.Pd.I., S.H., M.H., Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dengan delapan Negara Maju, ( Jakarta : Kencana ) 2009, cetakan pertama, p. 11


(51)

10

Kekuasaan kehakiman hanya dimiliki oleh lembaga yudikatif dan tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan-kekuasaan lain. Hal ini ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1) Amandemen Ketiga

UUD 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sendiri diserahkan kepada badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Selain itu, atas amanat Amandemen Ketiga UUD 1945, dibentuk pula suatu lembaga yudikatif bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Mengenai hal ini

diuraikan dalam Pasal 24 ayat (2), yaitu “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Dari rumusan pasal

tersebut Mahkamah Agung bukanlah satu satunya pelaku kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas dan kewenangan Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.10

Dalam perjalanan Mahkamah agung sampai dengan saat ini telah menempuh jalan panjang sebagaimana diamatkan UUD 1945 pasal 21 dan dipengaruhi dengan sejarah kehidupan bangsa dan Negara RI yang tidak be Masa penjajahan belanda atas bumi Indonesia selain mempengaruhi roda pemerintahan juga sangat besar pengaruhnya terhadap peradilan di Indonesia. Dari masa penjajahan oleh Belanda kemudia oleh inggris dan masa kembalinya pemerintahan hindia belanda. Pada masa penjajahan belanda Hoogerechtshoof merupakan Pengadilan Tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan wilayah Hukum meliputi seluruh Indonesia. Hoogerechtshoof beranggotakan seorang ketua, 2 orang anggota, seorang prokol jenderal, 2 orang advokat jenderal dan seorang panitera dimana perlu dibantu seorang


(52)

11

panitera muda atau lebih. Jika perlu gubernur dapat menambah susunan Hoogerechtshoof dengan seorang wakil dan seorang atau lebih anggota. Setelah kemerdekaan tepatnya tanggal 19 agustus 1945 Presiden Soekarno melantik/ mengangkat Mr. Dr. R.S.E Koesoemah Atmadja sebagai ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 19 agustus merupakan tanggal disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan cabinet presidential pertama di Indonesia. Mahkamah Agung terus mengalami Dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan. Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Jogjakarta sebagai ibukota Republik Indonesia pada saat itu terdapat dua lembaga peradilan tertinggidi Indonesia yaitu Hoogerectshoof di Jakarta dan Mahkamah Agung di Jogjakarta.

Kemudian terjadi kapitulasi jepang yang merupakan Badan tertinggi disebut Saikohooin yang kemudia dihapus dengan Osamu Seirei ( Undang – Undang No.2 Tahun 1944). Pada tanggal 1 januari 1950 Mahkamah agung kembali kejakarta dan mengambil alih gedung dan personil serta pekerjaan Hoogerechtshoof. Dengan demikian maka para anggota Hoogerechtshoof dan procureur General meletakkan jabatan masing – masing dan pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat ( MA-RIS). Dapat dikatakan sejak diangkatnya Mr. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai ketua Mahkamah Agung, secara operasional pelaksanaan kekuasaan kehakiman di bindang pengadilan Negara Tertinggi adalah sejak disahkannya kekuasaan dan hukum Acara Mahkamah agung yang ditetapkan tanggal 9 mei 1950 dalam Undang – Undang No 1 Tahun 1950 tentang susunan kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut mahkamah Agung telah dua kali melantik dan mengambil sumpah presiden Soekarno yaitu tanggal 19 agustus 1945 sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan


(53)

12

tanggal 27 Desember 1945 sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).11 Mahkamah Agung memiliki tugas-tugas dan fungsi-fungsi dalam melaksanakan perannya sebagai pengadilan negara tertinggi, sebagaimana yang akan dijelaskan sebagai berikut:12

a. Fungsi peradilan

Sebagai pengadilan Negara tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-Undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.13

b. Fungsi pengawasan

Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan

11

https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia, sejarah Mahkamah Agung RI

diakses pada tanggal 21 juni 2015.

12

https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf Mahkamah agung Republik Indonesia, Kilas Balik Pengabdian Mahkamag Agung RI, ( Jakarta : Mahkamah Agung RI 2011) , p. 19 diakses pada tanggal 21 juni 2015.

13


(54)

13

tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim. Selain itu, pengawasan juga dilakukan terhadap penasehat hukum dan notaris sepanjang yang menyangkut peradilan.

c. Fungsi mengatur

Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-Undang.

d. Fungsi nasehat

Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi dan rehabilitasi. Hal ini juga diatur dalam Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. e. Fungsi administratif


(55)

14

Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 secara organisatoris, administratif dan finansial saat ini berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

Mahkamah agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkup peradilan yang ada yang dalammenjalankan tugasnya terbebas dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, susunan Mahkamah Agung Terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan sekretaris Jenderal. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketuadan beberapa orang ketua muda. Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Hakim Agung diangkat oleh presiden selaku kepala Negara. Daftar nama calon Hakim Agung diusulkan melalui dewan perwakilan Rakyat. Calon Hakim Agung dapat berasal dari kalangan Hakim karier maupun dari kalangan luar Hakim Karier sepanjang disusun berdasarkan konsultasi antara Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Mahkamah Agung dimana pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi lembaga masing – masing. Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi :

a. Pelaksana putusan Mahkamah Agung

b. Wali, Pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya

c. Penasihat hukum d. Pengusaha


(56)

15

Meskipun Mahkamah Agung merupakan pengadilan Tertinggi bukan berarti terhadap Putusan – putusannya tidak dapat dilakukan Upaya Hukum, melainkan apat ditempuh melalui permohonan peninuan kembali dengan persyaratan tertentu demi tegaknya hukum dan keadilan. 14 tugas dan wewenang Mahkamah Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap. Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengkaji secara materiil terhadap peraturan perundang undangan di bawah undang – undang dan berwenang me nyatakan tidak sah semua peraturan perundang undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang – undang atas alas an bertentangan dengan aturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian undang – undang tidak dapat diganggu gugat. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi sedangkan pencabutan perundang undangan yang bersangkutan dilakukan oleh instasi yang bersangkutan. Berbeda dengan pasal 31 Undang – Undang No 14 tahun 1985 tersebut Jo. Pasal 26 Undang – undang No 14 tahun1970 maka pasal 5 TAP MPR NO.III/MPR/2000 menentukan bahwa pengkajian atau pengujian peraturan perundang undangan di bawah undang – undang oleh Mahkamah agung itu bersifat aktif dalam arti dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi sedangkan pengujiannya bersifat mengikat.

Disamping itu Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam bidang Hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga Tinggi Negara untuk pemberian atau penolakan Grasi, selanjutnya mahkamah agung mempunyai wewenang pengawasan meliputi jalannya peradilan, pekerjaan peradilan dan tingkah laku para Hakim disemua lingkungan peradilan, pekerjaan penasihat Hukum, dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan dan

14

Prof . Dr. Hasanudin Af, MA DKK, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta: UIn Jakarta Press), cetakan 1,p. 201


(57)

16

pemberian peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan . Makamah Agung dapat pula minta keterangan dan pertimbangan dari pengadilan di semua lingkungan peradilan, jaksa Agung, dan pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana. Mahkamah Agung diberi kewenangan juga untuk membuat perarturan sebagai pelengkapan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Berikut peradilan yang dibawahi oleh Mahkamah Agung :

Selain itu bagan organisasi Mahkamah Agung bisa dilihat pada gambar dibawah ini :


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Chazawi, Adami. Lembaga Peninjauan Kembali Perkara Pidana: Penegak Hukum Alam

Praktik Penyimpangandan Peradilan Sesat. Jakarta: Sinar Grafika. 2011

Darmodiharjo Darji,dan Sidharta. Pokok- Pokok filsafat Hukum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka. 2006

Dimyati. Khudzaifah. Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Suakarta: Muhammadiyah University Press.2005

Fajar, Mukti. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan empiris, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2010

Firmansyah, Arifin, DKK. Hukum dan Kuasa Konstitusi ( catatan – catatan untuk membahas rancangan undang undang Mahkamah Konstitusi ). Jakarta: Konsorium reformasi Hukum Nasional . 2004

Friedman, Lawrence. Law and Society. New York: Prentice Hall. 2007

Ghofar Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dengan delapan Negara Maju, Jakarta : Kencana. 2009 Hadisuprapto Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jogjakarta: Liberti Jogjakarta. 2001


(2)

Harahap M. Yahya. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP( pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali ), Jakarta : Sinar Grafika. 2007

Husein , Harun. Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. 2002

Ismatulloh, Deddy. Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif ( Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama). Bandung : CV Pustaka Setia. 2007

Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 1986

_______________ , DKK., Hukum Tata Negara Republik Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Rineka cipta

Mahfud, Mohammad. Dasar dan struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka cipta. 2001

Mahmud .abdulloh dan Y. suyoto Arif. Tata Negara, ponorogo : darusalam Press. 1992 Mahmud, Peter M. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana. 2010

Manan, Bhagir. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab. Jakarta: Tim LELP. 2002

Marpaung, Leden. Perumusan Memori Kasasi dan peninjauan Kembali perkara Pidana. Jakarta: Sinar grafika.2004


(3)

Nawawi Barda Arief. Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Prespektif Kajian . 2005 Padmo. Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta: INDHILL. 1989

Pandu Yudha, Kamus Hukum, 2008, Jakarta:cv Karya Gemilang

Sidabutar Mangasa . Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum ( Penganar Praktis Tentang Pemahaman Upaya Hukum), Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1999

Soekanto, Soerjono. , DKK. Penelitian Hukum Normativ suatu tinjauan singkat . Jakarta :Raja Gravindo persada. 2010

Soetami A. Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung : Refika Aditama 2009

Sofyan Andi, S dkk. Hukum Acara PIdana Suatu Pengantar, Jakarta: Prenadamedia Group. 2014

Tanya ,Benart L. dkk., Teori Hukum strategi Tertib manusia Lintas ruang dan Generasi, Surabaya: CV Kita

Tasrif S. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1989

Thahir, M. Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana. 2003

Triwulan, Titik Tutik. Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher. 2008


(4)

Wahidin , Samsul. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Jogjakarta : Pustaka Pelajar. 2007

Yahya, M. Harahap. Pembahasan Permasalahan dan pennerapan KUHAP( pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali), jakarta : Sinar grafika. 2007

,

Jurnal, Majalah dan Makalah

Jurnal Hukum. Volume 7 Nomor 6. 16 maret 2014.

Jurnal Konstitusi. Volume 4 Nomor 3. September 2007.

Jurnal Konstitusi. Volume II Nomor 2. November 2010.

Jurnal Konstitusi. Volume 7 Nomor 6. Desember 2010.

Jurnal Konstitusi. Volume 10 Nomor 3. September 2013.

Jurnal Konstitusi. Volume 11 Nomor 1. Maret 2014.

Jurnal Majlis. Volume 1 Nomor 1. Agustus, 2009.

Majalah Konstitusi. Nomor 88. juni 2014.

Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan Pada: Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003.


(5)

Gaffar, Jenedjri M. Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RepublikIndonesia. Makalah disampaikan di Surakarta 17 Oktober 2009. Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Data Elektronik:

Ayu, Tri Jata Pramesti, , Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518228f47a2e9/perbedaan-mahkamah-agung-dengan-mahkamah-konstitusi,

Zulkifli Muhammad, mewujudkan indepedensi Mahkamah Agung dalam pengelolaan Sumber daya Keuangan dan manusia, 20 Oktober 2014 ,

http://www.kompasiana.com/muhasrizul/mewujudkan-independensi-mahkamah-agung-dalam-pengelolaan-sumber-daya-keuangan-dan-manusia

Yogi, Anugrah Pranata,Mahkamah Agung, 18/11/2013,

http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mahkamah-agung/

Tim KHN, “Putusan MK tentang PK menerobos Kesesatan dalam Peradilan, dalam Dialog Tim KHN”, 4 desember 2014,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt535504dacd13f/putusan-mk-tentang-pk--menerobos-kesesatan-dalam-peradilan,

Robekka , Deytri Aritonang, “Mahkamah Konstitusi kabulkan gugatan Antasari bisa PK


(6)

http://nasional.kompas.com/read/2014/03/06/1615569/MK.Kabulkan.Gugatan.An tasari.Bisa.PK.Berkali-kali,

Hasanudin Af, MA DKK, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: UIn Jakarta Press , https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf Mahkamah agung

Republik Indonesia, Kilas Balik Pengabdian Mahkamag Agung RI, ( Jakarta : Mahkamah Agung RI 2011) , diakses pada tanggal 21 juni 2015.

Ibrahim Jufri, Lembaga peradilan di indonesia, tanggal 31 mei 2012