JURNAL MUHAMMAD YUSUF CANARISLA

(1)

PEMIKIRAN NASIONALISME ARAB MUAMMAR QADHAFI (1969-1977)

Dosen Pembimbing: Dr. Istadiyantha, M.S.

Muhammad Yusuf Canarisla

Prodi Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected]

ABSTRAK

Pemikiran nasionalisme Arab merupakan manifestasi Muammar Qadhafi dalam melawan segala bentuk imperialisme asing di tanah Arab. Penelitian ini membahas bagaimana pemikiran nasionalisme Arab yang dilakukan oleh Muammar Qadhafi serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pemikirannnya tersebut. Teori yang digunakan adalah teori sejarah pemikiran yang disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini adalah bentuk ideologi Qadhafi yang berorientasi kepada tercapainya persatuan bangsa Arab. Pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi muncul sebagai bentuk ketidakpuasan atas imperialisme asing dalam berbagai bidang kehidupan. Upaya mewujudkan pemikiran tersebut dimulai Qadhafi sejak Revolusi Al-Fâtih tahun 1969 hingga terbentuknya Federation of Arab Republic tahun 1972 dan Republik Islam tahun 1974.

Kata Kunci: Nasionalisme Arab, Persatuan Arab.

PENDAHULUAN

Kebangkitan modern di dunia Arab bermula dengan didudukinya Mesir oleh Perancis pada tahun 1798. Sebelum itu, negara-negara Arab hampir semuanya tak menyadari kemajuan pesat yang telah dialami oleh Barat pada abad-abad berikutnya, semenjak perjumpaan terakhir mereka dengan Barat semasa Perang Salib1. Setelah tahun-tahun tersebut, abad ke 19 menjadi bagian dari awal kebangkitan bangsa Arab melawan penjajahan dari bangsa Barat.

Sebagian besar penduduk negara-negara Arab memandang dirinya dan dipandang oleh orang lain sebagai bangsa Arab. Sentimen nasionalisme Arab ini berdasar atas segala sesuatu yang dimiliki bersama, yakni bahasa, budaya, pengalaman sosial politik, kepentingan ekonomi, dan memori kolektif berkaitan

1Hazem Zaki Nuseibeh, 1969, Gagasan-gagasan Nasionalisme Arab, Jakarta: Bhratara, halaman


(2)

dengan posisi dan peranan mereka dalam sejarah2. Sentimen ini kemudian berkembang menjadi semangat perlawanan terhadap imperialisme asing yang menjangkiti negara-negara Arab.

Dominasi kekuasaan asing di tanah Arab mulai memberikan sinyal negatif bagi tumbuh kembangnya dunia Arab, persis seperti yang dilakukan oleh Inggris di Mesir, Amerika Serikat di Arab Saudi, Prancis di Levant (Suriah dan Libanon), dan Inggris bersama sekutunya Amerika Serikat di Libya. Imperialisme Barat terhadap negara-negara Timur Tengah di awal abad 19 ini tidak hanya menimbulkan kekacauan politik dan penindasan semata, tetapi juga menghilangkan identitas bangsa Arab. Oleh sebab itu, para nasionalis Arab bergerilya untuk mewacanakan kembali identitas bangsa Arab. Salah satunya adalah Muammar Qadhafi.

Ia beranggapan bahwa untuk memperkokoh sentemen nasionalisme Arab, negaranya sendiri harus berada dalam kedaulatan penuh atau menjadi Negara yang merdeka. Qadhafi kemudian mengubah negara monarki menjadi Negara Massa atau Jamâhiriyah pada tahun 19773. Fase ini dianggap sebagai fase perlawanan Qadhafi terhadap semua sistem yang dianggapnya merusak sistem pemerintahan. Mulai dari solusinya memecahkan problem demokrasi dengan mendirikan sistem pemerintahan Negara Massa, mengatasi problem ekonomi dengan berpijak pada sosialisme Islam, dan mengedepankan identitas sosial mendasar sebagai pondasi sebuah bangsa. Qadhafi juga menanamkan semangat persatuan Arab sejak Revolusi Al-Fâtih tahun 1969 kepada para pengikutnya. Tujuannya untuk mengintegrasikan seluruh kekuatan Arab dalam melawan imperialiasme bentuk apa pun.

Oleh sebab itu, penelitian terhadap pemikiran Qadhafi perlu dilakukan untuk mengkaji pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi terhitung sejak Revolusi Al-Fâtih 1969 hingga lahirnya Al-Kitâb Al-Akhdar (The Green Book)

2Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara Bandung: Nusa Media,

halaman 44-45.

3 John L. Esposito, 2001, Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern Jilid 6, Bandung: Mizan

halaman 82. Terjemahan oleh Eva Y.N, dkk dari judul The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World 1995 Oxford University Press.


(3)

tahun 1977. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi? Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan Muammar Qadhafi dalam mewujudkan pemikiran nasionalisme Arab tersebut?

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi serta bagaimana upaya yanng dilakukannya untuk mengimplementasikan pemikirannya tersebut.

Kerangka Teori

Penulis mencoba menjabarkan penelitian ini menggunakan sebuah pendekatan sejarah pemikiran. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih jauh bagaimana pemikiran seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan konteks pemikiran tersebut muncul, berkembang, dan mengalami fase perubahan. Kuntowijoyo menyebutkan sejarah pemikiran dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pelaku sejarah pemikiran dan tugas sejarah pemikiran. Pelaku sejarah pemikiran ini dapat dilakukan oleh perorangan, gerakan intelektual, dan pemikiran kolektif. Adapun tugas dari sejarah pemikiran antara lain untuk: membicarakan pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh pada kejadian sejarah, melihat konteks sejarahnya muncul, tumbuh, dan berkembang (sejarah di permukaan), dan pengaruh pemikiran pada masyarakat bawah4.

Sejarah pemikiran dalam tugasnya menggunakan beberapa pendekatan, yaitu kajian teks, konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya. Sebagai kajian teks, tugas sejarah pemikiran digunakan untuk mengkaji genesis pemikiran, konsistensi pemikiran, evolusi pemikiran, sistematika pemikiran, perkembangan dan perubahan pemikiran, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, dan kesinambungan pemikiran. Lalu sebagai kajian konteks, digunakan pendekatan konteks sejarah, konteks politik, konteks budaya, dan konteks sosial. Adapun mengenai hubungan antara pemikiran dengan


(4)

masyarakat, meliputi: pengaruh pemikiran, implementasi pemikiran, diseminasi pemikiran, dan sosialisasi pemikiran5.

Selain itu, pendekatan lain yang digunakan penulis ialah pendekatan mengenai nasionalisme. Nasionalisme yang dimaksud tersebut akan dipahami sebagai suatu bahasa dan simbol, suatu gerakan sosiopolitik, dan suatu ideologi bangsa. Menurut Anthony Smith, definisi nasionalisme adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan memepertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk sebuah “bangsa” yang aktual atau sebuah “bangsa” yang potensial6. Definisi tersebut merujuk pada sebuah reinterpretasi terhadap pola kenangan, simbol, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan budaya bangsa yang khas.

Metode Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan (library research). Data diperoleh dengan cara menelaah informasi yang berkaitan dengan pemikiran nasionalisme Arab maupun biografi Muammar Qadhafi serta upayanya mengimplementasikan pemikiran nasionalisme Arab sejak tahun 1969-1977. Selain itu, data penelitian ini juga didapatkan dari data-data sekunder yang diperoleh dari media internet, jurnal, skripsi, thesis, dan penelitian lain yang dianggap berkaitan. Analisis data dilakukan secara kualitatif

PEMBAHASAN

1. PEMIKIRAN NASIONALISME ARAB MUAMMAR QADHAFI

a) Sejarah Nasionalisme Arab

Dawisha menjelaskan definisi nasionalisme Arab merupakan bentuk solidaritas kemanusiaan yang mengikat bangsa Arab sebagai usaha mereka membentuk suatu kebudayaan utuh serta keinginan kuat untuk memisahkan

5Ibid, halaman 191-197.

6 Anthony D Smith, 2003, Nationalism: Theory, Ideology, History. Diterjemahkan oleh Frans


(5)

politik dan kekuasaan. Mereka memiliki ikatan emosional yang mengikat orang Arab karena memiliki bahasa, agama, dan sejarah yang sama7.

Ada beberapa istilah populer yang setara dengan terminologi nasionalisme Arab tersebut yaitu: al-qawmiya al-‘Arabiya (Arab

nationalism), al-‘Uruba (Arabism), al-Wahda al-‘Arabiya (Arab unity), al -Ittihad al-‘Arabi (Arab union), al-Iqlimiya (regionalism), dan al-Wataniya (state patriotism). Sebutan-sebutan tersebut merupakan yang paling sering

muncul dalam pidato para pemimpin Arab, radio, editorial surat kabar, buku politik, dan pamflet8.

Sebelum memasuki zaman modern, nasionalisme sebenarnya sudah tumbuh subur di tanah Arab. Indikasi ini mengacu pada besarnya peradaban Islam. Sebab, gerakan Islam untuk pertama kalinya dapat mempersatukan bangsa Arab sehingga nasionalisme Arab berhutang budi kepada Islam9. Selama Islam terbatas pada jazirah Arab, istilah persatuan Arab dan persatuan Islam menjadi sama artinya. Setelah itu, Islam memasuki masa-masa sulit ketika perkembangannya mengalami stagnasi di pelbagai bidang kehidupan.

Nasionalisme Arab mulai menghangat di kalangan para nasionalis ketika isu imigrasi bangsa Yahudi ke Palestina berkembang di kalangan masyarakat Arab. Akibatnya, pecahlah demonstrasi hingga munculnya gerakan revolusi menentang kehadiran bangsa Yahudi di tanah Palestina tersebut. Revolusi tahun 1936-1939 dianggap sebagai pemberontakan terbesar dalam tiga tahun karena melibatkan kurang lebih 3000 masyarakat Arab, 2000 masyarakat Yahudi, dan 600 masyarakat Inggris. Konflik ini membawa kesadaran solidaritas bangsa Arab dan Muslim, meskipun pada akhirnya bangsa Arab mengalami kekalahan memalukan dengan kelahiran Israel. Setelah tahun-tahun berikutnya, Israel sebagai bangsa Yahudi tersebut menjadi musuh besar negara-negara Arab.

Puncak dari nasionalisme Arab modern terjadi pada 1 Februari 1958. Hal ini ditandai dengan terbentuknya United Arab Republic (UAR) gabungan dari

7 Adeed Dawisha, 2003, Arab Nationalism: In Twentieth Century, United States of America:

Princeton University Press, halaman 13.

8Ibid, halaman 11.


(6)

negara Mesir dan Syria. Awalnya calon Perdana Menteri Syria, Khalid al-‘Azm meminta kepada Presiden Naseer untuk mempersatukan kedua lembaga dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan urusan luar negeri. Akan tetapi, Naseer berpandangan persatuan bangsa Arab akan mendapat tentangan keras dari Inggris, Amerika, dan Uni Soviet10. Ide persatuan bangsa Arab ini kemudian mengalami penolakan keras oleh negara-negara monarki seperti Arab Saudi, Jordania, Libanon, dan Iraq yang notabene sangat dekat dengan Barat (Amerika).

Tidak sampai satu dekade gelombang nasionalisme Arab mulai menampakkan kemunduran. Awalnya ditandai dengan konflik yang ada di tubuh Iraq dan Syria dalam mendukung Naseer. Sebaliknya, Naseer juga dihinggapi mosi tidak percaya dengan kabinet yang diisi oleh orang-orang Iraq maupun Syria dalam kabinet UAR. Dampaknya begitu signifikan, serangan udara Israel dalam Perang Enam Hari Juni 1967 secara cepat berhasil menghancurkan kekuatan Mesir, Syria, dan Jordania. Tahun-tahun kelam berikutnya ditandai dengan kematian Naseer dan kelahiran nilai-nilai Arabisme yang baru. Salah satu nilai-nilai nasionalisme Arab yang baru itu dibawa oleh Muammar Qadhafi.

b) Pemikiran Nasionalisme Arab Muammar Qadhafi

Nasionalisme Arab Qadhafi merupakan salah satu nilai yang diperjuangkan Qadhafi ketika melakukan Revolusi Al-Fâtih. Revolusi tersebut pada awalnya digagas oleh sekelompok perwira pimpinan Qadhafi yang bertujuan untuk melawan kekuatan monarki rezim Raja Idris11.

Tiga prinsip fundamental yang dibawa dalam revolusi yaitu: kebebasan (liberty), persatuan (unity), dan sosialisme (socialism). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari kemiskinan, penjajahan dan dominasi asing di dalam negeri baik secara militer ataupun lainnya. Persatuan adalah persatuan rakyat Arab dengan membentuk satu pemerintahan Arab atau federasi dari berbagai pemerintahan kecil yang disesuaikan dengan keadaan.

10Adeed Dawisha, op.cit, halaman 186-187.

11Lillian Craig Harris, 1986, Libya: Qadhafi’s Revolution and The Modern State, United States of


(7)

Adapun sosialisme yang dimaksud merupakan sosialisme Islam12. Revolusi yang digerakkan oleh Qadhafi merupakan kepanjangan gerakan Pan-Arabisme rintisan Jamal Abdul Naseer. Pemimpin Mesir itu dianggapnya telah berhasil mewujudkan aspirasi semua bangsa Arab ke dalam wadah Republik Persatuan Arab. Cita-cita itu kemudian membangkitkan semangat Qadhafi dan menjadi model pemikiran politiknya.

Revolusi Al-Fâtih sendiri dibagi ke dalam tiga fase. Pertama, fase awal dan perkembangan, yakni mulai 1 September 1969 hingga 1 April 1973, fase ini merupakan usaha usaha menuju cita-cita revolusi dengan mengukuhkan konsolidasi kekuasaan dan merekonstruksi situasi ke arah yang lebih kondusif. Kedua, terhitung sejak lahirnya Al-Kitâb Al-Akhdar (The Green Book) 15 April 1973 hingga 2 Maret 1977. Ketiga, masa setelah penyusunan buku tersebut, ketika masa-masa perkembangan dan sejarah baru benar-benar dimulai13.

The Green Book adalah instrumen utama penulis dalam menganalisis

pemikiran nasionalisme Arab Qadhafi. Bagian pertama buku ini menjabarkan model penegakkan demokrasi secara utuh yang memberikan kebebasan politik kepada rakyat. Bagian kedua buku ini menggambarkan pembangunan ekonomi yang berpijak pada sistem sosialisme Islam. Bagian terakhir menggambarkan faktor sosial sebagai bentuk ketahanan sebuah negara dimulai dari sistem sosial terkecil, keluarga hingga negara. Semua bagian tersebut berlandaskan kepada tiga prinsip fundamental yang dibawa dalam revolusi.

Awalnya, Qadhafi mengganti semua nama tempat, jalan, kantor, hotel, dengan bahasa Arab. Selain itu, bahasa Arab juga dijadikan pengantar dalam sistem pendidikan dan sistem komunikasi sosial rakyat Libya. Reformasi ini diberlakukan tidak hanya bagi warga Libya, melainkan juga warga asing. Setiap warga negara yang mengajukan permohonan pembuatan visa kunjungan ke Libya wajib menggunakan bahasa dan tulisan Arab pada 12 Endang Mintarja, 2006, Politik Berbasis Agama: Perlawanan Muammar Qadhafi terhadap

Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 122.


(8)

halaman kosong paspor mereka14. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali semangat nasionalisme Arab dari hal yang paling dasar, yaitu bahasa. Sebab, bahasa merupakan faktor utama yang mengikat masyarakat pengguna bahasa Arab.

2. UPAYA MUAMMAR QADHAFI DALAM MEWUJUDKAN

PEMIKIRAN NASIONALISME ARAB

Tujuan Muammar Qadhafi mendorong sentimen nasionalisme Arab yaitu untuk membuat blok Islam yang bergantung kepada Teori Universal Dunia Ketiga. Qadhafi menjadikan negara Libya sebagai model percontohan dalam menerapkan teori tersebut. Rangkaian kreasi tindakannya dimaksudkan untuk menghukum bangsa Barat yang berlebihan pada masa lalu ketika melawan bangsa Arab. Ia ingin membawa negara-negara Arab, Afrika, dan negara Non-Blok menuju kancah internasional dan dalam posisi yang adil dalam menjalankan aktivitas keagamaan15. Langkah ini menjadi langkah awal Qadhafi dalam mengupayakan pemikiran nasionalisme Arab.

Setelah proklamasi Republik Libya pada 1 September 1969, Qadhafi menegaskan niatnya untuk mengembalikan kehormatan bangsa Libya. Langkah pertama yang diambilnya adalah dengan mengusir Italia dari Libya sebagai manifestasi prinsip kebebasan. Tujuan Qadhafi adalah mengevakuasi bangsa asing untuk kemudian menciptakan netralitas di antara negara-negara adidaya agar mudah mewujudkan persatuan nasional dan persatuan bangsa Arab yang ia cita-citakan16.

Libya adalah sebuah negara, tetapi identitas sebenarnya adalah bagian dari bangsa Arab. Oleh sebab itu, Muammar Qadhafi selalu berupaya untuk mempersatukan politik negara Libya dengan negara-negara Arab lain17. Kebijakan luar negeri yang diambilnya harus selalu berlandaskan Al-Kitâb Al-Akhdar dan hal ini mengizinkannya untuk melawan kebijakan luar negeri yang agresif.

14Agung D H, 2011, Khadafi: Anjing Gila dari Sahara, Yogyakarta: Penerbit Narasi, halaman 25. 15Lillian Craig Harris, op. cit, halaman 54.

16Ibid, halaman 15. 17Ibid, halaman 59.


(9)

Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Rabat, Maroko pada Desember 1969 merupakan kali pertama Qadhafi muncul di forum internasional. Ia berpidato dengan mengungkapkan keinginannya untuk mempersatukan bangsa Arab dan berjuang membebaskan rakyat Arab Palestina dari pendudukan Israel. Menurutnya, negara Israel memiliki kepentingan lain di wilayah Arab18.

Beberapa bulan pascarevolusi, Qadhafi mulai mengupayakan langkah-langkah persatuan Arab. Langkah pertama ia lakukan dengan melakukan pertemuan segitiga antara Jamal Abdul Naseer (Mesir), Numeri (Sudan), dan dirinya sebagai perwakilan dari bangsa Libya. Pertemuan tersebut menghasilkan Pakta Tripoli yang mengarah kepada penyatuan ketiga negara. Tahun yang sama, Presiden Syria Hafez Al-Asad meminta untuk bergabung dengan kesepakatan tiga pemimpin tersebut.19 Rencana pertemuan itu dikabarkan untuk melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi, militer, dan politik. Mereka bersepakat untuk membuat sebuah federasi dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur persatuan bangsa Arab.

Tahun 1972 Qadhafi memproklamirkan “Federation of Arab Republic” yang beranggotakan Libya, Mesir, Syria, dan Sudan (saat-saat terakhir penandatanganan perjanjian Federation of Arab Republic, Sudan mengundurkan diri karena negaranya mengalami kerusuhan). Akan tetapi, usia federasi ini tidak bertahan lama karena Presiden Mesir, Anwar Sadat membelot dari Liga Arab dan merapat ke Washington20. Sadat lebih memilih perundingan damai dengan

mengakui adanya negara Israel. Apa yang Sadat lakukan kontradiktif dengan tujuan pembentukan federasi pada perjanjian awal, yakni berkoalisi melawan Israel.

Semangat nasionalisme Qadhafi yang masih tinggi untuk mempersatukan bangsa Arab ditunjukkan dengan menggandeng Tunisia dalam mendirikan Republik Islam Arab pada tahun 1974. Namun, usaha ini lagi-lagi gagal. Meski keinginan Qadhafi untuk mewujudkan persatuan Arab (Pan-Arabisme) merupakan keinginan mayoritas bangsa Arab juga, beberapa penguasa Arab memandang 18Agung D H, op. cit, halaman 28.

19Endang Mintarja, op. cit, halaman 124. 20Agung D H, op. cit, halaman 31.


(10)

bahwa secara prinsip keinginan Qadhafi itu mengancam kedudukan mereka. Oleh sebab itu, dukungan mereka hanyalah sebuah bentuk kepura-puraan saja.21

Implementasi pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi untuk menciptakan persatuan bangsa Arab agaknya menemui jalan buntu setelah tahun-tahun ini.

Minimnya kesadaran akan kemenangan yang dibawa Qadhafi dalam Revolusi Al-Fâtih menandakan bahwa simbol kebangkitan Islam dan bangsa Arab belum sepenuhnya terbangun. Rasa persamaan itu hanya dapat dirasakan oleh beberapa pemimpin Arab yang merasakan buruk dan pedihnya nasib di bawah imperium asing. Sementara itu, bagi pemimpin Arab lain yang sedang menikmati kekuasaan atas sokongan asing seperti Amerika dan negara kolonial lainnya, kemenangan Qadhafi justru menjadi ancaman serius bagi stabilitas kekuasaan negara mereka. Akibatnya, hubungan Libya dengan negara-negara tersebut dipenuhi dengan konflik kepentingan dan sarat akan permusuhan.

PENUTUP Kesimpulan

Nasionalisme Arab merupakan murni produk pemikiran Muammar Qadhafi yang telah diperjuangkan sejak Revolusi Al-Fâtih September 1969. Tujuannya adalah untuk menciptakan persatuan di antara orang-orang Arab. Pemikiran ini dibangun melalui (1) persepsi kegemilangan bangsa Arab pada masa lalu, khususnya ketika Islam berada di puncak peradaban, (2) pembentukan sebuah bangsa yang mandiri dan kuat, (3) upaya pendirian Federation of Arab Republic bersama Libya, Mesir, Syiria, (4) upaya pendirian Republik Islam dengan menggandeng Tunisa.

DAFTAR PUSTAKA

21 Lihat Endang Mintarja halaman 125 dikutip dari Mahmud Ayyoub Islam and The Third


(11)

Agung, D. H. 2011. Khadafi: Anjing Gila dari Sahara. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Barakat, Halim. 2012. Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Bandung: Nusa Media.

Dawisha, Adeed. 2003. Arab Nationalism: In Twentieth Century. United States of America: Princeton University Press.

Esposito, John L. 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Oxford University Press. Jilid 6. Terjemahan oleh Eva Y.N, dkk. 2001.

Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern. Jilid 3. Bandung: Mizan.

Harris, Lillian Craig. 1986. Libya: Qadhafi’s Revolution and The Modern State.

United States of America: Westview Press.

Kuntowijoyo. 2003. MetodologiSejarah. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya.

Mintarja, Endang. 2006. Politik Berbasis Agama: Perlawanan Muammar Qadhafi

terhadap Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nuseibeh, Hazem Zaki. 1969. Gagasan-gagasan Nasionalisme Arab. Jakarta: Bhratara.

Smith, Anthony D. 2003. Nationalism: Theory, Ideology, History. Terjemahan Frans Kowa. Jakarta: Penerbit Erlangga.


(1)

negara Mesir dan Syria. Awalnya calon Perdana Menteri Syria, Khalid

al-‘Azm meminta kepada Presiden Naseer untuk mempersatukan kedua lembaga dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan urusan luar negeri. Akan tetapi, Naseer berpandangan persatuan bangsa Arab akan mendapat tentangan keras dari Inggris, Amerika, dan Uni Soviet10. Ide persatuan bangsa Arab ini kemudian mengalami penolakan keras oleh negara-negara monarki seperti Arab Saudi, Jordania, Libanon, dan Iraq yang notabene sangat dekat dengan Barat (Amerika).

Tidak sampai satu dekade gelombang nasionalisme Arab mulai menampakkan kemunduran. Awalnya ditandai dengan konflik yang ada di tubuh Iraq dan Syria dalam mendukung Naseer. Sebaliknya, Naseer juga dihinggapi mosi tidak percaya dengan kabinet yang diisi oleh orang-orang Iraq maupun Syria dalam kabinet UAR. Dampaknya begitu signifikan, serangan udara Israel dalam Perang Enam Hari Juni 1967 secara cepat berhasil menghancurkan kekuatan Mesir, Syria, dan Jordania. Tahun-tahun kelam berikutnya ditandai dengan kematian Naseer dan kelahiran nilai-nilai Arabisme yang baru. Salah satu nilai-nilai nasionalisme Arab yang baru itu dibawa oleh Muammar Qadhafi.

b) Pemikiran Nasionalisme Arab Muammar Qadhafi

Nasionalisme Arab Qadhafi merupakan salah satu nilai yang diperjuangkan Qadhafi ketika melakukan Revolusi Al-Fâtih. Revolusi tersebut pada awalnya digagas oleh sekelompok perwira pimpinan Qadhafi yang bertujuan untuk melawan kekuatan monarki rezim Raja Idris11.

Tiga prinsip fundamental yang dibawa dalam revolusi yaitu: kebebasan (liberty), persatuan (unity), dan sosialisme (socialism). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari kemiskinan, penjajahan dan dominasi asing di dalam negeri baik secara militer ataupun lainnya. Persatuan adalah persatuan rakyat Arab dengan membentuk satu pemerintahan Arab atau federasi dari berbagai pemerintahan kecil yang disesuaikan dengan keadaan. 10Adeed Dawisha, op.cit, halaman 186-187.

11Lillian Craig Harris, 1986, Libya: Qadhafi’s Revolution and The Modern State, United States of America: Westview Press, halaman 13.


(2)

Adapun sosialisme yang dimaksud merupakan sosialisme Islam12. Revolusi yang digerakkan oleh Qadhafi merupakan kepanjangan gerakan Pan-Arabisme rintisan Jamal Abdul Naseer. Pemimpin Mesir itu dianggapnya telah berhasil mewujudkan aspirasi semua bangsa Arab ke dalam wadah Republik Persatuan Arab. Cita-cita itu kemudian membangkitkan semangat Qadhafi dan menjadi model pemikiran politiknya.

Revolusi Al-Fâtih sendiri dibagi ke dalam tiga fase. Pertama, fase awal dan perkembangan, yakni mulai 1 September 1969 hingga 1 April 1973, fase ini merupakan usaha usaha menuju cita-cita revolusi dengan mengukuhkan konsolidasi kekuasaan dan merekonstruksi situasi ke arah yang lebih kondusif. Kedua, terhitung sejak lahirnya Al-Kitâb Al-Akhdar (The Green Book) 15 April 1973 hingga 2 Maret 1977. Ketiga, masa setelah penyusunan buku tersebut, ketika masa-masa perkembangan dan sejarah baru benar-benar dimulai13.

The Green Book adalah instrumen utama penulis dalam menganalisis

pemikiran nasionalisme Arab Qadhafi. Bagian pertama buku ini menjabarkan model penegakkan demokrasi secara utuh yang memberikan kebebasan politik kepada rakyat. Bagian kedua buku ini menggambarkan pembangunan ekonomi yang berpijak pada sistem sosialisme Islam. Bagian terakhir menggambarkan faktor sosial sebagai bentuk ketahanan sebuah negara dimulai dari sistem sosial terkecil, keluarga hingga negara. Semua bagian tersebut berlandaskan kepada tiga prinsip fundamental yang dibawa dalam revolusi.

Awalnya, Qadhafi mengganti semua nama tempat, jalan, kantor, hotel, dengan bahasa Arab. Selain itu, bahasa Arab juga dijadikan pengantar dalam sistem pendidikan dan sistem komunikasi sosial rakyat Libya. Reformasi ini diberlakukan tidak hanya bagi warga Libya, melainkan juga warga asing. Setiap warga negara yang mengajukan permohonan pembuatan visa kunjungan ke Libya wajib menggunakan bahasa dan tulisan Arab pada 12 Endang Mintarja, 2006, Politik Berbasis Agama: Perlawanan Muammar Qadhafi terhadap

Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 122.


(3)

halaman kosong paspor mereka14. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali semangat nasionalisme Arab dari hal yang paling dasar, yaitu bahasa. Sebab, bahasa merupakan faktor utama yang mengikat masyarakat pengguna bahasa Arab.

2. UPAYA MUAMMAR QADHAFI DALAM MEWUJUDKAN

PEMIKIRAN NASIONALISME ARAB

Tujuan Muammar Qadhafi mendorong sentimen nasionalisme Arab yaitu untuk membuat blok Islam yang bergantung kepada Teori Universal Dunia Ketiga. Qadhafi menjadikan negara Libya sebagai model percontohan dalam menerapkan teori tersebut. Rangkaian kreasi tindakannya dimaksudkan untuk menghukum bangsa Barat yang berlebihan pada masa lalu ketika melawan bangsa Arab. Ia ingin membawa negara-negara Arab, Afrika, dan negara Non-Blok menuju kancah internasional dan dalam posisi yang adil dalam menjalankan aktivitas keagamaan15. Langkah ini menjadi langkah awal Qadhafi dalam mengupayakan pemikiran nasionalisme Arab.

Setelah proklamasi Republik Libya pada 1 September 1969, Qadhafi menegaskan niatnya untuk mengembalikan kehormatan bangsa Libya. Langkah pertama yang diambilnya adalah dengan mengusir Italia dari Libya sebagai manifestasi prinsip kebebasan. Tujuan Qadhafi adalah mengevakuasi bangsa asing untuk kemudian menciptakan netralitas di antara negara-negara adidaya agar mudah mewujudkan persatuan nasional dan persatuan bangsa Arab yang ia cita-citakan16.

Libya adalah sebuah negara, tetapi identitas sebenarnya adalah bagian dari bangsa Arab. Oleh sebab itu, Muammar Qadhafi selalu berupaya untuk mempersatukan politik negara Libya dengan negara-negara Arab lain17. Kebijakan luar negeri yang diambilnya harus selalu berlandaskan Al-Kitâb Al-Akhdar dan hal ini mengizinkannya untuk melawan kebijakan luar negeri yang agresif.

14Agung D H, 2011, Khadafi: Anjing Gila dari Sahara, Yogyakarta: Penerbit Narasi, halaman 25. 15Lillian Craig Harris, op. cit, halaman 54.

16Ibid, halaman 15. 17Ibid, halaman 59.


(4)

Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Rabat, Maroko pada Desember 1969 merupakan kali pertama Qadhafi muncul di forum internasional. Ia berpidato dengan mengungkapkan keinginannya untuk mempersatukan bangsa Arab dan berjuang membebaskan rakyat Arab Palestina dari pendudukan Israel. Menurutnya, negara Israel memiliki kepentingan lain di wilayah Arab18.

Beberapa bulan pascarevolusi, Qadhafi mulai mengupayakan langkah-langkah persatuan Arab. Langkah pertama ia lakukan dengan melakukan pertemuan segitiga antara Jamal Abdul Naseer (Mesir), Numeri (Sudan), dan dirinya sebagai perwakilan dari bangsa Libya. Pertemuan tersebut menghasilkan Pakta Tripoli yang mengarah kepada penyatuan ketiga negara. Tahun yang sama, Presiden Syria Hafez Al-Asad meminta untuk bergabung dengan kesepakatan tiga pemimpin tersebut.19 Rencana pertemuan itu dikabarkan untuk melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi, militer, dan politik. Mereka bersepakat untuk membuat sebuah federasi dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur persatuan bangsa Arab.

Tahun 1972 Qadhafi memproklamirkan “Federation of Arab Republic”

yang beranggotakan Libya, Mesir, Syria, dan Sudan (saat-saat terakhir penandatanganan perjanjian Federation of Arab Republic, Sudan mengundurkan diri karena negaranya mengalami kerusuhan). Akan tetapi, usia federasi ini tidak bertahan lama karena Presiden Mesir, Anwar Sadat membelot dari Liga Arab dan merapat ke Washington20. Sadat lebih memilih perundingan damai dengan mengakui adanya negara Israel. Apa yang Sadat lakukan kontradiktif dengan tujuan pembentukan federasi pada perjanjian awal, yakni berkoalisi melawan Israel.

Semangat nasionalisme Qadhafi yang masih tinggi untuk mempersatukan bangsa Arab ditunjukkan dengan menggandeng Tunisia dalam mendirikan Republik Islam Arab pada tahun 1974. Namun, usaha ini lagi-lagi gagal. Meski keinginan Qadhafi untuk mewujudkan persatuan Arab (Pan-Arabisme) merupakan keinginan mayoritas bangsa Arab juga, beberapa penguasa Arab memandang 18Agung D H, op. cit, halaman 28.

19Endang Mintarja, op. cit, halaman 124. 20Agung D H, op. cit, halaman 31.


(5)

bahwa secara prinsip keinginan Qadhafi itu mengancam kedudukan mereka. Oleh sebab itu, dukungan mereka hanyalah sebuah bentuk kepura-puraan saja.21 Implementasi pemikiran nasionalisme Arab Muammar Qadhafi untuk menciptakan persatuan bangsa Arab agaknya menemui jalan buntu setelah tahun-tahun ini.

Minimnya kesadaran akan kemenangan yang dibawa Qadhafi dalam Revolusi Al-Fâtih menandakan bahwa simbol kebangkitan Islam dan bangsa Arab belum sepenuhnya terbangun. Rasa persamaan itu hanya dapat dirasakan oleh beberapa pemimpin Arab yang merasakan buruk dan pedihnya nasib di bawah imperium asing. Sementara itu, bagi pemimpin Arab lain yang sedang menikmati kekuasaan atas sokongan asing seperti Amerika dan negara kolonial lainnya, kemenangan Qadhafi justru menjadi ancaman serius bagi stabilitas kekuasaan negara mereka. Akibatnya, hubungan Libya dengan negara-negara tersebut dipenuhi dengan konflik kepentingan dan sarat akan permusuhan.

PENUTUP Kesimpulan

Nasionalisme Arab merupakan murni produk pemikiran Muammar Qadhafi yang telah diperjuangkan sejak Revolusi Al-Fâtih September 1969. Tujuannya adalah untuk menciptakan persatuan di antara orang-orang Arab. Pemikiran ini dibangun melalui (1) persepsi kegemilangan bangsa Arab pada masa lalu, khususnya ketika Islam berada di puncak peradaban, (2) pembentukan sebuah bangsa yang mandiri dan kuat, (3) upaya pendirian Federation of Arab Republic bersama Libya, Mesir, Syiria, (4) upaya pendirian Republik Islam dengan menggandeng Tunisa.

DAFTAR PUSTAKA

21 Lihat Endang Mintarja halaman 125 dikutip dari Mahmud Ayyoub Islam and The Third


(6)

Agung, D. H. 2011. Khadafi: Anjing Gila dari Sahara. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Barakat, Halim. 2012. Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Bandung: Nusa Media.

Dawisha, Adeed. 2003. Arab Nationalism: In Twentieth Century. United States of America: Princeton University Press.

Esposito, John L. 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Oxford University Press. Jilid 6. Terjemahan oleh Eva Y.N, dkk. 2001.

Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern. Jilid 3. Bandung: Mizan.

Harris, Lillian Craig. 1986. Libya: Qadhafi’s Revolution and The Modern State.

United States of America: Westview Press.

Kuntowijoyo. 2003. MetodologiSejarah. Yogyakarta: Tiara WacanaYogya.

Mintarja, Endang. 2006. Politik Berbasis Agama: Perlawanan Muammar Qadhafi

terhadap Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nuseibeh, Hazem Zaki. 1969. Gagasan-gagasan Nasionalisme Arab. Jakarta: Bhratara.

Smith, Anthony D. 2003. Nationalism: Theory, Ideology, History. Terjemahan Frans Kowa. Jakarta: Penerbit Erlangga.