TUGAS BAHASA JERMAN BIOGRAFI PRESIDEN SO

TUGAS BAHASA JERMAN
BIOGRAFI
PRESIDEN SOEHARTO

OLEH :
RAHMAWATI
XI IPA 1

SMA SEMEN TONASA
KAB. PANGKEP
2018

Biografi Presiden Soeharto
Soeharto dikenal sebaga satu-satunya Presiden di Indonesia yang
memiliki masa jabatan terlama yaitu sekitar 32 Tahun. Dikenal dengan
sebutan "Bapak Pembangunan".
Ia merupakan Presiden Kedua Indonesia setelah Soekarno, Soeharto di
bawah pemerintahannya sukses mengantarkan Indonesia menjadi negara
Swasembada dimana sektor dibidang pertanian amat berkembang dengan
pesatnya melalui Program Rapelitanya.
Tulisan kali ini akan mengulas tentang Biografi dan Profil Soeharto.

Mantan Presiden Kedua Indonesia serta bapak pembangunan ini dilahirkan di
Kemusuk, Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1921.
Ibunya bernama Sukirah dan ayah beliau yang merupakan seorang
pembantu lurah dalam bidang pengairan sawah dan juga sekaligus seorang
petani yang bernama Kertosudiro.
Ketika berumur delapan tahun Soeharto mulai bersekolah tetapi ia
sering berpindah-pindah sekolah. Awalnya ia sekolah di Sekolah Desa (SD)
Puluhan, Godean kemudian ia pindah ke SD Pedes dikarenakan keluarganya
pindah ke Kemusuk, Kidul.
Setelah itu kemudian ayahnya Kertosudiro memindahkan Soeharto ke
Wuryantoro. Beliau kemudian dititipkan dan tinggal bersama Prawirohardjo
seorang mantri Tani yang menikah dengan adik perempuan Soeharto.
Ditahun 1941 tepatnya di Sekolah Bintara, Gombong di Jawa Tengah,
Soeharto terpilih sebagai Prajurit Telatan, sejak kecil ia memang bercita-cita
menjadi seorang tentara atau militer. kemudian pada tanggal 5 Oktober
1945 setelah Indonesia merdeka, Soeharto kemudian resmi menjadi anggota
TNI.
Setelah itu kemudian Soeharto menikahi Siti Hartinah atau Ibu Tien
yang merupakan anak seorang Mangkunegaran pada tanggal 27 Desember
1947 dimana usia Soeharto etika itu 26 tahun dan Siti Hartinah atau Ibu Tien

berusia 24 tahun.
Dari pernikahannya kemudian ia dikarunia enam orang anak yaitu Siti
Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati
Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jalan panjang dan berliku dilalui Soeharto ketika merintis karier militer
dan juga karier politiknya. Dalam bidang militer Soeharto memulainya
dengan pangkat sersan tentara KNIL, dari situ ia kemudian menjadi
Komandan PETA pada zaman penjajahan Jepang, setelah itu ia menjabat

sebagai komandan resimen berpangkat mayor kemudian menjabat
komandan batalyon dengan pangkat Letnan Kolonel.
Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang
dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949, itu merupakan peristiwa
yang menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa ketika resmi merdeka
dari penjajahan bangsa Belanda selama tiga setengah abad.
Banyak versi mengatakan bahwa Peranan Soeharto ketika merebut
Yogyakarta yang waktu itu sebagai Ibukota Republik Indonesia dalam
Serangan Umum 1 Maret tidak bisa dipisahkan.
Tujuan dari serangan umum 1 Maret adalah menunjukan pada dunia
internasional tentang eksistensi dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika

itu dalam membela Bangsa Indonesia. Dalam kepemimpinannya, Soeharto
berhasil merebut kota Yogyakarta dari cengkraman penjajah Belanda pada
waktu itu.
Pada waktu itu beliau juga menjadi pengawal dari Panglima Besar
Jenderal Sudirman. Dalam operasi pembebasan Irian Barat dari tangan
Belanda ketika itu beliau yang menjadi panglima Mandala yang dipusatkan di
Makassar.
Ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus pada tanggal 1 Oktober 1965,
Soeharto kemudian bergerak cepat mengambil alih kendali pimpinan
Angkatan Darat ketika itu.
Kemudian mengeluarkan perintah yang cepat untuk mengatur dan
mengendalikan keadaan negara yang kacau akibat dari kudeta oelh PKI.
Setelah peristiwa G-30-S/PKI, Soeharto kemudian menjabat sebagai
Panglima Angkatan Darat menggantikan Jendral Ahmad Yani yang gugur di
tangan PKI. Selain sebagai Panglima Angkatan Darat, Soeharto juga
menjabat sebagai Pangkopkamtib yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno
pada waktu itu.
Puncak karier Soeharto ketika ia menerima Surat Perintah Sebelas
Maret atau yang dikenal sebagai "Supersemar" oleh Presiden Soekarno pada
bulan maret 1966 dimana tugasnya adalah mengendalikan keamanan dan

juga ketertiban negara yang kacau setelah kudeta yang dilakukan oleh PKI
dan mengamalkan ajaran Besar Revolusi Bung Karno.
Setelah peristiwa G-30-S/PKI keadaan politik dan juga pemerintahan
Indonesia makin memburuk, kemudian pada bulan maret 1967 dalam sidang
istimewa MPRS yang kemudian menunjuk Soeharto sebagai Presiden Kedua
Republik Indonesia yang menggantikan Presiden Soekarno, dimana
pengukuhan dilakukan pada Maret 1968.
Masa pemerintahan presiden Soeharto dikenal dengan masa Orde Baru
dimana kebijakan politik baik dalam dan luar negeri diubah oleh Presiden

Soeharto. Salah satunya adalah kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB
(Perserikatan Bangsa Bansa) pada tanggal 28 September 1966 setelah
sebelumnya pada masa Soekarno, Indonesia keluar sebagai anggota PBB.

Soeharto Menjadi Presiden Indonesia Kedua
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas.
Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar
Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai

pemberontak.
Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang"
ke Pulau Buru bahkan sebagian yang terkait atau masih pendukung dari
Partai PKI dihabisi dengan cara dieksekusi massal di hutan oleh militer pada
waktu itu. Program pemerintah Soeharto diarahkan pada upaya
penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi.
Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan
inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi
ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi.
Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi
berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Dan pemerintahan Soeharto berhasil membendung laju inflasi pada akhir
tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak.
Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang
ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs
valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil.

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka
langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah
melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang
diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan
Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima
Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka

mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan
Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun.
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak
mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada
masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga
mendukung terjadinya stabilitas ekonomi.
Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan

perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara. Pada
masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan
politik yang dijalankan oleh pemerintah.

Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia
Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang
disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan
ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan. Dari keberhasilannya
inilah sehingga Presiden Soeharto kemudian disebut sebagai "Bapak
Pembangunan".
Titik kejatuhan Soeharto, ketika pada tahun 1998 dimana masa
tersebut merupakan masa kelam bagi Presiden Soeharto dan masuknya
masa reformasi bagi Indonesia, Dengan besarnya demonstrasi yang
dilakukan oleh Mahasiswa serta rakyat yang tidak puas akan kepemimpinan
Soeharto.
Selain itu makin tidak terkendalinya ekonomi serta stabilitas politik
Indonesia maka pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB Pak Harto
membacakan pidato "pernyataan berhenti sebagai presiden RI” setelah
runtuhnya dukungan untuk dirinya.

Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun. Sebelum
dia mundur, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai
12 bulan sebelumnya. BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa
masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Abdurrahman
Wahid pada tahun 1999. Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde
Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968 atau selama 32 Tahun.

Wafatnya Presiden Soeharto
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu,
27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan
sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun
setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah
Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek
Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian
secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang
wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP
Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto
diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8,

Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi
sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal.
Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan
kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang
wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat
menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak
Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa
jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul
14.55, Minggu (27/1).
Sementara itu, Presiden RI kala itu yakni Susilo Bambang Yudhoyono
didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah
mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan
mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden,
Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang
mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad
Soeharto.

Jasa-Jasa Soeharto Sebagai Presiden dan Kontroversinya
Jika direnungkah banyak jasa-jasa besar yang dilakukan Soeharto

untuk pembangunan dan perkembangan Indonesia dimata dunia
Internasional, sebagan rakyat yang pernah hidup di zaman Presiden Soeharto
menganggap zaman Soeharto merupakan zaman keemasan ndonesia.

Karena harga-harga kebutuhan pokok yang murah dimasa itu yang
berbanding terbalik dengan zaman sekarang ini, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, Presiden Soeharto berhasil merubah wajah Indonesia yang awalnya
menjadi negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras dan
turut mensejahterahkan petani. Sektor pembangunan dimasa Presiden
Soeharto dianggap paling maju melalui Repelita I sampai Repelita VI.
Keamanan dan kestabilan negara yang terjamin serta menciptakan
kesadaran nasionalisme yang tinggi pada masanya. Di bidang kesehatan,
upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan
melalui program kesehatan di posyandu dan KB, sebuah upaya yang
mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian
masyarakat.
Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil.
Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling
penting dalam periode pertumbuhannya. Itulah sekelumit jasa-jasa atau
prestasi dari presiden Soeharto meskipun disamping jasa-jasanya tersebut

banyak juga kegagalan di pemerintahannya seperti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme di masanya, pembangunan yang tidak merata antara pusat dan
daerah sehingga memunculkan kecemburuan dari daerah seperti Papua.
Dari banyaknya jasa presiden Soeharto tersebut sehingga banyak yang
mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Terlepas dari
sejumlah pihak yang masih mempermasalahkan sejumlah kasus hukum
Soeharto, fakta di dalam sejarah Indonesia menunjukkan bahwa Soeharto
memiliki jasa besar kepada Indonesia.
Perjuangan Soeharto untuk Indonesia yang tercatat dalam buku
sejarah bangsa ini, antara lain, pada masa revolusi fisik antara 1945 hingga
1949, pascarevolusi fisik antara 1962 hingga 1967 dan masa
kepemimpinannya sebagai presiden
Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil
mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan
beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan
politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya
zaman Soeharto lebih enak.
Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh
perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian
menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila.
Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi
pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya.

Biographie von Präsident Soeharto
Soeharto ist bekannt als der einzige Präsident in Indonesien mit der
längsten Amtszeit von 32 Jahren. Bekannt als "Vater der Entwicklung".
Er ist der zweite Präsident von Indonesien nach Soekarno, Soeharto
unter seiner Regierung, Indonesien erfolgreich in ein autarkes Land zu
bringen, in dem der Agrarsektor durch das Rapelitanya Programm sehr
schnell wächst.
Dieser Artikel behandelt die Biografie und das Profil von Soeharto. Der
ehemalige indonesische Präsident und Vater der Entwicklung wurde am 8.
Juni 1921 in Kemusuk, Yogyakarta, geboren.
Seine Mutter hieß Sukirah und sein Vater, der auf dem Gebiet der
Bewässerung ein lurah lurah ist, und auch ein Bauer namens Kertosudiro.
Als er acht Jahre alt war, begann Suharto mit der Schule, aber er
wechselte oft die Schule. Zuerst ging er zur Schule in Puluhan Village (SD),
Godean zog dann nach SD Pedes, weil seine Familie nach Kemusuk, Kidul
zog.
Danach brachte sein Vater Kertosudiro Suharto nach Wuryantoro. Er
wurde dann anvertraut und lebte mit Prawirohardjo einer Mantri Tani, die
Suhartos Schwester heiratete.
Im Jahr 1941, genau in Sekolah Bintara, Gombong in Zentral-Java,
wurde Soeharto zum Krieger von Telatan gewählt, von Kindheit an strebte er
danach, Soldat oder Militär zu sein. Am 5. Oktober 1945, nach der
Unabhängigkeit Indonesiens, wurde Soeharto offiziell Mitglied der TNI.
Danach dann Siti Hartinah Suharto Soeharto oder Ibu Tien verheiratet,
der Sohn eines Mangkunegaran ist am 27. Dezember 1947, wo das Alter der
26 Jahre Soeharto Ethik und Ibu Tien Siti Hartinah Suharto oder 24 Jahre alt.
Ehe später war sie mit sechs Kindern nämlich Siti Hardiyanti Hastuti,
Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Tommy
Suharto und SITI HUTAMI ENDANG ADININGSIH gesegnet.
Lange und kurvenreiche Straßen führten durch Soeharto, als er seine
militärische Karriere und seine politische Karriere bereitete. Im militärischen
Bereich begann Soeharto mit KNIL Feldwebeln, von wo er Kommandant der
Karte in der japanischen Kolonialzeit wurde später, nach dem er als
Regimentskommandeur Major gedient und dann als Bataillonskommandeur
mit dem Rang eines Lieutenant Colonel serviert.
Indonesischen Geschichte kann nicht von einem Ereignis wie der
General Offensive 1. März bekannt sind, getrennt werden, 1949 ist es ein
Ereignis, das einen wichtigen Rekord in der Geschichte der Völker, wenn

formale Unabhängigkeit von den Holländern während der dreieinhalb
Jahrhunderte wurde.
Viele Versionen sagen, dass die Rolle des Soeharto wenn Yogyakarta zu
dieser Zeit als Hauptstadt der Republik Indonesien in dem allgemeinen
Offensive 1. März kann nicht getrennt werden ergriffen.
Das Ziel des Generalstreiks 1. März ist die internationale Welt über die
Existenz der TNI (indonesische Armee) zu zeigen, wenn es in der
Verteidigung der indonesischen Nation war. Unter seiner Führung gelang es
Suharto damals, die Stadt Yogyakarta aus der holländischen Kolonialenklave
zu erobern.
Zu dieser Zeit war er auch Leibwächter des Großen Kommandanten
General Sudirman. In der Operation der West-Irian Befreiung aus den Händen
der Holländer wurde er dann Kommandeur von Mandala in Makassar
zentriert.
Als die Bewegung am 1. Oktober 1965 ausbrach, übernahm Suharto
schnell die Kontrolle über die Armeeführung.
Dann gab er einen schnellen Befehl, um den Zustand des Chaos, der
durch den Staatsstreich der PKI verursacht wurde, zu regulieren und zu
kontrollieren.
Nach den Ereignissen des G-30-S / PKI, Suharto diente später als
Kommandant der Armee ersetzt Allgemeine Ahmad Yani, der in den Händen
des PKI gestorben. Abgesehen davon, dass er Befehlshaber der Armee war,
diente Soeharto auch als Pangkopkamtib, der zu dieser Zeit von Präsident
Soekarno ernannt wurde.
Soeharto Höhepunkt seiner Karriere, als er erhielt supersemar oder
was als „supersemar“ von Präsident Sukarno März 1966 bekannt ist, wo
seine Aufgabe ist die Sicherheit und Ordnung im Land des Chaos nach dem
Putsch durch die PKI, um sicherzustellen, und übt die Lehren der Revolution
Bung Karno durchgeführt.
Nach den Ereignissen der G-30-S / PKI politischen Situation und der
indonesischen Regierung weiterhin auch in einer Sondersitzung der
Vollversammlung im März 1967 dann verschlechtern, die dann Soeharto als
Präsident der Republik Indonesien ernannt Präsident Sukarno zu ersetzen, wo
Bestätigung März 1968 erfolgt.
Die Regierung von Präsident Suharto als die Ära New Order bekannt,
bei denen politische Maßnahmen im In- und Ausland von Präsident Suharto
geändert. Eine davon ist die Rückkehr von Indonesien als Mitglied der
Vereinten Nationen (UN Bansa) am 28. September 1966, nachdem sie unter
Sukarno zu sein, kam Indonesien heraus als Mitglied der Vereinten Nationen.

Suharto wird der zweite Präsident von Indonesien
In den frühen Phasen zog Suharto eine sehr feste Linie. Politische
Isolation wurde gegen Personen, die mit der indonesischen Kommunistischen
Partei verbunden waren, gemacht.
Strafrechtliche Sanktionen werden verhängt, indem ein Außerordentlicher
Militärgerichtshof eingesetzt wird, um die von Suharto als Rebellen
errichteten Parteien zu ermitteln.
Der Prozess wurde abgehalten und einige der Beteiligten wurden auf
die Insel Buru "entlassen", sogar einige der verwandten oder noch immer
Unterstützer der PKI-Partei wurden von den Militärs zu dieser Zeit durch
Massenhinrichtungen im Wald getötet. Das Programm der SoehartoRegierung zielt auf die Rettung der nationalen Wirtschaft ab, insbesondere
auf wirtschaftliche Stabilisierung und Rehabilitation.
Mit wirtschaftlicher Stabilisierung ist gemeint, die Inflation so zu
kontrollieren, dass der Warenpreis nicht weiter steigt. Und wirtschaftliche
Rehabilitation ist die physische Verbesserung der wirtschaftlichen
Einrichtungen und Infrastruktur.
Das Wesen dieser Politik ist die Anleitung des Wirtschaftssystems von
Plänen, die die fortwährende Wirtschaftsdemokratie in Richtung auf die
Verwirklichung einer gerechten und wohlhabenden Gesellschaft sichern, die
auf Pancasila basiert.
Dieses Stabilisierungsprogramm wird durchgeführt, indem die
Inflationsrate eingedämmt wird. Und die Soeharto-Regierung konnte Ende
1967/68 die Inflationsrate eindämmen, aber der Preis für Grundstoffe stieg.
Nach der Bildung des Entwicklungskabinetts im Juli 1968 verlagerte die
Regierung ihre Wirtschaftspolitik auf eine strenge Kontrolle der
Preisbewegungen von Waren, insbesondere von Kleidung, Nahrungsmitteln
und Wechselkursen. Seitdem war die Volkswirtschaft relativ stabil.
Nach der erfolgreichen Wiederherstellung der politischen Lage
Indonesiens besteht der nächste Schritt der Regierung der Neuen Ordnung in
der Umsetzung der nationalen Entwicklung. Die nationale Entwicklung, die
die Regierung damals versuchte, wurde durch kurzfristige Entwicklung und
langfristige Entwicklung realisiert.
Kurzfristige Entwicklung wird durch Fünf-Jahres-Entwicklung (Pelita)
entwickelt. Jeder Pelita hat eine Entwicklungsmission, um das Wohl der
indonesischen Gesellschaft zu erreichen. Während langfristige Entwicklung
umfasst den Zeitraum von 25-30 Jahren.
Nationale
Entwicklung
ist
eine
Reihe
nachhaltiger
Entwicklungsbemühungen, die alle Aspekte des Gemeinschaftslebens, der
Nation und des Staates abdecken. Die nationale Entwicklung wird
durchgeführt, um die in der Präambel der Verfassung von 1945
niedergelegten nationalen Ziele zu verwirklichen.
In der Zeit der Neuen Ordnung hat die Regierung eine Politik
umgesetzt, die sich 32 Jahre lang nicht wesentlich geändert hat. Denn zu

dieser Zeit gelang es der Regierung, eine politische Stabilitaet vorzulegen,
um das Auftreten von wirtschaftlicher Stabilität zu unterstützen.
Aus diesem Grund macht die Regierung selten Änderungen der Politik,
vor allem in Bezug auf den Staatshaushalt. Während der Zeit der Neuen
Ordnung war ihre Wirtschaftspolitik auf wirtschaftliches Wachstum
ausgerichtet. Die Wirtschaftspolitik wird durch die politische Stabilität der
Regierung unterstützt.

Soeharto als Vater der indonesischen Entwicklung
Es wird in den Jargon der Wirtschaftspolitik, die Entwicklungstrilogie,
gegossen: politische Stabilität, stabiles Wirtschaftswachstum und gerechte
Entwicklung. Aus diesem Erfolg wurde Präsident Soeharto zum "Vater der
Entwicklung" ernannt.
Punkt Suhartos Herbst, als im Jahr 1998, wo die Zukunft eine dunkele
Zeit für den Eintritt von Präsident Suharto ist und die indonesische
Reformationszeit, die Größe der Demonstration von Studenten und
Menschen, die nicht zufrieden mit der Führung von Suharto sind.
Zusätzlich zu der ungezügelten Wirtschaft und politischen Stabilität
Indonesiens las Pak Harto am 21. Mai 1998 um 09.05 Uhr WIB die Rede von
"Stop als Präsident RI erklären" nach dem Zusammenbruch der
Unterstützung für ihn.
Suharto ist seit 32 Jahren Präsident von Indonesien. Bevor er
zurücktrat, erlebte Indonesien in den letzten 6 bis 12 Monaten eine politische
und wirtschaftliche Krise. BJ Habibie mindestens ein Jahr vom Rest seiner
Präsidentschaft fortsetzen, bevor sie von Abdurrahman Wahid im Jahr 1999.
Der Sturz Suhartos ersetzt markiert auch das Ende des New Order-Regimes,
ein Regime an der Macht seit 1968 oder seit 32 Jahren.
Der Tod von Präsident Soeharto
Zweiter Präsident HM Soeharto starb am 13.10. WIB Sonntag, 27.
Januar 2008. Generalmajor, der von der MPR als Vater der nationalen
Entwicklung geehrt wurde, starb im Alter von 87 Jahren, nachdem er 24 Tage
(vom 4. bis 27. Januar 2008) im Krankenhaus behandelt worden war
Pertamina Zentrum (RSPP), Jakarta.
Die Nachricht von seinem Tod wurde zuerst vom Polizeichef von
Kebayoran Baru, Kompol, mitgeteilt. Dicky Sonandi, in Jakarta, Sonntag
(1/27). Dann gab das Presidential Doctor Team offiziell eine Presseerklärung
über den Tod von Pak Harto um genau 13:10 WIB am Sonntag, 27. Januar
2008 im RSPP Jakarta wegen eines Multiorganversagens.
Gegen 14:40 Uhr ging die Leiche des ehemaligen Präsidenten Soeharto
von der RSPP zur Jalan Cendana Nummer 8, Menteng, Jakarta, zurück.

Ambulanzen, die den Körper von Pak Harto tragen, werden von einer Reihe
von Familienfahrzeugen, Verwandten und Bodyguards begleitet.
Eine Reihe von Journalisten rückte näher, als die Autokolonne in
Richtung Jalan Cendana zog, was zu einem Fernsehjournalist führte.
Entlang Jalan Tanjung und Jalan Cendana begrüßen Tausende
Menschen die Begleitung von Fahrzeugen, die Pak Hartos Körper tragen. Isak
Tränen der Bürger brach aus, als eine Reihe von Fahrzeugen, die den Körper
des ehemaligen Präsidenten Soeharto trugen, in Jalan Cendana, ungefähr um
14:55, Sonntag (27/1) eintraten.
Unterdessen wurde Präsident Susilo Bambang Yudhoyono von
Vizepräsident Jusuf Kalla und einer Reihe von Ministern begleitet, die an einer
begrenzten Kabinettssitzung zur Ernährungssicherheit teilnahmen, und am
Sonntag (27/1) eine Pressekonferenz für 3 Minuten und 28 Sekunden im
Präsidialbüro in Jakarta abhielten. ). Der Präsident drückte sein tiefes
Mitgefühl für den Tod des ehemaligen indonesischen Präsidenten Haji
Muhammad Soeharto aus.

Soehartos Dienstleistungen als Präsident und Kontroverse
Wenn direnungkah viele großen Dienste, die Suharto für den Bau und
die Entwicklung von Indonesien in den Augen der internationalen
Gemeinschaft tun, sebagan Menschen, die in den Tagen von Präsident
Suharto Soeharto betrachten ein goldenes Zeitalter ndonesia gelebt haben.
Da die Preise für Grundbedürfnisse, die die Zukunft kosten, die auf die
aktuelle Zeit umgekehrt proportional ist, ein stabiles Wirtschaftswachstum,
Präsident Suharto hat das Gesicht von Indonesien verändert, die ursprünglich
ausreichend Nettoimporteur von Reis in das Land selbst war in Reis und
halfen Bauern gedeihen. Der Entwicklungssektor während Präsident Suhartos
galt als am weitesten fortgeschritten durch Repelita I bis Repelita VI.
Sicherheit und Stabilität des Staates sind garantiert und schaffen ein
hohes Bewusstsein für Nationalismus in seiner Zeit. Auf dem Gebiet der
Gesundheit werden die Bemühungen zur Verbesserung der Qualität von
Säuglingen und der Zukunft dieser Generation durch Gesundheitsprogramme
in Posyandu
und KB durchgeführt,
eine Bemühung, die das
Regierungsprogramm mit der Unabhängigkeit der Gemeinschaft verbindet.
Zu seiner Zeit war das Programm sehr beliebt und erfolgreich. Viele
Mütter haben Erfolg und kümmern sich im wichtigsten Moment ihrer
Wachstumsphase um ihre Bedürfnisse. Das Bit von Dienstleistungen oder
Leistungen von Präsident Suharto zusätzlich zu seinen Leistungen trotz der
vielen Ausfälle in seiner Verwaltung wie Korruption, Kollusion und Nepotismus
in seiner Zeit, ungleiche Entwicklung zwischen Zentrum und Regionen
Eifersucht von Regionen wie Papua führt.

Von den vielen Diensten von Soehartos Präsident so viele, die Suharto
als Nationalhelden Indonesiens vorschlagen. Abgesehen von einer Reihe von
Parteien, die immer noch Suhartos Rechtsfälle in Frage stellen, zeigen die
Fakten in der indonesischen Geschichte, dass Soeharto für Indonesien von
großem Wert ist.
Suhartos Kampf für Indonesien nahm in der Geschichte dieser Nation
Bücher auf, unter anderem während der physischen Revolution zwischen
1945 und 1949, pascarevolusi physical zwischen 1962 und 1967 und seiner
Präsidentschaft
Suhartos Figur ist bis heute umstritten. Kleine Leute erinnern sich an
ihn als einen Helden, der billiges Benzin und erschwinglichen Reis anbietet.
Diejenigen, die nicht mit Politik und Bewegung in Berührung kamen, nickten
sofort zustimmend, wenn sie die Soharto-Ära besser fragten.
Die Polemik über den Heldentitel für Soeharto war noch immer voller
Debatten. Manche stimmen zu, andere lehnen es ab. Manche betrachten
Soeharto als den Helden der Entwicklung und des Erretters von Pancasila.
Andere halten Soharto für Blut über verschiedene Massaker während des
Übergangs von der Alten Ordnung zur Neuen Ordnung und darüber hinaus.