Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân Pendahuluan - METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN

METODOLOGI DAN TREN TAFSIR MODERN

Oleh: Muh. Syuhada Subir

Abstrak

Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.

Perkembangan studi tersebut pada akhirnya melahirkan metode-metode baru dalam penafsiran al-Qur`ân. Adapun metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al- Syâti‟ dalam Al- Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-Karîm, teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, dan Izzat Darwaza dengan tartîb al-suwar hasba al-nuzûl-nya. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun pemerintahan- menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta‟assub pada aliran atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan.

Key Word : Metode, Tren, Modern, Al- Qur`ân

Pendahuluan

Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di zaman modern dan kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara berkesinambungan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di zaman modern dan kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga aliran penafsiran al-Qur`an yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang

Dari kegiatan penafsiran yang berkesinambungan dari generasi ke generasi lainnya, sudah barang tentu akan menghasilkan penafsiran yang berbeda, karena sebuah hasil penafsiran tidak dapat terlepas dari kecenderungan sang mufassir, serta disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi pada zaman dimana tafsir itu lahir. Dalam hal ini Norman Calder menyatakan bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dianggap lebih penting dari pada produk penafsiran yang dihasilkan, karena kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya bukanlah terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka

terhadap sebuah disiplin literer.” 2 Hal ini berakibat pada munculnya berbagai macam metode dan pendekatan yang di gunakan dalam penafsiran al-Qur`an.

Pada abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring

dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. 3 Fenomena tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat

Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Qur`ân sebagai teks (nas) yang terbatas dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia sebagai konteks ( waqâ‟i‟) yang terbatas. Muhammad Syahrur dalam bukunya al- Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu ‟âsirah, mengatakan bahwa “al-Qur`ân harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat

manusia”. 4 Salah satu wujud respon kreatif terhadap tantangan modern yang dihadapi,

para perintis dan pembaharuan pemikiran Islam yang berinteraksi secara intens dengan diskursus al-Qur`ân berusaha untuk mengembangkan metode tafsir

1 Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al- Risâlah, 1983), h. 344

2 Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader

A. Shareef [ed.], 3 Approaches to the Qur‟an (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 2 4 Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`âh Mu ‟âsirah, (Damaskus: Ahâli Li

al-Nasyr wa al- Tauzi‟, 1992), h. 33 al-Nasyr wa al- Tauzi‟, 1992), h. 33

dan mereaktualisasi ajaran-ajaran al-Qur`ân dengan tuntutan zaman, seperti: isu- isu ekonomi, sosial, moral, politik dan sebagainya.

Metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al- Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâ ti‟ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-

Karîm, 5 teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-

Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, 6 dan Darwazah dengan tartîb al-suwar hasba al-

nuzûl- 7 nya. Sehubungan dengan perkembangan kegiatan penafsiran, maka

pembahasan dalam artikel pendek ini lebih fokus pada metode dan tren penafsiran pada masa modern, dilanjutkan dengan perspektif para sarjana tafsir modern terhadap metode tafsir al-Qur`ân, akan tetapi sebelum membahas ketiga poin tersebut, terlebih dahulu akan akan dijelaskan tentang pengertian dan sebab munculnya metode tafsir modern.

Pengertian: Metodologi, Tafsir dan Modern

Istilah metodologi, merupakan terjemahan dari kata bahasa inggris methodology yang berarti serangkaian praktek, prosedur, dan aturan yang digunakan dalam serangkaian disiplin ilmu atau penyelidikan, dan kata

5 Lihat Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. xii-xiii.

6 Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al- Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83

7 Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzah Darwazah‟s Principles of modern exegesis: A contribution toward qu ranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur`ân, ed. G.R. Hawting

and Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 225 and Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 225

berarti kata atau pembicaraan. 8 Jika ditarik kedalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati

persoalan dan menemukan jawabannya. 9 Adapun istilah tafsir merupakan serapan dari bentuk taf‟îl dari kata benda

al-fasr dari kata kerja fassara yufassiru yang berarti keterangan yang memberikan penjelasan. 10 Ada pula yang mengartikannya dengan pengertian menyingkap

bagian yang tertutup, sedangkan makna al-tafsîr membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz (teks) yang sukar dipahami, dalam arti memberi penjelasan dan

keterangan. 11 Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kata tafsîr merupakan kata kerja terbalik dari kata kerja safara yang berarti menyinari, membuka dan

menyingkap. 12 Sedangkan istilah modern merupakan kata serapan dari bahasa Inggris

modern yang bermakna terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. 13 Dan era modern ini mencakup abad ke-

18 hingga memasuki abad ke-20. periode ini dimulai sejak ekspansi kolonial Eropa. 14 Istilah modern ini muncul dan dipakai dalam konteks peradaban Islam,

dikala terjadi kontak intelektual dunia muslim dengan Barat, sebagaimana yang tampak dalam pemikiran Rifa‟ah Râfi‟ al-Tahtâwî (1801-1873) di Mesir dan Ali Suavi (1839-1878) di Turki. 15

8 Lihat David A. Jost (ed.), The American Heritage College dictionary, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1993), h. 858 & 798.

9 Robert Bogdan dan Steven J. Tailor, Introduction to Qualitative Research Method: Phnomenological Approach to The Social Sciences , (New York: John Wiley & Sons, 1975), h. 1

10 Abu al-Fadl al-Dîn Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr, Lisan al- „Arab, Jilid 5, (Beirut: Dâr al-Shâdir, 1990), h. 15

11 Muhammad bin Abû Bakar bin „Abd al-Qâdir al-Râzî, Mukhtâr al-Shihhâh, (Beirut: Dâr al-Jail, t.th), h. 503

12 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton Cowan, (Ithaca, New York: Spoken Language Services, Inc., 1976), h. 412

13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia , h. 589.

14 Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), in Ensiclopedia of Islam and The Muslim World , (New York: Macmillan Reference USA & Thomson, 2004), Vol. 2, h.

467. 15 Charles Kurzman, Modern Thought, in Ricard C. Martin (ed.), Ensiclopedia of Islam

and The Muslim World , h.467. Bandingkan David Commins, Modernism, in John L. Esposito

Pada dasarnya, maksud dan tujuan dari metodologi tafsir modern secara sekilas tidak terdapat perbedaan dengan metodologi tafsir klasik, keduanya ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab Suci agar dapat kompatibel dengan kondisi dimana mufassir hidup. Andrew Rippin, menyatakan bahwa tujuan dari penafsiran adalah untuk mengklarifikasi (maksud) sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir menjadikan teks al-Qur`ân sebagai obyek awal dengan memberikan perhatian penuh terhadap teks tersebut sehingga jelas maknanya. Selain itu, tafsir juga berfungsi secara simultan mengadaptasikan teks pada situasi (konteks) yang sedang dihadapi oleh mufassir. Dengan kata lain bahwa kebanyakan hasil penafsiran tidaklah murni teoretis, akan tetapi ia mempunyai aspek praktis untuk menjadikan teks dapat diaplikasikan dalam rangka memantapkan keimanan dan

dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin. 16 Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir

klasik dan metodologi tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang menuntut terciptanya sebuah pemahaman baru terhadap teks Kitab Suci. Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar umat Islam tidak memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti

pengetahuan dan semangat rasional dari teks. 17 Disamping dampak ilmu pengetahuan sebagai faktor pembedanya, terdapat pula dua karakteristik yang

menonjol yang membedakannya dari metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama, metodologi tafsir modern menjadikan al-Qur`ân sebagai Kitab petunjuk, dengan

meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w. 1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-Qur`ân. 18 Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang

ada di balik teks al-Qur`ân. Dengan kata lain, metodologi tafsir modern tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi mencoba menelaah lebih jauh apa yang ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal

(ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), vol 3, h. 118-119

16 Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237

17 Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, h. 242 18 Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma‟ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365 17 Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, h. 242 18 Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma‟ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu prosedur sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan mengemukakan metode tafsir merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam menginterpretasikan pesan-pesan al-Qur`ân. Sedangkan yang dimaksud dengan metodologi tafsir adalah analisis ilmiah mengenai metode-metode penafsiran al-

Qur`ân. 20

Tren dan Perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur`ân

Keberhasilan dan kemajuan yang dicapai bangsa Barat pasca gerakan renaissance ini, sedikit banyak memberikan pengaruh kepada gerakan pembaharuan keagamaan yang terjadi di Timur (dunia Islam), dimana bentuk gerakan pembaharuan yang dilakukan berangkat dari kesadaran akan pentingnya merekontruksi pemahaman teks-teks keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha yang diaplikasikan dalam tafsirnya dan sekaligus dianggap sebagai embrio pembaruan kajian al-Qur`ân.

Munculnya gerakan pembaharuan keagamaan ini akan berpengaruh pula pada munculnya berbagai cara atau metode maupun tren atau kecenderungan yang digunakan sebagai pisau bedah guna merekontruksi pemahaman keagamaan yang berkembang selama empatbelas abad. Oleh karena itu, dalam sub bab ini akan memotret kecenderugan atau tren dan metode penafsiran yang berkembang pada era modern.

1. Tren Penafsiran

tren atau kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah suatu warna, arah, atau kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya

19 Fazlurrahman, Islam, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1979), cet. ke-2 h. 37

20 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2 20 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2

Berbicara mengenai tren atau kecenderungan mufassir, maka akan ditemukan pembagian yang dilakukan oleh sarjan Muslim maupun sarjana Barat. Misalnya dari sarjan Barat dikenal Ignaz Goldziher dalam karyanya Madzahib al- Tafsîr , Goldziher berasumsi bahwa terdapt lima kecenderungan dalam penafsiran al-Qur`ân, yaitu: (1) Penafsiran yang menggunakan bantuan hadits Nabi dan Para sahabat; (2) Penafsiran Dogmatis; (3) Penafsiran Mistik; (4) Penafsiran Sektarian;

dan (5) Penafsiran Modern. 22 Akan tetapi Goldziher dalam karya ini, belum membahas kecenderungan yang berkembang pasca Muhammad Abduh. Selain

Goldziher, J.J.G. Jansen mengkategorisasikan kecenderungan mufassir pada masa modern kedalam tiga kecenderungan, yaitu (1) Penafsiran yang bernuansa sosial

kemasyarakatan; (2) Penafsiran Saintifik; dan (3) Penafsiran filologik. 23 Sedangkan dari kalangan sarjan Muslim, yang dianggap sukses dalam

mengungkap kecenderungan tafsir modern adalah Muhammad Ibrâhîm Syarîf, yang mengkategorisasikan kecenderungan ini kedalam tiga kategori, yaitu: (1) al- Ittijâh al-Hidâ`î (tren kehidayaan al-Qur`ân); (2) al-Ittijâh al-Adabî (tren filologi

dan sastra); (3) al-Ittijâh al- 24 „Ilmî (tren saintifik). Lain halnya dengan pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Husein

al-Zahabî, yang mengemukakan tujuh macam kecenderungan yang berkembang

21 Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2008), cet. ke-1, h. 60, Liihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 388 22 Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî , terj. „Abd al-Halîm al-Najjâr, (Kairo:

Maktabah al-Khânijî, 1995), h. 6-11. Dalam pandangan Jansen, klasifikasi yang dilakukan oleh I. Goldziher diatas terdapat sisi kelemahan, misalnya ia menggolongkan tafsir al-Kasysyâf karya mufassir sekaliber al-Zamakhsyari sebagai tafsir dogmatis, karena keterlibatannya dalam mendukung aliran Muktazilah. Akan tetapi jika dilihat pada sumbangsihnya terhadap penafsiran filologis, tafsir ini mempunyai peranan sangat penting dalam analisis sintaksis ayat-ayat al-Qur`ân. Karena menurut Jansen al-Zamakhsyari merupakan tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap al-Qur`ân setelah Abu Ubaidah. Lebih lanjut lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt , (Leiden: E.J.Brill, 1974), h. 5-6

23 J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, h. 96 Pembagian yang dilakukan oleh Jansen ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Iffat Syarqawi, akan tetapi

Jansen menjelaskan dalam catatan kaki pada pengantar bukunya, mengatakan bahwa ia baru menemukan buku Iffat Syarqawi ketika ia hampir selesai dalam merampungkan karya yang merupakan hasil penelitiannya selama satu tahun sejak 1966-1967. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt , h. ix

24 Adapun penjelasan lebih detail dari ketiga kecenderung yang dikategorisasikan oleh Ibrâhim Syarîf, lihat Muhammad Ibrâhîmm Syarîf, Ittijâhât al-Tajdîd fî Tafsîr al-Qur`ân al-

Karîm , h. 229-441 Karîm , h. 229-441

Kemunculan tren adabi ijtimâ‟i atau hidâ`i, disebabkan problem yang dihadapi oleh umat Islam saat itu, yang mengalami kemunduran dan terpecah belah, dan dominasi Barat atas pemerintahan Islam dalam berbagai sektor kehidupan, seperti budaya, ekonomi dan militer. Oleh karena itu-permasalahan ini-mendorong munculnya paradigma baru dalam memperbaiki dan membangkitkan kembali kondisi umat Islam dari keterbelakangan tersbut.

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para reformis Islam ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para ulama pendahulunya, ketika umat yang dihadapinya menghadapi sebuah problem. Namun demikian tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan diantara keduanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Iffat Syarqawi, bahwa mufassir klasik lebih cenderung menggunakan pendekatan filosofis dalam banyak hal untuk menghadapi tantangan zamannya, sedangkan para mufassir modern lebih menekankan pada gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat, dengan mengelaborasi temuan-

temuan muafssir klasik kemudian mengemasnya dengan baik. 26 Adapun penafsiran saintifik, kecenderungan model ini dalam penafsiran

al-Qur`ân sebenarnya telah lama dikenal. Jika ditelisik lebih jauh, cikal bakal permulaan penafsiran ini telah ada pada masa khalifa al-Ma`mun (w. 853 M) yang mana pada masa khalifah ini penerjemahan kitab-kitab ilmiah dari Eropa kedalam

bahasa Arab digalakkan. 27 Pola penafsiran ini didasarkan pada asumsi bahwa berbagai macam penemuan seperti sains dan teknologi modern telah tersadur

dalam al-Qur`ân, dan ditemukannya banyak referensi-referensi yang jelas terntang

25 Muhammad Husein al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Beirut: Ihyâ al- Turâts al- „Arabi, 1976), h. 20. Sedangkan M. Quraish Shihab, menyebutkan terdapat enam corak

atau kecenderungan tafsir yang dikenal hingga saat ini, yaitu: corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqhi atau hukum, corak tasawuf, corak sastra dan budaya kemasyarakatan. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , (Bandung: Mizan, 1992), h. 72

26 Iffat M. Syarqawî, Qad âyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, (t.tp.: Maktabah al- Syabâb, 1980), h. 80

27 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , h. 101. Sedangkan menurut Jansen, munculnya tafsir ilmiah modern merupakan

pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt , h. 67 pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh abad kesembilan belas dunia Islam di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab ini dikarenakan superioritas teknologi Eropa. Lihat lebih lanjut J.J.G. Jansen, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt , h. 67

bakteri yang dapat menimbulkan penyakit. 28 Tren penafsiran model ini menuai pro dan kontra tentang pengabsahannya

dikalangan mufassir baik klasik maupun modern. Para pendukung model penafsiran ilmiah ini sering mengutip statemen al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Jawâhir al-Qur`ân guna membela keabsahannya, dalam bukunya ini al-Ghazali menjelaskan bahwa al-Qur`ân hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya. Sebagaimana seseorang tidak akan dapat memahami al-Qur`ân tanpa memiliki pengetahuan tentang tata bahasa Arab, demikian pula seseorang tidak dapat

memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang bunyi artinya “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”, 29 jika ia tidak mengerti ilmu

kedokteran. 30 Diantara ulama ataupun mufassir yang digolongkan pendukung tafsir ilmiah ini adalah al-Razi, al-Mursi, al-Suyuthi, al-Ghazali, serta Muhammad

Abduh dan Thanthawi Jauhari. Sedangkan yang menolak penafsiran ilmiah ini diantaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha, Amin al-Khûlî, Mahmud Syaltut,

Sayyid Quthub, Izzat Darwazah dan lainnya. 31 Para ulama ataupun mufassir yang tidak mengakui keabsahan model

penafsiran ini, karena mereka memandang bahwa 1) Secara leksikografik, penafsiran saintifik tidak dapaat diterima, karena ia secara salah mengaitkan “makna-makna modern” pada kosa-kata al-Qur`ân; 2) Mengabaikan konteks kata-

kata dan frase-frase dalam teks al-Qur`ân dan asbâb al-nuzûl; 3) Turang memperhatikan fakta bahwa al-Qur`ân dapat dipahami oleh audiens pertama; 4) Tidak memperhatikan fakta bahwa pengetahuan dan teori-teori saintifik sesuai dengan karakter dasarnya selalu tidak sempurna dan dan berkembang, karena itu

28 Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, Jurnal Refleksi PemikiranKeagamaan &

Kebudayaan, No. 18, Tahun 2004, h. 68 29 Q.S. 26 : 80, adapun redaksi ayat tersebut adalah:

     30 Abu Hamid al-Ghazali, Jawahir al-Qur`ân wa Duraruhu, (Beirut: Dâr al-Ihyâ` al-

„Ulûm, 1985), h. 45 31 Ahmad „Umar Abu Hajar, Al-Tafsîr al-„Ilmi Li al-Qur`ân fî al-Mîzan, (Beirut: Dâr al-

Kutaibah, 1991), h. 295-336.

mengadopsi pengetahuan dan teori-teori saintifik dari ayat-ayat al-Qur`ân akan berimplikasi pada pembatasan validitas ayat-ayat tersebut untuk masa dimana temuan-temuan saintifik itu diterima; 5) Kegagalan dalam memahami bahwa al- Qur`ân bukan kitab ilmu pengetahuan, tetapi kitab Agama yang di desain untuk membimbing manusia dengan memberikan kepada mereka sistem keyakinan dan

nilai-nilai moral. 32 Dari polemik-polemik yang terjadi antara yang pro dan kontra terhadap

penafsiran saintifik ini pada akhirnya melahirkan sikap kompromistik, sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa al- Qur`ân memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan, namun demikian al-Qur`ân tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah kitab ilmu pengetahuan. al-Qur`ân lebih merupakan kitab petunjuk daripada teori-teori ilmu. Oleh karena itu memahami ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan penemuan-penemuan baru merupakan ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur`âniyah dan

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketenteuan bahasa. 33 Pada dasarnya-terlepas dari pro-kontra yang terjadi-upaya yang dilakukan oleh para

mufassir ilmiah ini adalah keinginan untuk membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan modern yang

menjadi simbol peradaban modern. 34 Sedangkan penafsiran filologik dan sastra ini sebenarnya telah dimulai

sejak awal abad modern oleh penganut tren sosial kemasyarakatan yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan al-Marâghi. Akan tetapi belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah yang sistematis sebagaimana yang berkembang setelahnya, akan tetapi masih sebatas pengungkapan retorika al-Qur`ân, karena menurut mereka tujuan dari tafsir al- Qur`ân adalah mewujudkan hidayah al-Qur`ân. Dan tidak salah kiranya jika dikatakan tren ini mencapai puncak kematangannya pada masa Amin al-Khûli,

32 Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 71-72. Untuk informasi tentang tanggapan dan

kritikan terhadap tafsir „ilmi serta argumentasinya, lebih lanjut lihat „Abd al-Majîd Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fî al- „Asr al-Râhin, („Ammân-Yordan: Mansyûrât Maktabah al- Nahdah al-Islâmiyah, 1982), cet. ke-2.

33 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , h. 60

34 Iffat M. Syarqawî, Qad âyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, h. 88 34 Iffat M. Syarqawî, Qad âyâ Insâniyah fi A‟mâl al-Mufassirîn, h. 88

„Arabiyah al-Akbar wa Atsaruha al-Adabi al- A„zham), oleh karena itu dia mengatakan dalam mengkaji al-Qur`ân ada dua hal yang fundamental harus dilakukan, yaitu: 1) mengeksplorasi latarbelakang historis dan situasi-situasi awal pewahyuan; 2) Menetapkan makna yang tepat untuk kata per kata teks (al-Qur`ân) sebagaimana yang dipahami oleh audiens pertama, dengan memperhatikan

seluruh pengetahuan yang relevan dan dihimpun dalam metode ini. 35 Meskipun al-Khûli hingga akhir hayatnya tidak meninggal karya tafsir

yang menjabarkan akan ide dan metodenya, tetapi para murid-muridnya dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam karya mereka, misalnya „Âisya „Abd al-

36 Rahman Bintu al-Syâti`î 37 dan Muhammad Ahmad Khalafullah .

2. Perkembangan Metodologi Tafsir

Dalam menelaah kitab tafsir yang ada hingga saat ini, terdapat sebagian mufassir yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dan sebagian lainnya merujuk pada temuan ulama modern-kontemporer. Adapun metode tafsir yang kepada tradisi ulama salaf, dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk penafsiran, yaitu:

1) tafsir yang berdasarkan riwayat atau dengan istilah populernya disebut dengan al-tafsîr bi al-ma`tsûr ; 2) tafsir yang berdasarkan dirâyah atau yang dikenal dengan al-tafsîr bi al-ra`yi; dan 3) tafsir yang berlandaskan pada isyarat atau

populer dengan nama al-tafsîr al-isyârî. 38 Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan pada temuan ulama

kontemporer semisal al-Farmawi, terdapat empat buah metode yang berkembang

35 Lihat Rotraud Wielandt, Tafsir al-Qur`ân: Masa Awal Modern dan Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Tashwirul Afkar, h. 73

36 Dalam pengantar tafsirnya, Bintu al-Syâti`î menyatakan bahwa dalam menulis tafsirnya ini ia berharap akan pengukuhan metode yang dicanangkan oleh gurunya yang juga sekaligus

suaminya. Lebih lanjut lihat „Âisya „Abd al-Rahman Bintu al-Syâti`î, al-Tafsîr al-Bayânî Li al- Qur`ân al-Karîm , Juz 1, (Kairo: Dâr al-Manâr, t.th.), cet. ke-7, h. 15

37 Aplikasi tren filologik dan sastra oleh Khalafullah dapat dilihat dalam karyanya al- Fann al-Qasasî fî al-Qur`ân al-Karîm . Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qasasî fî al-

Qur`ân al-Karîm , Syarh wa Ta‟lîq Khalîl „Abd al-Karîm, (Beirut: Mu`assasah al-Intisyâr al- „Arabî, 1999), cet. ke-4.

38 Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al- Mufassirîn , (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18 38 Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al- Mufassirîn , (Kairo: Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18

metode tersebut, hanya dua metode yang populer digunakan yaitu tahlîlî dan maud 40 û„î, sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh Quraish Shihab.

Jika berdasarkan hasil orientasi pengembangan ilmu tafsir dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia tahun 1989, terdapat dua rumusan tentang pengelompokkan metode-metode tafsir yang berkembang dari generasi ke generasi. Kelompok pertama rumusan metode yang mengacu kepada sumber rujukan al-Qur`ân yaitu riwâyah , dirâyah dan isyârî, termasuk dalam kategori metode klasik. sedangkan empat metode yang disebutkan terakhir (global, analitis, perbandingan, dan tematik) yang kemudian ditambah dengan satu metode yang berkembang belakangan yaitu metode kontekstual yang menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat dan pranata- pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan

selama turunnya al-Qur`ân, termasuk dalam kategori tafsir kontemporer. 41 Dari klasifikasi diatas, penulis hanya akan mengutarakan perkembangan

metode yang berkembang pada era modern-kontemporer berikut ini.

1. Metode Global

Metode global ini disinyalir oleh pakar tafsir sebagai metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur`ân, hal didasarkan atas fakta bahwa pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahasa khususnya bahasa Arab bukanlah sebuah persoalan yang krusial yang dapat menghambat dalam memahami al-Qur`ân. Faktor lain yang mendasari hadirnya metode ini adalah selain para sahabat merupakan orang Arab, mereka juga mengetahui secara baik latar belakang turunnya wahyu atau asbâb al-nuzûl ayat, bahkan mereka menyaksikan dan terlibat langsung dalam situasi dan kondisi dimana ayat-ayat al-

39 „Abd al-Hayyî al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maud û„iyah, (Kairo: Matba„ah al-Hadârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23

40 M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , h. 86

41 Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Zufran Rahman dalam buku Petunjuk Tentang Hasil Orientasi Pengembangan Ilmu Tafsir , yang di terbitkan oleh Ditjen Binbaga Islam,

Ditbinpertais, Departemen Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya, Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, ed. Terj. (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231

Qur`ân diturunkan. Sebagai contoh, ketika Nabi menafsirkan kata zhulm dengan makna syirk.

Dari realitas sejarah diatas, dapatlah dikatakan bahwa metode global merupakan satu-satunya metode yang relevan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur`ân pada masa-masa awal Islam. Agaknya prosedur metode global yang praktis dan mudah ini, memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir dengan menerapkan metode ini, semisal Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w.864 H) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî (w. 911 H) yang menulis kitab tafsir yang sangat

populer dan dikenal dengan nama Tafsîr al-Jalâlain. 42 Pada era modern, kecenderungan menerapkan metode global ini diikuti pula oleh Muhammad Farid

Wajdi (w. 1940 M) dalam karyanya Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm dan al-Tafsîr al- Wasît 43 .

2. Metode Analitis

Selain ketidak puasan terhadap prosedur kerja metode global, terdapat faktor yang sangat dominan yang menentukan hadirnya metode analitis ini. Faktor tersebut adalah semakin meluasnya daerah umat Islam, dengan demikian umat Islampun bertambah secara kuantitas, pemeluk Agama Islam tidak hanya dari orang Arab akan tetapi juga dari orang non-Arab. Hal tersebut berdampak pada terjadi perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam, berbagai peradaban dan tradisi non-Islam pun terinternalisasi kedalam khazanah intelektual Islam.

Kondisi demikian inilah yang mendorong para ulama tafsir untuk menemukan sebuah metode yang relevan dengan perkembangan yang terjadi pada saat itu. Maka para ulama tafsir saat itu menerapkan metode analitis dalam menafsirkan al-Qur`ân yang dianggap relevan. Dalam prakteknya, metode analitis ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu al-ma`tsûr dan al-ra`yu, yang dalam penyajiannya meliputi bebagai corak sesuai dengan kecenderungan mufassir saat

itu, seperti corak kebahasaan, hukum atau fiqhi, „ilmi, sufistik, falsafi, dan sastra sosial kemasyarakatan. 44

42 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 3-5

43 „Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maudû„iyah, h. 44

44 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 6-7

3. Metode Perbandingan

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kehadiran metode analitis dapat memberikan informasi lengkap tentang kondisi, kecenderungan dan kepakaran mufassir. Akan tetapi jika dihadapkan pada ayat-ayat al-Qur`ân yang beredaksi mirip tetapi pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda, maka metode analitis ini akan dirasa kurang refresentatif untuk diterapkan dalam memahaminya.

Fakta diatas tampaknya menjadi motif hadirnya sebuah metode yang prosedur kerjanya membandingkan ayat-ayat al-Qur`ân yang pernah diartikulasikan oleh ulama terdahulu dalam memahami pesan al-Qur`ân ataupun hadits-hadits Nabi. Metode ini dikenal dengan metode perbandingan (muqârin). Adapun sasaran kajiannya meliputi tiga aspek, yaitu: perbandingan ayat al-Qur`ân dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur`ân dengan hadits Nabi, dan

perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lainnya. 45 Keunggulan metode perbandingan ini terletak pada 1) Memberikan

penafsiran yang relatif luas terhadap pembaca; 2) mentolerir perbedaan pandangan sehingga dapat mencegah sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu; dan 3) Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. Adapun sisi kelemahannya, terletak pada 1) Tidak cocok untuk dikaji oleh para pemula karena muatan materi pembahasannya terlalu luas dan terkadang agak ekstrim; 2) Kurang dapat diandalkan dalam menjawab persoalan sosial yang berkembang di masyarakat; dan 3) Terkesan dominant membahas penafsiran ulama terdahulu

daripada penafsiran baru. 46

4. Metode Tamatik

Selaras dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi ini, muncullah berbagai problem dan pandangan yang mendesak untuk ditindak lanjuti secara serius. Sehingga problem dan solusi yang diberikan oleh mufassir sebelumnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha agaknya kurang relevan lagi dengan kondisi masa kini, atau dengan kata lain tidak menjadi prioritas utama untuk

45 M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191 46 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144 45 M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191 46 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144

Pemikiran dasar dari metode tematik ini diarahkan pada kajian pesan al- Qur`ân secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat

atau surat al-Qur`ân menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. 48 Sebenarnya penafsiran al-Qur`ân secara tematis ini telah dirintis dalam sejarah

penafsiran, meskipun berbeda sistematika penyajiannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya yang ditulis oleh Ibn Qayyîm al-Jauzyah (w. 751) yang menulis tentang sumpah dalam al-Qur`ân dalam karyanya al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur`ân, Abû Ubaidah (w. 210 H) yang menulis Majâz al-Qur`ân, al- Farrâ‟ (w. 207 H) menulis 49 Ma‟ânî al-Qur`ân, dan yang lainnya.

Dari keempat metode yang telah diutarakan diatas, masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu menurut penulis kelemahan dan keunggulan yang dimiliki oleh metode-metode tersebut dapat dijadikan sebagai energi positif, paling tidak keunggulannya dapat memperkaya prosedur penafsiran al-Qur`ân, baik yang terdapat dalam karya klasik maupun kontemporer. Sedangkan sisi kelemahannya dapat kita jadikan faktor pemicu dan pendorong untuk menghadirkan sebuah metode yang lebih revresentatif. Dari kelemahan keempat metode diatas, pada akhirnya menghadirkan sebuah metode baru yang dikenal dengan metode tafsir kontekstual sebagaimana yang akan dibahas dibawah ini.

5. Metode Kontekstual

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sekilas apa yang dimaksud dengan metode kontekstual, metode ini merupakan metode yang berusaha menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama proses wahyu al-Qur`ân berlangsung.

47 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , h. 112-113

48 Pada dasarnya ide ini telah disinggung oleh al-Syâtibî (w. 790 H) dalam karyanya al- Muwâfaqât . Lebih lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al-

Syarî„ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr al-Ma„ârif, t.th.), h. 414-415 49 „Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maudû„iyah, h. 52. Lihat juga Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Mu`assasat al-Risâlah, 1994), cet. ke-25, h. 342

Kemudian dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam berbagai pendekatan tersebut. Bila dilahat dari subtansi metode kontekstual ini, maka berkaitan erat dengan hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis dan

filososfis. 50 Dari sini kiranya dapat diasumsikan, bahwa jika metode ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur`ân, maka persoalan dan tema pokok yang

dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur`ân hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial dewasa ini.

Sedangkan dalam pandangan Noeng Muhadjir, istilah kontekstual ini memiliki tiga pengertian: (1) upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situsional; (2) pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, dimana sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis masa lalu, makna fungsional masa kini, dan memprediksikan makna (yang dianggap relevan) di kemudian hari; dan (3) mendudukkan keterkaitan antara yang sentral dan periferi, dalam artian bahwa yang sentral adalah teks al-Qur`ân dan yang periferi adalah terapannya. Atau dengan kata lain mendudukkan al-Qur`ân sebagai

sentral moralitas. 51 Syukri Saleh dalam hasil penelitiannya meyatakan bahwa metode

kontekstual ini merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Dimana metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat subtansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, seperti asbâb al-nuzûl dan nâsikh mansukh, dan metode tematik meramu ayat-ayat dibawah satu tema, yang dapat diandalkan dalam menjawab berbagai persoalan aktual dan bersifat pemecahan problem (problem solving). Adapun metode hermeneutika selain memandang ayat-ayat al-Qur`ân secara utuh, meneliti kata-kata al-Qur`ân sesuai dengan konteksnya, dan menjadikan asbâb al-nuzûl sebagai data sejarah yang penting dalam menemukan kontekstual ayat, juga memfungsikan pendekatan

50 Ricard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer , (Evanston: Northwestern University Press, 1969), h. 34-45

51 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), edisi ke-4, h. 263-264 51 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), edisi ke-4, h. 263-264

Kemunculan metode kontekstual ini pada dasarnya dipicu oleh adanya kekhawatiran akan pengabaian terhadap kondisi dan latar belakang turunnya suatu ayat ketika penafsiran al-Qur`ân dilakukan dengan cara tekstual. Sehubungan dengan hal tersebut, Munawir Sjadzali mengutip pernyataan Abduh yang mengingatkan supaya berhati-hati dalam membaca karya-karya tafsir terdahulu, karena proses penulisannya berlangsung dalam kondisi dan tingkat intelektual masyarakat yang belum tentu sama dengan zaman sekarang. Oleh karenanya Abduh menghimbau untuk mengkaji pesan al-Qur`ân secara langsung dan jika memungkinkan menghadirkan karya tafsir sendiri. Akan tetapi jika ingin mewujudkan poin kedua tersebut, seseorang harus memiliki pengetahuan dan kemampuan bahasa yang memadai, memahami sejarah Nabi khususnya situasi lingkungan masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, dan menguasai sejarah

manusia pada umumnya. 53 Melihat pernyataan yang diungkapkan Abduh tersebut, mencerminkan

perbedaan dalam memposisikan asbâb al-nuzûl dalam metode tematik dengan metode kontekstual ini, dimana dalam metode tematik, asbâb al-nuzûl dipahami sebagai alat Bantu untuk memahami pesan al-Qur`ân sebagai latar belakang mikro turunnya ayat atau surat. Sedangkan dalam metode kontekstual, bukan hanya sebatas mengkaji asbâb al-nuzûl akan tetapi juga mengkaji latar belakang sosiologis-antropologis masyarakat dimana al-Qur`ân diturunkan, kemudian dicari prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar dan moral yang terkandung dalam kedua data sejarah tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal ini, selain Amîn al-Khûlî (w.1966 M) dan Fazlur Rahman (w. 1988 M) yang dicatat diantara tokoh yang menggagas metode kontekstual dalam penafsiran, tidaklah keliru kiranya bila Darwaza juga termasuk diantara tokoh yang menerapkan metode ini dalam menafsirkan al-Qur`ân. Karena secara prinsipil, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Amîn al-Khûlî dan Fazlur

52 A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al- Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 63

53 Munawir Sjadzali, "Ijtihad dan Kemaslahatan Umat", dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), h. 121

Rahman terdapat kesamaan dengan apa yang dirumuskan oleh Darwaza dalam prinsipnya dan diterapkan dalam tafsirnya.

Secara spesifik metode kontekstual yang dirumuskan oleh Amîn al-Khûlî- sebagaimana yang dikutip oleh Bint al-Syâti' dari karyanya Manâhij Tajdîd- terangkum dalam empat aspek: (1) pada dasarnya metodologi adalah penanganan al-Qur`ân secara obyektif dengan cara mengkoleksi semua surah dan ayat yang berkaitan dengan tema yang dikaji; (2) Menata ayat-ayat berdasarkan sebab turunnya demi melacak situasi, waktu dan tempat, seperti yang diisyaratkan dalam asbâb al-nuzûl . Riwayat ini tidak lain adalah konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafazh bukan sebabnya yang khusus. Dalam hal ini, asbâb al-nuzûl dipandang sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan sejauh fungsinya dalam melacak penjelasan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat dan sebab-sebabnya; (3) penulusuran arti linguistik aslinya dalam bahasa Arab demi memahami arti kata-kata yang dimuat dalam al-Qur`ân; dan (4) untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, yang dipedomani adalah konteks nash dalam al-Qur`ân baik yang mengacu pada makna maupun semangatnya. Selanjutnya dikomfirmasikan dengan pendapat para mufassir, dan menghindari penggunaan riwayat isra`iliyat, faham sekretarian, dan

takwil yang bernuansa bid'ah. 54 Sedangkan langkah yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terdiri dari tiga

langkah, yaitu: pertama, Pendekatan historis demi menemukan makna tekstual al- Qur`ân. Dalam artian al-Qur`ân terlebih dahulu harus dikaji secara kronologis. Melakukan pengujian terhadap wahyu-wahyu awal guna mendapatkan sebuah persepsi yang cukup akurat mengenai motivasi mendasar dari gerakan Islam awal. Oleh karena itu seseorang harus mempelajari bentangan ajaran al-Qur`ân melalui karir dan perjuangan Nabi saw. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari upaya penafsiran al-Qur`ân secara berlebihan dan artifisial, selain itu metode ini juga akan menghasilkan maksud keseluruhan dari pesan al-Qur`ân secara sistematik dan logis.

Kedua , Pemisahan antara ketentuan hukum dan sarana atau tujuan al- Qur`ân, dengan kata lain seorang mufassir harus membedakan antara ketentuan

54 A'isyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâti', al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1968), cet. Ke-2, h. 10 54 A'isyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâti', al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur`ân al-Karîm, Jilid I, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, 1968), cet. Ke-2, h. 10

akan diuji dengan kebenaran konteks sosiologis historisnya. 55 Demikian halnya dengan Darwazah, dimana ia sangat memperhatikan sisi

historisitas dan setting sosiologis dimana Nabi hidup dan melakukan dakwahnya. Ini tercermin dari prinsip tafsirnya dimana ia mengatakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur`ân sangat penting kiranya memperhatikan relasi antara sîrah

dan lingkungan Nabi dengan al-Qur`ân dalam melakukan penafsiran yang baik. 56 Dan bila merujuk pada cara penafsiran Darwazah yang berdasarkan kronologi

pewahyuan, hal ini mengindikasikan bahwa Darwazah bermaksud untuk memetakan pemahaman historis terhadap pesan-pesan al-Qur`ân. 57 Sedangkan

pandangannya terhadap asbâb al-nuzûl, ia memposisikannya sebagai sebuah referensi dan faktor pendukung yang dapat dipertimbangkan guna memahami makna ayat, atau dengan kata lain asbâb al-nuzûl merupakan kondisi eksternal

pewahyuan. 58 Oleh karena itu ia menekankan akan universalitas makna bukan kekhususan sebab. Ia juga tidak ingin terlibat jauh dalam membicarakan isrâ`îliyât

dan kisah bangsa-bangsa kuno, karena menurutnya kisah-kisah tersebut bertujuan untuk melukiskan moral. Selain menghindari isrâ`îliyat, Darwaza juga

menghindari perdebatan madzhab dan filosofis yang spekulatif. 59

55 Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives", in International Journal of Middle Eastern Studies , vol. 1, no. 4, tahun 1970, h. 329-330

56 Muhammad Izzat Darwaza, Al- Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 2000), cet. ke- 2, h. 34-35 & 142-143

57 Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A contribution toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, ed. G.R. Hawting and

Abdul-Kader A. Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 238 58 Devy Aisyah Aziz, Metodologi Tafsîr al-Qur`ân Karya Darwazah; Kajian atas

Penafsiran Kisah al-Qur`ân dalam Kitab al-Tadsîr al-Hadits , dalam Jauhar; Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual , Jakarta: Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Vol. 3, No. 2, Desember 2002, h. 48

59 Darwaza, Al- Qur‟an al-Majid, fi Muqaddimah al-Tafsîr al-Hadîts, h. 205-206; lihat juga K. Poonawala, “Muhammad „Izzat Darwaza‟s Principles of modern exegesis: A contribution

toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur‟an, h. 239;

Metodologi Penafsiran Dalam Perspektif Sarjana Tafsir Modern

Dokumen yang terkait

UMUR PERUSAHAAN, UKURAN PERUSAHAAN, KEPEMILIKAN SAHAM PUBLIK DAN KELENGKAPAN PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN

0 0 15

STUDI KEAMANAN PERBANDINGAN BIOCHAR DAN TANAH DENGAN INDIKATOR CACING SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN KACANG HIJAU (Phaseolus radiatus)

0 0 20

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (TANTANGAN DAN SOLUSINYA)

0 0 17

PENGARUH EKSTRAK BUNGA KENANGA (Canangium odoratum) DAN BUNGA KAMBOJA KUNING (Plumeria acuminata) TERHADAP MORTALITAS NYAMUK RUMAH (Culex quenquiefasciatus) Ana Ulfia Hidayati1 , Suhirman2 , dan Dwi wahyudiati3

0 0 9

A. PENDAHULUAN - LAYANAN KONSELING KELOMPOK SEBAGAI PROSES PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS XI SMKN I PACITAN TAHUN PELAJARAN 2016/2017.

0 2 13

PERBEDAAN AKTIVITAS BAKTERI TANAH PENDEGRADASI MINYAK ANTARA YANG DIALIRKAN UDARA DAN PENAMBAHAN PEROKSIDA (H2O2) SEBAGAI SUMBER OKSIGEN

0 0 17

PENGARUH JENIS SIRIH DAN VARIASI KONSENTRASI EKSTRAK TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida albicans Diana Etika Rahma Utami1 , Lutvia Krismayanti2 , dan Yahdi3

0 0 15

A. PENDAHULUAN - PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMKN I DONOROJO

0 0 11

A. PENDAHULUAN - TANAH PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

0 0 8

PENDEKATAN INTEGRALISTIK PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH (Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam) Oleh: Rima Umaimah Abstrak - PENDEKATAN INTEGRALISTIK PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH (Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam)

0 0 13