Hukum Makan Daging Buaya untuk Pengobata

MAKALAH AGAMA ISLAM

Hukum Memakan Daging Buaya dalam Pengobatan Suatu Penyakit
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Agama
Islam
Dosen Pengampu

: E. Baihaqie,Drs

Nama Anggota/ NPM

: Anisa Setia Wardani (A 141

059)
Hj. Marwatul Zamil (A 141 077)

Kelas

: Reguler Pagi B

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat

Allah SWT atas segala

rahmat serta kasih sayang dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada
seluruh ciptaan-Nya, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah SWT, kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Memakan Daging Buaya
dalam Pengobatan Suatu Penyakit”.
Adapun tujuan dari Penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu
tugas mata kuliah Agama Islam. Dalam Penyusunan makalah ini, kami
banyak mengalami kesulitan dan hambatan, hal ini disebabkan oleh
keterbatasan ilmu pengetahuan yang kami miliki.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami

pada khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Aamiin.
Kami

sebagai

penyusun

sangat

menyadari

bahwa

dalam

penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang ditujukan untuk membangun.

Bandung,


Maret 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................6
C. Tujuan Makalah ...............................................................6
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................8
BAB III PENUTUP ..........................................................................19
A. Kesimpulan ....................................................................19
B. Saran..............................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di
dua alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas.
Binatang buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram
dimakan.
Sedangkan kebolehan memakan sesuatu yang haram hanya berlaku
dalam kondisi darurat yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta dan
agama. Misalnya, di tengah gurun pasir saat tidak ada makanan untuk
menyambung hidup, kita dibolehkan memaka ular gurun yang kebetulan
kita temukan. Meski ular itu haram dimakan pada dasarnya, tetapi dengan
alasan darurat, untuk saat itu saja, boleh dimakan sekedar untuk
menyambung hidup.
Ular itu langsung berubah menjadi haram kalau tiba-tiba ada jenis
makanan

lain

yang


halal,

meski

harus

berjalan

jauh

untuk

mendapatkannya. Semua ini menganut pada asas dan kaidah bahwa
kedaruratan itu bisa menghalalkan yang haram, namun keharaman akan
segera kembali bila kedaruratan itu hilang. Adapun untuk pengobatan,
sebenarnya tidak ada istilah darurat, apalagi bila tidak terkait dengan
kepentingan pertolongan pertama yang bersifat darurat. Tapi hanya
sekedar alternatif biasa. Maka prinsip dasar yang telah ditetapkan syariah
adalah bahwa Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya. Dan
obat yang Allah turunkan itu bukan pada makanan yang diharamkan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
‫وع م ك‬
‫جعم م‬
‫ي مقا م‬
‫ما‬
‫ش م‬
‫م م‬
‫ل ف‬
‫ة مر ف‬
‫م يم م‬
‫ل إف ل‬
‫نأ ي‬
‫م م‬
‫م ففي م‬
‫فامءك ك م‬
‫ه لم م‬
‫ن مالل ل م‬
‫ي مالل ل ك‬
‫سل م م‬
‫ن مالن لب ف ي‬

‫ه ع من ممها ع م م‬
‫ض م‬
‫م م‬
‫م‬
‫حلبان‬
‫م" أ م‬
‫ن ف‬
‫ه ا مل مب مي مهم ف‬
‫ح م‬
‫ص ل‬
‫خمر م‬
‫م‬
‫حلر م‬
‫ح ك‬
‫ج ك‬
‫م ع مل مي مك ك م‬
‫ و م م‬,‫ي‬
‫ه ا فب م ك‬
‫ق ي‬
Dari Ummi Salamah ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Sesungguhnya

Allah SWT tidak menjadikan obat untuk kamu pada hal-hal yang telah
diharamkannya." (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits
ini).
Karena itu, pengobatan dengan menggunakan khamar tetap
diharamkan, lantaran khamar adalah minuman yang diharamkan Allah.

Maka tidak mungkin Allah SWT menjadikannya sebagai obat untuk suatu
penyakit. Minum khamar tetap haram meski tujuannya untuk obat.
‫م‬
‫ن م‬
‫سأ م م‬
‫ن ا مل م م‬
‫سومي مد د مر ف‬
‫ضمر ف‬
‫ي; أ ل‬
‫ح م‬
‫ل ا مل م م‬
‫ما م‬
‫ن ك‬
‫خ م‬

‫ه ع من مهك م‬
‫ي مالل ل ك‬
‫ي عم م‬
‫ل مالن لب ف ل‬
‫ض م‬
‫طارفقم ب م م‬
‫م ي‬
‫ن موائ ف د‬
‫ومع م م‬
‫مر ف‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫م‬
‫قا م‬
‫ما‬
‫صن معكمها فللد لموافء? فم م‬
‫دامء" أ م‬
‫ ومأكبو م‬.‫م‬
‫خمر م‬

‫ وملك فن لمها م‬,‫ت ب فد مموادء‬
‫م م‬
‫ " إ فن لمها لي م م‬,‫ل‬
‫داوكد م ومغ مي مكرهك م‬
‫سل ف م‬
‫ه ك‬
‫ج ك‬
‫س م‬
‫يم م‬
Dari Wail Al-Hadhrami bahwa Thariq bin Suwaid ra. bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang hukum khamar yang dijadikan obat. Lalu
Rasulullah SAW bersabda, "Khamar itu bukan obat melainkan racun" (HR.
Muslim)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya juga. Maka
pandangan anda benar, makanan yang haram bila dijadikan obat
hukumnya akan tetap haram. Tidak dibenarkan memakan bagian dari
tubuh buaya, karena buaya termasuk binatang buas yang hukumnya
haram dimakan. Keharamannya ditambah lagi dengan satu hal, yaitu
buaya itu mati sebagai bangkai, karena tidak pernah mati dengan cara
disembelih sesuatu syariah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah memakan daging buaya dalam islam tidak diperbolehkan
meskipun digunakan sebagai sumber pengobatan ?
2. Adakah sumber hukum islam
menjelaskan mengenai hal ini ?

(Al-Qur’an

dan

Hadist)

yang

3. Selain buaya adakah hewan lain yang bisanya dijadikan sumber
pengobatan suatu penyakit yang diharamkan dalam islam ?
4. Apakah terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini ?

C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui haram atau tidaknya daging buaya yang bisa
dijadikan sumber pengobatan suatu penyakit kita konsumsi.
2. Hukum islam yang mengatur mengenai hal ini.

3. Untuk mengetahui selain buaya apakah ada hewan lain yang
diharamkan meskipun dijadikan sumber pengobatan.
4. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pendapat antar ulama
mengenai hal ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di dua
alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas. Binatang
buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram dimakan.
Sedangkan kebolehan memakan sesuatu yang haram hanya berlaku
dalam kondisi darurat yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta dan
agama. Misalnya, di tengah gurun pasir saat tidak ada makanan untuk
menyambung hidup, kita dibolehkan memaka ular gurun yang kebetulan kita
temukan. Meski ular itu haram dimakan pada dasarnya, tetapi dengan alasan
darurat, untuk saat itu saja, boleh dimakan sekedar untuk menyambung
hidup.
Ular itu langsung berubah menjadi haram kalau tiba-tiba ada jenis
makanan lain yang halal, meski harus berjalan jauh untuk mendapatkannya.
Semua ini menganut pada asas dan kaidah bahwa kedaruratan itu bisa
menghalalkan yang haram, namun keharaman akan segera kembali bila
kedaruratan itu hilang.
Adapun untuk pengobatan, sebenarnya tidak ada istilah darurat, apalagi
bila tidak terkait dengan kepentingan pertolongan pertama yang bersifat
darurat. Tapi hanya sekedar alternatif biasa. Maka prinsip dasar yang telah
ditetapkan syariah adalah bahwa Allah telah menurunkan penyakit dan juga
obatnya. Dan obat yang Allah turunkan itu bukan pada makanan yang
diharamkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
‫وع م ك‬
‫جعم م‬
‫ي مقا م‬
‫م‬
‫ش م‬
‫م م‬
‫ل ف‬
‫ة مر ف‬
‫ما م‬
‫م يم م‬
‫ل إف ل‬
‫حلر م‬
‫نأ ي‬
‫م م‬
‫م ففي م‬
‫فامءك ك م‬
‫ه لم م‬
‫ن مالل ل م‬
‫ي مالل ل ك‬
‫سل م م‬
‫ن مالن لب ف ي‬
‫ه ع من ممها ع م م‬
‫ض م‬
‫م م‬
‫حلبان‬
‫م" أ م م‬
‫ن ف‬
‫ه ا مل مب مي مهم ف‬
‫ح م‬
‫ص ل‬
‫خمر م‬
‫ح ك‬
‫ج ك‬
‫ع مل مي مك ك م‬
‫ و م م‬,‫ي‬
‫ه ا فب م ك‬
‫ق ي‬
Dari Ummi Salamah ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah
SWT tidak menjadikan obat untuk kamu pada hal-hal yang telah
diharamkannya." (HR Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini).

Karena itu, pengobatan dengan menggunakan khamar tetap diharamkan,
lantaran khamar adalah minuman yang diharamkan Allah. Maka tidak
mungkin Allah SWT menjadikannya sebagai obat untuk suatu penyakit.
Minum khamar tetap haram meski tujuannya untuk obat.
‫م‬
‫ن م‬
‫سأ م م‬
‫ن ا مل م م‬
‫سومي مد د مر ف‬
‫ضمر ف‬
‫ي; أ ل‬
‫ح م‬
‫ل ا مل م م‬
‫ما م‬
‫ن ك‬
‫خ م‬
‫ه ع من مهك م‬
‫ي مالل ل ك‬
‫ي عم م‬
‫ل مالن لب ف ل‬
‫ض م‬
‫طارفقم ب م م‬
‫م ي‬
‫ن موائ ف د‬
‫ومع م م‬
‫مر ف‬
‫م‬
‫قا م‬
‫صن معكمها فللد لموافء? فم م‬
‫دامء" أ م م‬
‫داوكد م‬
‫ ومأكبو م‬.‫م‬
‫خمر م‬
‫ ومل مك فن لمها م‬,‫ت ب فد مموادء‬
‫م م‬
‫ " إ فن لمها ل مي م م‬,‫ل‬
‫سل ف م‬
‫ه ك‬
‫ج ك‬
‫س م‬
‫يم م‬
‫ما‬
‫ومغ مي مكرهك م‬
Dari Wail Al-Hadhrami bahwa Thariq bin Suwaid ra. bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang hukum khamar yang dijadikan obat. Lalu Rasulullah
SAW bersabda, "Khamar itu bukan obat melainkan racun" (HR. Muslim)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya juga. Maka
pandangan anda benar, makanan yang haram bila dijadikan obat hukumnya
akan tetap haram. Tidak dibenarkan memakan bagian dari tubuh buaya,
karena buaya termasuk binatang buas yang hukumnya haram dimakan.
Keharamannya ditambah lagi dengan satu hal, yaitu buaya itu mati sebagai
bangkai, karena tidak pernah mati dengan cara disembelih sesuatu syariah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang hukum
daging buaya, hal itu dikarenakan apakah binatang tersebut dimasukkan
kedalam kelompok binatang amfibi yang hidup di dua alam atau tidak? dan
apakah ia termasuk binatang buas atau tidak ?
DR Wahbah memasukkan buaya kedalam kelompok binatang yang hidup
di dua alam, seperti halnya katak, penyu, kepiting, ular, anjing laut dan
lainnya. Dan didalam hukum binatang amfibi ini terdapat tiga pendapat, yaitu :
1. Para ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan bahwa binatang itu semua
tidak halal dimakan dikarenakan termasuk kedalam binatang yang
menjijikan dan memiliki racun seperti ular. Nabi saw melarang membunuh
katak. Dan seandainya dibolehkan memakannya maka beliau saw tidak
akan melarang untuk membunuhnya.
2. Para ulama Maliki membolehkan memakan katak, serangga, kepiting,
kura-kura dikarenakan tidak adanya nash yang melarangnya. Dan

pelarangan binatang-binatang yang menjijikkan adalah apa yang
didalamnya terdapat pernyataan dari syariat dan segala yang dianggap
menjijikkan oleh diri seseorang selama belum ada nashnya maka ia
tidaklah haram.
3. Para ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa setiap hewan yang
hidup di darat yang termasuk kedalam kelompok binatang melata laut
maka tidak ia tidaklah halal tanpa disembelih, seperti burung laut, kurakura, anjing laut kecuali yang tidak memiliki darah seperti kepiting, dan
menurut Ahmad bahwa binatang ini boleh meski tanpa disembelih karena
termasuk hewan laut yang hidup di darat, tidak memiliki darah mengalir
sehingga tidak memerlukan penyembelihan yang mana hal ini berbeda
dengan binatang yang memiliki darah mengalir yang tidak halal tanpa
disembelih. Dan yang paling benar, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Muflih bahwa kepiting tidak halal kecuali dengan disembelih.
Kemudian beliau mengatakan bahwa buaya tidaklah halal untuk dimakan.
(Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2800)
Alasan lainnya yang menjadikan buaya tidak halal menurut para ulama
yang mengharamkannya untuk dimakan adalah bahwa ia termasuk kedalam
kelompok binatang buas, sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw melarang semua binatang buas yang memiliki taring dan
semua burung yang memiliki cakar.” (HR. Bukhori Muslim) juga yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw
bersabda bahwa memakan semua binatang buas yang memiliki taring adalah
haram”
Dikatakan binatang buas bertaring dikarenakan biantang itu menerkam
mangsanya dan menyerangnya dengan taring yang dimilikinya, dan perilaku
ini terdapat pada buaya. Bahkan buaya bukan hanya pemakan daging
sesama hewan akan tetapi tidak jarang juga ia memangsa manusia dengan
cara menerkam dan menyerangnya dengan taringnya.
Hukum Asal Hewan yang Hidup di Dua Alam
Yang kami ketahui tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih
dan tegas yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua

alam (laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang yang
hidup di dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: “Hukum asal segala
sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
a) Perselisihan Ulama
Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah hewan
yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.
Ulama Malikiyah : Membolehkan secara mutlak, baik itu katak,
kura-kura (penyu), dan kepiting.
Ulama Syafi’iyah : Membolehkan secara mutlak kecuali katak.
Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
Ulama Hambali : Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal
kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu
dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah.
Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama
sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.
b) Haramnya Katak
Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,
‫م‬
‫فد مع ي م م ك‬
‫سأ م م‬
‫ى‬
‫ن ف‬
‫أ ل‬
‫ن ط مفبيببا م‬
‫ ع م م‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ى‬
‫جعملمها ففى د مموادء فمن ممهاه ك الن لب ف ي‬
‫ض م د‬
‫ل الن لب ف ل‬
‫ن قمت مل فمها‬
‫ ع م م‬-‫صلى الله عليه وسلم‬-.
“Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu
Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Al Khottobi rahimahullah mengatakan, “Dalil ini menunjukkan bahwa
katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk hewan yang tidak
masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”
Bolehkah berobat dengan katak?
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Jika seseorang ingin berobat
dengan katak tentu saja ia perlu membunuhnya. Jika diharamkan untuk
membunuh, maka tentu saja dilarang pula untuk berobat dengannya. Katak
itu terlarang, boleh jadi karena ia najis atau boleh jadi karena ia adalah
hewan yang kotor.”

c) Apakah Buaya Halal Dimakan?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan.
Imam Ahmadrahimahullah memiliki pendapat,
‫ل كك ي‬
‫ي كؤ مك م ك‬
‫ح‬
‫ض م‬
‫سا م‬
‫حرف إ فلل ال ي‬
‫ما ففي ال مب م م‬
‫م م‬
‫فد مع م موالت ي م‬
‫ل م‬
“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya.”
Jika kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air
itu menjadi haram jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka
jadinya buaya pun bisa diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
buaya adalah binatang bertaring dan ia memangsa buruannya dengan
taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk dalam pelarangan hewan bertaring
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫م‬
‫كك ي‬
‫م‬
‫ب ف‬
‫ه م‬
‫حمرا م‬
‫ن ال ي‬
‫سمبافع فمأك مل ك ك‬
‫ل فذي منا د‬
‫م م‬
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah
haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Namun qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas kuranglah tepat. Syaikh
Dr. Shalih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan,
“Adapun para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan
hewan air dengan hewan darat yang diharamkan, maka ini tidaklah tepat.
Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas) yaitu firman Allah
Ta’ala,
‫ح ل‬
‫ه‬
‫أك ف‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al
Maidah: 96).”
Kami lebih tentram memilih pendapat yang mengatakan bahwa
buaya

itu

halal

dimakan

karena

tidak

ada

dalil

tegas

yang

mengharamkannya sehingga kita kembalikan ke hukum asal, segala
sesuatu itu halal. Jika kami menyatakan halal, bukan berarti wajib atau
sunnah untuk dimakan, cuma boleh saja. Jika jijik atau tidak suka, yah
silakan. Yang kami bahas adalah masalah hukumnya.

d) Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan
Landak Laut
Pertama : Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
Pertanyaan : Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya,
landak laut ? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?
Jawaban:
Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,
‫كون ميت ب م‬
‫م‬
‫م‬
‫ما ع مملى م‬
‫قك م‬
‫ما‬
‫طا ف‬
‫ما كأو ف‬
‫ن يم ك م م م م‬
‫ه إ فلل أ م‬
‫م م‬
‫ة أو م د م ب‬
‫م ك‬
‫عم د ي مط معم ك‬
‫حلر ب‬
‫ي ك‬
‫جد ك ففي م‬
‫ل مل أ ف‬
‫ي إ فل م ل‬
‫ح م‬
‫م‬
‫م‬
‫قا أ كه ف ل‬
‫س ب‬
‫س ك‬
‫م ف‬
‫ل ل فغمي مرف الل لهف ب فهف‬
‫ه رف م‬
‫حا أوم ل م م‬
‫فو ب‬
‫س أو م ف ف م‬
‫م م‬
‫زيرد فمإ فن ل ك‬
‫ح م‬
‫م‬
‫ج م‬
‫خن م ف‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi–karena sesungguhnya semua itu kotor–atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang
menyatakannya haram. Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama
menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini
berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
‫ح ل‬
‫ه‬
‫أك ف‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.”
(QS. Al Maidah: 96).
Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
air laut,
‫ح ي‬
‫ه‬
‫ماؤ كه ك ال م ف‬
‫مي مت مت ك ك‬
‫ل م‬
‫هكوم الط لكهوكر م‬
“Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69,
An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361,
Malik 43, Ad Darimi 729)
Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih
agar keluar dari perselisihan para ulama. Adapun buaya, sebagian
ulama

menyatakan

boleh

dimakan

sebagaimana

ikan

karena

keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya
mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) adalah
pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).
Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman
ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya
dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil
tegas), sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.
Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, Syaikh rahimahullah mengatakan,
“Seluruh hewan air itu halal bahkan untuk orang yang sedang ihrom.
Orang yang sedang ihrom boleh baginya berburu di laut. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
‫ح ل‬
‫م‬
‫ممتا ب‬
‫أك ف‬
‫سليامرةف وم ك‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫حير م‬
‫م ومفلل ل‬
‫مت ك م‬
‫ما د ك م‬
‫صي مد ك ال مب مير م‬
‫م ع مل مي مك ك م‬
‫عا ل مك ك م‬
‫ه م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬
‫م م‬
‫ما‬
‫ك‬
‫حكر ب‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat,
selama kamu dalam ihram.” (QS. Al Maidah: 96)
Yang dimaksud “shoidul bahr” adalah hewan air yang ditangkap
dalam keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah
hewan air yang ditemukan dalam keadaan sudah mati. Ayat tersebut
menerangkan (yang artinya), “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut
(yang ditemukan dalam keadaan hidup)”. Secara tekstual (zhohir ayat),
tidak ada yang mengalami pengecualian dalam ayat tersebut. Karena
“shoid” dalam ayat tersebut adalah mufrod mudhof. Sedangkan
berdasarkan kaedah mufrod mudhof menunjukkan umum (artinya:
seluruh tangkapan hewan air adalah halal, pen), sebagaimana pula
dalam firman Allah Ta’ala,
‫ها‬
‫صو م‬
‫م م‬
‫ة الل لهف مل ت ك م‬
‫ن ت معك ي‬
‫ومإ ف م‬
‫دوا ن فعم م‬
‫ح ك‬

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya” (QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata
nikmat menunjukkan atas seluruh nikmat.
Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa
pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan
katak, buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan
hewan-hewan ini tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan
tadi tetap halal (kecuali katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik
ditangkap dalam keadaan hidup maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad
Darb, kaset no. 129, side A]
Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa
hukum makan katak, ular (yang hanya hidup di air), dan kepiting?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Kalau kita melihat keumuman firman
Allah Ta’ala,
‫ح ل‬
‫ممتا ب‬
‫أك ف‬
‫سليامرةف‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫م ومفلل ل‬
‫عا ل مك ك م‬
‫ه م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa hewan-hewan
tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di darat
dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al
Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B]
Beliau juga ditanya dalam kajian Nur ‘ala Ad Darb, “Daging buaya
dan kura-kura itu halal dimakan ataukah haram? Karena kami
menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan. Berilah
penjelasan pada kami. Barakallahu fiikum.”
Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap
dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,
‫ح ل‬
‫ممتا ب‬
‫أك ف‬
‫سليامرةف‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫م ومفلل ل‬
‫عا ل مك ك م‬
‫ه م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan” (QS. Al Maidah: 96) Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul
bahr” maknanya adalah hewan air yang ditangkap hidup-hidup.
Sedangkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditangkap dalam
keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak
halal karena buaya termasuk hewan yang bertaring. Padahal Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan hewan yang
bertaring baik itu hewan buas. Sedangkan hewan darat piaraan (jinak)
yang bertaring pun diharamkan. Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al
Maidah ayat 69 menunjukkan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad
Darb, kaset no. 137, side A]
Syaikh

rahimahullah

pernah

menyannggah

orang

yang

mengharamkan buaya dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh
menyatakan bahwa yang dimaksud larangan dalam hadits adalah untuk
hewan darat yang bertaring. Sedangkan hewan buas yang hidup di air,
maka ia memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu, dihalalkan memakan
ikan hiu. Padahal ikan hiu juga memiliki taring yang digunakan untuk
memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)
Ulama saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah (Fatwanya, 23/24) sebagaimana
beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
yang telah lewat.
Ringkasan : Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya, kura-kura
dan kepiting itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan
pendapat ulama Malikiyah karena mereka menganggap setiap hewan air
itu halal.
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura
itu haram karena dianggap jijik (khobits), maka ini perlu ditinjau. Karena
khobits (jijik) itu bukanlah dalil tegas akan haramnya sesuatu. Adapun,

katak ada dalil tegas yang menunjukkan akan haramnya karena ia
termasuk hewan yang tidak boleh dibunuh.
e) Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi halal?
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang
bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih.
Contohnya adalah burung air,kura-kura, dan anjing laut. Kecuali jika
hewan tersebut tidak memiliki saluran darah seperti kepiting. Kepiting itu
dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad
pernah ditanya,
‫م‬
‫سمر م‬
‫ح ؟ مقا م‬
‫فقي م‬. ‫س ب فهف‬
‫ مل‬: ‫ل‬
‫ ي كذ مب م ك‬: ‫ه‬
‫طا ك‬
‫ال ل‬
‫ل لم ك‬
‫ن مل ب مأ م‬
“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas bagaimana
ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan
yang mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara
mengeluarkan darah dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir
darah dalam tubuhnya tidak butuh untuk disembelih.”
Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia
mati, tetap membuatnya halal.
Kesimpulan Mengenai Hewan Air
Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama : Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air) adalah
halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan
darat) adalah halal.
Kedua : Katak itu haram karena ada dalil yang melarang
membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka
tidak boleh dimakan.
Ketiga : Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.

Keempat : Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia termasuk
dalam keumuman ayat,
‫ح ل‬
‫ممتا ب‬
‫أك ف‬
‫سليامرةف‬
‫صي مد ك ال مب م م‬
‫م ومفلل ل‬
‫عا ل مك ك م‬
‫ه م‬
‫م ك‬
‫حرف ومط ممعا ك‬
‫ل ل مك ك م‬
‫م م‬
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan” (QS. Al Maidah: 96).
Hal

ini

berbeda

dengan

pendapat

sebagian

ulama

yang

mengharamkannya.
Kelima : Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut)
seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan
dengan jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah
seperti kepiting.
Keenam : Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika
dikonsumsi, tidak boleh dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
‫ه م‬
‫ما‬
‫قت ككلوا أ من م ك‬
‫وممل ت م م‬
‫م مر ف‬
‫كا م‬
‫م إف ل‬
‫ف م‬
‫حي ب‬
‫ن ب فك ك م‬
‫ن الل ل م‬
‫سك ك م‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
‫م‬
‫وممل ت كل م ك‬
‫م إ فملى الت لهمل كك مةف‬
‫قوا ب فأي م ف‬
‫ديك ك م‬
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195)
Ringkasnya, hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan
hewan lainnya yang dapat membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi.
Karena hewan ini termasuk hewan buas/pemangsa (as-sibaa`), dengan
demikian pengharamannya berdasar pada keumuman as-sunnah yang
melarang setiap hewan buas/pemangsa. Yaitu Berdasarkan hadits Abu
Tsa’labah al-Khusyani yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Malik dan

selainnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap hewan buas yang
bertaring makan memakannya haram.”
Juga karena hewan ini tergolong hewan yang khabits (buruk), dengan
begitu

pengharamannya

berdasar

pada

keumuman

ayat,

“Dan

mengharamkan bagi mereka segala yang buruk,”
Sementara telah terdapat keterangan larangan dari as-sunnah, berobat
dengan sesuatu yang haram. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam alBukhari dari hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu
yang diharamkan kepada kalian.”
Dan juga dari hadits Abu ad-Darda`, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Sesunguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, serta
menjadikan obat bagi setiap penyakit. Namun janganlah kalian berobat
dengan sesuatu yang haram.”
Dan terdapat beberapa hadits lainnya yang senada. .
Demikian pula, masih terdapat ragam jenis obat-obatan yang baik dan
berkhasiat serta dianjurkan oleh syara` semisal: habbat sauda`, madu,
minyak zaitun, ragam herbal dan selainnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Buaya termasuk hewan yang haram dimakan, selain karena hidup di dua
alam, yang utama alasannya karena buaya adalah binatang buas. Binatang
buas pemakan daging termasuk kelompok hewan yang haram dimakan.
Tidak dibenarkan memakan bagian dari tubuh buaya, karena buaya termasuk
binatang buas yang hukumnya haram dimakan. Keharamannya ditambah lagi
dengan satu hal, yaitu buaya itu mati sebagai bangkai, karena tidak pernah
mati dengan cara disembelih sesuatu syariah. Alasan lainnya yang
menjadikan buaya tidak halal menurut para ulama yang mengharamkannya
untuk dimakan adalah bahwa ia termasuk kedalam kelompok binatang buas,
sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang
semua binatang buas yang memiliki taring dan semua burung yang memiliki
cakar.” (HR. Bukhori Muslim) juga yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari
Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda bahwa memakan semua
binatang buas yang memiliki taring adalah haram”
Dikatakan binatang buas bertaring dikarenakan biantang itu menerkam
mangsanya dan menyerangnya dengan taring yang dimilikinya, dan perilaku
ini terdapat pada buaya. Bahkan buaya bukan hanya pemakan daging
sesama hewan akan tetapi tidak jarang juga ia memangsa manusia dengan
cara menerkam dan menyerangnya dengan taringnya.
B. Saran
Mengingat banyaknya penyakit yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
maka siswa/siswi harus benar-benar memahami mengenai sumber-sumber
pengobatan baik yang obat herbal dari tumbuhan maupun dari hewan namun
yang harus diperhatikan adalah bahan obat tersebut harus halal menurut
hukum islam, sehingga menjadi sebuah pengetahuan di masa depan. Maka
untuk pembuatan makalah selanjutnya diharapkan penulis dapat menyajikan
penjabaran materi yang lebih banyak lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Diakses melalui : m.eramuslim.com/makanan/haramkah-daging-buaya-walauuntuk-obat.html. Pada tanggal 09 Maret 2015
Diakses melalui : http://rumayasho.com/umum/hukum-hewan-yang-hidup-didua-alam-1046. Pada tanggal 11 Maret 2015
Diakses

melalui

:

http://ummfulanah.wordpress.com/2009/11/16/makan-

daging-buaya/. Pada tanggal 11 Maret 2015