A. Judul Skripsi - PROPOSAL SKRIPSI

  

ANALISIS YURIDIS SOSIOLOGIS ( SUATU KAJIAN

DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI TERPIDANA

MATI

  

(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan)

PROPOSAL SKRIPSI

  

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Disusun Oleh:

Nama : Auria Patria Dilaga

  

Nim : 8111409077

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

  

2011

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

  

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

FAKULTAS HUKUM

Rancangan Skripsi

  Nama : Bornok Mariantha Sidauruk Nim : 3450406046 Fak : Hukum

  A. Judul Skripsi

  ANALISIS MENGENAI EKSISTENSI PIDANA MATI DI

  INDONESIA ( SUATU KAJIAN DARI PENGARUH PSIKOLOGIS BAGI TERPIDANA MATI).

  B. Latar Belakang

  ictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.[2] Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

  Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat meninggalkan warisan yanjg sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang

  (dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan untuk hukum waris kemudian dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut, perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum Romawi.[3] Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Lihat pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi. Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum yang berarti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan[4] menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini juga harus dilihat dalam konteks ke-Indonesiaan. Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.

  Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara- negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU

  Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut. Dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut, karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan perintah pencantuman ke dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dll. Ketidak mampuan pemerintah dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidak tahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi peraturan tersebut. Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundang- undangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana. Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.

C. Pembatasan Masalah

  Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan ketidak jelasan pembahasan masalah maka penulis akan membatasi maslah yang akan di teliti, antara lain :

  1. Pengaruh letak domisili terhadap pengetahuan terhadap hukum yang berlaku.

  2. Eksistensi asas fictie hukum di masyarakat pedesaan dan perkotaaan 3. Output dari asas fictie hukum untuk upaya penegakan hukum.

  D.Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas mengenai Analisa psikologis terhadap eksistensi pidana mati di Indonesia bagi terpidana mati , maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaruh letak domisili mesyarakat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia?

  2. Bagaimana Eksistensi dan apakah asas fictie hukum berlaku di masyarakat pedesaan dan perkotaan di Indonesia?

  3. Sejauh mana output yang diharapkan dari asas fictie hukum untuk penegakan hukum di Indonesia?.

  Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

  Secara umum tujuan penulisan adalah untuk medalami berbagai aspek tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah. Secara khusus tujuan penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

  a. Untuk mengetahui pengaruh psikologis yang ditimbulkan pidana mati terhadap terpidana mati dan masyarakat di Indonesia.

  b. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan apakah pidana mati masih perlu untuk dipertahankan dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

  c. Untuk mengetagui sejauh mana urgensi pidana mati dalam memberi efek jera bagi pelanggar hukum berat dan mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah.

2. Manfaat penulisan

  Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

  a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi pengembangan teori ilmu hukum pidana terutama mengenai eksistensi dan dampak psikologis dari pidana mati di Indonesia. Selain itu dengan adanya tulisan ini penulis berharap dapat menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi pemikiran bagi penerapan pidana b. Manfaat Praktis Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum khususnya pembentuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai sekarang masih dalam Rancangan KUHP dan praktisi hukum, pejabat atau instansi terkait dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut terhadap pelaksanaan atau pun pemberlakuan pidana mati untuk mengantisipasi suatu tindak pidana terutama tindak pidana yang dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat. Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat mengetahui dam memberikan tanggapan terhadap perlu atau tidaknya pidana mati di Indonesia dalam rangka mengurangi tindak pidana lain.

E. Tinjauan Pustaka

1.1 Pengertian pidana dan pidana mati

  Istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang berkonotasi dengan bidang yang cuklup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.

  Oleh karena itu dipergunakan istilah “pidana” yang merupakan istilah yang lebih khusus dan dianggap lebih tepat bila dibandingkan dengan istilah “hukuman”. Untuk itu diperlukan pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.

  Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) bagianya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalamhukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (stafbaar feit).

  Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat atau defenisi dari para sarjana sebagai berikut : a. Sudarto.

  Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. b. Roeslan Saleh.

  Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu.

  c. Fitzgerald.

  Punisment is the authoritative infliction of suffering for an offence.

  d. Ted Honderich.

  “Punishment is an authority’s infliction of penalty (something involving defrivation or distress) on an offender for an offence”.

  Pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh seorang penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana.

  e. Sir Ruper t Cross Punisment means “The infliction of pain by the state on someone who has been convicted of an offence”. Pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.

  f. Burton M. Leiser.

  A punisment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law. g. H.L.A. Hart.

  Punisment must : 1) Involve pain or other consequences normally considered unpleasant; (mengandung penderitaan atau konsekuensi- konsekuensi yang lain yang tidak menyenangkan);

  2) Be for an actual or supposed offender for his offence; (dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana);

  3) Be for an offence against legal rules; (dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum);

  4) Be intentionally administered by human beings other that the offender; (dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana);

  5) Be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against with the offence is committed.

  (dijatuhkan dan dilaksanakan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut).

  h. Alf Ross.

  Punishment is that social responce which :

  1) Occurs where there is violation of a legal rule; (terjadi hubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum);

  2) Is imposed and carried out by autthorised. Person on behalf of the legal order to which the violated rule belongs; (dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasasehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

  3) Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant; (mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan);

  4) Expresses disapproval of the violator. (menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar). i. Di dalam “Black’s Law Dictionary” dinyatakan bahwa

  “punisment” adalah: “any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for some crime or offence commited by him, or of his omission of a duty enjoined by law”.

  Dari beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang;

  Ketiga unsur tersebut, pada umumnya terlihat dari defenisi-defenisi di atas, kecuali Alf Ross yang menambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa pidana itu harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku.

  Jadi pidana mati adalah pidana (reaksi atas delik atau nestapa) berupa kematian yang diputuskan dan dilaksanakan oleh negara karena perbuatan yang telah dilakukan orang itu yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam aturan hukum pidana tertentu. Pidana mati adalah suatu kegiatan bernegara yang sah karena diatur dalam hukum positif. Sedangkan kematian mempunyai kata dasar mati yang maksudnya adalah hilangnya nyawa seseorang atau tidak hidup lagi.

  Sudarto, juga mengemukakan bahwa dalam memandang maslah pemberian pidana mempunyai dua arti : a. Dalam arti umum, ialah yang menyangkut pembentuk undang- undang ialah yang menetapkan sanksi hukum pidana (hukum pidana in abstractor);

  b. Dalam arti konkrit ialah yang menyangkut bergabai badan atau jawaban yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan sanksi pidana itu.

  Pemberian pidana dalam arti umum itu merupakan bidang dari pembentukan undang-undang karena asas legalitas, yaitu singkatnya berbunyi : nullum delictum nulla poena, sine praevia lege (poenal).

  Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkannya secara dimana dan bagaiman cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi batas-batas berat ringannya dalam menjatuhkan penderitaan tersebut dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Jadi negara tidak dapat dengan bebas memilih jenis-jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP tersebut. Hal ini berkaitan dengan fungsi hukum pidana sebagai pembatas kekuasaan negara dalam arti perlindungan hukum bagi warga dari tindakan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi menegakkan hukum pidana. Sebelum penjajah datang ke Indonesia terutama bangsa Belanda, Indonesia telah mempunyai hukum yang mengatur tata kehidupan manusia, yaitu hukum adat. Begitu juga dengan pengaturan pemberian pidana terhadap pelaku kejahatan, dahulu dipergunakan hukum pidana adat. Dalam hukum pidana adat yang berlaku di Indonesia dari Aceh sampai Irian juga mengenal pidana mati jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia.

  Pidana mati yang tercantum dalam KUHP merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, diamana hukum pidana peninggalan Belanda tersebut aslinya masih dalam bahasa Bealanda yaitu “Wetboek van Strafrecht (WvS)” yang dinyatakan berlaku di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Staadblad 1915 No.

  732. Namun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, WvS tersebut masih diberlakukan bagi seluruh wilayah Republik Indonesia meskipun dengan beberapa perubahan. Begitu juga dengan ancaman pidana mati yang terdapat dalam KUHP tersebut belum dicabut walaupun KUHP sendiri telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Sebelum berlakunya WvS di Indonesia, yang berlaku adalah hukum pidana adat. Pidana mati dengan eksekusi yang kejam telah dikenal dalam hukum adat dibeberapa daerah tertentu di Indonesia.

  Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Gayo seorang pembunuh dan penghianat dapat saja ditembak mati. Di Batak, jika dilaksanakan. Demukian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan di Batak, menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membelas bahwa seorang pembunuh juga dapat dibunuh. Sedangkan di Cerebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana matijuga diancamkan bagi pelaku kaein sumban. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah, kalau yang bersalah tidak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati.

  Sedangkan di Lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain.

  Jadi, sebelum Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah dan menerapkan hukumnya, Indonesia terlebih dahuku telah mengenal pemberian pidana mati terhadap pelaku kejahatan. Hal ini terbukti dalam perundang-undangan Majapahit pun pidana mati sudah dikenal. Slamet Mulyana menulis bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal pidana penjara dan kurungan, yang dikenal ialah: a. Pidana pokok

  1) Pidana mati 2) Pidana potong anggota badan yang bersalah 3) Pidana denda 4) Ganti kerugian atau Panglicawa atau Patukucawa

  b. Pidana tambahan 1) Tebusan 2) Penyitaan 3) Patibajambi (pembeli obat)

  Tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati adalah pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbuatan perusuhan yaitu pencurian, membegal, menculik, mengawinkan wanita larangan, meracuni dan menenung. Akan tetapi setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana diberlakukan untuk Indonesia, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat melaksanakan eksekusi pidana mati seperti eksekusi pidana mato dalam hukum pidana adat.

  1. Teori- teori pemidanaan Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan sebagai hukuman. Jadi pemidanaan dapat diartikan dengan penghukuman.

  Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana.

  Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan dimasyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasannya.

  Dalam pandangan masyarakat, orang yang pernah dikenakan pidana seolah-olah mendapatkan cap, bahwa orang tersebut dipandang sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau orang yang tercela. Sudarto mengemukakan :

  “Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya berupa ‘cap’ oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat ‘jahat’. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapatkan stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup”

  Untuk dapat memahami secara luas tentang teori-teori pemidanaan maka terlebih dahulu harus mengkaitkannya dengan aliran-aliran di dalam hukum pidana yakni aliran klasik, aliran positif dan aliran neo klasik.

  Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa (ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitik beratkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut. Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang.

  Dengan pandangannya yang indeterministis mengenai kebebasan kehendak manusia aliran ini menitik-beratkan kepada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Hukum pidana yang dikehendaki ialah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht). Perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka terlepas dari orang yang melakukannya. Jadi, aliran ini mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku.

  Aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaannya. Dikenallah pada waktu itu sistem pidana yang ditetapkan secara pasti (definite sentence) yang sangat kaku (rigid), seperti terlihat pada The French Penal Code 1791. Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat dikurangi dan pidana yang ditentukan oleh undang-undang tidak mengenal keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahuku atas keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Prancis ini tidak membolehkan individulisasi di dalam penerapan pidana.

  Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang yaitu : 1) Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang- undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang.

  2) Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan.

  3) Asas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang berisi bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.

  Dua tokoh utama aliran klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Cesare Beccaria lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karyanya yang sangat terkenal yaitu Dei Delicti e Delle Pene tahun 1764 yang diterbitkan untuk pertama kali di Inggris pada tahun 1767 dengan judul On Crimes and Punishment. Filsafat yang mempengaruhi Cesare Beccaria secara kuat ialah mengeni kebebasan berkehendak. praktik-praktik hukum pidana dengan doktrin “pidana harus sesuai dengan kejahatan”. Ide inilah yang menjadi tema essensiil dari aliran klasik.

  Cesare Beccaria tidak yakin terhadap pidana yang berat dan kejam. Alasan utama dari penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan.

  Tokoh lain aliran klasik adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ia adalah seorang filsuf dari Inggris yang terlatih dalam hukum tetapi tidak pernah peraktik hukum. Ia diklasifikasikan sebagai penganut utilatarian hedonist. Diantara ide-idenya yang hebat adalah anjurannya bahwa “kebaikan terbesar harus untuk jumlah rakyat yang terbesar” (the greatest good must go to the greatest number). Salah satu teorinya yang sangat penting ialah mengenai “felific calculus”, yaitu bahwa manusia merupakan ciptaan/mahluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan kejahatan sebagaimana juga ditegaskan oleh Beccaria.

  Jeremy Bentham adalah seorang pemikir yang melihat kejahatan secara abstrak. Ia gagal melihat penjahat sebagai manusia, sebagai suatu hal yang hidup, kompleks, kepribadian yang beraneka ragam. Seperti Cesare Beccaria, ia melawan status quo dan berjuang dengan sengit untuk kontrol sosial, yaitu suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut prinsip etika yang baru. Prinsip itu ia sebut “Utilitarianism” yang menyatakan suatu perbuatan tidaklah dinilai oleh hal-hal yang mutlak (keadilan, kebenaran) yang irasional, tetapi oleh suatu sistem yang dapat diuji atau diukur. Namun sayangnya Bentham tidak menjelaskan lebih lanjut dasar teoritis dari prinsip tersebut diukur, dan juga tidak menjelaskan bagaimana prinsip tersebut diukur secara empiris.

  Bentham juga yakin dengan doktrin “kebebasan”, walaupun dia mengisyaratkan kearah teori mengenai perbuatan yang terpola (the theory of learned behaviour) sebagai penjelasan mengenai tindak kriminal. Bentham mengemukakan bahwa tujuan-tujuan dari pidana adalah:

  1) Mencegah semua pelanggaran (toprevent all offenses); 2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences);

  3) Menekan kejahatan (to keep down mischief); 4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense).

  b. Aliran positif Aliran ini tumbuh pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat tindak pidana dan menghendaki adanya individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus sering disebut aliran positif dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi demikian maka aliran ini sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan.

  Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata, terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataan perbuatan seseorang itu dipengaruhi watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya. Jadi aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme untuk menggantikan doktrin kebebasan bertindak.

  Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan kejahatan harus digantikan dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak pidana (etat dangereux). Bentuk pertanggungjawaban terhadap si pembuat lebih bersifat tindak perlindungan masyarakat. Jika tetap digunakan istilah pidana, maka menurut aliran ini pidana tetap harus diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku tindak pidana. Di samping meratakan jalan untuk filsafat individualisasi, aliran moderen juga mempelopori pembinaaan ilmiah terhadap tindak pidana, yang didasarkan atas penemuan-penemuan baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.

  Pendekatan yang dilakukan oleh ketiga tokoh utama aliran positif yakni Cesare Lamborso, Raffaele Gorofalo dan Enrico Ferri berbeda satu sama lain. Walaupun demikian mereka setuju bahwa tekanan di dalam memperbaiki kejahatan harus diberikan kepada pembinaan ilmiah terhadap pelaku tindak pidana, dan tidak terhadap pidana yang dikenakan kepada mereka.

  Lamborso menolak doktrin “kebebasan berkehendak” dari aliran klasik. Sekalipun Lamborso dengan jelas memberikan tekanan pada penyebab kejahatan yang bersifat biologis, namun tidak melupakan sama sekali sebab-sebab yang bersifat sosiologis. Dia menyatakan bahwa pidana yang kejam dimasa lalu tidak memberikan pemecahan terhadap pencegahan terhadap pencegahan terhadap kejahatan dan alirannnya merupakan strategi baru di dalam melawan kejahatan yang didasarkan atas etiologi dan sifat-sifat alamiahnya. Lamborso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga merupakan kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama bagi tiap orang yang melakukan kejahatan. Dengan ini kelihatan bahwa Lamborso adalah penganjur pertama dari apa yang dinamakan pidana yang tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence). Lamborso juga tidak setuju dengan adanya pidana jangka pendek, karena hanya akan memberikan kesempatan guna rehabilitasi. Dia sangat setuju dengan pidana yang ditangguhkan atau sistem “probation” yang dipandang sukses di Amerika Serikat.

  Tokoh kedua aliran ini adalah Raffaele Garofalo (1852-1943). Seperti tokoh yang lainnya Garofalo menolak aliran klasik, termasuk apa yang dinamakan defenisi hukum dari kejahatan, dan doktrin kebebasan berkehendak.

  Garofalo menyatakan, bahwa defenisi hukum dari kejahatan hanya merupakan klasifikasi yang dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap tipe-tipe perilaku tertentu. Untuk menerangkan mengapa orang- orang berbuat jahat, ia mengusulkan suatu konsep yang dinamakan konsep kejahatan natural. Selanjutnya dia menyatakan bahwa natural crime merupakan pengertian yang paling jelas untuk menggambarkan perbuatan- perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana.

  Tokoh ketiga aliran positif adalah Anrico Ferri (1856-1929). Tiga tahun setelah menyelesaikan pelajarannya ia kembali ke almamaternya di Bologna sebagai seorang guru besar hukum pidana. Pada tahun 1880, sebelum ia mencapai umur 29 tahun, ia memberikan kuliah tentang horisan baru di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Kuliah ini kemudian menjadi dasar bukunya yang terkenal yaitu criminal sociology.

  Dia menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan, tetapi bilamana ia hidup di lingkungan hidup yang baik ia akan hidup terus sampai akhir hayatnya tanpa melanggar hukum pidana ataupun hukum moral. Ia juga menolak doktrin indeterminisme dari aliran klasik, sebab psikologi telah membuktikan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara personalitas dan lingkungan seseorang. Ferri percaya bahwa kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat dari mana kejahatan tersebut datang. Ia mengemukakan suatu dalil yang disebut hukum kejenuhan penjahat (law of criminal saturation), yang di dalam lingkungan sosial tertentu dengan kondisi individual dan fisik tertentu sejumlah kejahatan tertentu dapat dilakukan.

  Sehubungan denagn dalil tersebut, Ferri mengemukakan bahwa untuk mencapai akar-akar kriminalitas peranan hygiene sosial sangat besar. Hal ini mengharuskan pembuat undang-undang untuk selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari. Kejahatan dalam ini hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.

  Setelah perang dunia ke II aliran modern ini berkembang menjadi Aliran/ Gerakan Perlindungan masyarakat, dan setelah diadakannya The Second International Social Defence Congress tahun 1949, aliran ini terpecah menjadi dua konsepsi, yaitu konsepsi radikal dengan tokohnya Filipo Gramitika dan konsepsi moderat dengan tokohnya Marc Ancel.

  Menurut Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatanya.

  Hukum perlindungan masyarakat mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti-sosial. Dengan demikian mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.

  Sementara konsepsi moderat yang dipelopori Marc Ancel dengan gerakannya defence sociale nouvelle (New Social Devence) atau perlindungan, masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat baru ini adalah:

  1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

  2) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan untuk dimasukkan dalam perundangan. 3) Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan pergerakan utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.

  c. Aliran neo-klasik Disamping beberapa aliran tersebut diatas, perlu dikemukakan disini adanya suatu aliran yang berasal dari lairan klasik yaitu aliran neo-klasik (Neoclassical School). Sebagaimana aliaaran klasik, aliran ini pun bertolak dari pandangan indeterminisme atau kebebasan berkehendak. Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circunstances).

  Aliran neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. Sistem pidana diganti dengan sistem indefinite sentence. Mengenai karakteristik daripada aliran neo-klasik, kiranya dapat dikemukakan ciri-ciri yang disusun oleh Vernon Fox sebagai berikut :

  1) Modifikasi (perubahan) dari “doctrine of will”, yang dapat dipengaruhi patologi, ketidakmampuan, penyakit gila, atau lain-lain keadaan. 2) Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan

  (mitigating circumstanses) baik fisikal, lingkungan maupun mental.

  3) Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringann pidana dengan pertanggungjawabanb sebagian di dalam hal-hal yang khusus, misalnya gila, di bawah umur, dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahataan.

  4) Diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert testionary) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban.

  Selanjutnya dibahwa ini akan dibahas prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori pemidanaan.

  a. Teori retributif atau teori pembalasan

  Teori ini mengatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori ini dalam tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justifed” (pembenaran secra moral), karena pelaku kejahatan layak untuk menerimanya atas kejahtannya. Asumsi yang penting terhadap pemebnaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggungjawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.

  Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Penjatuhan pidana tidak dilihat akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari penjatuhan pidana tersebut, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri penjahat maupun masyarakat. Menjalankan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

  Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :

  1) Ditujuhkan pada penjahatnya (sudut sibyektif dari pembalasan) 2) Ditujuhkan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalngan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).

  Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisty the claims of justice) sedangkan pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law sebagai berikut”:

  “...pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/ kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan.

  Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.

  Hegel memandang bahwa pemidanaan merupakan hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauan sendiri. Sedangkan Nigel Walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu ;

  1) Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku. 2) Retribituvist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembelasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

  Berdasarkan pembagian aliran retributif tersebut, maka hanya retributivist murni yang mengemukakan dasar pembenaran

  “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham yang non retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limiting retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.

  b. Teori relatif atau teori tujuan Teori tujuan memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri.

  Pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, tujuan pokoknya adalah mempertahankan ketertiban masyarakat (the handing der maatchappelijke order). Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J.

  Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).

  Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana itu mempunyai 3 macam sifat, yaitu :

  1) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking); 2) Bersifat memperbaiki (verbetering/ reclasering); 3) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

  Sedangkan sifat pecegahannya dari teori ini ada 2 macam, yaitu : 1) Pencegahan umum (general preventie)

  Menurut teori pencegahan umum ini ialah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat, agar umum tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Yang dapat digolongkan ke dalam teori pencegahan umum ini dalah teori dari Anselm Von Feuerbach mengenai psychologischezwang yang berbunyi: apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tercegahlah bagi setiap orang untuk berniat jahat. Sehingga di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman pidana. 2) Pencegahan khusus (speciale preventie)

  Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Van Bemmelen menyatakan, meraka yang beranggapan bahwa pidana ialah pemebenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat bahwa manusia (pelaku suatu tindak pidana) dikemudian hari akan menahan diri supaya jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami (belajar) bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana akan berfungsi mendidik dan memperbaiki. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat prevensi khusus yaitu pemidanaan harus memuat suatu anasir menakutkan supaya si pelaku tidak melakukan niat buruk, pemidanaan juga harus memuat suatu anasir yang memperbaiki bagi terpidana yang nanti memerlukan suatu reclassering, pemidanaan harus memuat suatu anasir membinasakan bagi penjahat yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi, dan tujuan satu-satunya dari pemidanaan ialah mempertahankan tata tertib hukum.

Dokumen yang terkait

Pembaruan pendidikan islam KH. A. Wahid Hasyim ( Menteri Agama RI 1949-1952)

8 109 117

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh variasi berat glukosa pada filtrat tomat (solanum lycopersicum (L) Commune) dan lama fermentasi acetobacter xylinum terhadap tingkat ketebalannata de tomato - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80