Pembaruan pendidikan islam KH. A. Wahid Hasyim ( Menteri Agama RI 1949-1952)

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. A. WAHID HASYIM
(Menteri Agama RI 1949-1952)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

Oleh

MULYANTI
NIM: 106011000116

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H

PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
KH. A. WAHID HASYIM

(Menteri Agama RI 1949-1952)
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Oleh:
Mulyanti
NIM: 106011000116

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag
NIP: 19580707 1987031005

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2011

KEMENTERIAN AGAMA
UIN JAKARTA
FITK

FORM (FR)

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia

No. Dokumen

:

FITK-FR-AKD-078

Tgl. Terbit
No. Revisi:
Hal


:
:
:

08 Juli 2010
002
1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: Mulyanti

Tempat/ Tgl. Lahir

: Jakarta, 25 Mei 1989

NIM


: 106011000116

Jurusan/ Prodi

: Pendidikan Agama Islam

Judul Skripsi

: “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid
Hasyim (Menteri Agama RI 1949-1952)”

Dosen Pembimbing

: Dr. H. Abd. Madjid Khon, M. Ag

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.


Jakarta, 03 Maret 2011
Mahasiswa Ybs.

Materai 6000

Mulyanti
NIM 106011000116

ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim
(Menteri Agama RI 1949-1952)”, ditulis oleh Mulyanti (1060110000116) di bawah
bimbingan Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag. Skripsi ini mendeksripsikan mengenai
Pembaruan yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim dalam rangka memajukan
pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriftif dan
pendekatan historis, melalui kajian pustaka (kualitatif) yakni mencari data dari
berbagai buku-buku referensi dan wawancara.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui, mengidentifikasi dan
mengungkap usaha-usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim
dalam pendidikan Islam pada masanya.

Hasil penelitian yang ditemukan terdapat banyak pembaruan yang dilakukan
KH. A. Wahid Hasyim dalam memajukan pendidikan agama Islam yang sampai
sekarang kita rasakan, seperti masuknya pelajaran agama di sekolah-sekolah umum,
masuknya pelajaran umum di Madrasah, mendirikan lembaga pendidikan keguruan;
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan terlebih lagi terciptanya Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian sekarang menjadi Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) dan kemudian sebagian berubah menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) yang banyak memberikan manfaat terhadap pembaruan pendidikan
Islam di Nusantara.

ii

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan

dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Bapak Prof. Dr. H. Dede
Rosyada, M.A, serta para pembantu dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag, dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Sapiudin Shidiq, M.Ag,
beserta seluruh staffnya.
3. Bapak Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag, yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu
dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan
dapat bermanfaat dikemudian hari.
5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan
dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis yang
tercinta, Ayahanda H. Mursan Ubab dan Ibunda Hj. Ani Hasan serta kakak
dan adik penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis

lupakan atas jasa-jasa mereka. Doa restu, nasihat dan petunjuk dari mereka

iii

kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi kelanjutan studi
penulis hingga saat ini.
6. Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim, terkhusus Bapak KH. Salahuddin
Wahid (Gus Sholah) yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
mendapatkan informasi mengenai biografi dan pemikiran dari KH. A. Wahid
Hasyim yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan
kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian
skripsi ini.
8. Kawan-kawanku Mahasiswa UIN khususnya kawan-kawan seperjuangan
Jurusan Pendidikan Agama Islam 2006 Kelas C dan peminatan Sejarah, Jaka
Lelana, Ephee, Fuzie, Hasmidar, Yunie, Lesti, Ida Afandi, beserta kawankawan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Yahoo), yang selalu memberikan
support kepada penulis.
9. Seseorang terdekat dan terkasih, suami dari penulis: Muhammad Arif, yang
selalu mendukung penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal a’lamin.

Jakarta, 03 Maret 2011

Mulyanti

iv

DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii

BAB I


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................... 6
1.

Identifikasi Masalah ................................................................. 6

2.

Pembatasan Masalah ................................................................ 6

3.

Perumusan masalah .................................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 7
D. Metodologi Penelitian...................................................................... 7

BAB II


KAJIAN TEORI
A. Pembaruan
1.

Pengertian Pembaruan ............................................................ 10

2.

Pengertian Kaum Pembaru ..................................................... 13

3.

Peran Kaum Pembaru ............................................................. 17

4.

Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
Abad 20 .................................................................................. 19

5.

Faktor-faktor Pendukung Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia Abad 20 .................................................................. 24

B. Pendidikan Agama Islam
1.

Pengertian Pendidikan Islam .................................................. 25

2.

Tujuan pendidikan Islam ........................................................ 27

3.

Fungsi Pendidikan Islam ........................................................ 32

v

BAB III BIOGRAFI KH. A. WAHID HASYIM
A. Latar Belakang Keluarga ............................................................... 35
B. Pendidikan Wahid Hasyim ............................................................ 37
C. Ciri Fisik dan Kepribadian Wahid Hasyim .................................... 40
D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim .................................. 43
E. Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim.................................................. 47
1. Bidang Agama ......................................................................... 47
2. Bidang Sosial ........................................................................... 49
3. Bidang Pendidikan................................................................... 51
4. Bidang Politik .......................................................................... 58
BAB IV PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM
A. Pembaruan Pendidikan Islam
1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ............... 62
2. Memasukkan Pendidikan Agama di Sekolah Umum .............. 73
3. Pendidikan Guru Agama ......................................................... 78
B. Respon Terhadap Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid
Hasyim ........................................................................................... 83
1. Pemikiran Pendidikan Islam .................................................... 83
2. Respon Masyarakat ................................................................. 91
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 93
B. Saran ............................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96
LAMPIRAN

vi

Daftar Tabel
Tabel 1

Jumlah IAIN se-Indonesia .......................................................................................... 71

vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan
hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan
konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan
modern. Dalam lingkup pemikiran pendidikan Islam, kita temukan tokohtokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi
dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan
kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan
oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu
adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu
pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau
melalui jalur dakwah mereka.
Umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia merupakan hal penting
dalam pembangunan Indonesia. Peningkatan taraf

hidup umat Islam

merupakan upaya meningkatan sebagian besar taraf hidup bangsa Indonesia.
Dengan demikian, potensi umat Islam dalam mendukung pembangunan

1

2

bangsa Indonesia sangat besar sekali. Begitu pula dengan dunia pendidikan
dan pengetahuan, pendidikan Islam merupakan sumber dasar yang tidak kecil
artinya bagi pendidikan Nasional. Itu berarti bahwa pendidikan Islam di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Nasional.1
Demikian dalam kaitan pembangunan bangsa, pendidikan agama pada
hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Ketentraman hidup
sehari-hari di dalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan oleh
ketentuan hukum semata, tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan
moral nilai-nilai kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati
bersama oleh seluruh masyarakat.
Peranan agama menjadi demikian penting bagi tata kehidupan pribadi
maupun masyarakat (kelompok), maka dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu di atas landasan keagamaan yang
kokoh. Jalan untuk mewujudkannya tidak bisa dengan jalan lain kecuali
hanyalah dengan menempatkan pendidikan agama sebagai faktor dasar yang
paling penting.2
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan telah
membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Agar
mampu berperan di masa yang akan datang maka diperlukannya peningkatan
kualitas sumber daya manusianya.
Dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan
memegang peran yang sangat penting. Salah satu peran penting pendidikan
adalah menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan
perubahan zaman agar tidak terjadi kesenjangan antara realitas dan idealitas.
Berkenaan dengan hal tersebut umat Islam telah mengenal berbagai jenis
macam ilmu pengetahuan baik itu ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu
umum. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap
membeda-bedakan di dalam segala hal juga dalam lapangan ilmu
pengetahuan.
1

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 183
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan
Aksi), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 102
2

3

Pada masa kolonial sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam
dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan,
pemerintah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi
bahkan mematikan sekolah-sekolah partikelir dengan mengeluarkan peraturan
yang terkenal wilde schoolen ordonantie pada tahun 1933. Berbeda ketika
masa penjajahan Jepang. Dunia pendidikan secara umum (tidak hanya
pendidikan Islam) terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya
diperintahkan gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti paksa (romusha),
bernyanyi dan lain sebagainya. Hal ini diperuntukkan agar kekuatan umat
Islam dan Nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur
Raya yang dipimpin oleh Jepang. Namun yang masih agak beruntung adalah
madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang
bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan pondok
pesantren masih dapat berjalan agak wajar.3
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah dan pondok pesantren
sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh
dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh
rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi
penerus. Oleh karena itu, madrasah dan pondok pesantren pada waktu itu
lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.4 Dengan melihat sikap
bangsa Indonesia tersebut, menjadikan bangsa ini memiliki rendahnya
kualitas sumber daya manusia di kalangan umat Islam di masa itu.
Bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan kerap kali masih
mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anak mereka harus ditujukan pada
maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya,
kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut
berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern. Dan harus
dipahami bahwa Indonesia yang pada saat itu sedang membangun
3

Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidkan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.IX, h.

152
4

Djamaliddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, Februari, 1998), h. 23.

4

membutuhkan tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu pengetahuan
umum lainnya. Juga sebaliknya, pembangunan yang sedang berlangsung juga
membutuhkan agama agar terhindar dari dekadensi moral.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah ada di masa sebelumnya
sampai pada saat itu di biarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat
sederhana dan hidup apa adanya. Kalaupun pada masa itu ada perhatian,
hanyalah sebatas dorongan moral seperti pada:
a.

b.
c.

Maklumat BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) 22
Desember 1945 No. 15 Berita RI tahun No. 4 dan No. 5 halaman 20
kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus
dan diperpesat).
Keputusan BPKNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat
perhatian dan bantIan dari pemerintah).
Laporan Panitia Penyelidik Pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946
(Pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang
perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa
biaya sesuai dengan keputusan BPKNIP.5
Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada baru hanya sebatas

madrasah dan pondok pesantren. Umat Islam belum memiliki sekolah yang
mengajarkan dan

memelihara pendidikan agama Islam dengan dasar

pengetahuan setingkat universitas yang nantinya akan melahirkan sarjana
yang menguasai dua lapangan ilmu sekaligus yaitu ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum. Sementara, kelompok minoritas (non-muslim) sudah
mempunyainya, dalam bentuk sekolah-sekolah tinggi pada masa itu.6
Selanjutnya pendidikan Islam mengalami modernisasi lanjutan dimana
sebelumnya sudah banyak madarasah dan pondok pesantren di Indonesia
yang didirikan para tokoh pembaru pendidikan Islam sebelum kemerdekaan
untuk

selanjutnya dihadirkannya setelah lima bulan Indonesia merdeka

tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946 dengan berdirinya Departemen Agama.
Walau pada masa itu dipandang motivasi pendiriannya bernuansa politis, tapi
lembaga ini menjadi salah satu pelaku pembaruan pendidikan Islam yang
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah…, h. 22.
Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi
tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h. 90.
5

6

5

paling penting. Karena salah satu bidang garapan Departemen Agama adalah
bidang pendidikan Islam.
Pembinaan pendidikan Agama tersebut yang secara formal institusional
di percayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayan oleh karena itu dikeluarkanlah berbagai peraturan
bersama berupa kebijakan antar kedua departemen tersebut untuk mengelola
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.7
Selanjutnya, peranan Departemen Agama menjadi sangat penting dalam
melakukan pembaruan di bidang pendidikan Islam berkaitan dengan
kekurangan-kekurangan di masa itu karena pembangunan bangsa, pendidikan
agama pada hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Untuk
kemudian muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru sebagai pembaruan dari
pendidikan Agama Islam yang dilakukan oleh Departemen Agama.
Kemudian hadir KH. A. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama RI yang
menjabat pada tahun 1949-1952 untuk melakukan pembaruan di bidang
pendidikan agama Islam sebagai salah satu bidang garapan Departemen
Agama.
Semenjak KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama,
pendirian madrasah di pesantren-pesantren (sebagai simbol dari pendidikan
Islam) semakin menemukan momentumnya.8
Kemudian atas dasar kesimpatikan penulis terhadap KH. A. Wahid
Hasyim dan rasa ingin tahu yang mendalam tentang pembaruan yang
dilakukannya dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia maka penulis
bermaksud untuk menulisnya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A.WAHID HASYIM (Menteri
Agama RI 1949-1952).

7

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret, 1999), h.76-77.
8
Hanun, Sejarah…, h. 189

6

B. Permasalahan
1.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
diidentifikasi masalah diantaranya yaitu:
a. Pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
b. Banyaknya kebijakan-kebijakan dari kolonial Belanda dan Jepang yang
pada saat itu yang sangat merugikan pendidikan Islam.
c. Pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan (Orde Lama) kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal madrasah dan pondok
pesantren sebagai cermin dari pendidikan Islam sudah banyak terdapat di
Indonesia.
d. Pendidikan Islam di masa itu diyakini hanya mampu melahirkan generasi
yang hanya mampu di bidang agama saja dan tidak mampu melahirkan
generasi yang mampu di bidang agama dan umum.
e. Pentingnya peran Departemen Agama pada masa itu secara maksimal
dalam membangun kembali pendidikan Islam menjadi lebih baik lagi.

2.

Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas maka penulis merasa perlu membatasi
pembahasan pada tiga permasalahan yaitu:
Pembaruan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah upaya untuk
melakukan perubahan dengan pembaruan dalam pendidikan Islam ke arah
yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan zaman dengan tetap
berpedoman pada asas-asas keislaman.
Pendidikan Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pendidikan
Islam yang ditangani oleh Departemen Agama meliputi berdirinya Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Kurikulum/Pengajaran Agama di
sekolah-sekolah umum, dan Pendidikan Guru Agama (PGA).
Pembaruan Pendidikan Islam yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim
selama menjabat Menteri Agama RI Tahun 1949-1952.

7

3.

Perumusan Masalah
Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut : Bagaimana pembaruan pendidikan Islam KH. A.
Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai
Menteri Agama 1949-1952?

C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menngungkap usahausaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim dalam
pendidikan Islam di Indonesia pada masanya.
Manfaat yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambahkan pembendaharaan
kepustakaan bagi UIN Jakarta, khususnya mengenai kontribusi KH. A.
Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam.
2. Secara pragmatis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bagi generasi
muda Indonesia dalam melanjutkan cita-cita KH. A. Wahid Hasyim.
3. Menumbuhkan semangat berusaha untuk lebih memajukan pendidikan
Islam.

D. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deksriptif
yaitu penenlitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan
sejelas mungkin tanpa ada perlakuan dari obyek yang diteliti. 9 Dan untuk
mengkaji riwayat hidup atau biografi Wahid Hasyim serta aktifitasaktifitasnya yang berkaitan dengan pendidikan, peneliti menggunakan
pendekatan historis.10

9

Kountur Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM,
2003), h.105
10
M. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia,
2005), cet. 2, h. 88

8

Dengan metode di atas penulis akan menggambarkan mengenai gagasan
pemikiran KH. A.Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia.

1.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk

mendapatkan

data

akurat

dalam

penulisan

ini,

penulis

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data:
a. Studi Dokumentasi
Menginventaris hasil pemikiran KH. A.Wahid Hasyim yang tertuang
dalam karya pemikirannya maupun dalam literatur lain yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
b. Wawancara
Yaitu melakukan dialog atau tanya jawab secara lisan dengan dua
orang atau lebih dengan bertatapan muka secara langsung informasiinformasi atau keterangan.11 Hal ini dilakukan untuk memperoleh
informasi objektif dari yang diwawancarai. Wawancara dilakukan
kepada bagian dari keluarga KH. A. Wahid Hasyim yaitu Salahuddin
Wahid (anak ketiga dari Wahid Hasyim).

2.

Teknik Pengolahan Data
Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan
pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Langkah-langkah pengolahan
data melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.

Pemeriksaan Data
Data yang terkumpul diperiksa kembali apakah masih terdapat

kekurangan atau ada yang tidak cocok dengan masalah penelitian.
b.

Klasifikasi Data
Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai

dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa.
11

S. Nasution, Metode Research, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-8, h. 113

9

c.

Penyusunan Data
Penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan

data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan
permasalahan.

3.

Teknik Analisa Data
Teknik analisisnya menggunakan Content Analisys yaitu menarik
kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan
secara objektif dan sistematis.
Seluruh data akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan
melalui proses:
a.

Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan

terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum, dipilih halhal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicarikan temanya.
b.

Display Data
Data yang telah diperoleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan

dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk
melihat hubungan suatu data dengan data yang lainnya.
c.

Mengambil Kesimpulan/Verifikasi
Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses

melalui reduksi dan display data. 12

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
merujuk pada “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.
Sedangkan kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan terjemahnya, berasal dari
terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2010.
12

S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1988),
h. 129-130

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pembaruan
1.

Pengertian Pembaruan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembaruan berasal dari kata
“Baru” yang artinya proses, cara, perbuatan membarui, dan proses
mengembangkan kebudayaan terutama di lapangan teknologi dan ekonomi.1
Sedangkan kata modern diartikan sebagai terbaru, mutakhir, sikap dan cara
berpikir serta cara bertidak sesuai dengan tuntutan zaman.2
Dalam bahasa Arab, yang memiliki kesepadanan makna dengan kata
pembaruan adalah tajdîd (‫)ﺘﺠﺪﻴﺪ‬, maknanya antara lain: renewal, innovation,
reorganization, reform, dan modernization.3 Kata tersebut berasal dari kata
kerja ( ً‫ ﺘﺠﺪﻴﺪ‬- ‫ ﻴﺠﺪ ﺪ‬- ‫)ﺠﺪ ﺪ‬4 yang berarti to renew, to modernize5, yaitu
memperbarui atau memodernkan. Tajdîd bisa juga diartikan sebagai islah
(memperbaiki) dan reformasi (menyusun kembali) sehingga gerakan
pembaruan disebut pula gerakan tajdîd, gerakan islah, maupun gerakan
reformasi.
1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 109
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.751
3
J. Milten Cowan (ed.) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New
York: t.t, 1971), h.114
4
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Juz I, (Kairo: t.t, 1972), h. 109
5
Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language,
(The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980), h. 186

10

11

Istilah pembaruan atau tajdîd dalam sebuah hadis:

‫ش احيل‬

‫ع‬

ّ‫ا‬

‫ه اخ ي سعيّ ا‬

‫ا‬:‫ ق ل‬.‫س ل اه ص‬

‫في اع ع‬

6

ّ‫ّجّد ل د‬

‫ا‬

‫ّ اخ‬

ّ ‫ع اىه‬
‫ئ س‬

‫كل‬

‫دا د ال‬

‫ا‬

‫حّث س ي‬

‫ّ ّّ ع ف ّ ع ا ي ع ق‬
‫عى أ‬

‫اأ‬

‫ا‬

‫اه ّ عث ل‬

“Telah menceritakan kepada kami Sulaimân ibn Dâwud al-Mahriyyu
telah mengabarkan kepada kami ibn Wahb telah mengabarkan kepadaku
Sa’îd ibn Abî Ayyûb dari Syarâhîl ibn Yazîd al-Mu’âfiriyi dari ‘Alqamah
dari Abî Hurairah, sejauh yang aku tahu, dari Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah akan membengkitkan untuk umat ini pada
setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbarui agamanya.”
(hadis riwayat Abû Dâwud).
Sedangkan menurut Harun Nasution, pembaruan atau modernisasi dalam
masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
mengubah

paham-paham,

adat

istiadat,

isntitusi-institusi

lama

dan

sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.7
Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasi yang
berarti pembaruan atau tajdîd dalam bahasa Arabnya (jadi lebih pada
prosesnya). Menurut Harun Nasution, modernisme dalam Islam lebih
digunakan kata pembaruan dalam arti memperbarui hal-hal lama yang
dianggap menyeleweng dari yang sebenarnya. Hal ini disebabkan istilah
modernism sendiri dianggap mengandung arti negatif

disamping arti

positifnya. Yang dimaksud Harun Nasution dalam arti negatif di sini ialah
kecenderungan adanya konotasi Barat yang ada pada kata itu, karena dapat

Abû Dâwud Sulaimân ibn al-Asy‟ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, hadis no. 4291,
(Beirut: Dâr ibn Hazm, 1988), h. 647
7
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet. Ke-10, h.11
6

12

muncul kesan bahwa gerakan modernisme diilhami dari modernism yang
tumbuh di Barat.8
Sedangkan, menurut Arkoun, istilah modernitas berasal dari bahasa latin,
yaitu “modernus”. Kata ini pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa
antara tahun 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi
lama ke periode Masehi. Modernitas masa klasik Eropa sendiri telah berjalan
abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Begitupun menurut ahli sejarah kenamaan,
Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir
abad ke-15 Masehi.9
Bila dilihat dari beberapa pendapat di atas, memang pembaruan identik
dengan modernisasi dan reformasi. Dari semua itu, tergantung muatan yang
diberikan masing-masing pakar. Namun yang terpenting kandungan yang
tersirat dari simbol tersebut, selalu mengandung aplikasi ke arah perbaikan.
M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa di dalam pembaruan terdapat
syarat pokok tertentu. Permbaruan dapat terlaksana akibat pemahaman dan
penghayatan nilai-nilai al-Qur‟an, serta kemampuan memanfaatkan dan
menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah (lihat: Q.S. 33:62 ; 35:43).
Dari ayat-ayat al-Qur‟an tersebut dipahami bahwa pembaruan baru dapat
terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a) adanya nilai atau ide; dan (b)
adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut.10
Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pembaruan adalah suatu proses perubahan ke arah perbaikan dalam
rangka memperbaiki tatanan atau sistem lama yang dianggap tidak relevan
lagi baik berupa fisik maupun mentalitasnya, agar dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman sekarang ini.
Kaitannya dengan pengertian pembaruan pendidikan Islam dalam skripsi
ini berarti upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam
8

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), Cet. I, h. 350
9
Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta:
Paramadina, 1998), Cet. I, h. 43
10
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Cet.II, h. 245-246

13

pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan
zaman dengan tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan Sunnah.
2.

Pengertian Kaum Pembaru
Berbicara tentang pembaruan tidak akan terlepas dari orang yang
melakukan pembaruan itu sendiri. Pembaru adalah sebutan bagi orang yang
melakukan pembaruan.
Seorang pembaru, menurut Abdul Hakim bin Amir Abdat, haruslah
seorang yang berilmu dan memahami betul ilmu agama secara zahir maupun
batin. Selain itu, dia juga harus senantiasa menghidupkan dan mengajak umat
kepada al-Quran dan sunnah. Dan dalam amaliyahnya bersih dari syirik dan
bid‟ah.11
Dr. Mochtar Pobotinggi merumuskan bahwa kaum pembaru adalah
anggota masyarakat yang lebih mampu menyatakan perasaan dalam ucapan
yang jelas (bijak).12 Sementara itu, Dr. Taufik Abdullah menyatakan bahwa
kaum pembaru

bukanlah kedudukan yang diangkat, dan juga bukan

berdasarkan pilihan orang banyak. Pembaru adalah bagaimana seseorang
yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karenanya
pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang kaum
modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara
jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian
yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang
bermanfaat bagi masyarakat.13
Istilah kaum pembaru atau kaum modernis sebagaimana diungkapkan
dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran:

11

Abdul Hakim bin Amir Abdat, al-Masâil; Masalah-masalah Agama, vol.2, (Jakarta:
Darul Qalam, 2001), h. 171
12
Mochtar Pobotinggi, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Idiologi di
Indonesia sebelum Revolusi dalam Peristiwa, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 40
13
Taufik Abdullah, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1981), h. 13

14

         

          

          
 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (serayal berkata), “Ya Tuhan Kami, tidaklah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka
lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. Ali Imran: 190-191).14
Kata (

‫ ) ﻷﻟ‬al-Albâb adalah bentuk jamak dari ( ‫ )ﻟ‬lub yaitu “saripati”

sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang
dinamai lub. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni,
yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut idea yang dapat melahirkan
kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kekuasaan Allah swt.15 Di dalam al-Qur‟an masih banyak ayat yang
memanggil daya observasi ulil albab, supaya memperhatikan apa yang terjadi
dalam lingkungannya, dari lingkungan yang dekat, sampai pada lingkungan
yang luas di ruang angkasa.
Dan salah satu ayat al-Qur‟an lainnya yang menyangkut pembaruan yang
dilakukan dengan perubahan dan pelakunya adalah yang dirumuskan dalam
firman Allah: … sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
(masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada
diri mereka (sikap mental mereka)… (Q.S. 13:11).
Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan
Penyelengara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 2010), h. 96
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet.I, Jilid 2, h.291
14

15

Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dalam pembaruan
dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah
Allah swt. dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya
adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Allah terjadi secara pasti melalui
hukum-hukum masyarakat yang diterapkannya. Hukum-hukum tersebut tidak
memilih atau membedakan antara satu masyarakat atau kelompok lain.16
Menurut Ziadudin Sardar bahwa yang dimaksud dengan kaum pembaru
adalah golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa
menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin.
Orang-orang yang berependidikan saja tidak dengan sendirinya dapat disebut
pembaru, sebab mereka sering tidak begitu tahu tentang hal-hal lain di luar
masalah teknik mesin, akuntansi dan obat-obatan. Cara pemikiran yang
menandai pada pembaru itu bukanlah cabang ilmu atau teologi melainkan
ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilai-nilai
budaya mereka. Pembaru adalah golongan masyarakat pendidikan yang
pegangannya atas ideologi Islam tak diragukan lagi. Individu semacam itu
sulit untuk dicari.17
Ahmad Watik Praktiknya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pembaru adalah orang-orang yang karena pendidikannya, baik formal
maupun informal, mempunyai perilaku cendekiawan. Kecendekiawanan
tersebut tercemin dan merespons lingkungan hidupnya dengan sifat kritis,
kreatif,

objektif,

analitis

dan

bertanggung

jawab,

karena

sikap

kecendekiawanan itu. Ia mempunyai wawasan yang tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu. Belum tentu seorang yang ilmuwan atau akademikus adalah
seorang cendekiawan atau pembaru pemikiran. Selain itu, kategori
cendekiawan atau pembaru dapat pula dimasukkan budayawan, seniman,
ulama atau siapa pun yang mempunyai perilaku cendekiawan di atas.
Cendekiawan Muslim, secara tentatif dan sederhana dapat dilukiskan sebagai
Muslim yang mempunyai kualitas perilaku pembaru pemikiran seperti
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an…, h. 246
Ziaudin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi, (Bandung:
Mizan, 1996), h. 88
16

17

16

tersebut di atas, bermain dan senantiasa Committed pada Dienul Islam sebagai
pandangan hidupnya. Ulil albâb yang diungkapkan oleh al-Qur‟an merupakan
gambaran yang paling tepat untuk melukiskan sifat-sifat cendekiawan
Muslim.18
Berdasarkan ungkapan Praktiknya di

atas, setiap orang dapat

dikategorikan sebagai pembaru dengan tidak dibatasi jenjang pendidikan
formal, asal mereka mempunyai pandangan dan wawasan

luas, yang

diekspresikan sewaktu melihat, menafsirkan, dan merespons berbagai
masalah kehidupan disekitarnya. Kemampuan tersebut lebih berarti bagi
kehidupan di sekitarnya, apabila mereka memiliki sifat kritis, kreatif, objektif,
analitis dan penuh tanggung jawab atas segala aktifitas yang dilakukan. Sifatsifat yang dimiliki tersebut tidak hanya diperuntukkan pada masalah sosial,
melainkan juga pada masalah agama. Mereka mampu menafsirkan ayat-ayat
Allah dengan berusaha mengaplikasikan dalam berbagai sektor kehidupan.
Di samping itu para pembaru harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:19
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

Pikiran yang jernih
Wawasan yang luas
Sikap yang konsisten
Kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui batas dan yang
akan mengantarkan kepada tujuan
Mampu memelihara keseimbangan
Memiliki kekuatan berpikir
Berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman
Memiliki kemampuan memimpin
Memiliki kemampuan berijtihad
Memiliki kemampuan untuk membagun dan membina masyarakat
Dapat membedakan ajaran Islam dan ajaran jahiliyah
Seorang Muslim yang rnemiliki keimanam, pandangan, pemahaman, dan
perasaan yang benar tentang Islam.
Selain itu, menurut Imam al-Suyûtî, sebagaimana dikutip oleh Syamsu

al-Haq, bahwa seorang pembaru adalah orang yang hidup di tengah berbagai

18

Amin Rais, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV.Rajawali,
1989), h. 3-4
19
Abul A‟la Maududi, Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihyaihi, terjemahan H.D.
Kahmad dan Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 43

17

golongan. Dirinya dikenal karena ilmu yang dimilikinya, dan senantiasa
menolong sunnah melalui ucapannya.20
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa yang dimaksudkan dengan
kaum pembaru adalah seorang Muslim yang karena pendidikannya, baik
melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal, mempunyai kedalaman
berbagai disiplin keilmuan, keluasan pandangan yang disertai kebijakan dan
keadilan, sehingga bisa bergerak dalam multidimensi aktivitas kehidupan
masyarakat; tidak terbenam dan terbawa arus perubahan, kemajuan dan
perkembangan zaman. Namun, mengarahkan perubahan masyarakat dengan
mengubah pola pikir masyarakat dari tradisi berpikir konvensional yang jauh
tertinggal dari kemajuan zaman dengan pola pikir yang berorientasi kepada
kemajuan mengikuti perkembangan zaman yang berdasarkan nilai-nilai
Islam.

3.

Peran Kaum Pembaru
Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar
kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran"
dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu
drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam
bahasa Inggrisnya, memang diambil dari kata dramaturgy atau seni teater.
Dalam seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai
dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.
Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti
pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di
masyarakat.21

Abî al-Tayyib Muhammad Syamsu al-Haq, ‘Aunu al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abî
Dâwud, vol. II, (Madinah al-Munawarah: Maktabat al-Salafiyah, 1969), h. 386
21
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.854
20

18

Dalam bahasa Inggris kata “peran” atau “role” di dalam kamus oxford
dictionary diartikan : Actor’s part; one’s task or function. Yang berarti aktor;
tugas seseorang atau fungsi.22
Jadi, peran adalah hal-hal yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki
posisi penting dalam masyarakat untuk tercapainya suatu tujuan.
Menurut Imam Bawani dan Isa Anshari ada tiga peran yang bisa
dilakukan oleh pembaru, pertama, melalui “kaderisasi”, kedua, melalui “kerja
kemanusiaan,” dan ketiga, melalui “konsepsi keilmuan”. Ketiga peran
tersebut dilandasi dan dinapasi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih lanjut
Imam Bawani dan Isa Anshari mengatakan bahwa “peran pertama,
merupakan upaya pembaru pemikiran untuk mencetak kader-kader umat yang
mampu berbuat bagi kepentingan Islam dalam kehidupan di masa mendatang,
dan peran ini berkaitan dengan “pendidikan”. Untuk berhasilnya kaderisasi
tersebut diperlukan penggarapan yang serius, perencanaan yang matang, dan
waktu yang cukup panjang, serta dapat dilakukan melalui wadah lembaga
pendidikan formal maupun nonformal.”23
Peran pembaru pemikiran yang kedua, menurut Imam Bawani dan Isa
Anshari, adalah untuk mendarmabaktikan dirinya dalam proses perjalanan
kehidupan, melibatkan diri secara langsung dalam aktifitas bermasyarakat,
dengan segala kemampuan yang dimiliki. Mereka mencoba mengubah
tatanan dan praktik kehidupan yang tidak mencerminkan kebebasan, keadilan
dan kebenaran, kemudian menggantinya dengan tatanan yang membawa
keharmonisan hidup dalam masyarakat secara sempurna yang bisa dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk merealisasikan peran tersebut,
dibutuhkan kecakapan dan kecekatan bertindak.24
Peran ketiga, dari pembaru menurut Imam Bawani dan Isa Anshari
adalah

22

untuk

merubah

praktik

kehidupan

yang

tidak

benar

dan

The New Oxford Illustrated Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1982),h.

1466
23

Fuad Anshari, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1984), h. 37
24
Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37

19

meluruskannya ke jalan yang benar, mengemukakan gagasan kreatif
mengenai berbagai sektor pembangunan, menemukan dan mengembangkan
konsep ilmiah tentang kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat membuka
cakrawala

berpikir

masyarakat,

menyadarkan

untuk

mengikuti

dan

menerapkan dalam kehidupan menuju kemajuan, kesejahteraan dan
kemakmuran bersama yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam.25
Menurut Edward Mortinor peran pembaru direlevankan dengan peran
seorang Muslim semata-mata, yaitu membantu orang yang membutuhkan dan
membangun masyarakat di mana hukum Tuhan diberlakukan.26
Menurut Ali Shariati peranan kaum pembaru adalah membangkitkan dan
membangun masyarakat yang terletak dalam usahanya, dalam kehidupannya
yang selalu dinamik.27
Berdasarkan beberapa pendapat tentang peran kaum pembaru di atas,
Penulis menyimpulkan bahwa tugas pembaru adalah membawa masyarakat
ke arah kemajuan dalam rangka membebaskan dari belenggu kehidupan, dan
mengajak bersama-sama untuk mengangkat dan mempertahankan eksistensi
kemanusiaan, mengubah tatanan kehidupan dan praktik kehidupan yang tidak
benar menjadi benar, mengubah tradisi berpikir konvensional yang jauh
tertinggal dari kemajuan zaman, menjadi pola pikir yang menuju
kesejahteraan, ketentraman dan kemakmuran bersama yang berdasarkan nilainilai Islam.

4.

Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20
Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang
agama, sosial, dan pendidikan di awali dan dilatarbelakangi oleh pembaruan
pemikiran Islam yang timbul di belahan dunia Islam lainnya, terutama oleh
pembaruan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar

Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37
Edward Mortinor, Islam and Power, Terj. Islam dan Kekuasaan, Oleh Rahmani
Astuti, (Bandung: Mizan, 1984), h. 383
27
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: M. Amien Rais, (Jakarta:
Rajawali, 1987), h. 260
25

26

20

belakang pembaruan yang timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan
Napoleon ke Mesir.
Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas alAzhar yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam
dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa
lampau. Sultan-sultan Mesir turut berperang dalam mengalahkan kaum salib
dan dapat mematahkan kekuatan Hulagu di ‘Ain Jalut sehingga Mesir, Afrika
Utara, dan Spanyol Islam selamat dari kehancuran sebagaimana dialami dunia
Islam di bagian Timur. Di samping itu, mulai dari abad keenam belas Mesir
merupakan bagian dari kerajaan Turki ‘Utsmani dan mengikuti dari dekat
kemajuan-kemajuan yang dicapai kerajaan ini di Eropa. Mesir sadar akan
kelemahan dunia Barat dibandingkan dengan supremasi dunia Islam zaman
itu.
Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga Negara besar di dunia Islam
abad-abad keenam belas sampai abad kedelapan belas, ketika Eropa, Inggris
dan Prancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik
internasional. Bahkan kerajaan ‘Utsmani menguasai daratan Eropa dari
Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina.
Adapun India, dengan berdirinya di sana kerajaan Mughal, merupakan
negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat
kekuasaan dan kebudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur.28
Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin modernisasi di Timur
Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia
dan timbullah pula di kalangan kita usaha-usaha modernisasi yang dimulai
pada permulaan abad kedua puluh ini.29
Gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam mempunyai akar historis
dalam gagasan tentang pembaruan pendidikan dan institusi Islam secara
keseluruhan. Dengan kata lain, pembaruan pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam.
28

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996),
Cet. IV, h. 151-152
29
Harun Nasution, Islam Rasional…, h. 185

21

Kerangka dasar yang berada dibalik pembaruan Islam secara keseluruhan
adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan
prasyarat bagi kebangkitan umat Muslim di masa modern. Oleh karena itu,
pemikiran dan kelembagaan Islam ─termasuk pendidikan— haruslah
diperbarui. Mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional”
hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan umat Muslim dalam
berhadapan dengan kemajuan dunia modern.30
Pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks
ini, pendidikan di negara-negara yang tengah menjalankan program
modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal,
dan arena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program
modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi,
sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.
Seperti halnya umat Islam di negara-negara Timur Tengah, perlawanan
terhadap kolonialisme telah mendorong umat Islam untuk mengadakan
berbagai pembaruan. Gerakan pembaruan ini tidak mungkin berjalan bila
tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Dengan otomatis perubahan
Islam berjalan seiring dengan pembaruan pendidikan Islam. Fenomena ini
berlaku di seluruh negara-negara Islam, termasuk Indonesia.31
Gagasan pembaruan yang menemukan momentumnya sejak awal abad
ke-20, telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan
agama, perubahan, maupun pencerahan dengan munculnya beberapa tokohtokoh pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaru itu banyak
bergerak di bidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya
Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Thaher Jalaluddin, Haji Karim
Amirullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai alYunusi, yang kesemuanya berasal dari Minangkabau.
Di

jawa

muncul

tokoh

H.

Ahmad

Dahlan,

dengan

gerakan

Muhammadiyah, H. Hasan, dengan gerakan Persatuan Islam (Persis), Haji
30

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), Cet.