MAKALAH MANAJEMEN TERNAK UNGGAS MANAJEME
MAKALAH MANAJEMEN TERNAK UNGGAS
MANAJEMEN PEMELIHARAAN AYAM LAYER
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Manajemen Ternak Unggas
Oleh :
Kelas A
Kelompok 2
SYIFA SAVIRA
REXY PRAYOGA
TANTRI NUR SUCIATI
HIZBI AZIZ
NOVA NUR AFNITA
SANTI AGUSTINI
ADE THALITA R.
200110140012
200110140014
200110140017
200110140019
200110140121
200110140124
200110140219
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perkembangan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti penting peningkatan gizi dalam
kehidupan. Hal ini berimplikasi pada pola konsumsi makanan yang juga akan
terus meningkat. Disamping tujuan utama penggunaan makanan sebagai pemberi
zat gizi bagi tubuh yang berguna untuk mempertahankan hidup, manusia juga
menggunakannya untuk nilai-nilai sosial, karena penggunaan makanan telah
melembaga sebagai alat untuk berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu
makanan dalam lingkungan masyarakat menyangkut gizi dan aspek sosial. Secara
ekonomi, pengembangan pengusahaan ternak ayam petelur di Indonesia memiliki
prospek bisnis menguntungkan, karena permintaan selalu bertambah (Cahyono, B.
1995).
Besarnya peluang pasar ayam petelur ini merupakan kesempatan yang
sangat potensial untuk mengembangkan peternakan ayam petelur. Bagi seorang
peternak kesalahan pemeliharaan ayam akan menghasilkan pertumbuhan ayam
yang buruk sehingga mengakibatkan hasil produksi menurun. Pemeliharaan ayam
petelur membutuhkan penanganan khusus dan sangat penting untuk diperhatian.
Karena dengan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan pertumbuhan ayam
yang baik, kondisi ayam yang sehat, tingkat mortalitas yang rendah dan pada
akhirnya akan menghasilkan ayam petelur dengan produksi telur yang tinggi.
Bagaimana cara mengoptimalkan produksi ayam petelur? Pertanyaan ini sering
kita jumpai dilapangan. Pelaku bisnis peternakan ayam petelur sering dihadapkan
pada situasi dimana ayam petelurnya tidak mampu berproduksi secara optimal.
Kunci utama untuk mencapai produksi yang optimal yaitu manajemen yang baik
pada fase Starter, layer dan grower serta didukung dengan baiknya sistem
recording di Farm.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu ayam petelur.
2.
Apa saja jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
3.
Bagaimana periode pertumbuhan ayam petelur.
4.
Bagaimana tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
5.
Bagaimana pakan untuk ayam petelur.
6.
Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
1.2.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian ayam petelur dan sejarah singkat tentang ayam
petelur.
2.
Mengetahui jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
3.
Mengetahui periode pertumbuhan ayam petelur.
4.
Mengetahui tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
5.
Mengetahui pakan ayam petelur.
6.
Mengetahui pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Ayam Petelur
Ayam domestik termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang
ditujukan kepada Galluells domesticus. Ayam diklasifikasikan sebagai berikut
(Scanes et al., 2004) :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Superordo : Carinatae
Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus gallus
Ayam layer atau ayam petelur adalah ayam yang diternakkan khusus untuk
menghasilkan telur konsumsi. Jenis ayam petelur dibagi menjadi tipe ayam
petelur ringan dan medium. Tipe ayam petelur ringan mempunyai badan yang
ramping dan kecil, bulu berwarna putih bersih, dan berjengger merah, berasal dari
galur murni (white leghorn) mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun
produksi hen house. Ayam petelur ringan sensitif terhadap cuaca panas dan
keributan, responnya yaitu produksi akan menurun. Tipe ayam petelur medium
memiliki bobot tubuh yang cukup berat, tidak terlalu gemuk, kerabang telur
berwarna coklat, dan bersifat dwiguna (Bappenas, 2010). Ayam yang dipelihara
sebagai penghasil telur konsumsi umumnya tidak memakai pejantan dalam
kandangnya karena telur konsumsi tidak perlu dibuahi (Kartasudjana dan
Suprijatna, 2006).
Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan
telur sehingga produktifitas telurnya melebihi dari produktifitas ayam jenis
lainnya. Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh
sifat genetis ayam, manajemen pemeliharaan, makanan dan kondisi pasar
(Amrullah, 2003).
2.2.
Jenis – jenis ayam petelur yang ada di Indonesia
Menurut Rasyaf (2008) ayam petelur dibagi menjadi :
a.
Jenis ayam petelur ringan
Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini
mempunyai badan yang ramping/kurus, mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya
berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur
murni white leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam petelur ringan
komersial banyak dijual di Indonesiadengan berbagai nama. Setiap pembibit ayam
petelur di Indonesia pasti memiliki dan menjual ayam petelur ringan (petelur
putih) komersial ini. Ayam ini mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun
produksi hen house. Sebagai petelur, ayam tipe ini memang khusus untuk bertelur
saja sehingga semua kemampuan dirinya diarahkan pada kemampuan bertelur,
karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadap cuaca
panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila kaget ayam ini
produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.
b.
Jenis ayam petelur medium
Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu, beratnya masih berada di
antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler. Oleh karena itu ayam ini
disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi juga tidak
terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga dapat menghasilkan daging yang
banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam tipe dwiguna, karena warnanya yang
cokelat, maka ayam ini disebut dengan ayam petelur cokelat yang umumnya
mempunyai warna bulu yang cokelat juga. Orang mengatakan telur cokelat lebih
disukai daripada telur putih, kalau dilihat dari warna kulitnya memang lebih
menarik yang cokelat daripada yang putih, tapi dari segi gizi dan rasa relatif sama.
Satu hal yang berbeda adalah harganya dipasaran, harga telur cokelat lebih mahal
daripada telur putih. Hal ini dikarenakan telur cokelat lebih berat.
2.3.
Periode Pertumbuhan Ayam Petelur
Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh
disilangkan kembali (Sudaryani dan Santosa, 2000). Berdasarkan fase
pemeliharaannya, fase pemeliharaan ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase starter (umur 1 hari--6 minggu), fase grower (umur 6--18 minggu), dan fase
layer/petelur (umur 18 minggu--afkir) (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013).
Fase grower pada ayam petelur, terbagi kedalam kelompok umur 6--10
minggu atau disebut fase awal grower dimana terjadi pertumbuhan anatomi dan
sistem hormonal pada fase ini. Sedangkan, pada umur 10--18 minggu sering
disebut dengan fase developer dimana pada fase ini perkembangan ditandai
dengan pertumbuhan anatomi kerangka ayam dan otot (daging) yang lebih
dominan. (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Pada fase ini kontrol pertumbuhan dan
keseragaman perlu dilakukan, karena berkaitan dengan sistem reproduksi dan
produksi ayam tersebut. Periode grower secara fisik tidak mengalami perubahan
yang berarti, perubahan hanya dari ukuran tubuhnya yang semakin bertambah dan
bulu yang semakin lengkap serta kelamin sekunder yang mulai nampak. Selama
periode ini terjadi perkembangan ukuran dan terbentuknya rangka, perkembangan
organ tubuh, perkembangan hormonal, dan perkembangan organ reproduksi
(Rasyaf, 1995).
Pullet memiliki tahapan perkembangan tubuh yang kompleks sesuai
periode umurnya (starter dan grower). Masa starter merupakan masa pembelahan
sel (hiperplasia) sehingga perkembangan organ sangat dominan di masa ini. Oleh
karena itu, masa ini mempunyai andil 50% bahkan 90% terhadap keberhasilan
pemeliharaan pullet (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Periode grower terjadi
perkembangan ukuran sel (hipertrofi). Fase ini frame size (kerangka tubuh)
berkembang mencapai bentuk sempurna. Periode grower memiliki 3 waktu kritis
yang harus diperhatikan oleh peternak yaitu umur 6--7 minggu, 12 minggu, dan
14 minggu. Antara minggu 6 dan 7 adalah puncak perkembangan frame size
dimana 80% frame size sudah mencapai dimensi akhir. Oleh karena itu, saat
penimbangan berat badan di minggu kelima, ayam-ayam yang belum memiliki
frame size optimal dipisahkan lalu tetap diberikan ransum starter dan diberikan
multivitamin (Adlan dkk., 2012). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perkembangan
kerangka tubuh minggu ke-12 telah mencapai maksimal, sehingga setidaknya ada
dua hal yang perlu diperhatikan peternak, yaitu mengejar ketinggalan frame size
(berat badan) sebelum minggu ke-12, dan mempertahankan berat tubuh yang
sudah sama atau 10% di atas standar untuk menghadapi masa awal bertelur. Selain
tercapainya berat tubuh yang sesuai dan perkembangan frame size yang optimal,
tingkat keseragaman ayam juga perlu tetap diperhatikan (Adlan dkk., 2012).
Perkembangan pesat organ reproduksi dan juga medulary bone (bagian
tulang yang menyimpan cadangan kalsium untuk cangkang telur pada ayam)
terjadi pada minggu ke-14. Periode ini, ketersediaan vitamin D dan kalsium
sangat dibutuhkan rendahnya asupan kalsium dan vitamin D saat awal bertelur
akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur saat puncak produksi
sehingga sebaiknya peternak perlu menyediakan kalsium dan vitamin D dalam
jumlah yang cukup (Adlan dkk., 2012). Hal penting lainnya dalam pemeliharaan
fase grower adalah memperhatikan konsumsi pakan per hari baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Pembatasan pemberian ransum dilakukan bila bobot tubuh
yang diperoleh melebihi standar. Bila bobot tubuh sejalan dengan kurva yang ada,
pada umur 10 minggu, ransum dapat diubah dari ransum starter ke grower. Jika
berat kelompok lebih rendah, pemberian ransum starter diatur sampai berat
badannya sesuai dengan umurnya. Sementara, pemberian ransum grower harus
berkualitas baik dan memenuhi kebutuhan asam amino. Ransum yang
mengandung protein dan asam amino yang rendah akan menyebabkan naiknya
lemak tubuh (gemuk), dan akan menyebabkan ayam makan terlalu banyak pada
masa grower dan bermasalah pada awal produksi (Rasyaf, 1995).
2.4.
Tehnik Memelihara Ayam Petelur
Sebelum usaha beternak dimulai, seorang peternak wajib memahami 3
(tiga) unsur produksi yaitu: manajemen (pengelolaan usaha peternakan), breeding
(pembibitan) dan feeding (makanan ternak/pakan) .
Penyiapan Sarana dan Peralatan :
a.
Kandang
Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage. Sistem
litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage dapat
berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe baterai),
multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10 ekor), dan
colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Lebar bangunan kandang untuk ayam
petelur saat fase layer sebaiknya sekitar 8 m apabila tipe kandang terbuka, jika
lebar kandang 12 m maka perlu dilengkapi dengan ridge ventilation. ventilasi
yang kurang baik mengakibatkan amoniak dari ekskreta akan mejadi racun bagi
ayam, menimbulkan gangguan pernafasan, penurunan produksi, dan penyakit
cacing untuk ayam yang dipelihara di kandang litter. Pemberian cahaya sebaiknya
14 jam per hari, yaitu kombinasi antara cahaya matahari dan cahaya lampu
sebagai tambahan, tujuannya untuk meningkatkan produksi telur, mempercepat
dewasa kelamin, mengurangi sifat mengeram, dan memperlambat molting
(perontokan bulu) (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Suhu optimal untuk pemeliharaan ayam petelur strain Hy-Line Brown fase
layer yaitu 18 – 27%, dengan batas kelembaban 40 – 60%. Intensitas cahaya
sekitar 20 lux. Sistem kandang dapat berupa litter (kepadatan maksimum 8
ekor/m2), slat (kepadatan maksimum 10 ekor/m2) atau kombinasi litter-slat
(kepadatan maksimum 9 ekor/m2). Sarang untuk bertelur berbentuk boks, satu
sarang dengan ukuran 30 x 40 x 50 cm dapat digunakan maksimum untuk delapan
ekor ayam. Sarang tidak diperlukan dalam sistem perkandangan cage (sangkar)
(Hy-Line International, 2010).
Cage dapat dibuat bertingkat hingga tiga deck atau lebih. Deck disusun
membentuk frame A agar ekskreta ayam dari deck atas langsung jatuh ke lantai
atau tempat penampungan ekskreta dan tidak jatuh ke deck di bawahnya. Partisi
untuk cage dapat berupa solid (tertutup) atau wire. Partisi yang berbentuk wire
berfungsi untuk mengoptimalkan pertukaran udara di dalam cage. Cage untuk
ayam petelur dapat terbuat dari berbagai bahan seperti logam, plastik, kayu, atau
bambu (Lelystad, 2004).
b.
Peralatan
Litter ( alas bertelur )
Alas lantai/litter harus dalam keadaan kering, maka tidak ada atap yang
bocor dan air hujan tidak ada yang masuk walau angin kencang.
Tebal litter setinggi 10 cm, bahan litter dipakai campuran dari kulit padi/sekam
dengan sedikit kapur dan pasir secukupnya, atau hasil serutan kayu dengan
panjang antara 3–5 cm untuk pengganti kulit padi/sekam.
Tempat bertelur
Penyediaan tempat bertelur agar mudah mengambil telur dan kulit telur
tidak kotor, dapat dibuatkan kotak ukuran 30 x 35 x 45 cm yang cukup untuk 4–5
ekor ayam. Kotak diletakkan dididing kandang dengan lebih tinggi dari tempat
bertengger, penempatannya agar mudah pengambilan telur dari luar sehingga telur
tidak pecah dan terinjak-injak serta dimakan. Dasar tempat bertelur dibuat miring
dari kawat hingga telur langsung ke luar sarang setelah bertelur dan dibuat lubang
yang lebih besar dari besar telur pada dasar sarang.
Tempat bertengger
Tempat bertengger untuk tempat istirahat/tidur, dibuat dekat dinding dan
diusahakan kotoran jatuh ke lantai yang mudah dibersihkan dari luar. Dibuat
tertutup agar terhindar dari angin dan letaknya lebih rendah dari tempat bertelur.
Tempat makan dan minum
Tempat makan dan minum harus tersedia cukup, bahannya dari bambu,
almunium atau apa saja yang kuat dan tidak bocor juga tidak berkarat. Untuk
tempat grit dengan kotak khusus.
c.
Peyiapan Bibit
Ayam petelur yang akan dipelihara haruslah memenuhi syarat sebagai
berikut, antara lain:
Ayam petelur harus sehat dan tidak cacat fisiknya.
Pertumbuhan dan perkembangan normal.
Ayam petelur berasal dari bibit yang diketahui keunggulannya.
Ada beberapa pedoman teknis untuk memilih bibit/DOC (Day Old
Chicken) /ayam umur sehari:
Anak ayam (DOC ) berasal dari induk yang sehat.
Bulu tampak halus dan penuh serta baik pertumbuhannya .
Tidak terdapat kecacatan pada tubuhnya.
Anak ayam mempunyak nafsu makan yang baik.
Ukuran badan normal, ukuran berat badan antara 35-40 gram.
Tidak ada letakan tinja diduburnya.
2.5.
Pakan Ayam Petelur
Kebutuhan nutrisi ayam petelur
Periode pertumbuhan ayam petelur dapat dibagi menjadi periode
grower (umur 1 hari – 8 minggu), developer (umur 8 – 16 minggu), dan prelay (umur 17 – 24 minggu). Kebutuhan nutrisi periode grower yaitu 18,6% PK
dan 3870 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode developer yaitu 14,9% PK dan
2750 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode pre-lay yaitu 18,0% PK dan 2755
kkal/kg EM (Al Nasser et al., 2005).
Jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah (kurang dari 2600 kkal),
konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan
menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan terjadi penurunan
konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada fase layer tidak
sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi pakan. Hal yang
perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang dikonsumsi, kandungan
PK dan EM harus ditingkatkan. Kebutuhan PK dan EM fase layer pada berbagai
tingkatan umur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan PK dan EM Fase Layer untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
Hen
27 – 32 minggu 33 – 44 minggu 45 – 58 minggu ≥ 59 minggu
Day 94 – 96%
89 – 93%
85 – 88%
< 85%
Production
Konsumsi
Kebutuhan
93 – 113 g
100 – 120 g
100 – 120 g
15,04 – 18,28% 13,96 – 16,75% 13,33 – 16%
PK
Kebutuhan
2778
–
2867 2734
–
EM
Kkal/kg
Kkal/kg
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
2867 2679
–
Kkal/kg
99 – 119 g
13,03 – 15,66%
2867 2558
–
2833
Kkal/kg
Protein pakan sebagian besar digunakan untuk produksi telur, hanya
sebagian kecil untuk hidup pokok. Semakin tinggi tingkat produksi maka
kebutuhan protein juga semakin tinggi (Suprijatna et al., 2005). Protein pakan
harus mencukupi kebutuhan asam-asam amino untuk menunjang produksi yang
optimal (Leeson, 2008). Kebutuhan asam amino bagi ayam petelur fase layer
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Kebutuhan Asam Amino untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
27 – 32 minggu
HDP
94 – 96%
Lisin (mg)
931
Metionin (mg) 448
Metionin
+ 805
33 – 44 minggu
89 – 93%
920
443
815
Sistin (mg)
Treonin (mg) 700
692
Triptofan (mg) 213
211
Arginin (mg) 978
966
Isoleusin (mg) 722
714
Valin (mg)
844
834
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
45 – 58 minggu
85 – 88%
876
422
776
≥ 59 minggu
< 85%
821
395
727
659
201
920
680
794
618
188
863
637
744
Kebutuhan vitamin dan mineral untuk ayam petelur strain Hy-Line Brown
fase layer dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Standar Kandungan Vitamin Ransum pada Fase Layer
Vitamin
Vitamin A (IU)
Vitamin D(IU)
Vitamin E (IU)
Vitamin K (mg)
Thiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Asam pantotenat (mg)
Niasin (mg)
Piridoksin (mg)
Biotin (mg)
Kolin (mg)
Vitamin B12 (mg)
Sumber: * Hy-Line Internasional, 2010
Kandungan dalam 1000 Kg Ransum
8.000.000*
500.000**
5.000**
500**
1.700*
5.500*
6.600*
28.000*
3.300*
100**
500.000**
22,18*
**North danBell, 1990.
Tabel 4. Kebutuhan Mineral Ayam Petelur Tipe Medium pada Fase Layer
Mineral
Umur 21 – 40 minggu
Kalsium (%)
3,00
Fosfor (total, %)
0,50
Natrium (mg/kg)
0,15
Mangan (mg/kg)
110
Seng (mg/kg)
50
Sumber: North dan Bell, 1990.
Umur > 40 minggu
3,25
0,50
0,15
110
50
Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama yang diperlukan untuk
pembentukan cangkang telur. Pakan ayam petelur fase layer harus mengandung
kalsium sebanyak 3 – 4% (Harms et al., 1996). Defisiensi kalsium akan
menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan mudah retak. Jika absorbsi
kalsium pakan tidak memenuhi kebutuhan pembentukan cangkang, kalsium
diambil dari tulang medulair (Riczu dan Korver, 2009). Imbangan Ca : P yang
terlalu luas dapat menimbulkan ricketsia, yaitu tiap unsur yang berlebihan
menyebabkan mengendapnya unsur lain di dalam usus sehingga tidak bisa
dimanfaatkan tubuh. Imbangan Ca : P sebaiknya sebesar 9 : 1 saat puncak
produksi, 11 : 1 saat produksi sebesar 89 – 93%, selanjutnya 13 : 1 hingga ayam
diafkir (Hy- Line International, 2010).
Lemak merupakan sumber energi tinggi dalam pakan unggas. Asam linoleat
dan arakhidonat adalah asam lemak esensial karena tidak dapat disintesis tetapi
harus ada di dalam pakan. Pakan yang tidak mengandung cukup asam linoleat
menyebabkan pertumbuhan terhambat, terjadi akumulasi lemak di hati, dan lebih
rentan terhadap infeksi pernafasan. Defisiensi asam arakhidonat pada ayam
petelur menyebabkan ukuran telur kecil. Asam arakhidonat dapat disintesis dari
asam linoleat (Suprijatna et al., 2005). Standar kebutuhan asam linoleat dalam
pakan ayam petelur fase layer dari umur 27 minggu hingga lebih dari 59 minggu
adalah 1,00 g/hari (Hy-Line International, 2010).
Tata laksana pemberian pakan
Rata-rata ayam petelur fase layer strain Hy–Line Brown mengkonsumsi 114
– 120 gram pakan per hari sehingga pemberian pakan tiap hari sekitar 120 gram
per ekor ayam. Air merupakan komponen nutrien yang paling penting, apabila
ayam kekurangan air minum, konsumsi pakan akan menurun sehingga
produktivitasnya menurun. Air minum hanya dibatasi pada saat-saat tertentu,
misalnya sebelum vaksinasi melalui air minum (Hy-Line International, 2010).
Ayam dapat bertelur dengan optimal apabila pakan diberikan secara ad
libitum, yaitu selalu tersedia sepanjang hari. Pakan bentuk pellet memiliki
palatabilitas yang paling baik. Bentuk pakan seperti campuran crumble dan mash
umum digunakan dalam ransum hasil formulasi sendiri dan relatif lebih ekonomis.
Ayam harus distimulasi untuk mengkonsumsi pakan, salah satunya dengan
memberikan biji-bijian setengah hancur, misalnya jagung. Pakan di dalam tempat
pakan diusahakan selalu kering dan diganti dengan yang baru setiap hari untuk
mencegah timbulnya jamur. Air bersih untuk minum harus selalu tersedia atau ad
libitum (Shirt, 2010).
Pemberian pakan saat tengah malam (midnight feeding) dapat dilakukan
apabila diberikan cahaya yang cukup, yaitu dari lampu. Tujuan night feeding dan
midnight feeding yaitu memberikan kesempatan bagi ayam untuk meningkatkan
suplai kalsium dari saluran pencernaan secara langsung untuk pembentukan
cangkang telur. Hal ini mencegah pengambilan kalsium dari tulang yang
meningkatkan risiko pengeroposan tulang saat ayam mulai tua. Waktu pemberian
pakan di pagi atau siang hari menyebabkan ayam mengabsorbsi zat-zat pakan
sebagian besar untuk
hidup pokok dalam sehari, regenerasi sel, mengatasi
pengaruh lingkungan seperti cuaca sehingga tidak semuanya dimaksimalkan
untuk pembentukan telur. Midnight feeding berlangsung saat telur sedang
dibentuk sehingga materi pembentuknya dapat ditambahkan dari zat-zat pakan
yang diabsorbsi oleh saluran pencernaan (Riczu dan Korver, 2009). Midnight
feeding terbukti dapat meningkatkan kualitas cangkang telur dari segi ketebalan,
kekuatan, persentase cangkang dari telur yang keluar pada pagi hari, yaitu sekitar
jam 09.00 (Harms et al., 1996).
2.6.
Manajemen Pencegahan dan Penanganan Penyakit
Biosekuriti merupakan metode terbaik untuk mencegah penyakit. Prosedur
yang diterapkan dalam biosekuriti antara lain yaitu tidak mengunjungi flock ayam
sehat setelah mengunjungi flock ayam sakit, melakukan fumigasi dan disinfeksi
kandang sebelum kedatangan pullet. Pemeliharaan dengan sistem all in all
out dalam suatu flock juga dapat mencegah penularan penyakit dari ayam tua ke
ayam muda karena dalam sistem tersebut ayam pengadaan pullet dan pengafkiran
dilakukan secara menyeluruh sehingga umur ayam yang dipelihara sama (Hy-Line
International,
2010).
Fumigasi
dilakukan
dengan
menyemprotkan
gas formaldehyde di kandang dan sekitarnya untuk mencegah penularan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan virus (Blakely dan Bade, 1998).
Beberapa jenis penyakit menyebar dengan luas dan sulit diberantas
sehingga harus dilakukan vaksinasi rutin. Program vaksinasi yang wajib untuk
ayam petelur antara lain untuk mencegah Newcastle Disease (ND), Infectious
Bronchitis (IB),
Infectious
Bursal
Disease (IBD),
dan Avian
Encephalomyelitis (AE) (Hy-Line International, 2010). Teknik vaksinasi antara
lain dengan metode tetes mata (ocular), injeksi subcutan, air minum,
maupun spray. Vaksin dengan metode tetes mata misalnya vaksin ND – IB untuk
anak ayam berumur 3 hari. Metode injeksi intramuskuler misalnya vaksin ND
untuk ayam usia 16-17, 30 dan 50 minggu. Metode wing web injection (tusuk
sayap) misalnya vaksin fowl pox dan AE untuk ayam usia 18 minggu. Metode
pemberian vaksin dengan air minum misalnya vaksin IBD (Gumboro) untuk ayam
usia 32 dan 52 minggu serta vaksin ND La Sota. Metode pemberian vaksin
melalui spray misalnya vaksin coccidiosis live untuk DOC (Kartasudjana dan
Suprijatna, 2006; Spoolder, 2007).
Penyakit
yang
disebabkan
oleh
bakteri
antara
lain fowl
cholerae dan infectious coryzae. Penyakit yang disebabkan oleh virus antara
lain fowl pox. Penyakit yang disebabkan oleh protozoa antara lain leukosis.
Penyakit parasit internal terutama disebabkan oleh cacing. Penyakit parasit
eksternal disebabkan oleh kutu dan tungau (Blakely dan Bade, 1998). Fowl
cholerae merupakan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
bakteri Pasteurella
multocida yang ditandai dengan gejala diare, dalam kondisi kronis menyebabkan
jengger dan pial bengkak, diare berwarna kuning hingga hijau, dan pembengkakan
sendi.
Pengobatannya
intramuskuler. Infectious
yaitu
dengan
coryza disebabkan
injeksi
oleh
sulfadoxin
bakteri
secara
Haemophilus
gallinarum dengan gejala kesulitan bernafas, keluar lendir dari nostril dan mata,
dalam kondisi kronis muka dan sekitar mata membengkak akibat penggumpalan
eksudat. Pengobatannya yaitu dengan injeksi sulfadimetoksin dan streptomisin
(Meerburg dan Kiljstra, 2007; Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Fowl pox ditandai dengan tonjolan kehitaman pada jengger dan pial,
disebabkan oleh virus Borreliota avium dan dapat dicegah dengan vaksinasi.
Leukosis ditandai dengan pembengkakan hati dan limpa yang disebabkan oleh
virus
maupun
protozoa
seperti Plasmodium
sp. yang
ditularkan
oleh
nyamuk Anopheles. Leukosis yang disebabkan oleh Plasmodium sp. dapat diobati
dengan injeksi sulfa, seperti sulfamonometoksin (Blakely dan Bade, 1998;
Bappenas,
2010).
Cacing
parasit
misalnya Ascaridia
galli pada
usus
dan Heterakis gallinarum pada ceca, pengobatannya yaitu dengan Piperazine,
Albendazole, dan Flubendazole (Hy-Line International, 2010).
III
PEMBAHASAN
3.1.
Pembahasan Pemberian Pakan Ayam Petelur dengan Jurnal Laying
Chickens Response to Various Levels of Palm Kernel Cake in Diets
Pakan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pemeliharaan ayam petelur. Namun kebutuhan pakan yang semakin meningkat
diperlukan
keseimbangan
dengan
ketersediaan
pakannya
dan
tetap
mempertimbangkan biayanya. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa pakan
digunakan untuk menghitung FCR, jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah
(kurang dari 2600 kkal), konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat
dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan
terjadi penurunan konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada
fase layer tidak sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi
pakan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang
dikonsumsi, kandungan PK dan EM harus ditingkatkan.
Pada jurnal dibahas untuk melakukan manajemen ternak dengan biaya
yang lebih rendah, salah satunya dengan memanfaatkan hasil ikutan pertanian,
yakni bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit ini diyakini dapat mengurangi masalah
pencemaran lingkungan dari hasil buangannya. BIS mengandung banyak
metabolisme energi yaitu sebanyak antara 1479 - 2260 Kcal/kg. Kandungan
nutrisi yang terkandung dalam BIS berbeda-beda, tergantung pada proses efisiensi
ekstraksi lemak. Seratus dua puluh Lohmann Brown ayam petelur (40 minggu)
yang dipelihara dengan gizi yang sama dan penanganan ransum dibagi menjadi
empat, yaitu ransum yang dicampur dengan 0, 5, 10, dan 15 kg BIS pada masingmasing 4 macam ransum tersebut. Setiap macam ransum diperuntukkan kepada
15 ekor ayam petelur. Rata – rata bobot ayam sebesar 1.5 kg. Pakan dan minum
diberikan secara adlibitum/terus menerus. Data dikumpulkan selama delapan
minggu yaitu produksi telur, berat telur, nilai warna kuning yolk, ketebalan kulit
telur, dan nilai Haugh Unit.
Pengurangan berat badan (BB) dengan penambahan BIS 15% dalam
ransum dapat dikaitkan dengan kecernaan nutrisi rendah dengan penambahan BIS.
Penjelasan didukung oleh Sundu dan Dingle (2003) sebelumnya telah melaporkan
bahwa selama pemrosesan, BIS juga dapat mengalami reaksi Maillard (reaksi
mannose dengan kelompok amino yang mengarah ke pembentukan brown
kompleks) karena panas diterapkan dalam proses sebelum dan selama minyak
ekstraksi dan ini mempengaruhi daya cerna.
Longe (1984) menemukan bahwa ayam petelur makan 20% BIS pada
ransum menghasilkan telur lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa makan 15%
BIS pada ransum berpengaruh pada produksi telur, tapi tidak berpengaruh pada
konsumsi pakannya. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan serat kasar
yang tinggi pada BIS yang mengarah ke gangguan cerna nutrisi, terutama asam
amino dan juga untuk ketidakseimbangan nutrisi. Skor warna kuning telur
tampaknya telah dipengaruhi secara signifikan dengan penambahan BIS menjadi
warna kuning meningkat. Peningkatan warna kuning telur akibat penambahan BIS
yang tinggi dalam ransum bisa menjadi baik karena kebanyakan pelanggan lebih
memilih warna kuning gelap. Tidak ada efek BIS yang signifikan terhadap berat
telur (yang berkisar 62,48-68,53), ketebalan kulit telur dan Haugh Unit skor.
Menurut United State Department of Agriculture (U.S.D.A), sebutir telur beratnya
berkisar 56.7g atau lebih dengan Haugh skor unit 72 dan dianggap sebagai
kualitas 'AA' (Panda, 1995). Semua nilai-nilai yang tercatat dalam penelitian ini
nilai HU nya lebih dari 72 sehingga ayam petelur yang diberi ransum dicampur
dengan BIS di berbagai tingkatan dapat dianggap berkualitas tinggi. Biaya pakan
per kilogram ransum berkurang ketika BIS digunakan. Hal ini mengakibatkan
harga yang lebih rendah dengan penggunaan BIS.
3.2.
Pembahasan Pakan dengan Jurnal Performance of Chicken Layers as
Affected By Calcium Supplement
Kalsium adalah nutrisi penting pada ayam petelur. Hal ini diperlukan
untuk pembentukan cangkang telur dan itu juga diperlukan untuk menjaga
integritas tulang. Untuk alasan ini kalsium telah ditambahkan pada ransum ayam
petelur. Meskipun demikian, produsen telur menderita kerugian keuangan setiap
tahun dari kualitas kerabang telur yang buruk dan dari hilangnya ayam karena
kualitas tulang yang buruk menyebabkan ketimpangan pada ayam. Setelah umur
ayam petelur 42 minggu, kualitas kulit telur menurun. Pada jurnal dibahas
kegunaan dari penelitian adalah untuk memverifikasi kinerja ayam petelur bila
diberikan suplemen kalsium. Secara khusus, tujuannya adalah :
1.
Menentukan performa ayam petelur bila diberikan suplemen kalsium halus
dan kasar selama fase kedua produksi
2.
Menentukan kualitas cangkang telur yang dipengaruhi oleh kapur kasar
dan halus.
Dalam hal parameter produksi telur, pemberian suplemen tidak
mempengaruhi ayam untuk bertelur lebih banyak. Potensi genetik yang melekat
pada ayam petelur untuk memproduksi telur tidak lebih ditingkatkan dengan
suplemen kalsium. Seperti dengan berat cangkang telur, dapat ditarik kesimpulan
dari hasil bahwa penambahan kalsium suplemen untuk ransum komersial ayam
petelur yang mengandung 3,5% kalsium tidak menyebabkan peningkatan yang
signifikan dalam berat cangkang telur. Di sisi lain ketebalan kulit telur secara
signifikan dipengaruhi oleh suplemen kalsium. Ketebalan shell mempengaruhi
kualitas telur yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan kulit telur. Seperti
yang disebutkan oleh Austic dan Nesheim (1990), cangkang terutama terdiri dari
bahan mineral yang sebagian besar adalah kalsium karbonat diendapkan di dalam
matriks organik. Matriks organik merupakan faktor penentu penting dari kualitas
kulit telur (Britton dan Hale, 1977). Sebanding ketebalan cangkang sebelum
suplementasi telah diamati menghasilkan % telur retak rendah. Pada usia ini,
kebutuhan bahan organik dari ayam petelur yang memuaskan dipenuhi oleh
ransum normal. Kerugian berkurang karena persentase telur retak pada fase
produksi kedua yang lebih rendah, sehingga menyumbang peningkatan laba.
Berdasarkan hasil penelitian, untuk kulit telur kualitas yang lebih baik
dalam hal ketebalan dan untuk keuntungan lebih, produktivitas ayam selama fase
kedua produksi dapat dilengkapi dengan baik oleh kapur halus atau kasar atau
cangkang tiram. Suplemen ini dapat diberikan setiap hari dengan laju 4 gram per
ekor ayam dan harus diberikan sebagai topping.
3.3.
Pembahasan Mengenai Perkandangan dengan Jurnal Effect Of
Poultry Housing Systems On Egg Production
Pemeliharaan ayam petelur dipengaruhi oleh sistem perkandangan yang
digunakan. Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage.
Sistem litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage
dapat berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe
baterai), multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10
ekor), dan colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Pada jurnal di bahas mengenai
sistem pemeliharaan ayam petelur di berbagai macam kandang. Baxter (1994)
berkomentar bahwa "Keprihatinan atas kesejahteraan ayam dikurung muncul
dalam dua bidang umum: pertama bahwa lingkungan tandus dalam kandang
mencegah kinerja pola perilaku alami ayam, kedua, bahwa sejumlah kecil ruang di
kandang memaksakan pembatasan pada kebebasan umum ayam bergerak".
Pemeliharaan di kandang konvensional
Percobaan dilakukan dengan 66.300 ayam petelur merata di lima rumah
unggas. Sebuah sistem koloni konvensional yang digunakan. Dalam setiap
kandang empat lapisan yang ditempatkan dengan daerah yang berguna yaitu 550
сm2 / ekor.
Pemeliharaan di kandang yang telah lengkap / diperkaya
Percobaan dilakukan dengan 123.430 ayam petelur merata di dua rumah
unggas. Sistem koloni terdiri dari delapan kandang tingkat. Kapasitasnya adalah
60 ekor per kompartemen. Permukaan kompartemen adalah 45.225 сm2 yaitu 70
сm2 / ekor dan 600 сm2 daerah yang dapat digunakan / ekor.
Pemeliharaan di gudang - lantai slat dengan pupuk pit dan sampah (lantai /
litter)
Percobaan dilakukan dengan 30.000 ayam petelur merata di empat rumah
unggas. Lantai dengan kotoran pit ditutupi dengan plastik padat menduduki 2/3
dari total permukaan perumahan dan lainnya 1/3 adalah sampah. Kapasitasnya
adalah 9 ayam per 1 m2. Hasil dari jurnal tersebut bahwa sistem perkandangan
berpengaruh nyata terhadap produksi telur karena kandang akan memberikan
kenyamanan pada ayam
.
3.4.
Pembahasan Kondisi Ayam dengan Jurnal Regulasi Panas Tubuh
Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
Ayam petelur termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme
yang tinggi, hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap
normal melalui proses homeostatis, temperatur tubuh akan konstan. Dikarenakan
adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus. Ayam petelur mempunyai
variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin,
faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, dan faktor makanan
yang dikonsumsi (Frandson, 1992)
Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur
berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak selalu tetap dan adanya faktor di
sekitar tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi. Umumnya unggas,
khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama
untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui evaporasi
dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon permukaan tubuh ayam
petelur dalam mengevaporasikan panas tubuh berbeda nyata baik pada fase
grower
maupun
fase
layer.
Jengger
merupakan
bagian
tubuh
yang
mengevaporasikan panas lebih tinggi, yaitu 30,1⁰C fase grower dan 30,7⁰C fase
layer. Bulu kontur merupakan bagian permukaan tubuh yang paling tidak efektif
mengevaporasikan panas yaitu, 25,7⁰C fasr grower dan 24,7⁰C fase layer.
Terkait dengan fungsi organ sebagai sebagai alat dalam mengevaporasikan
panas maka organ-organ yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak
akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi dengan
meningkatkan laju alur dan proporsi darah ke organ-organ tersebut (Havenstein, et
al., 2007).
-
Respon Fisiologi Pernafasan
Pada tabel 2 ditunjukkan bahwa kondisi fisiologi pernafasan tampak
mengalami perubahan dari fase grower ke fase layer. Perubuhan ini merupakan
konsekuensi dari aktifitas themoregulasi guna mempertahankan suhu tubuh.
Respon Fisiologis
Fase
Grower
Laju Respirasi
(per menit)
Denyut Jantung
(per menit)
35
233
Layer
41
256
Penelitian pada ayam petelur yang mengalami hipertemia, memberikan
petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki,
jaringan rongga hidung dan mulut serta otot-otot pernafasan meningkat sampai
empat kali. Perubahan pengaliran darah ke jaringan perifer tersebut, terutama
berkaitan dengan AVA yang memiliki volume besar dan resistensi rendah untuk
mengalirkan darah yang diperlukan dalam pengeluaran panas.
Menurut Rahardja (2010), berbagai penelitian pada ternak unggas; ayam
petelur yang mengalami hipertemia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran
darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki, jaringan rongga hidung dan
mulut serta otot-otot pernafasan mengalami peningkatan yang signifikan.
Sebaliknya pengaliran darah ke tulang, saluran pencernaan dan reproduksi
menurun 40%-80% dari keadaan normal. Pada kondisi cekaman panas, hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaliran darah ke organ-organ vital, seperti
otak, dipertahankan dengan mereduksi pengaliran darah ke organ-jaringan yang
kurang vital, organ-jeroan dan perototan non-respirasi. Berdsarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam
mengevaporasikan panas terutama pada jengger dan shank, serta terjadi perubahan
respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas.
3.5.
Pembahasan Faktor Produksi dengan Jurnal Analisis Penggunaan
Faktor Produksi Pada Perusahaan Ayam Ras Petelur (Studi Kasus
Pada Ud. Kakaskasen Indah Dan Cv. Nawanua Farm)
Pengelolaan suatu usaha peternakan ayam ras petelur sangat penting
memperhitungkan aspek-aspek korbanan dalam mencapai suatu tujuan perusahaan
seperti memperoleh tingkat keuntungan yang layak. Setiap peternak dalam
pengambilan keputusan pada suatu proses produksi harus memperhitungkan
besarnya korbanan, mengingat setiap korbanan yang dilakukan untuk usaha
produktif selalu memperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh.
Kondisi perekonomian saat ini, banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial
ekonomi antara lain adanya kenaikan tarif bahan bakar minyak yang
mengakibatkan meningkatnya harga-harga input. Usaha peternakan ayam ras
petelur semakin berkembang, baik dalam skala usaha kecil maupun skala yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena ternak ayam ras petelur mampu
berproduksi 200 - 250 butir/ tahun/ekor dan ayam ras petelur yang sudah afkir
(tidak produktif) mudah dipasarkan sebagai sumber daging asal ternak.
Pada jurnal dibahas mengenai analisis faktor produksi di perusahaan
peternakan ayam ras petelur UD. Kakaskasen Indah dan perusahaan peternakan
ayam ras petelur CV. Nawanua Farm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
masing-masing peternak telah cukup berpengalaman dan mempunyai keahlian
dalam pengelolaan perusahaan peternakan ayam ras petelur karena peternak
memiliki pengalaman dalam bidang peternakan. Faktor yang mendorong peternak
tetap berusaha dalam peternakan tersebut disebabkan karena manajer yang
menangani usaha peternakan ayam ras petelur sudah dapat dikatakan menguasai
usaha yang dilakukannya. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan ialah menggiling
butiran bahan pakan, menyusun ransum, pemberian pakan dan air minum,
membersihkan kandang dan peralatan, perawatan ternak dan membersihkan
lingkungan kandang serta membantu dalam hal pemasaran produk baik telur,
ayam afkir maupun feses (kotoran ternak) sebagai pupuk kandang.
Bibit ayam (DOC) yang sudah datang dimasukkan dalam kandang yang
sudah dibersihkan, disanitasi, dan diberi pemanas dengan suhu 370C sampai 380
C. Perlakuan yang dilakukan memberikan air minum ditambahkan dengan larutan
gula, hal ini dimaksudkan untuk mencegah stress pada bibit ayam. Vaksin
diberikan setelah 3 hari dimaksudkan untuk mencegah parasit pada ayam yang
datangnya dari kandang. rata-rata jumlah komposisi bahan pakan yang diberikan
pada kedua perusahaan yaitu konsentrat 25,87%, jagung 28,51%, dedak 28,09%,
dan tepung ikan 17,53%. Pemberian pakan yang dilakukan pada perusahaan UD.
Kakaskasen Indah dan CV. Nawanua Farm sebanyak 2 kali pada pukul 08.00 dan
pada pukul 13.00. Jumlah pakan oleh kedua perusahaan peternakan ayam ras
petelur diberikan rata-rata 80,42 gram/ekor/hari, jumlah pakan yang diberikan
tersebut sudah sesuai dengan anjuran yang h arus diberikan pada ternak ayam ras
petelur walaupun masih pada standar minimum yaitu 79,99-100 gram/ekor/hari.
Produksi telur pada masing-masing perusahan setiap minggu berbeda, hal ini
dipengaruhi skala usaha yang dimiliki.
Nilai Break Even Point (BEP unit) dan Break Even Point (BEP rupiah)
yang diperoleh pada masing-masing perusahaan peternakan ayam ras petelur CV.
Nawanua Farm dan UD. Kakaskasen Indah di Kota Tomohon berada pada volume
produksi yang menguntungkan sebab sudah beroperasi diatas nilai titik impas.
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
a.
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus
untuk diambil telurnya.
b.
Jenis ayam petelur di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu ayam petelur
ringan dan ayam petelur medium.beda ayam petelur ringan dan ayam
petelur medium adalah ayam petelur ringan itu lebih ringan / lebih kurus
dibandingkan dengann ayam petelur medium.
c.
Periode pertumbuhan ayam petelur ada 3 yaitu : fase grower, fase pre layer
dan fase layer.
d.
Pemeliharaan ayam petelur memiliki 3 aspek yaitu manajemen
(pengelolaan usaha peternakan), breeding (pembibitan) dan feeding
(makanan ternak/pakan).
e.
Pakan pada ayam petelur berbeda-beda disesuaikan dengan kebutahan dari
setiap fase pertumbuhannya dan juga kebutuhan nutrisi pakannya dapat
dipengaruhi pula oleh strain.
f.
Ada banyak penyakit yang dapat menjangkit dalam tubuh ayam. Penyakit
ini bisa disebkan karena jamur, bakteri, virus dan protozoa.
3.2.
Saran
Kepada pembaca yang ingin beternak ayam petelur, hendaknya banyak-
banyaklah membaca buku mengenai cara perawatan dan perlakuan yang akan
akan diberikan kepada ayam. Sehingga nantinya apabila telah beternak dapat
menghasilkan telur – telur yang berkualitas dan bisa menjadi pengusaha ayam
petelur yang sukses. Peternak juga harus mamahami tentang suplemen pendukung
makanan pokok sangat penting sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Adlan, M., Y. Utomo, F. Afmy, dan N. Fitriany. 2012. Laporan Penilaian
Ternak Unggas Ayam Petelur. Fakultas Peternakan. Universitas Jendral.
Soedirman. Purwokerto.
Al Nasser, A., A. Al Saffar, M. Mashaly, H. Al Khalaifa, F. Khalil, M. Al Baho,
dan A. Al Haddad. 2005. A Comparative Study On Production Efficiency
Of Brown And White Pullet. Bulletin of Kuwait Institute for Scientific
Research 1 (1): 1 – 4.
Amrullah, K. 2003. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPB Press : Bogor.
Austic, R. E. and M. C. Neshiem. 1990. Poultry Production 13th edition. Lea and
Febiger, Philadelphia.
Bappenas. 2010. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan
Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Baxter, M. R., 1994. The Welfare Problems Of Laying Hens In Battery Cages.
Veterinary Record, 134: 614 – 619.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta (Diterjemahkan Oleh B. Srigandono).
Britton, W. M. and K. K. Hale Jr. 1977. Amino Acid Analysis Of Shell Membranes
Of Eggs From Young And Old Hens Varying In Shell Quality. Poultry
Science 56: 865-871
Cahyono, B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler).
Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Fadilah, R. dan Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur.
PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. UGM Press.
Yogyakarta.
Havenstein, G. Ferket J. Grimes, M. A. Qureshi and K.E. Nestor. 2007.
Comparison of The Performance of 1966-versus 2003 Type Turkeys When
Fed Representative 1966 and 2003. Turkey Diet: Growth Rate, Livability
and Feed Conversion. Poult. Sct. 86:232-240.
Harms, R.H., C.R. Douglas, dan D.R. Sloan. 1996. Midnight Feeding Of
Commercial Laying Hens Can Improve Eggshell Quality. Journal of
Poultry Applied Science Research 5 :1 -5.
. 2000. Performance Of Four
Strains Pf Commercial Layers With Major Changes In Dietary Energy.
Journal of Applied Poultry Research 9: 535 – 541.
Hoffman TY CM. Walsberg GE. 1999. Anatomi dan Fisiologi Ternak. UGM
Press. Yogyakarta.
Hy-Line International. 2010. Hy-Line Brown Intensive Systems Performance
Standards. http://www.hyline.com/redbook/performance. Diakses tanggal
5 November 2016 pukul 10.23 WIB.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Leeson, S. 2008. Production For Commercial Poultry Nutrition. Journal Applied
Poultry Research (17): 315 – 322.
Lelystad, P.V. 2004. Welfare Aspects Of Various Systems For Keeping Laying
Hens. The EFSA Journal (197): 1-23
Longe OG (1984). Effects Of Increasing The Fibre Content Of A Layer Diet. Br.
Poult. Sci., 25: 187-193.
Meerburg, B.G dan A. Kiljstra. 2007. Role Of Rodents In Salmonella And
Campylobacter Transmission. Journal of Science Food Agriculture (87):
2774 – 2781.
North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Van
Nostrand Reinhold,New York.
Panda PC (1995). Text Book on Egg and Poultry Technology. VIKAS Publishing
House. PVT Limited, India, p. 32.
Rasyaf, M. 1995. Seputar ayam Kampung. Kanisius. Yogyakarta.
. 2008. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya: Jakarta.
Riczu, C. dan D. Korver. 2008. Effects Of Midnight Feeding On The Bone
Density And Egg Quality Of Brown And White Table Egg Layers.
Canadian Poultry Magazine (7): 35 – 38.
Shirt,
V.
2010.
How
to
Feed
Chickens
Part
http://www.poultry.allotreatment.org.uk/keeping-chickens/feedingchickens_2.php. Diakses tanggal 6 November 2016 pukul 21.56 WIB.
2.
Spoolder, H.A.M. 2007. Perspective Animal Welfare In Organic Farming System.
Journal of Science Food Agriculture 87: 2741 – 2746.
Sudaryani, T dan H. Santosa. 2000. Pembibitan Ayam Ras. Cetakan V. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sundu B, Dingle J (2003). Use Of Enzymes To Improve The Nutritional Value Of
Palm Kernel Meal And Copra Meal. Proceed. Queensland Poultry Sci.
Symposium Australia, 1(14): 1-15.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasujana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
MANAJEMEN PEMELIHARAAN AYAM LAYER
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Manajemen Ternak Unggas
Oleh :
Kelas A
Kelompok 2
SYIFA SAVIRA
REXY PRAYOGA
TANTRI NUR SUCIATI
HIZBI AZIZ
NOVA NUR AFNITA
SANTI AGUSTINI
ADE THALITA R.
200110140012
200110140014
200110140017
200110140019
200110140121
200110140124
200110140219
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perkembangan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti penting peningkatan gizi dalam
kehidupan. Hal ini berimplikasi pada pola konsumsi makanan yang juga akan
terus meningkat. Disamping tujuan utama penggunaan makanan sebagai pemberi
zat gizi bagi tubuh yang berguna untuk mempertahankan hidup, manusia juga
menggunakannya untuk nilai-nilai sosial, karena penggunaan makanan telah
melembaga sebagai alat untuk berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu
makanan dalam lingkungan masyarakat menyangkut gizi dan aspek sosial. Secara
ekonomi, pengembangan pengusahaan ternak ayam petelur di Indonesia memiliki
prospek bisnis menguntungkan, karena permintaan selalu bertambah (Cahyono, B.
1995).
Besarnya peluang pasar ayam petelur ini merupakan kesempatan yang
sangat potensial untuk mengembangkan peternakan ayam petelur. Bagi seorang
peternak kesalahan pemeliharaan ayam akan menghasilkan pertumbuhan ayam
yang buruk sehingga mengakibatkan hasil produksi menurun. Pemeliharaan ayam
petelur membutuhkan penanganan khusus dan sangat penting untuk diperhatian.
Karena dengan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan pertumbuhan ayam
yang baik, kondisi ayam yang sehat, tingkat mortalitas yang rendah dan pada
akhirnya akan menghasilkan ayam petelur dengan produksi telur yang tinggi.
Bagaimana cara mengoptimalkan produksi ayam petelur? Pertanyaan ini sering
kita jumpai dilapangan. Pelaku bisnis peternakan ayam petelur sering dihadapkan
pada situasi dimana ayam petelurnya tidak mampu berproduksi secara optimal.
Kunci utama untuk mencapai produksi yang optimal yaitu manajemen yang baik
pada fase Starter, layer dan grower serta didukung dengan baiknya sistem
recording di Farm.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu ayam petelur.
2.
Apa saja jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
3.
Bagaimana periode pertumbuhan ayam petelur.
4.
Bagaimana tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
5.
Bagaimana pakan untuk ayam petelur.
6.
Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
1.2.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian ayam petelur dan sejarah singkat tentang ayam
petelur.
2.
Mengetahui jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
3.
Mengetahui periode pertumbuhan ayam petelur.
4.
Mengetahui tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
5.
Mengetahui pakan ayam petelur.
6.
Mengetahui pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Ayam Petelur
Ayam domestik termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang
ditujukan kepada Galluells domesticus. Ayam diklasifikasikan sebagai berikut
(Scanes et al., 2004) :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Superordo : Carinatae
Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus gallus
Ayam layer atau ayam petelur adalah ayam yang diternakkan khusus untuk
menghasilkan telur konsumsi. Jenis ayam petelur dibagi menjadi tipe ayam
petelur ringan dan medium. Tipe ayam petelur ringan mempunyai badan yang
ramping dan kecil, bulu berwarna putih bersih, dan berjengger merah, berasal dari
galur murni (white leghorn) mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun
produksi hen house. Ayam petelur ringan sensitif terhadap cuaca panas dan
keributan, responnya yaitu produksi akan menurun. Tipe ayam petelur medium
memiliki bobot tubuh yang cukup berat, tidak terlalu gemuk, kerabang telur
berwarna coklat, dan bersifat dwiguna (Bappenas, 2010). Ayam yang dipelihara
sebagai penghasil telur konsumsi umumnya tidak memakai pejantan dalam
kandangnya karena telur konsumsi tidak perlu dibuahi (Kartasudjana dan
Suprijatna, 2006).
Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan
telur sehingga produktifitas telurnya melebihi dari produktifitas ayam jenis
lainnya. Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh
sifat genetis ayam, manajemen pemeliharaan, makanan dan kondisi pasar
(Amrullah, 2003).
2.2.
Jenis – jenis ayam petelur yang ada di Indonesia
Menurut Rasyaf (2008) ayam petelur dibagi menjadi :
a.
Jenis ayam petelur ringan
Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini
mempunyai badan yang ramping/kurus, mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya
berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur
murni white leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam petelur ringan
komersial banyak dijual di Indonesiadengan berbagai nama. Setiap pembibit ayam
petelur di Indonesia pasti memiliki dan menjual ayam petelur ringan (petelur
putih) komersial ini. Ayam ini mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun
produksi hen house. Sebagai petelur, ayam tipe ini memang khusus untuk bertelur
saja sehingga semua kemampuan dirinya diarahkan pada kemampuan bertelur,
karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadap cuaca
panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila kaget ayam ini
produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.
b.
Jenis ayam petelur medium
Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu, beratnya masih berada di
antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler. Oleh karena itu ayam ini
disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi juga tidak
terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga dapat menghasilkan daging yang
banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam tipe dwiguna, karena warnanya yang
cokelat, maka ayam ini disebut dengan ayam petelur cokelat yang umumnya
mempunyai warna bulu yang cokelat juga. Orang mengatakan telur cokelat lebih
disukai daripada telur putih, kalau dilihat dari warna kulitnya memang lebih
menarik yang cokelat daripada yang putih, tapi dari segi gizi dan rasa relatif sama.
Satu hal yang berbeda adalah harganya dipasaran, harga telur cokelat lebih mahal
daripada telur putih. Hal ini dikarenakan telur cokelat lebih berat.
2.3.
Periode Pertumbuhan Ayam Petelur
Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh
disilangkan kembali (Sudaryani dan Santosa, 2000). Berdasarkan fase
pemeliharaannya, fase pemeliharaan ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase starter (umur 1 hari--6 minggu), fase grower (umur 6--18 minggu), dan fase
layer/petelur (umur 18 minggu--afkir) (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013).
Fase grower pada ayam petelur, terbagi kedalam kelompok umur 6--10
minggu atau disebut fase awal grower dimana terjadi pertumbuhan anatomi dan
sistem hormonal pada fase ini. Sedangkan, pada umur 10--18 minggu sering
disebut dengan fase developer dimana pada fase ini perkembangan ditandai
dengan pertumbuhan anatomi kerangka ayam dan otot (daging) yang lebih
dominan. (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Pada fase ini kontrol pertumbuhan dan
keseragaman perlu dilakukan, karena berkaitan dengan sistem reproduksi dan
produksi ayam tersebut. Periode grower secara fisik tidak mengalami perubahan
yang berarti, perubahan hanya dari ukuran tubuhnya yang semakin bertambah dan
bulu yang semakin lengkap serta kelamin sekunder yang mulai nampak. Selama
periode ini terjadi perkembangan ukuran dan terbentuknya rangka, perkembangan
organ tubuh, perkembangan hormonal, dan perkembangan organ reproduksi
(Rasyaf, 1995).
Pullet memiliki tahapan perkembangan tubuh yang kompleks sesuai
periode umurnya (starter dan grower). Masa starter merupakan masa pembelahan
sel (hiperplasia) sehingga perkembangan organ sangat dominan di masa ini. Oleh
karena itu, masa ini mempunyai andil 50% bahkan 90% terhadap keberhasilan
pemeliharaan pullet (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Periode grower terjadi
perkembangan ukuran sel (hipertrofi). Fase ini frame size (kerangka tubuh)
berkembang mencapai bentuk sempurna. Periode grower memiliki 3 waktu kritis
yang harus diperhatikan oleh peternak yaitu umur 6--7 minggu, 12 minggu, dan
14 minggu. Antara minggu 6 dan 7 adalah puncak perkembangan frame size
dimana 80% frame size sudah mencapai dimensi akhir. Oleh karena itu, saat
penimbangan berat badan di minggu kelima, ayam-ayam yang belum memiliki
frame size optimal dipisahkan lalu tetap diberikan ransum starter dan diberikan
multivitamin (Adlan dkk., 2012). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perkembangan
kerangka tubuh minggu ke-12 telah mencapai maksimal, sehingga setidaknya ada
dua hal yang perlu diperhatikan peternak, yaitu mengejar ketinggalan frame size
(berat badan) sebelum minggu ke-12, dan mempertahankan berat tubuh yang
sudah sama atau 10% di atas standar untuk menghadapi masa awal bertelur. Selain
tercapainya berat tubuh yang sesuai dan perkembangan frame size yang optimal,
tingkat keseragaman ayam juga perlu tetap diperhatikan (Adlan dkk., 2012).
Perkembangan pesat organ reproduksi dan juga medulary bone (bagian
tulang yang menyimpan cadangan kalsium untuk cangkang telur pada ayam)
terjadi pada minggu ke-14. Periode ini, ketersediaan vitamin D dan kalsium
sangat dibutuhkan rendahnya asupan kalsium dan vitamin D saat awal bertelur
akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur saat puncak produksi
sehingga sebaiknya peternak perlu menyediakan kalsium dan vitamin D dalam
jumlah yang cukup (Adlan dkk., 2012). Hal penting lainnya dalam pemeliharaan
fase grower adalah memperhatikan konsumsi pakan per hari baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Pembatasan pemberian ransum dilakukan bila bobot tubuh
yang diperoleh melebihi standar. Bila bobot tubuh sejalan dengan kurva yang ada,
pada umur 10 minggu, ransum dapat diubah dari ransum starter ke grower. Jika
berat kelompok lebih rendah, pemberian ransum starter diatur sampai berat
badannya sesuai dengan umurnya. Sementara, pemberian ransum grower harus
berkualitas baik dan memenuhi kebutuhan asam amino. Ransum yang
mengandung protein dan asam amino yang rendah akan menyebabkan naiknya
lemak tubuh (gemuk), dan akan menyebabkan ayam makan terlalu banyak pada
masa grower dan bermasalah pada awal produksi (Rasyaf, 1995).
2.4.
Tehnik Memelihara Ayam Petelur
Sebelum usaha beternak dimulai, seorang peternak wajib memahami 3
(tiga) unsur produksi yaitu: manajemen (pengelolaan usaha peternakan), breeding
(pembibitan) dan feeding (makanan ternak/pakan) .
Penyiapan Sarana dan Peralatan :
a.
Kandang
Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage. Sistem
litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage dapat
berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe baterai),
multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10 ekor), dan
colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Lebar bangunan kandang untuk ayam
petelur saat fase layer sebaiknya sekitar 8 m apabila tipe kandang terbuka, jika
lebar kandang 12 m maka perlu dilengkapi dengan ridge ventilation. ventilasi
yang kurang baik mengakibatkan amoniak dari ekskreta akan mejadi racun bagi
ayam, menimbulkan gangguan pernafasan, penurunan produksi, dan penyakit
cacing untuk ayam yang dipelihara di kandang litter. Pemberian cahaya sebaiknya
14 jam per hari, yaitu kombinasi antara cahaya matahari dan cahaya lampu
sebagai tambahan, tujuannya untuk meningkatkan produksi telur, mempercepat
dewasa kelamin, mengurangi sifat mengeram, dan memperlambat molting
(perontokan bulu) (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Suhu optimal untuk pemeliharaan ayam petelur strain Hy-Line Brown fase
layer yaitu 18 – 27%, dengan batas kelembaban 40 – 60%. Intensitas cahaya
sekitar 20 lux. Sistem kandang dapat berupa litter (kepadatan maksimum 8
ekor/m2), slat (kepadatan maksimum 10 ekor/m2) atau kombinasi litter-slat
(kepadatan maksimum 9 ekor/m2). Sarang untuk bertelur berbentuk boks, satu
sarang dengan ukuran 30 x 40 x 50 cm dapat digunakan maksimum untuk delapan
ekor ayam. Sarang tidak diperlukan dalam sistem perkandangan cage (sangkar)
(Hy-Line International, 2010).
Cage dapat dibuat bertingkat hingga tiga deck atau lebih. Deck disusun
membentuk frame A agar ekskreta ayam dari deck atas langsung jatuh ke lantai
atau tempat penampungan ekskreta dan tidak jatuh ke deck di bawahnya. Partisi
untuk cage dapat berupa solid (tertutup) atau wire. Partisi yang berbentuk wire
berfungsi untuk mengoptimalkan pertukaran udara di dalam cage. Cage untuk
ayam petelur dapat terbuat dari berbagai bahan seperti logam, plastik, kayu, atau
bambu (Lelystad, 2004).
b.
Peralatan
Litter ( alas bertelur )
Alas lantai/litter harus dalam keadaan kering, maka tidak ada atap yang
bocor dan air hujan tidak ada yang masuk walau angin kencang.
Tebal litter setinggi 10 cm, bahan litter dipakai campuran dari kulit padi/sekam
dengan sedikit kapur dan pasir secukupnya, atau hasil serutan kayu dengan
panjang antara 3–5 cm untuk pengganti kulit padi/sekam.
Tempat bertelur
Penyediaan tempat bertelur agar mudah mengambil telur dan kulit telur
tidak kotor, dapat dibuatkan kotak ukuran 30 x 35 x 45 cm yang cukup untuk 4–5
ekor ayam. Kotak diletakkan dididing kandang dengan lebih tinggi dari tempat
bertengger, penempatannya agar mudah pengambilan telur dari luar sehingga telur
tidak pecah dan terinjak-injak serta dimakan. Dasar tempat bertelur dibuat miring
dari kawat hingga telur langsung ke luar sarang setelah bertelur dan dibuat lubang
yang lebih besar dari besar telur pada dasar sarang.
Tempat bertengger
Tempat bertengger untuk tempat istirahat/tidur, dibuat dekat dinding dan
diusahakan kotoran jatuh ke lantai yang mudah dibersihkan dari luar. Dibuat
tertutup agar terhindar dari angin dan letaknya lebih rendah dari tempat bertelur.
Tempat makan dan minum
Tempat makan dan minum harus tersedia cukup, bahannya dari bambu,
almunium atau apa saja yang kuat dan tidak bocor juga tidak berkarat. Untuk
tempat grit dengan kotak khusus.
c.
Peyiapan Bibit
Ayam petelur yang akan dipelihara haruslah memenuhi syarat sebagai
berikut, antara lain:
Ayam petelur harus sehat dan tidak cacat fisiknya.
Pertumbuhan dan perkembangan normal.
Ayam petelur berasal dari bibit yang diketahui keunggulannya.
Ada beberapa pedoman teknis untuk memilih bibit/DOC (Day Old
Chicken) /ayam umur sehari:
Anak ayam (DOC ) berasal dari induk yang sehat.
Bulu tampak halus dan penuh serta baik pertumbuhannya .
Tidak terdapat kecacatan pada tubuhnya.
Anak ayam mempunyak nafsu makan yang baik.
Ukuran badan normal, ukuran berat badan antara 35-40 gram.
Tidak ada letakan tinja diduburnya.
2.5.
Pakan Ayam Petelur
Kebutuhan nutrisi ayam petelur
Periode pertumbuhan ayam petelur dapat dibagi menjadi periode
grower (umur 1 hari – 8 minggu), developer (umur 8 – 16 minggu), dan prelay (umur 17 – 24 minggu). Kebutuhan nutrisi periode grower yaitu 18,6% PK
dan 3870 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode developer yaitu 14,9% PK dan
2750 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode pre-lay yaitu 18,0% PK dan 2755
kkal/kg EM (Al Nasser et al., 2005).
Jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah (kurang dari 2600 kkal),
konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan
menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan terjadi penurunan
konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada fase layer tidak
sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi pakan. Hal yang
perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang dikonsumsi, kandungan
PK dan EM harus ditingkatkan. Kebutuhan PK dan EM fase layer pada berbagai
tingkatan umur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan PK dan EM Fase Layer untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
Hen
27 – 32 minggu 33 – 44 minggu 45 – 58 minggu ≥ 59 minggu
Day 94 – 96%
89 – 93%
85 – 88%
< 85%
Production
Konsumsi
Kebutuhan
93 – 113 g
100 – 120 g
100 – 120 g
15,04 – 18,28% 13,96 – 16,75% 13,33 – 16%
PK
Kebutuhan
2778
–
2867 2734
–
EM
Kkal/kg
Kkal/kg
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
2867 2679
–
Kkal/kg
99 – 119 g
13,03 – 15,66%
2867 2558
–
2833
Kkal/kg
Protein pakan sebagian besar digunakan untuk produksi telur, hanya
sebagian kecil untuk hidup pokok. Semakin tinggi tingkat produksi maka
kebutuhan protein juga semakin tinggi (Suprijatna et al., 2005). Protein pakan
harus mencukupi kebutuhan asam-asam amino untuk menunjang produksi yang
optimal (Leeson, 2008). Kebutuhan asam amino bagi ayam petelur fase layer
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Kebutuhan Asam Amino untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
27 – 32 minggu
HDP
94 – 96%
Lisin (mg)
931
Metionin (mg) 448
Metionin
+ 805
33 – 44 minggu
89 – 93%
920
443
815
Sistin (mg)
Treonin (mg) 700
692
Triptofan (mg) 213
211
Arginin (mg) 978
966
Isoleusin (mg) 722
714
Valin (mg)
844
834
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
45 – 58 minggu
85 – 88%
876
422
776
≥ 59 minggu
< 85%
821
395
727
659
201
920
680
794
618
188
863
637
744
Kebutuhan vitamin dan mineral untuk ayam petelur strain Hy-Line Brown
fase layer dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Standar Kandungan Vitamin Ransum pada Fase Layer
Vitamin
Vitamin A (IU)
Vitamin D(IU)
Vitamin E (IU)
Vitamin K (mg)
Thiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Asam pantotenat (mg)
Niasin (mg)
Piridoksin (mg)
Biotin (mg)
Kolin (mg)
Vitamin B12 (mg)
Sumber: * Hy-Line Internasional, 2010
Kandungan dalam 1000 Kg Ransum
8.000.000*
500.000**
5.000**
500**
1.700*
5.500*
6.600*
28.000*
3.300*
100**
500.000**
22,18*
**North danBell, 1990.
Tabel 4. Kebutuhan Mineral Ayam Petelur Tipe Medium pada Fase Layer
Mineral
Umur 21 – 40 minggu
Kalsium (%)
3,00
Fosfor (total, %)
0,50
Natrium (mg/kg)
0,15
Mangan (mg/kg)
110
Seng (mg/kg)
50
Sumber: North dan Bell, 1990.
Umur > 40 minggu
3,25
0,50
0,15
110
50
Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama yang diperlukan untuk
pembentukan cangkang telur. Pakan ayam petelur fase layer harus mengandung
kalsium sebanyak 3 – 4% (Harms et al., 1996). Defisiensi kalsium akan
menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan mudah retak. Jika absorbsi
kalsium pakan tidak memenuhi kebutuhan pembentukan cangkang, kalsium
diambil dari tulang medulair (Riczu dan Korver, 2009). Imbangan Ca : P yang
terlalu luas dapat menimbulkan ricketsia, yaitu tiap unsur yang berlebihan
menyebabkan mengendapnya unsur lain di dalam usus sehingga tidak bisa
dimanfaatkan tubuh. Imbangan Ca : P sebaiknya sebesar 9 : 1 saat puncak
produksi, 11 : 1 saat produksi sebesar 89 – 93%, selanjutnya 13 : 1 hingga ayam
diafkir (Hy- Line International, 2010).
Lemak merupakan sumber energi tinggi dalam pakan unggas. Asam linoleat
dan arakhidonat adalah asam lemak esensial karena tidak dapat disintesis tetapi
harus ada di dalam pakan. Pakan yang tidak mengandung cukup asam linoleat
menyebabkan pertumbuhan terhambat, terjadi akumulasi lemak di hati, dan lebih
rentan terhadap infeksi pernafasan. Defisiensi asam arakhidonat pada ayam
petelur menyebabkan ukuran telur kecil. Asam arakhidonat dapat disintesis dari
asam linoleat (Suprijatna et al., 2005). Standar kebutuhan asam linoleat dalam
pakan ayam petelur fase layer dari umur 27 minggu hingga lebih dari 59 minggu
adalah 1,00 g/hari (Hy-Line International, 2010).
Tata laksana pemberian pakan
Rata-rata ayam petelur fase layer strain Hy–Line Brown mengkonsumsi 114
– 120 gram pakan per hari sehingga pemberian pakan tiap hari sekitar 120 gram
per ekor ayam. Air merupakan komponen nutrien yang paling penting, apabila
ayam kekurangan air minum, konsumsi pakan akan menurun sehingga
produktivitasnya menurun. Air minum hanya dibatasi pada saat-saat tertentu,
misalnya sebelum vaksinasi melalui air minum (Hy-Line International, 2010).
Ayam dapat bertelur dengan optimal apabila pakan diberikan secara ad
libitum, yaitu selalu tersedia sepanjang hari. Pakan bentuk pellet memiliki
palatabilitas yang paling baik. Bentuk pakan seperti campuran crumble dan mash
umum digunakan dalam ransum hasil formulasi sendiri dan relatif lebih ekonomis.
Ayam harus distimulasi untuk mengkonsumsi pakan, salah satunya dengan
memberikan biji-bijian setengah hancur, misalnya jagung. Pakan di dalam tempat
pakan diusahakan selalu kering dan diganti dengan yang baru setiap hari untuk
mencegah timbulnya jamur. Air bersih untuk minum harus selalu tersedia atau ad
libitum (Shirt, 2010).
Pemberian pakan saat tengah malam (midnight feeding) dapat dilakukan
apabila diberikan cahaya yang cukup, yaitu dari lampu. Tujuan night feeding dan
midnight feeding yaitu memberikan kesempatan bagi ayam untuk meningkatkan
suplai kalsium dari saluran pencernaan secara langsung untuk pembentukan
cangkang telur. Hal ini mencegah pengambilan kalsium dari tulang yang
meningkatkan risiko pengeroposan tulang saat ayam mulai tua. Waktu pemberian
pakan di pagi atau siang hari menyebabkan ayam mengabsorbsi zat-zat pakan
sebagian besar untuk
hidup pokok dalam sehari, regenerasi sel, mengatasi
pengaruh lingkungan seperti cuaca sehingga tidak semuanya dimaksimalkan
untuk pembentukan telur. Midnight feeding berlangsung saat telur sedang
dibentuk sehingga materi pembentuknya dapat ditambahkan dari zat-zat pakan
yang diabsorbsi oleh saluran pencernaan (Riczu dan Korver, 2009). Midnight
feeding terbukti dapat meningkatkan kualitas cangkang telur dari segi ketebalan,
kekuatan, persentase cangkang dari telur yang keluar pada pagi hari, yaitu sekitar
jam 09.00 (Harms et al., 1996).
2.6.
Manajemen Pencegahan dan Penanganan Penyakit
Biosekuriti merupakan metode terbaik untuk mencegah penyakit. Prosedur
yang diterapkan dalam biosekuriti antara lain yaitu tidak mengunjungi flock ayam
sehat setelah mengunjungi flock ayam sakit, melakukan fumigasi dan disinfeksi
kandang sebelum kedatangan pullet. Pemeliharaan dengan sistem all in all
out dalam suatu flock juga dapat mencegah penularan penyakit dari ayam tua ke
ayam muda karena dalam sistem tersebut ayam pengadaan pullet dan pengafkiran
dilakukan secara menyeluruh sehingga umur ayam yang dipelihara sama (Hy-Line
International,
2010).
Fumigasi
dilakukan
dengan
menyemprotkan
gas formaldehyde di kandang dan sekitarnya untuk mencegah penularan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan virus (Blakely dan Bade, 1998).
Beberapa jenis penyakit menyebar dengan luas dan sulit diberantas
sehingga harus dilakukan vaksinasi rutin. Program vaksinasi yang wajib untuk
ayam petelur antara lain untuk mencegah Newcastle Disease (ND), Infectious
Bronchitis (IB),
Infectious
Bursal
Disease (IBD),
dan Avian
Encephalomyelitis (AE) (Hy-Line International, 2010). Teknik vaksinasi antara
lain dengan metode tetes mata (ocular), injeksi subcutan, air minum,
maupun spray. Vaksin dengan metode tetes mata misalnya vaksin ND – IB untuk
anak ayam berumur 3 hari. Metode injeksi intramuskuler misalnya vaksin ND
untuk ayam usia 16-17, 30 dan 50 minggu. Metode wing web injection (tusuk
sayap) misalnya vaksin fowl pox dan AE untuk ayam usia 18 minggu. Metode
pemberian vaksin dengan air minum misalnya vaksin IBD (Gumboro) untuk ayam
usia 32 dan 52 minggu serta vaksin ND La Sota. Metode pemberian vaksin
melalui spray misalnya vaksin coccidiosis live untuk DOC (Kartasudjana dan
Suprijatna, 2006; Spoolder, 2007).
Penyakit
yang
disebabkan
oleh
bakteri
antara
lain fowl
cholerae dan infectious coryzae. Penyakit yang disebabkan oleh virus antara
lain fowl pox. Penyakit yang disebabkan oleh protozoa antara lain leukosis.
Penyakit parasit internal terutama disebabkan oleh cacing. Penyakit parasit
eksternal disebabkan oleh kutu dan tungau (Blakely dan Bade, 1998). Fowl
cholerae merupakan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
bakteri Pasteurella
multocida yang ditandai dengan gejala diare, dalam kondisi kronis menyebabkan
jengger dan pial bengkak, diare berwarna kuning hingga hijau, dan pembengkakan
sendi.
Pengobatannya
intramuskuler. Infectious
yaitu
dengan
coryza disebabkan
injeksi
oleh
sulfadoxin
bakteri
secara
Haemophilus
gallinarum dengan gejala kesulitan bernafas, keluar lendir dari nostril dan mata,
dalam kondisi kronis muka dan sekitar mata membengkak akibat penggumpalan
eksudat. Pengobatannya yaitu dengan injeksi sulfadimetoksin dan streptomisin
(Meerburg dan Kiljstra, 2007; Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Fowl pox ditandai dengan tonjolan kehitaman pada jengger dan pial,
disebabkan oleh virus Borreliota avium dan dapat dicegah dengan vaksinasi.
Leukosis ditandai dengan pembengkakan hati dan limpa yang disebabkan oleh
virus
maupun
protozoa
seperti Plasmodium
sp. yang
ditularkan
oleh
nyamuk Anopheles. Leukosis yang disebabkan oleh Plasmodium sp. dapat diobati
dengan injeksi sulfa, seperti sulfamonometoksin (Blakely dan Bade, 1998;
Bappenas,
2010).
Cacing
parasit
misalnya Ascaridia
galli pada
usus
dan Heterakis gallinarum pada ceca, pengobatannya yaitu dengan Piperazine,
Albendazole, dan Flubendazole (Hy-Line International, 2010).
III
PEMBAHASAN
3.1.
Pembahasan Pemberian Pakan Ayam Petelur dengan Jurnal Laying
Chickens Response to Various Levels of Palm Kernel Cake in Diets
Pakan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pemeliharaan ayam petelur. Namun kebutuhan pakan yang semakin meningkat
diperlukan
keseimbangan
dengan
ketersediaan
pakannya
dan
tetap
mempertimbangkan biayanya. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa pakan
digunakan untuk menghitung FCR, jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah
(kurang dari 2600 kkal), konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat
dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan
terjadi penurunan konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada
fase layer tidak sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi
pakan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang
dikonsumsi, kandungan PK dan EM harus ditingkatkan.
Pada jurnal dibahas untuk melakukan manajemen ternak dengan biaya
yang lebih rendah, salah satunya dengan memanfaatkan hasil ikutan pertanian,
yakni bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit ini diyakini dapat mengurangi masalah
pencemaran lingkungan dari hasil buangannya. BIS mengandung banyak
metabolisme energi yaitu sebanyak antara 1479 - 2260 Kcal/kg. Kandungan
nutrisi yang terkandung dalam BIS berbeda-beda, tergantung pada proses efisiensi
ekstraksi lemak. Seratus dua puluh Lohmann Brown ayam petelur (40 minggu)
yang dipelihara dengan gizi yang sama dan penanganan ransum dibagi menjadi
empat, yaitu ransum yang dicampur dengan 0, 5, 10, dan 15 kg BIS pada masingmasing 4 macam ransum tersebut. Setiap macam ransum diperuntukkan kepada
15 ekor ayam petelur. Rata – rata bobot ayam sebesar 1.5 kg. Pakan dan minum
diberikan secara adlibitum/terus menerus. Data dikumpulkan selama delapan
minggu yaitu produksi telur, berat telur, nilai warna kuning yolk, ketebalan kulit
telur, dan nilai Haugh Unit.
Pengurangan berat badan (BB) dengan penambahan BIS 15% dalam
ransum dapat dikaitkan dengan kecernaan nutrisi rendah dengan penambahan BIS.
Penjelasan didukung oleh Sundu dan Dingle (2003) sebelumnya telah melaporkan
bahwa selama pemrosesan, BIS juga dapat mengalami reaksi Maillard (reaksi
mannose dengan kelompok amino yang mengarah ke pembentukan brown
kompleks) karena panas diterapkan dalam proses sebelum dan selama minyak
ekstraksi dan ini mempengaruhi daya cerna.
Longe (1984) menemukan bahwa ayam petelur makan 20% BIS pada
ransum menghasilkan telur lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa makan 15%
BIS pada ransum berpengaruh pada produksi telur, tapi tidak berpengaruh pada
konsumsi pakannya. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan serat kasar
yang tinggi pada BIS yang mengarah ke gangguan cerna nutrisi, terutama asam
amino dan juga untuk ketidakseimbangan nutrisi. Skor warna kuning telur
tampaknya telah dipengaruhi secara signifikan dengan penambahan BIS menjadi
warna kuning meningkat. Peningkatan warna kuning telur akibat penambahan BIS
yang tinggi dalam ransum bisa menjadi baik karena kebanyakan pelanggan lebih
memilih warna kuning gelap. Tidak ada efek BIS yang signifikan terhadap berat
telur (yang berkisar 62,48-68,53), ketebalan kulit telur dan Haugh Unit skor.
Menurut United State Department of Agriculture (U.S.D.A), sebutir telur beratnya
berkisar 56.7g atau lebih dengan Haugh skor unit 72 dan dianggap sebagai
kualitas 'AA' (Panda, 1995). Semua nilai-nilai yang tercatat dalam penelitian ini
nilai HU nya lebih dari 72 sehingga ayam petelur yang diberi ransum dicampur
dengan BIS di berbagai tingkatan dapat dianggap berkualitas tinggi. Biaya pakan
per kilogram ransum berkurang ketika BIS digunakan. Hal ini mengakibatkan
harga yang lebih rendah dengan penggunaan BIS.
3.2.
Pembahasan Pakan dengan Jurnal Performance of Chicken Layers as
Affected By Calcium Supplement
Kalsium adalah nutrisi penting pada ayam petelur. Hal ini diperlukan
untuk pembentukan cangkang telur dan itu juga diperlukan untuk menjaga
integritas tulang. Untuk alasan ini kalsium telah ditambahkan pada ransum ayam
petelur. Meskipun demikian, produsen telur menderita kerugian keuangan setiap
tahun dari kualitas kerabang telur yang buruk dan dari hilangnya ayam karena
kualitas tulang yang buruk menyebabkan ketimpangan pada ayam. Setelah umur
ayam petelur 42 minggu, kualitas kulit telur menurun. Pada jurnal dibahas
kegunaan dari penelitian adalah untuk memverifikasi kinerja ayam petelur bila
diberikan suplemen kalsium. Secara khusus, tujuannya adalah :
1.
Menentukan performa ayam petelur bila diberikan suplemen kalsium halus
dan kasar selama fase kedua produksi
2.
Menentukan kualitas cangkang telur yang dipengaruhi oleh kapur kasar
dan halus.
Dalam hal parameter produksi telur, pemberian suplemen tidak
mempengaruhi ayam untuk bertelur lebih banyak. Potensi genetik yang melekat
pada ayam petelur untuk memproduksi telur tidak lebih ditingkatkan dengan
suplemen kalsium. Seperti dengan berat cangkang telur, dapat ditarik kesimpulan
dari hasil bahwa penambahan kalsium suplemen untuk ransum komersial ayam
petelur yang mengandung 3,5% kalsium tidak menyebabkan peningkatan yang
signifikan dalam berat cangkang telur. Di sisi lain ketebalan kulit telur secara
signifikan dipengaruhi oleh suplemen kalsium. Ketebalan shell mempengaruhi
kualitas telur yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan kulit telur. Seperti
yang disebutkan oleh Austic dan Nesheim (1990), cangkang terutama terdiri dari
bahan mineral yang sebagian besar adalah kalsium karbonat diendapkan di dalam
matriks organik. Matriks organik merupakan faktor penentu penting dari kualitas
kulit telur (Britton dan Hale, 1977). Sebanding ketebalan cangkang sebelum
suplementasi telah diamati menghasilkan % telur retak rendah. Pada usia ini,
kebutuhan bahan organik dari ayam petelur yang memuaskan dipenuhi oleh
ransum normal. Kerugian berkurang karena persentase telur retak pada fase
produksi kedua yang lebih rendah, sehingga menyumbang peningkatan laba.
Berdasarkan hasil penelitian, untuk kulit telur kualitas yang lebih baik
dalam hal ketebalan dan untuk keuntungan lebih, produktivitas ayam selama fase
kedua produksi dapat dilengkapi dengan baik oleh kapur halus atau kasar atau
cangkang tiram. Suplemen ini dapat diberikan setiap hari dengan laju 4 gram per
ekor ayam dan harus diberikan sebagai topping.
3.3.
Pembahasan Mengenai Perkandangan dengan Jurnal Effect Of
Poultry Housing Systems On Egg Production
Pemeliharaan ayam petelur dipengaruhi oleh sistem perkandangan yang
digunakan. Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage.
Sistem litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage
dapat berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe
baterai), multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10
ekor), dan colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Pada jurnal di bahas mengenai
sistem pemeliharaan ayam petelur di berbagai macam kandang. Baxter (1994)
berkomentar bahwa "Keprihatinan atas kesejahteraan ayam dikurung muncul
dalam dua bidang umum: pertama bahwa lingkungan tandus dalam kandang
mencegah kinerja pola perilaku alami ayam, kedua, bahwa sejumlah kecil ruang di
kandang memaksakan pembatasan pada kebebasan umum ayam bergerak".
Pemeliharaan di kandang konvensional
Percobaan dilakukan dengan 66.300 ayam petelur merata di lima rumah
unggas. Sebuah sistem koloni konvensional yang digunakan. Dalam setiap
kandang empat lapisan yang ditempatkan dengan daerah yang berguna yaitu 550
сm2 / ekor.
Pemeliharaan di kandang yang telah lengkap / diperkaya
Percobaan dilakukan dengan 123.430 ayam petelur merata di dua rumah
unggas. Sistem koloni terdiri dari delapan kandang tingkat. Kapasitasnya adalah
60 ekor per kompartemen. Permukaan kompartemen adalah 45.225 сm2 yaitu 70
сm2 / ekor dan 600 сm2 daerah yang dapat digunakan / ekor.
Pemeliharaan di gudang - lantai slat dengan pupuk pit dan sampah (lantai /
litter)
Percobaan dilakukan dengan 30.000 ayam petelur merata di empat rumah
unggas. Lantai dengan kotoran pit ditutupi dengan plastik padat menduduki 2/3
dari total permukaan perumahan dan lainnya 1/3 adalah sampah. Kapasitasnya
adalah 9 ayam per 1 m2. Hasil dari jurnal tersebut bahwa sistem perkandangan
berpengaruh nyata terhadap produksi telur karena kandang akan memberikan
kenyamanan pada ayam
.
3.4.
Pembahasan Kondisi Ayam dengan Jurnal Regulasi Panas Tubuh
Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
Ayam petelur termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme
yang tinggi, hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap
normal melalui proses homeostatis, temperatur tubuh akan konstan. Dikarenakan
adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus. Ayam petelur mempunyai
variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin,
faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, dan faktor makanan
yang dikonsumsi (Frandson, 1992)
Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur
berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak selalu tetap dan adanya faktor di
sekitar tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi. Umumnya unggas,
khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama
untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui evaporasi
dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon permukaan tubuh ayam
petelur dalam mengevaporasikan panas tubuh berbeda nyata baik pada fase
grower
maupun
fase
layer.
Jengger
merupakan
bagian
tubuh
yang
mengevaporasikan panas lebih tinggi, yaitu 30,1⁰C fase grower dan 30,7⁰C fase
layer. Bulu kontur merupakan bagian permukaan tubuh yang paling tidak efektif
mengevaporasikan panas yaitu, 25,7⁰C fasr grower dan 24,7⁰C fase layer.
Terkait dengan fungsi organ sebagai sebagai alat dalam mengevaporasikan
panas maka organ-organ yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak
akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi dengan
meningkatkan laju alur dan proporsi darah ke organ-organ tersebut (Havenstein, et
al., 2007).
-
Respon Fisiologi Pernafasan
Pada tabel 2 ditunjukkan bahwa kondisi fisiologi pernafasan tampak
mengalami perubahan dari fase grower ke fase layer. Perubuhan ini merupakan
konsekuensi dari aktifitas themoregulasi guna mempertahankan suhu tubuh.
Respon Fisiologis
Fase
Grower
Laju Respirasi
(per menit)
Denyut Jantung
(per menit)
35
233
Layer
41
256
Penelitian pada ayam petelur yang mengalami hipertemia, memberikan
petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki,
jaringan rongga hidung dan mulut serta otot-otot pernafasan meningkat sampai
empat kali. Perubahan pengaliran darah ke jaringan perifer tersebut, terutama
berkaitan dengan AVA yang memiliki volume besar dan resistensi rendah untuk
mengalirkan darah yang diperlukan dalam pengeluaran panas.
Menurut Rahardja (2010), berbagai penelitian pada ternak unggas; ayam
petelur yang mengalami hipertemia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran
darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki, jaringan rongga hidung dan
mulut serta otot-otot pernafasan mengalami peningkatan yang signifikan.
Sebaliknya pengaliran darah ke tulang, saluran pencernaan dan reproduksi
menurun 40%-80% dari keadaan normal. Pada kondisi cekaman panas, hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaliran darah ke organ-organ vital, seperti
otak, dipertahankan dengan mereduksi pengaliran darah ke organ-jaringan yang
kurang vital, organ-jeroan dan perototan non-respirasi. Berdsarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam
mengevaporasikan panas terutama pada jengger dan shank, serta terjadi perubahan
respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas.
3.5.
Pembahasan Faktor Produksi dengan Jurnal Analisis Penggunaan
Faktor Produksi Pada Perusahaan Ayam Ras Petelur (Studi Kasus
Pada Ud. Kakaskasen Indah Dan Cv. Nawanua Farm)
Pengelolaan suatu usaha peternakan ayam ras petelur sangat penting
memperhitungkan aspek-aspek korbanan dalam mencapai suatu tujuan perusahaan
seperti memperoleh tingkat keuntungan yang layak. Setiap peternak dalam
pengambilan keputusan pada suatu proses produksi harus memperhitungkan
besarnya korbanan, mengingat setiap korbanan yang dilakukan untuk usaha
produktif selalu memperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh.
Kondisi perekonomian saat ini, banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial
ekonomi antara lain adanya kenaikan tarif bahan bakar minyak yang
mengakibatkan meningkatnya harga-harga input. Usaha peternakan ayam ras
petelur semakin berkembang, baik dalam skala usaha kecil maupun skala yang
lebih besar. Hal ini disebabkan karena ternak ayam ras petelur mampu
berproduksi 200 - 250 butir/ tahun/ekor dan ayam ras petelur yang sudah afkir
(tidak produktif) mudah dipasarkan sebagai sumber daging asal ternak.
Pada jurnal dibahas mengenai analisis faktor produksi di perusahaan
peternakan ayam ras petelur UD. Kakaskasen Indah dan perusahaan peternakan
ayam ras petelur CV. Nawanua Farm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
masing-masing peternak telah cukup berpengalaman dan mempunyai keahlian
dalam pengelolaan perusahaan peternakan ayam ras petelur karena peternak
memiliki pengalaman dalam bidang peternakan. Faktor yang mendorong peternak
tetap berusaha dalam peternakan tersebut disebabkan karena manajer yang
menangani usaha peternakan ayam ras petelur sudah dapat dikatakan menguasai
usaha yang dilakukannya. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan ialah menggiling
butiran bahan pakan, menyusun ransum, pemberian pakan dan air minum,
membersihkan kandang dan peralatan, perawatan ternak dan membersihkan
lingkungan kandang serta membantu dalam hal pemasaran produk baik telur,
ayam afkir maupun feses (kotoran ternak) sebagai pupuk kandang.
Bibit ayam (DOC) yang sudah datang dimasukkan dalam kandang yang
sudah dibersihkan, disanitasi, dan diberi pemanas dengan suhu 370C sampai 380
C. Perlakuan yang dilakukan memberikan air minum ditambahkan dengan larutan
gula, hal ini dimaksudkan untuk mencegah stress pada bibit ayam. Vaksin
diberikan setelah 3 hari dimaksudkan untuk mencegah parasit pada ayam yang
datangnya dari kandang. rata-rata jumlah komposisi bahan pakan yang diberikan
pada kedua perusahaan yaitu konsentrat 25,87%, jagung 28,51%, dedak 28,09%,
dan tepung ikan 17,53%. Pemberian pakan yang dilakukan pada perusahaan UD.
Kakaskasen Indah dan CV. Nawanua Farm sebanyak 2 kali pada pukul 08.00 dan
pada pukul 13.00. Jumlah pakan oleh kedua perusahaan peternakan ayam ras
petelur diberikan rata-rata 80,42 gram/ekor/hari, jumlah pakan yang diberikan
tersebut sudah sesuai dengan anjuran yang h arus diberikan pada ternak ayam ras
petelur walaupun masih pada standar minimum yaitu 79,99-100 gram/ekor/hari.
Produksi telur pada masing-masing perusahan setiap minggu berbeda, hal ini
dipengaruhi skala usaha yang dimiliki.
Nilai Break Even Point (BEP unit) dan Break Even Point (BEP rupiah)
yang diperoleh pada masing-masing perusahaan peternakan ayam ras petelur CV.
Nawanua Farm dan UD. Kakaskasen Indah di Kota Tomohon berada pada volume
produksi yang menguntungkan sebab sudah beroperasi diatas nilai titik impas.
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
a.
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus
untuk diambil telurnya.
b.
Jenis ayam petelur di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu ayam petelur
ringan dan ayam petelur medium.beda ayam petelur ringan dan ayam
petelur medium adalah ayam petelur ringan itu lebih ringan / lebih kurus
dibandingkan dengann ayam petelur medium.
c.
Periode pertumbuhan ayam petelur ada 3 yaitu : fase grower, fase pre layer
dan fase layer.
d.
Pemeliharaan ayam petelur memiliki 3 aspek yaitu manajemen
(pengelolaan usaha peternakan), breeding (pembibitan) dan feeding
(makanan ternak/pakan).
e.
Pakan pada ayam petelur berbeda-beda disesuaikan dengan kebutahan dari
setiap fase pertumbuhannya dan juga kebutuhan nutrisi pakannya dapat
dipengaruhi pula oleh strain.
f.
Ada banyak penyakit yang dapat menjangkit dalam tubuh ayam. Penyakit
ini bisa disebkan karena jamur, bakteri, virus dan protozoa.
3.2.
Saran
Kepada pembaca yang ingin beternak ayam petelur, hendaknya banyak-
banyaklah membaca buku mengenai cara perawatan dan perlakuan yang akan
akan diberikan kepada ayam. Sehingga nantinya apabila telah beternak dapat
menghasilkan telur – telur yang berkualitas dan bisa menjadi pengusaha ayam
petelur yang sukses. Peternak juga harus mamahami tentang suplemen pendukung
makanan pokok sangat penting sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Adlan, M., Y. Utomo, F. Afmy, dan N. Fitriany. 2012. Laporan Penilaian
Ternak Unggas Ayam Petelur. Fakultas Peternakan. Universitas Jendral.
Soedirman. Purwokerto.
Al Nasser, A., A. Al Saffar, M. Mashaly, H. Al Khalaifa, F. Khalil, M. Al Baho,
dan A. Al Haddad. 2005. A Comparative Study On Production Efficiency
Of Brown And White Pullet. Bulletin of Kuwait Institute for Scientific
Research 1 (1): 1 – 4.
Amrullah, K. 2003. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPB Press : Bogor.
Austic, R. E. and M. C. Neshiem. 1990. Poultry Production 13th edition. Lea and
Febiger, Philadelphia.
Bappenas. 2010. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan
Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Baxter, M. R., 1994. The Welfare Problems Of Laying Hens In Battery Cages.
Veterinary Record, 134: 614 – 619.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta (Diterjemahkan Oleh B. Srigandono).
Britton, W. M. and K. K. Hale Jr. 1977. Amino Acid Analysis Of Shell Membranes
Of Eggs From Young And Old Hens Varying In Shell Quality. Poultry
Science 56: 865-871
Cahyono, B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler).
Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Fadilah, R. dan Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur.
PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. UGM Press.
Yogyakarta.
Havenstein, G. Ferket J. Grimes, M. A. Qureshi and K.E. Nestor. 2007.
Comparison of The Performance of 1966-versus 2003 Type Turkeys When
Fed Representative 1966 and 2003. Turkey Diet: Growth Rate, Livability
and Feed Conversion. Poult. Sct. 86:232-240.
Harms, R.H., C.R. Douglas, dan D.R. Sloan. 1996. Midnight Feeding Of
Commercial Laying Hens Can Improve Eggshell Quality. Journal of
Poultry Applied Science Research 5 :1 -5.
. 2000. Performance Of Four
Strains Pf Commercial Layers With Major Changes In Dietary Energy.
Journal of Applied Poultry Research 9: 535 – 541.
Hoffman TY CM. Walsberg GE. 1999. Anatomi dan Fisiologi Ternak. UGM
Press. Yogyakarta.
Hy-Line International. 2010. Hy-Line Brown Intensive Systems Performance
Standards. http://www.hyline.com/redbook/performance. Diakses tanggal
5 November 2016 pukul 10.23 WIB.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Leeson, S. 2008. Production For Commercial Poultry Nutrition. Journal Applied
Poultry Research (17): 315 – 322.
Lelystad, P.V. 2004. Welfare Aspects Of Various Systems For Keeping Laying
Hens. The EFSA Journal (197): 1-23
Longe OG (1984). Effects Of Increasing The Fibre Content Of A Layer Diet. Br.
Poult. Sci., 25: 187-193.
Meerburg, B.G dan A. Kiljstra. 2007. Role Of Rodents In Salmonella And
Campylobacter Transmission. Journal of Science Food Agriculture (87):
2774 – 2781.
North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Van
Nostrand Reinhold,New York.
Panda PC (1995). Text Book on Egg and Poultry Technology. VIKAS Publishing
House. PVT Limited, India, p. 32.
Rasyaf, M. 1995. Seputar ayam Kampung. Kanisius. Yogyakarta.
. 2008. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya: Jakarta.
Riczu, C. dan D. Korver. 2008. Effects Of Midnight Feeding On The Bone
Density And Egg Quality Of Brown And White Table Egg Layers.
Canadian Poultry Magazine (7): 35 – 38.
Shirt,
V.
2010.
How
to
Feed
Chickens
Part
http://www.poultry.allotreatment.org.uk/keeping-chickens/feedingchickens_2.php. Diakses tanggal 6 November 2016 pukul 21.56 WIB.
2.
Spoolder, H.A.M. 2007. Perspective Animal Welfare In Organic Farming System.
Journal of Science Food Agriculture 87: 2741 – 2746.
Sudaryani, T dan H. Santosa. 2000. Pembibitan Ayam Ras. Cetakan V. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Sundu B, Dingle J (2003). Use Of Enzymes To Improve The Nutritional Value Of
Palm Kernel Meal And Copra Meal. Proceed. Queensland Poultry Sci.
Symposium Australia, 1(14): 1-15.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasujana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.