BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Logam Berat - Studi Perbandingan Kadar Pb Dalam Hati Kambing Potong Pada Kawasan Industri Dan Non Industri Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Logam Berat

  Logam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu logam esensial dan logam nonesensial. Logam esensial adalah logam yang sangat membantu dalam proses fisiologis makhluk hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ dari makhluk yang bersangkutan, yang termasuk logam esensial adalah seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), cobalt (Co), mangan (Mn), selenium (Se).

  Logam nonesensial adalah arsen (As), merkuri (Hg), Cadmium (Cd), timbale (Pb), kromium (Cr) dan aluminium (Al), tetapi beberapa jenis logam lain yang termasuk kelompok logam esensial dapat pula bersifat racun bila keberadaannya telah melebihi dari kebutuhan pada proses fisioligi dalam makhluk hidup (Darmono, 1995).

  2.2. Logam Timbal (Pb) Timbal (Pb) pada awalnya adalah logam berat yang berbentuk secara alami.

  Namun, Timbal (Pb) juga bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mancapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Timbal (Pb) alami. Timbal

  o o o o

  (Pb) meleleh pada suhu 328 C (662 F); titik didih 1740 C (3164 F); dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat 207,20 (Widowati, 2008) Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Hal ini dikarenakan timbal memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

  1) Timbal(Pb) mempunyai titik cair rendah sehingga juka digunakan dalam bentuk cair dibutuhkan teknik yang cukup sederhana dan tidak mahal.

  2) Timbal (Pb) merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk. 3) Sifat kimia Timbal (Pb) menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai lapisan pelindung jika kontak langsung dengan udara lembab. 4) Timbal (Pb) dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat berbeda dengan Timbal (Pb) yang murni. 5) Densitas Timbal (Pb) lebih tinggi dibandingkan dengan logam lainnya kecuali emas dan merkuri (Fardiaz, 1992)

2.2.1. Keberadaan Timbal (Pb) Pada Lingkungan

  1. Timbal di Udara Timbal (Pb) di udara dapat berbentuk gas dan partikel. Di daerah tanpa penghuni dipegunungan California (USA), kadar Timbal sebesar 0,008

  3

  3

  mikrogram/m sedangankan mutu di udara adalah 0,025 – 0,04 gr/Nm (Mukono, 2002)

  2. Timbal di Air Timbal (Pb) dapat berada dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Timbal dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Timbal di udara dengan bantuan air hujan dan proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasn gelombang dan angin.

  Timbal dari aktivitas manusia terdapat pada limbah industri yang mengandung Timbal yang dibuang ke badan air. Baku mutu (WHO) Timbal dalam air 0,1 mg/liter dan KLH No. 02 tahun 1988 yaitu 0,05 - 1 mg/liter (Palar,H., 2004)

  Secara alami Timbal (Pb) juga ditemukan di air permukaan. Kadar Timbal pada air telaga dan air sungai adalah sebesar 1 – 10 μg/ liter. Dalam air laut kadar

  Timbal lebih rendah dari dalam air tawar (Sudarmaji, 2006)

  3. Timbal (Pb) di Tanah Rata-rata timbal yang terdapat di dalam tanah adalah sebesar 5 – 25 mg/kg. Keberadaan timbal di dalam tanah dapat berasal dari emisi kendaraan bermotor, dimana partikel timbal yang terlepas ke udara, secara alami dengan adanya gaya gravitasi, maka timbal tersebut akan turun ke tanah (Widowati, 2008)

  4. Timbal di Batuan Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat, dan timbal klorofosfat. Kandungan Timbal dari beberapa batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki kandungan Pb kurang lebih 200 ppm (Diapari, 2009)

  5

  . Timbal di Tumbuhan Bahwa pencemaran udara terhadap tanaman dapat mempengaruhi: pertumbuhan, yaitu dengan mengurangi pertumbuhan kambium, akar dan bagian reproduktif, termasuk pertumbuhan akar dan pertumbuhan daun. Sedangkan menurut Mukono (2002), secara alamiah tumbuhan dapat mengandung timbal.

  Kadar timbal pada dedaunan adalah 2,5 mg/kg berat daun kering (Kozlowski, 1991)

  6. Timbal di Makanan Semua bahan pangan alami mengandung Timbal dalam konsentrasi kecil, dan selama persiapan makanan mungkin kandungan Timbal akan bertambah.

  Timbal pada makanan dapat berasal dari peralatan masak, alat-alat makan, dan wadah-wadah penyimpanan yang terbuat dari alloy Pb atau keramik yang dilapisi

  

glaze. Sedangkan menurut Palar (2008), dalam air minum juga dapat ditemukan

  senyawa Timbal bila air tersebut disimpan atau dialirkan melalui pipa yang merupakan alloy dari logam Timbal (Fardiaz, 1992).

2.2.2. Pencemaran Logam Timbal (Pb)

  Ada beberapa pencemaran logam berat timbal (Pb), diantaranya adalah sebagai berikut : a. Pencemaran Secara Alami

  Kadar timbal (Pb) yang secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg. Khusus timbal (Pb) yang tercampur dengan batu fosfat dan terdapat didalam batu pasir kadarnya lebih besar yaitu 100 mg.kg. Timbal yang terdapat di tanah berkadar sekitar 5-25 mg/kg dan air bawah tanah berkisar antara 1-60 μg/liter (Sudarmaji, 2006).

  b. Pencemaran dari Industri Industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran timbal adalah semua industri yang menggunakan timbal sebagai bahan baku maupun bahan penolong, seperti industri pengecoran, pembuatan baterai, kabel, dan industri kimia dalam pembuatan cat, karena toksisitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan logam pigmen yang lain.

  c. Pencemaran dari Transportasi Timbal (Pb) berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan bakar. Timbal (Pb) sebagai salah satu zat yang dicampurkan ke dalam bahan bakar yaitu (C

  2 H 5 ) 4 Pb atau TEL (Tetra Ethyl Lead).

  Timbal (Pb) yang bercampur dengan bahan bakar tersebut akan bercampur dengan oli dan melalui proses di dalam mesin maka logam berat Timbal (Pb) akan keluar dari knalpot bersama dengan gas buang lainnya (Sudarmaji, 2006)

  Dari senyawa timbal (Pb) yang ditambahkan ke bensin, kurang lebih 70% diemisikan melalui knalpot dalam bentuk garam anorganik, 1% diemisikan masih dalam bentuk tetralkil lead dan sisanya terperangkap dalam system exhaust dan mesin oli. (Mukono, 2002)

  Penggunaan Timbal (Pb) dalam bensin lebih disebabkan oleh keyakinan bahwa tingkat sensitivitas Timbal (Pb) tinggi dalam menaikkan angka oktan. Setiap 0,1 gram Timbal (Pb) perliter bensin mampu menaikkan angka oktan 1,5. Penggunaan sampai 2 satuan. Selain itu, harga Timbal (Pb) relatif murah untuk meningkatkan satu oktan dibandingkan dengan senyawa lainnya (Santi, 2001)

2.2.3. Toksisitas Logam Timbal (Pb)

  Timbal adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia, Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis, tetapi padang rumput yang terkontaminasi cemaran dari limbah peleburan logam ataupun dari limbah baterai/aki sering menyebabkan toksisitas yang akut. Pada hewan ruminansia gejala khas dari keracunan Pb ini ada tiga bentuk yaitu sebagai berikut : a. Gastro-enteritis, hal ini disebabkan karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb, sehingga terjadi pembengkakan. Gerak kontraksi rumen dan usus terhenti, sehingga menyebabkan terjadinya konstipasi dan kadang-kadang diare.

  b. Anemia, di dalam darah timbale berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah. Bila sel darah pecah, terjadi gangguan terhadap sintesis Hb yang dapat menyebabkan anemia. Gejala ini ditandai dengan adanya anisositosis, polikromasia, dan jumlah sel darah muda (retikulosit) meningkat. Sel darah bernukleus juga meningkatkan, dan ditemukan basofilik stipling yang merupakan cirri khas keracunan Pb.

  c. Ensepalopati, logam ini juga menyebabkan terjadinya kerusakan sel endotel dari kapiler darah otak, sehingga bentuk protein berukuran besar dapat menerobos masuk ke dalam otak. Tekanan osmosis cairan otak meningkat sehingga menyebabkan oedema.

Tabel 2.1. Konsentrasi Pb dalam Pakan yang Dapat Mengakibatkan Keracunan pada Hewan Ruminansia

  Hewan Kronis Akut mg/kg/hari Dosis Tunggal (mg)

  Anak sapi 6 400-600 Sapi dewasa 7 600-800

  Domba 4,5 - Diagnosis keracunan Pb secara kronis dapat dilakukan dengan analisis kandungan Pb dalam darah, kadar enzim delta amino levunik dehidrasi (delta-

  ALA) dan kadar eritrosit porfirin bebas (FEP) dalam darah (Darmono, 2001).

  Kasus keracunan Pb dapat dialami oleh hewan ruminansia sapi, pada penelitian terdahulu melakukan analisa kandungan logam Pb, Cu dan Cd dalam hati sapi lokal dan impor dengan metode SSA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan rata-rata logam Pb, Cu dan Cd pada hati sapi Jakarta dalam bobot basah adalah: 0,1667 μg/g; 3,4202 μg/g dan 0,0220 μg/g. Sementara untuk logam Pb, Cu dan Cd dalam hati sapi Bogor adalah: 0,3578 μg/g; 3,8305 μg/g dan 0,0286 μg/g. Sedangkan untuk logam Pb, Cu dan Cd dalam hati sapi Cirebon adalah:

  0,2931 μg/g; 2,9121 μg/g dan 0,0112 μg/g. Kandungan rata-rata logam Pb, Cu dan Cd dalam hati sapi New Zealand adalah: 0,2915 μg/g; 1,9110 μg/g dan 0,0608 μg/g. Sedangkan kandungan rata-rata logam Pb,Cu dan Cd dalam hati sapi Australia adalah: 0,2280 μg/g; 2,8626 μg/g dan 0,0360 μg/g. Kandungan logam Pb, Cu dalam hati sapi Bogor lebih besar bila dibandingkan dengan hati sapi Jakarta, Cirebon, New Zealand dan Australia. Sedangkan kandungan logam Cd dalam hati sapi New Zealand lebih besar bila dibandingkan dengan hati sapi Jakarta, Bogor, Cirebon dan Australia. Kadar Pb, Cu dan Cd dari semua contoh yang dianalisis tersebut masih memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yaitu maksimal 2,0 μg/g untuk Pb, 5,0 μg/g untuk Cu sedangkan untuk Cd memenuhi persyaratan menurut United State Food and Drug Administration ( FDA) yaitu maksimal 1,0 μg/g. (Evi, 2006) Keracunan Pb pada sapi perah telah dilaporkan pula oleh Oskarsson dkk. (1992) di Swedia, di mana Pb di-transfer ke air susu. Keracunan terjadi setelah sapi merumput pada padang rumput bekas tempat pembuangan baterai/aki bekas.

  Barang tersebut dibakar dan sampahnya dibuang pada padang penggembalaan. Setelah selang waktu tiga hari, sapi yang merumput di sekitar tempat itu, ditemukan mati mendadak. Sebelas ekor sapi perah yang merumput pada lokasi yang sama tidak mengalami keracunan, empat di antaranya sedang bunting. Beberapa ekor sapi yang terlihat mengalami gejala keracunan segera dipotong. Hasil analisis kandungan Pb dalam ginjal, hati, daging, darah dan susunya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.2. Hasil Analisa Pada Ginjal, Hati, Daging, Darah, dan Susu

  Waktu Setelah Kondisi Ginjal Hati Daging Darah Susu Makan

  (μg/g)

  70 26 0,42 - - 1 hari Mati 3 hari Mati

  • 100 10 - 0,14 31 0,26 -
  • 4 hari Mati 124 34
  • 5 hari Mati 129 13 0,23
  • 2 minggu Dipotong - 214 38 minggu Dipotong - 0,75 0,33 0,12 0,006

  (Oskarson dkk, 1992) Dan keracunan pada tanaman akibat pencemaran udara karena pemakaian bensin bertimbal merupakan problem lingkungan serius di kota-kota besar di

  Indonesia termasuk Bandung. Salah satu pendekatan untuk mereduksi kandungan partikel timbal di udara adalah dengan bioremediasi menggunakan tumbuhan. Suatu tumbuhan dikatakan berpotensi sebagai agen bioremediasi jika mampu menyerap pencemar tanpa mengalami kerusakan atau gangguan pertumbuhan. Pada penelitian akumulasi Pb pada daun Swietenia Macrophylla King (mahoni), pohon pelindung jalan yang cukup banyak di Bandung mampu menyerap dan mengakumulasi Pb di daun dan mengamati apakah akumulasi Pb tersebut berpengaruh pada kondisi daun. Sampel daun untuk pengujian konsentrasi Pb dan pengamatan kondisinya (kandungan klorofil, luas permukaan daun dan jumlah stomata) diambil dari empat jalan yang berbeda tingkat kepadatan lalu lintasnya yaitu : Jalan Kyai Gde Utama, Kapten Tendean, Ir. H. Djuanda dan Siliwangi. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi Pb di seluruh sampel daun berkisar antara 0.038 sampai 2.281 μg/g. Uji ANOVA dengan selang kepercayaan 95 % menunjukkan bahwa konsentrasi Pb daun dari keempat jalan tidak berbeda nyata. Hasil analisis regresi linear menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kandungan klorofil, luas permukaan daun dan jumlah stomata seiring dengan naiknya konsentrasi Pb daun, namun nilai koefisien korelasi untuk ketiga parameter tersebut sangat kecil, (0.0132, 0.0109, 0.0003). Secara umum dapat disimpulkan bahwa S. macrophylla mampu menyerap dan mengakumulasi Pb pada daun dan akumulasi Pb tidak menunjukkan pengaruh terhadap kondisi daun, paling tidak dalam kisaran konsentrasi antara 0.038-

  2.281 μg/g, sehingga jenis ini dapat dipertimbangkan sebagai agen bioremediasi polusi timbal. (Ebynthalina, 2006).

2.2.4. Mekanisme Toksisitas Pb

  Walaupun mekanisme secara pasti bagaimana Pb menghambat respon kekebalan belum begitu jelas, gangguan terhadap sistem retikuloendotelial dan gangguan fungsi hati telah banyak dilaporkan. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menghambat sistem kekebalan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa Pb mengganggu proses aktivitas pagosit dari leukosit polimorfonuklear dan menurunkan produksi aktif (Koller, 1980).

  Karena timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksisitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya yaitu sebagai berikut :

  a. Sistem hemopoietik: Pb menghambat system pembentukan hemoglobin sehingga menyebabkan anemia.

  b. Sistem saraf pusat dan tepi: dapat menyebabkan gangguan ensefalopati dan gejala gangguan saraf perifer. c. Sistem ginjal: dapat menyebabkan aminoasiduria, fosfaturia, glukosuria, nefropati, fibrosis dan atrofi glomeruler.

  d. Sistem gastro-intestinal: menyebabkan kolik dan konstipasi.

  e. Sistem kardiovaskuler: menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler pembeluh darah, system reeproduksi pada ibu hamil, system indokrin.

  Timbal didalam tubuh terutaman terikat dalam gugus –SH dalam molekul protein dan hal ini menyebabkan hambatan pada aktivitas kerja system enzim. Timbal menggangu system sisntesis Hb dengan jalan menghambat konversi delta aminolevunik asid (delta-ALA) menjadi forfobilinogen dan juga menghambat korporasi dari Fe ke dalam protoporfin IX untuk membentuk Hb, dengan jalan menghambat enzim delta-aminolevunik asid-dehidratase (delta-ALAD) dan ferokelatase. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi koproporfin dalam urin dan delta-ALA serta menghambat sintesis Hb. Berikut merupakan skema penghambatan produksi hemoglobin oleh logam berat Pb :

  Succiny CoA + Glisin Syntesis ALA

  Eksresi melalui Urin Delta-aminolevulinik asid delta-ALA Forfobilinogen Uroporfirinogen III

  Eksresi melalui urin Co-proporfirinogen III Co-profirinogen dekarboksilase

  Akumulasi dalam Protoporfirin IX

  2+

  Sel darah merah +Fe Ferokelatase

  Heme (Hb) Gambar 2.1. Proses Penghambatan Hemoglobin oleh Pb (Darmono, 2001).

2.3. Destruksi Logam

  2.3.1.Destruksi Basah

  Teknik destruksi basah adalah dengan memanaskan sampel organik dengan penambahan asam mineral pengoksidasi atau campuran asam-asam mineral tersebut. Penambahan asam mineral pengoksidasi dan pemanasan yang cukup dalam beberapa menit dapat mengoksidasi sampel secara sempurna, sehinga menghasilkan ion logam dalam larutan asam sebagai sampel anorganik untuk dianalisis selanjutnya. Destruksi basah biasanya menggunakan H

  2 SO 4, HNO 3 dan

  HClO 4 atau campuran dari ketiga asam mineral tersebut.

  2.3.2.Destruksi Kering

  Destruksi kering merupakan teknik yang umum digunakan untuk mendekomposisi bahan organik. Sampel diletakkan di dalam krusibel dan dipanaskan sampai semua materi organik terurai dan meninggalkan residu anorganik yang tidak menguap dalam logam oksida. Temperatur yang paling

  o

  umum digunakan adalah 500 – 550

  C. Selain unsur C, H dan N, beberapa logam akan hilang dengan destruksi kering ini, diantaranya halogen, S, Se, P, As, Sb, Ge, Ti, Hg (Anderson, 1987)

2.4. ICP (Inductively Couple Plasma) OES

  Seiring semakin pedulinya pencemaran terhadap lingkungan terutama pencemaran logam, maka analisa senyawa logam semakin dibuutuhkan. Untuk itu kecepatan hasil analisa dibutuhkan AAS sebenarnya mampunya mampu digunakan untuk pembacaan senyawa inorganik. Sayangnya AAS membutuhkan waktu yang lebih lama dalam analisa multi elemen karena harus mengganti lampu yang spesifik untuk salah satu senyawa. Misalnya untuk menganalisa tembaga digunakan lampu tembaga.

  Inductively couple plasma adalah alat yang dapat mendeteksi senyawa logam dengan pembakaran menggunakan plasma. Plasma yang dihasilkan dari gas argon akan membakar sampel yang telah ternebulasi sehingga terjadi atomisasi dilanjutkan dengan ionisasi. Elektron yang tereksitasi kemudian kembali lagi/beremisi dan mengeluarkan energi cahaya dengan panjang gelombang yang spesifik di setiap senyawa logam. Sistem pembacaan yang multi element memudahkan bagi analisa untuk mempercepat keluarnya hasil.

2.4.1.Prinsip Kerja ICP-OES

  Proses ini terjadi oleh plasma yang dilengkapi dengan tabung konsentrasi yang disebut torch, paling sering dibuat dari quartz. Torch ini terletak di dalam water- cooled coil of a radio frequency (r,f.) generator. Gas yang mangalir kedalam Torch diaktifkan dan gas di coil region menghasilkan electrically conductive. Ini sama seperti prinsip kerja radio frekuensi pada antena.

  Pembentukan induksi plasma sangat bergantung pada kekuatan magnetic field dan pola yang menikuti aliran gas. Gas argon di pantik dengan tesla. Setelah plasma menyala, tesla mati kembali. Perawatan plasma biasanya dengan inductive heating dari gas mengalir. Induksi dari magnetic field yang menghasilkan frekuensi tinggi annular arus listrik di dalam konduktor. Yang mengakibatkan pemanasan dari konduktor akibat dari ohmic resistance. Suhu yang dihasilkan dari plasma berkisar 700 K.

  Untuk mencegah kemungkinan short-circuiting serta meltdown, plasma harus diisolasi dari lingkungan instrumen. Isolasi dapat dilakukan dengan aliran gas-gas melalui sistem. Tiga aliran gas melalui sistem – outer gas, intermediate gas, dan inner atau carrier gas. outer gas biasanya gas Argon atau Nitrogen. Outer gas berfungsi untuk mempertahankan plasma, menjaga posisi plasma, dan osilasi panas plasma dari luar torch. Argon umumnya digunakan untuk intermediate gas dan inner atau carrier gas.

  Sampel yang akan dianalisis harus dalam larutan. Untuk sampel padatan diperlukan preparasi sampel dengan proses digestion pada umumnya dengan acid digestion. Peristaltik pump mendorong sampel masuk ke nebulizer. Nebulizer berfungsi untuk mengubah larutan sampel menjadi erasol. Gas yang digunakan untuk mengkabutkan biasanya adalah gas argon. Sprying dari nebulizer kemudian di ionisasi di dalam plasma.

  Energi yang kuat dari plasma mengeksitasi electron dari senyawa ke orbital terluar. Setelah itu diemisikan kembali dan melepaskan energy cahaya dengan panjang gelombang yang spesifik. Cahaya emisi oleh atom suatu unsure pada ICP harus dikonversi ke suatu sinyal listrik yang dapat di ukur banyaknya. Ini diperoleh dengan mengubah cahaya tersebut ke dalam komponen radiasi (hamper selalu dengan cara difraksi kisi) dan kemudian mengukur intensitas cahaya dengan photomultiplier tube pada panjang gelombang spesifik untuk setiap elemen. Cahaya emisi oleh atom atau ion dalam ICP dikonversikan ke sinyal listrik oleh photomultiplier dalam spectrometer. Intensitas dari sinyal di bandingkan intensitas standar yang diketahui konsentrasinya yang telah diukur sebelumnya (Nugroho, 2005).

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom

  Apabila suatu larutan yang mengandung garam logam (senyawa logam) dilewatkan ke dalam suatu nyala, terbentuk uap yang mengandung atom-atom logam itu menyerap energi, maka electron pada keadaan dasar akan naikbke tingkat energy yang lebih tinggi disebut keadaan tereksitasi. Banyaknya energy yang diserap berbanding lurus dengan jumlah atom yang terserap. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom.

  Spektrofotometer Serapan Atom adalah suatu metode pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom-atom bentuk gas dalam keadaan dasar. Perpanjangan Spektrofotometri Serapan atom ke unsur-unsur lain semula merupakan akibat perkembangan spektroskopi pancaran nyala. Telah lama ahli kimia menggunakan kimia pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analitis. Suatu nyala lain, kebanyakan atom berada dalam keadaan elektronik dasar bukannya berada dalam keadaan eksitasi. (Skoog, West, Holler,1996)

2.5.1. Prinsip Dasar Spektrofotometeri Serapan Atom

  Metode SSA berinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu mempunyai cukup energy untuk mengubah tingkat electron suatu atom. Transisi elektron suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energy, suatu atom pada keadaan dasar akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Khopkar, 2003)

  Jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya itu diserap dan jauhnya penyerapan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala.

  Proses terbentuknya uap yang mengandung atom-atom dalam nyala, dapat diringkaskan sebagai berikut; bila suatu larutan yang mengandung senyawa yang cocok dari yang akan diselidiki itu dilewatkan kedalam nyala, terjadilah peristiwa berikut secara berurutan : a. Penghilangan pelarut atau evaporasi yang meninggalkan residu padat

  b. Penguapan zat padat dilanjutkan dengan disosiasi menjadi atom-atom penyusun yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar (Vogel.A.I.1994)

  Berikut merupakan skema Instrumentasi Spektrofotometeri Serapan Atom :

Gambar 2.2. Komponen Spektrofotometri Serapan Atom

  1. Sumber Sinar Sumber sinar yang lazim dipaki adalah lampu katoda berongga (hollow cathode lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon). Bila antara anoda dan katoda diberi selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas electron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron dengan gas-gas mulia yang di isikan tadi. Akibat dari tabrakkan- tabrakkan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan electron dan menjadi ion bermuatan positif ini selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi yang tinggi pula. Sebagaimana disebutkan diatas, pada katoda terdapat unsur-unsur ini akan terlempar keluar dari permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini mungkin akan mengalami eksitasi ke tingkat energy-energi electron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spectrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis. (Rohman, 2007)

  2. Bahan Bakar dan Bahan Pengoksidasi Untuk mengubah unsur metalik menjadi uap atau hasil disosiasi diperlukan energi panas. Temperatur harus benar-benar terkendali dengan sangat hati-hati agar proses atomisasinya sempurna. Ionisasi harus dihindarkan dan ini dapat terjadi bila temperatur terlalu tinggi. Gambar dibawah ini menunjukkan suatu tipe atomiser nyala (Khopkar, 2002).

  Umumnya bahan bakar yang digunakan adalah hidrogen, asetilen dan propana, sedangkan oksidatornya adalah udara, oksigen dan NO

  2 .

Tabel 2.2. Jenis-jenis Gas Pembakar pada SSA

  Bahan bakar Oksidan Temperatur

  o

  Mkasimum ( K) Asetilen Udara 2400 – 2700 Asetilen Nitrogen Oksida 2900 – 3100 Asetilen Oksigen 3300 – 3400

  Hidrogen Udara 2300 – 2400 Hidrogen Oksigen 2800 – 3000 Sianogen Oksigen 4800

  3. Monokromator Monokromator digunakan untuk memisahkan garis emisi sesuai dengan panjang gelombangnya. Monokromator digunakan dalam analisa multi unsur dengan cara memindai cepat dari satu garis emisi ke garis emisi lainnya. Kisi difraksi merupakan inti dari spectrometer, kisi memecah cahaya putih menjadi beberapa panjang gelombang yang berbeda.

  4. Detektor Detektor yang biasa digunakan dalam AAS ialah jenis photomultiplier

  

tube , yang jauh lebih peka daripada phototube biasa dan responnya juga

  • 9

  sangatcepat (10 det). Fungsinya untuk mengubah energi radiasi yng jatuh pada detektor menjadi sinyal elektrik / perubahan panas (Boss,C.B. and Freeden, K.J. 1997).

5. Lampu Katoda Berongga (Hollow Cathode Lamp)

  Lampu katoda berongga terdiri atas tabung gelas yang di isi dengan gas argon (Ar) atau neon (Ne) bertekanan rendah (4-10 torr) dan di dalamnya dipasang sebuah katoda berongga dan anoda. Rongga katoda berlapis logam murni dari unsur obyek analisis. Misalnya : untuk pengukuran Pb diperlukan lapisan logam Pb. Batang anoda terbuat dari logam wolfram / tungsten (Boss,C.B. and Freeden, K.J. 1997).

2.5.3. Spektrofotometer Serapan Atom Tanpa Nyala dan Dengan Nyala

  Metode spektrofotometri Serapan Atom mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan metode spektrofotometri nyala. Pada metode spektrofotometri nyala, emisi tergantung pada sumber eksitasi. Bila eksitasi dilakukan secara termal maka ia tergantung pada temperature sumber. Selain itu eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan eksitasi secara serentak pada berbagai jenis logam dalam suatu sampel dapat saja terjadi. Pada metode Spektrofotometri Serapan Atom, perbandingan banyaknya ataom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada tingkat dasar harus cukup besar, karena metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan ini dan tidak bergantung pada nyala. Metode serapan sangatlah spesifik. Logam-logam yang membentuk campuran kompleks dapat dianalisa dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber energy yang besar. Ini tidak diperlukan pengontrolan, karena walaupun pengukuran absorban atom-atom di dalam nyala tidak dipengaruhi oleh suhu nyala secara langsung, tetapi secara tidak langsung suhu nyala tersebut berpengaruh juga terhadap absorban (Khopkar, 2002)

2.5.3. Gangguan Pada SSA dan Cara Mengatasinya

  Gangguan diartikan sebagai suatu faktor kimia atau fisika yang akan mempengaruhi jumlah atom pada analit dalam keadaan dasar (ground state) sehingga akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya bacaan nilai serapan atau unsure yang dianalisis.

  Ada beberapa faktor gangguan dalam menggunakan SSA :

  • Suhu yang sesuai, suhu gas pembakar harus sesuai dengan suhu unsur yang akan dianalisis.
  • Konsentrasi sampel tidak boleh melebihi kesensitifan dari alat detector

  SSA. Ini akan menyebebkan gangguan terhadap garis spectrum dan mengakibatkan kerusakan pada alat detector SSA.

  • Pengaruh penguapan pelarut dan bahan larutan jangan sampai menurunkan suhu nyala gas pembakar, ini akan menyebabkan bacaan nilai serapan atom menjadi rendah (Khopkar,S.M.1990)

Dokumen yang terkait

Studi Perbandingan Kadar Pb Dalam Hati Kambing Potong Pada Kawasan Industri Dan Non Industri Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

0 80 60

Analisa Logam Mangan (Mn) Dan Seng (Zn) Terhadap Limbah Cair Industri Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 96 42

Penentuan Kadar Logam Kadmium Cd ) Dan Logam Zinkum ( Zn ) Dalam Black Liquor Pada Industri Pulp Proses Kraft Dari Toba Pulp Lestari Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom ( Ssa)

4 71 53

Studi Perbandingan Penggunaan Kitosan Dan Amberjet 1200 Terhadap Penurunan Kadar Logam Tembaga Cu (II) Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 41 4

Analisa Kadar Ion Cu2+ Pada Glyserol Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

1 87 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kadar Logam Kadmium (Cd) pada Air Minum Dalam Kemasan Galon Isi Ulang dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Singkong - Analisis Kadar Timbal(Pb) Pada Tepung Tapioka Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Penentuan Kadar Logam Kadmium (Cd), Tembaga (Cu ), Besi (Fe) Dan Seng (Zn) Pada Air Minum Yang Berasal Dari Sumur Bor Desa Surbakti Gunung Sinabung Kabupaten Karo Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (Ssa)

1 10 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air - Analisis Kadar Unsur Kalsium (Ca2+)Dan Magnesium (Mg2+) Pada Depot Air Minum Yang Menggunakan Membran Reverse Osmosis Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

0 5 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara 2.1.1. Pengertian Udara - Analisa Kadar Co, No2 Dan So2 Di Kawasan Industri Medan Dan Kawasan Non Industri Di Kota Medan Pada Tahun 2013

0 0 28