R EVIEWING OFG OVERNMENT CO MMUNICATIONP ATTERN INE MPOWERINGS UKU A NAK D ALAM INJ

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris

  ENGKAJI LANG OLA OMUNIKASI EMERINTAH DALAM EMBERDAYAAN M U P K P P

UKU NAK ALAM ROVINSI AMBI

S A D DI P J

EVIEWING OF OVERNMENT MMUNICATION ATTERN IN MPOWERING UKU

R G CO P E S

NAK ALAM IN AMBI ROVINCE

A D J P

  

Nahri Idris

  Universitas Negeri Jambi Jl. Lintas Jambi - Muara Bulian Km. 15, Kota Jambi, 36122, Hp. +62-812-7385-367

  Email : nahri.idris@yahoo.com

  

diterima tanggal 11 Januari 2017| direvisi tanggal 26 April 2017 | disetujui tanggal 13 Juni 2017

ABSTRACT

  

Governments, especially in Jambi province has attempted to empower suku anak dalam. Empowerment is also

performed by the relevant stakeholders such as NGOs / NGOs and companies. Empowerment is still less show

a success rate as expected. One reason for the communication patterns that still need to be improved. The

pattern of empowerment, has brought negative impacts on suku anak dalam itself, such as the lack of self

ability, materialistic and lead to conflict, both internal sukuanak dalam and with outside parties. Changing

patterns of communication should be done with more emphasis on cognitive aspects for the change to be more

quickly achieved. In this case refers to the change in Communicators, Message, Media and Audience.

  Keywords: Communications, Government, Empowerment, Suku Anak Dalam

ABSTRAK

Pemerintah khususnya di Provinsi Jambi sudah berupaya melakukan pemberdayaan terhadap suku anak dalam.

  Pemberdayaan juga dilakukan oleh stakeholder terkait seperti LSM/NGO dan perusahaan. Pemberdayaan yang dilakukan masih kurang menunjukkan tingkat keberhasilan seperti yang diharapkan. Salah satu penyebabnya karena pola komunikasi yang masih perlu diperbaiki. Pola pemberdayaan selama ini menimbulkan dampak- dampak negatif terhadap suku anak dalam itu sendiri, seperti ketidak mandirian, materialistis dan menimbulkan konflik, baik internal suku anak dalam maupun dengan pihak luar. Perubahan pola komunikasi harus dilakukan dengan lebih menekankan aspek kognitif agar perubahan lebih cepat tercapai. Dalam hal ini perubahan merujuk kepada Komunikator, Pesan, Media, dan Khalayak.

  Kata Kunci: Komunikasi,Pemerintah, Pemberdayaan, Suku Anak Dalam

  demikian, masih banyak bagian dari Indonesia yang I.

   PENDAHULUAN

  kurang tersentuh proses pembangunan tersebut, Indonesia adalah negara yang multi etnis, yang serta masyarakatnya masih belum menikmati terdiri dari berbagai ragam suku bangsa. Ditengah kemajuan pembangunan yang memadai. Umumnya perkembangan pembangunan nasional dan daerah masyarakat ini adalah suku

  —suku yang tinggal di yang maju demikian pesat, ternyata masih pedalaman, malah mungkin masih tinggal secara menyisakan persoalan pemerataan pembangunan. nomaden di dalam hutan-hutan pedalaman. Bisa

  Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah dipastikan bahwa secara ekonomi masyarakat ini menikmati kemajuan di segala bidang, baik bidang masih tertinggal, dengan aksesibilitas yang juga ekonomi, sosial maupun budaya, serta tinggal di sulit. Masyarakat seperti ini sering disebut dengan wilayah-wilayah yang relatif maju dengan akses dan mata pencaharian yang relatif baik. Sungguhpun

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  38 Suku Anak Dalam (SAD) dan atau Komunitas Adat Terpencil (KAT). Menurut Koespramoedyo dkk. (2004)

  Keberadaan SAD dan atau KAT tersebut yang relatif tertinggal, terpencil, terasing dan belum banyak tersentuh oleh proses pembangunan cukup banyak dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hampir semua lokasi di Indonesia, baik pulau besar maupun kecil memiliki komunitas SAD atau KAT tersebut. Suku-suku tersebut telah lama tinggal di wilayahnya masing-masing, dengan adat istiadat dan budayanya sendiri yang unik yang diturunkan secara turun temurun dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya dalam kelompoknya. Komunitas SAD ini pada umumnya masih memegang teguh adat dan budayanya sendiri, serta cenderung tertutup, dalam artian kurang bisa menerima budaya yang berasal dari luar kelompoknya.

  Berbagai program pembangunan untuk mengentaskan ketertinggalan pada sebagian masyarakat Indonesia yang termasuk kelompok SAD tersebut sudah dilakukan. Bahkan pemberdayaan tersebut tidak saja dilakukan oleh pemerintah, namun melibatkan juga Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak perusahaan, baik perusahaan Negara maupun swasta. Namun upaya tersebut masih belum sesuai dengan harapan.

  Pemerintah telah menguraikan karakteristik Komunitas Adat Terpencil, yaitu berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogeni. Pranata sosial bertumpu pada kekerabatan, terpencil secara geografis, relatif sulit dijangkau, hidup dengan sistem ekonomi subsistem, menggunakan peralatan dan teknologi sederhana, ketergantungan pada lingkungan alam setempat relatif tinggi, dan terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik. Pengertian tersebut cukup lengkap karena di dalamnya mencakup aspek lingkungan, fisik, sosial, dan budaya. Pelayanan sosial, teknologi, ekonomi, politik, dan perlindungan sosial.

  Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya tinggal di dalam hutan, terisolasi dari perkembangan zaman dan tidak mengenal hukum. Suku Anak Dalam hanya mengenal dan taat akan hukum adat mereka saja, dan buta akan hukum Negara Indonesia. Kehidupan Suku Anak Dalam yang demikian maka Pemerintah menerapkan Program Trans Sosial bagi Suku Anak Dalam yang bertujuan agar kehidupan Suku Anak Dalam lebih baik daripada yang dulu.

  Suku Anak Dalam hidup di dalam hutan. Dulu, Suku Anak Dalam takut untuk bertemu dengan Masyarakat Terang (julukan yang di berikan Suku Anak Dalam bagi masyarakat umum). Mereka beranggapan bahwa Masyarakat Terang itu pemakan manusia, sehingga mereka tidak mau bertemu dengan Masyarakat Terang. Saat Suku Anak Dalam keluar dari hutan, mereka membuka hutan dan menjadikan lahan untuk mereka. Suku Anak Dalam tinggal di sekitar lahan mereka tersebut dengan mendirikan sudung (sebutan untuk rumah panggung yang didirikan oleh Suku Anak Dalam) untuk menjadi rumah mereka. Apabila ada keluarga mereka yang meninggal, atau wilayahnya sudah susah dengan binatang buruan, maka mereka berpindah tempat. Budaya ini disebut dengan budaya melangun. Begitulah kehidupan mereka seterusnya.

  Menurut Giarsih (2014) bahwa penyebab kemiskinan di daerah terpencil adalah minim- nya/kurangnya natural assets, human assets,

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris physical assets, financial assets, dan social assets.

  Natural assets atau aset sumber daya alam misal-

  nya lahan dan air. Kaum miskin biasanya memiliki luas lahan yang terbatas. Human assets kaum mis- kin menyangkut kualitas sumberdaya manusia (pendidikan dan pengetahuan, keterampilan, derajat kesehatan, penguasaan teknologi) yang relatif rendah. Physical assets kaum miskin misal-nya minimnya akses ke jaringan infrastruktur dan fasilitas sosial ekonomi, jaringan listrik jaringan jalan, dan komunikasi. Kaum miskin juga keku- rangan akan financial assets yang berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha. Kelompok ini juga kekurangan social assets yang berupa networking, kontak, dan pengaruh politik.

  Menurut Ostrom (1990) dan Uphoff (1986), keberadaan institusi yang tepat dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya akan menyebabkan sumberdaya tersebut tetap terjaga, sehingga tidak menimbulkan bencana. Keberadaan institusi lokal melalui aturan adat dalam pemanfaatan hutan menyebabkan hutan di wilayah tersebut tidak mengalami kerusakan. Sebaliknya, kerusakan sumberdaya hutan terjadi karena aturan adat dan kesepakatan konservasi masyarakat yang telah dibangun tidak berjalan karena tidak dikuatkan.

  Maka hal yang harus ditonjolkan adalah kearifan lokal. Menurut Pattiselano (2008), kegunaan utama kearifan lokal adalah untuk menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian sumber- daya alam. Dalam penerapannya, kearifan tradisional/lokal bisa dalam bentuk hukum, pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu kearifan tradisional yang merupakan produk lokal masyarakat perlu tetap dipertahankan bahkan harus lebih ditingkatkan. Potensi ini perlu secara lebih intensif digali dan terus ditingkatkan.

  Menurut Salosa dkk. (2014) Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, terutama pada kawasan konservasi, belum memberikan ruang yang memadai bagi masyarakat lokal yang bergantung terhadap sumberdaya hutan. Masyarakat desa tersebut memiliki interaksi di dalam kawasan hutan. Hutan dan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan itu, termasuk di sekitar kawasan konservasi, merupakan komponen yang sulit untuk dipisahkan. Menurut Safitri (2013), hutan merupakan konstruksi sosial, tempat menumbuhkan identitas kolektif dan tempat mengembangkan kebudayaan. Hutan sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat utamanya dalam mengaplikasikan nilai-nilai budaya.

  Dalam hal ini pendampingan menjadi kata kunci keberhasilan untuk mengentaskan kaum mis- kin. Menurut Chamber (1989) kaum miskin meru- pakan kelompok yang sangat rentan. Untuk dapat keluar dari kemiskinannya maka perlu pendampingan.

  Seperti yang dikemukakan Kaiser dkk (1999) bahwa informasi atau pengetahuan faktual adalah syarat penting bagi sikap, sehingga penyediaan informasi bagi masyarakat juga sangat penting.

  Servaes (2002) menyatakan bahwa dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput, maka partisipasi, struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  40 yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri.

  Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya.

  Rahim (2007) mengemukakan empat konsep terkait komunikasi partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan yaitu heteroglasia yakni konsep bahwa sistem pemba- ngunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang beragam, dialogis yakni komu- nikasi transaksional dimana pengirim dan penerima pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu, poliponi yaitu bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suara-suara yang tidak menyatu atau terpisah meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain dan tidak menutupi, Karnaval yakni bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual secara bersama-sama.

  Menurut Freire (1984), komunikasi sebagai proses dialog dan partisipasi. Komunikasi harus disadarkan sebagai dialog bebas yang memprioritaskan identitas budaya, kepercayaan dan komitmen.

  Media masa dan institusi pendidikan saat ini merupakan sumber utama untuk informasi lingkungan bagi para sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, lembaga pendidikan, pemerintah, LSM lingkungan dapat terus memanfaatkan media ini untuk secara efektif menyalurkan informasi. Pendidikan lingkungan hidup yang diberikan kepada siswa atau masyarakat hendaknya tidak hanya mencakup ranah kognisi saja, namun ranah afeksi juga. Pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh budaya dan orang terdekat. Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan akan lebih baik jika tidak hanya dilakukan pada tingkat individu, tetapi pada tingkat masyarakat (komu- nitas), sehingga perilaku yang muncul lebih mengakar kuat karena antar individu bisa saling menguatkan. (Akhtar & Soetjipto, 2014).

  Provinsi Jambi termasuk daerah yang memiliki populasi Suku Anak Dalam cukup banyak. Komunitas yang paling sering mendapat perhatian adalah yang biasa disebut dengan Orang Kubu, yang masih hidup nomaden di kawasan hutan, terutama dalam kawasan Cagar Alam atau Taman Nasional.

  Beberapa penyebab kegiatan pember- dayaan kurang menunjukkan hasil seperti yang diharapkan adalah belum padunya program pemberdayaan oleh para aktor pemberdayaan, malah seakan-akan ada unsur persaingan mencari reputasi, karena itu visi pemberdayaanpun belum sepenuhnya sama. Disamping itu pola pemberdayaan, khususnya pola komunikasi yang dilakukan juga masih belum menunjukkan pola yang mampu membangun keterlibatan masyarakat SAD secara aktif dan partisipatif.

  Proses komunikasi akan berlangsung apabila ada unsur/elemen komunikasi. Tanpa salah satu unsur tersebut, maka komunikasi yang terjadi tidak akan berlangsung dengan baik. Model komunikasi Berlo yang terkenal yakni SMCR terdapat unsur- unsur Source, Medium, Channel dan Receiver. Berlo memasukkan berbagai elemen komunikasi seperti source, encoding, message, decoding dan receiver. Berlo memberi penekanan lebih pada komunikasi sebagai sebuah proses. Proses komunikasi melibatkan tujuh elemen. Ketujuh elemen tersebut adalah: sumber, pesan, saluran, penerima, akibat/hasil, umpan balik, dan gangguan. Dalam setiap proses komunikasi, sumber dan penerima pesan komunikasi, masing-msing

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris

  melakukan tiga (3) kegiatan atau tindakan: encoding (membentuk kode-kode pesan), decoding (memecahkan kode-kode pesan), dan interpreting (mengin-terpretasikan arti pesan). (Effendy, 1985).

  Model SMCR menurut Berlo tersebut dalam komunikasi politik dinyatakan oleh Nimmo dengan Komunikator, Pesan, Media, Khalayak dan Efek.

  Agar tercapainya komunikasi yang efektif, maka diperlukan ketepatan komunikasi (fidelity) dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam berkomunikasi (noise). Menurut Muhammad (2009), ketepatan komunikasi menunjukkan kepada kemampuan orang untuk mereproduksi atau menciptakan suatu pesan dengan tepat. Dalam komunikasi, istilah ketepatan di gunakan untuk menguraikan tingkat persesuaian di antara pesan yang di ciptakan oleh pengirim dan reproduksi penerima mengenai pesan tersebut. Atau dengan kata lain tingkat penyesuaian arti pesan yang di maksudkan oleh si pengirim dengan arti yang diinterpretasi oleh si penerima.

  Berdasarkan hal tersebut, akan dicoba membahas tentang Pola komunikasi yang diterapkan, terutama pola komunikasi pemerintah pada kegiatan pemberdayaan Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.

  • – 10 KK. Setiap kelompok terdiri dari kedua orang tua, anak anak,menantu dan cucu, gabugan beberapa kelompok menjadi satu wilayah territorial kepemimpinan adat yang dipimpin oleh seseorang yang disebut Temenggung. Kondisi daerah sebaran mereka yang terpencar sehingga sulit mendapat pemberdayaan dan perlindungan baik kepada manusianya maupun sumber daya alamnya, keterbatasan dan ketertutupan yang mengkungkung mereka sejak berabad abad yang silam meng akibatkan mereka dalam kondisi yang memperihatinkan, terpuruk dan semakin terpencil

  Penulisan makalah ini menggunakan model penekatan kualitatif, karena data dan informasi yang akan dibahas bersifat unik dan khas, yang merupakan gejala sosial dalam konteksnya dengan pemberdayaan dan komunikasi. Sedangkan, metode yang digunakan adalah metode deskriptif.

  Data sekunder dalam penulisan ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di internet.

  Bahasan diperoleh dengan mempelajari dan membandingkan literatur yang ada, yang dikombi- nasikan dengan pengalaman dan pengamatan terlibat langsung di lapangan.

  Analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini.

  III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Program Pemberdayaan Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi

  Menurut Rinaldi (2013), Jumlah populasi warga Suku Anak Dalam di wilayah Provinsi Jambi belum terdata seutuhnya, medan lokasi yang terpencil, sulit dijangkau dan kebudayaan nomaden (melangun) merupakan faktor penyebab sulitnya pendataan dilakukan. Secara umum Suku Anak Dalam mendiami kantong kantong pemukiman yang masih terisolir dan sulit dijangkau. Mereka hidup berkelompok dalam jumlah kecil antara 5 KK

II. METODE PENELITIAN

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  42 Tabel 1. Jumlah Suku Anak Dalam per Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2010

  Kabupaten/Kota Jumlah Suku Anak Dalam Laki-laki Perempuan Total

  Merangin 436 429 865 Sarolangun 534 559 1.093 Batang Hari

  39

  40

  79 Tanjung Jabung Barat

  31

  26

  57 Tebo 416 406 822 Bungo 147 142 289

  Total 1.603 1.602 3.205

  Sumber : BPS Provinsi Jambi, Berdasarkan SP 2010 dalam pengertian segala bentuk sarana dan prasarana yang tersedia. Diperkirakan sekitar 30 % Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi belum tersentuh program pembangunan. Perkiraan Jumlah Suku Anak di Provinsi Jambi adalah seperti pada Tabel 1.

  Sebenarnya, persoalan Suku Anak Dalam bukan hanya persoalan terpencil dan tidak terpencil secara fisik dan geografis tetapi terpencil dalam pengertian bagaimana mereka dapat menjangkau pelayanan sosial dasar. Suku Anak Dalam harus memperoleh pemberdayaan serta lingkungan fisik tempat tinggal mereka harus dibangun agar suatu saat kelak mereka bisa memperoleh kehidupan yang layak.

  Perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat akhir-akhir ini membuka peluang peningkatan interaksi antara masyarakat setempat dengan kelompok pendatang dari luar. Kondisi ini wajar karena pembukaan dan pemekaran sejumlah daerah baru memicu pembukaan jaringan jalan yang semakin intensif guna menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Pada akhirnya hal ini akan membuka kesempatan interaksi yang lebih besar antara masyarakat asli dengan kelompok pendatang, tetapi juga memberikan kesempatan terjadinya transfer budaya diantara kelompok masyarakat ini. Ada kekuatiran bahwa kondisi yang ada akan cenderung mengikis praktek kea- rifan tradisional.Keterisolasian yang terbuka juga mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat dan pada akhirnya berakibat terhadap pemanfaatan sumberdaya yang semakin intensif dan menjadi tidak terkendali (Pattiselano dkk., 2014)

  Kegiatan Pemberdayaan Suku Anak Dalam memiliki nilai strategis dalam mendorong percepatan otonomi daerah, bagaimanapun global- isasi merupakan fenomena yang tidak terbendung. Selain disiasati secara kritis dengan mengambil inisiatif dalam mematahkan berbagai problem yang membelenggu komunitas masyarakat adat. Untuk mencapai harapan tersebut, menurut Rinaldi (2013), maka pembinaan Suku Anak dalam hendaknya didasarkan pada beberapa pertimbangan dian- taranya adalah:

  Pertama, pemberdayaan Suku Anak dalam hendaknya didasarkan pada sistim nilai budaya yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat, hal ini dimaksudkan agar upaya pemberdayaan tersebut bisa langsung menjawab kebutuhan rill mereka. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan otonomi daerah yang menekankan

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris

  pentingnya mengakomodasi nilai nilai lokal dalam LSM internasional dan LSM dalam negeri yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan. bekerja sama dengan LSM internasional.

  Kedua, pembinaan Suku Anak dalam perlu Mengingat banyaknya aktor yang terlibat dilaksanakan secara partisipatif, mereka tidak dalam pemberdayaan suku anak dalam, maka patut lagi menjadi objek, tetapi menjadi subjek diduga akan beragam ideologi dan misi dari aktor- pembangunan. Kekuatan pemberdayaan Suku Anak aktor yang terlibat tersebut, khususnya kalau Dalam bertumpu pada masyarakat setempat, pemberdayaan tersebut bukan dilakukan oleh sementara negara lebih berperan sebagai fasilitator. pemerintah. Msyarakat harus terlibat aktif dalam seluruh proses pengambilan keputusan, sebab merekalah yang

  B. Beberapa Persoalan Komunikasi

  paling paham dengan kondisi setempat, masalah-

  Dalam Pemberdayaan Suku Anak

  masalah yang dihadapi serta solusi alternatif

  Dalam pemecahannya.

  Dari sekian banyak pemberdayaan terhadap Ketiga, Pembinaan dan pemberdayaan Suku

  Suku Anak Dalam, baik yang dilakukan oleh Anak dalam perlu lebih difokuskan pada upaya pemerintah, LSM/NGO maupun perusahaan, peningkatan kualitas pendidikan, baik jalur beberapa persoalan komunikasi bisa dikemukakan, pendidikan formal maupun informal, Pendidikan diantaranyan sangat berperan untuk membantu Suku Anak Dalam 1.

  Pendekatan komunikasi pemberdayaan yang dalam memahami persoalan hidupnya, mampu lebih bersifat top down, dimana warga Suku berpikir mandiri, kreatif menciptakan peluang usaha Anak Dalam kurang dilibatkan dalam mem- dan peka terhadap tuntutan keajuan zaman. Secara buat program-program pemberdayaan, baik kasatmata kita dapat melihat bahwa di kantong yang bersifat fisik maupun mental. Sehingga kantong pemukiman Suku Anak dalam kita melihat komunikasi yang terjadi kemudian dalam lemahnya kemampuan kritis masyarakat Suku Anak penerapan program, kurang dipahami, dan

  Dalam dan kurangnya jumlah kaum terdidik kurang menyentuh kebutuhan dasar dari warga dikalangan komunitas mereka.

  Suku Ank Dalam.

  2. Pendekatan komunikasi pemberdayaan yang Kegiatan pemberdayaan suku anak dalam lebih ke arah pendekatan fisik, dibandingkan di Provinsi Jambi sebenarnya telah banyak pendekatan dengan komunikasi pembinaan dilakukan oleh beberapa pihak. Beberapa aktor mental dan cara berpikir. Sehingga, program komunikasi yang terliibat dalam pemberdayaan pemberdayaan tidak membekas secara per- suku anak dalam adalah pemerintah, baik manen dan berkelanjutan kepada warga Suku pemerintah pusat mapun daerah, pihak perusahaan

  Anak Dalam. Hal ini karena kurangnya melalui program CSR, khususnya perusahaan- komunikasi yang menyentuh hati dan perasaan perusahaan yang berusaha di daerah atau di sekitar kepada Suku Anak Dalam untuk berubah. daerah keberadaan Suku Anak Dalam serta pihak LSM dan NGO, baik LSM lokal murni maupun

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  44 3. Pendekatan komunikasi yang masih meng- gunakan pendekatan konvensional, yakni pendekatan dengan teori komunikasi dalam kondisi normal teoritis. Hal ini menyangkut juga kepada Metode dan Media yang konvensional, misalnya mengumpulkan me- reka dalam satu ruangan, kemudian dilakukan dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan ketertarikan Suku Anak Dalam dalam berkomunikasi menjadi kurang. Disam- ping itu pesan yang disampaikan tidak dipa- hami dan dimengerti.

  4. Banyaknya masyarakat sekitar, terutama ma- syarakat pendatang yang memandang sangat rendah kepada Suku Anak Dalam, terutama terhadap budayanya. Sehingga komunikasi lintas budaya tidak terjadi secara efektif. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik dengan warga pendatang.

  5. Tidak dipahami dan tidak dihargainya nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Suku Anak Dalam oleh warga pendatang, sehingga terjadilah konflik budaya. Misalnya di kala-ngan Suku Anak Dalam sangat terlarang untuk membuang ludah di sekitar mereka, ataupun aturan mereka yang melarang menebang pohon sialang (sejenis pohon tempat berkembangnya lebah madu), dan lain-lain. Warga pendatang membawa budayanya sendiri yang tentu saja berbeda dengan budaya Suku Anak Dalam. Sehubungan dengan konteks inilah diperlukan komunikasi lintas budaya.

  Pola komunikasi yang dilakukan oleh aktor pemberdayaan, baik pemerintah, LSM/NGO dan perusahaan terhadap suku anak dalam di Provinsi

  Jambi yang merupakan bagian dari pola pemberdayaan suku anak dalam tersebut telah melahirkan beberapa efek negatif terhadap perkembangan kehidupan suku anak dalam tersebut dan terhadap masyarakat di sekitarnya. Beberapa efek negatif tersebut seperti:

  1. Tidak terbangunnya kemandirian suku anak dalam di dalam menghadapi kehidupan di masa depan. Persaingan perebutan terhadap penguasaan sumberdaya alam telah mengakibatkan ekspansi dan eksploitasi luar biasa terhadap sumber daya alam yang ada, terutama sumberdaya alam komunal. Lahan, hutan, sungai, flora dan fauna telah diekspoitasi secara besar-besaran bagi sebagian orang untuk mempertahankan hidup maupun untuk tujuan penguasaan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan masyarakat Suku Anak 2. Pola pemberdayaan telah menyebabkan Suku

  Anak Dalam menjadi bersifat materialistis. Hal ini tergambar dari seringnya Suku Anak Dalam diberikan lahan perkebunan kelapa sawit siap panen, namun tidak mampu dikelola oleh mereka. Belum sampai mereka menikmati hasil panen yang ketiga kalinya, Suku Anak Dalam menjual kebun sawit mereka kepada orang luar. Karena Suku Anak Dalam yang tadinya hidup di dalam hutan dengan segala hasil hutan yang bisa mereka makan, sedang- kan ketika mereka hidup di luar hutan mereka harus menunggu kebun sawit mereka berbuah dan panen. Serta harus merawat dan menjaga agar kebun sawit mereka menghasilkan buah yang baik. Hal ini yang membuat Suku Anak Dalam tersebut malas dan tidak mau berkebun

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris

  lagi dan menjual kebun sawit mereka dengan harga relatif murah. Hasil penjualan kebun tersebut di gunakan mereka untuk pola konsumtif yaitu membeli rokok, dan buat makan sehari- hari. Setelah uang mereka habis Suku Anak Dalam tidak memiliki mata pencaharian lagi sehingga lahan perkebunan yang tadi sudah dijual kembali dijual lagi kepada orang lain tanpa sepengetahuan pembeli pertama dan pembeli yang kedua ini juga tidak mengetahui kalau lahan perkebunan sawit yang dibeli sudah pernah dijual. Hal ini mengakibatkan konflik bagi para pembeli lahan tersebut, pembeli tersebut bersikeras bahwa mereka yang memiliki lahan perkebunan tersebut tanpa ada yang mengalah.

  3. Terjadinya konflik Konflik ini terjadi secara internal suku anak dalam, maupun yang sering terjadi adalah konflik suku anak dalam dengan masyarakat luar, yakni dengan masyarakat sekitar maupun dengan pemilik modal. Hal ini terjadi dalam spektrum yang luas. Dalam artian mencakup berbagai persoalan dan permasalahan. Tidak adanya kesadaran hukum bernegara yang memadai pada diri warga Suku Anak Dalam, karena mereka menggunakan tolok ukur budayanya sendiri, bukan hukum positif negara. Sehingga sering muncul konflik dengan warga masyarakat. Contohnya: bagi warga Suku Anak Dalam, tanaman yang ada adalah milik alam/ milik bersama, sehingga bisa diambil siapa saja. Hal ini akan menimbulkan konflik dengan warga pemilik tanaman. Contoh lain: Kebiasaan warga Suku Anak Dalam membawa senjata api rakitan kemana saja mereka pergi, termasuk berjalan di desa, sehingga menimbulkan ketakutan terhadap warga desa yang lain. Ini juga sering memicu konflik, bahkan beberapa orang sudah menjadi korban, baik warga Suku Anak Dalam maupun warga pendatang. Hal-hal tersebut diatas terjadi lebih disebabkan karena orientasi pembinaan yang masih keliru. Para aktor pemberdayaan lebih sering menekankan pada perubahan aspek psikomotorik secara instan, dengan kurang mempedulikan aspek kognitif. Sehingga pola pikir dan kesadaran Suku Anak Dalam masih tidak berubah. Hal ini sesuai dengan Teori Perilaku Terencana milik Ajzen (1991), yang dalam teori tersebut memang tidak dijelaskan seca- ra eksplisit peran pengetahuan dalam mempe- ngaruhi perilaku. Tetapi dijelaskan bahwa penge- tahuan merupakan salah satu faktor yang membentuk keyakinan (belief), dan keyakinan ini yang membentuk sikap.

  C. Strategi Komunikasi Pemberdayaan Yang Dilakukan Pemerintah

  Perubahan yang harus dilakukan dalam pembedayaan Suku Anak Dalam adalah Pola Komunikasi. Komunikasi harus lebih melibatkan orang lokal dan masyarakat setempat, dengan materi pesan yang dirancang dengan baik, sehingga akan tepat sasaran. Dalam komunikasi dikenal istilah menurut Barlo: SMCR (Source, Massage,

  Channel dan Receiver), atau menurut Nimmo

  (2009) adalah Komunikator, Pesan, Media, Khalayak dan Efek. Banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan penyampaian suatu pesan dalam komunikasi politik. komunikasi politik sebagai body of knowledge juga terdiri atas berbagai

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  46 unsur, yakni sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan efek.

  Beberapa strategi komunikasi pemerintah untuk pemberdayaan Suku anak dalam yang bisa dikemukakan adalah :

  Sumber pesan atau Komunikator. Ada dua hal yang harus diperhatikan yakni aktor yang merancang pesan dan aktor yang membawa pesan. Pemerintah mestilah mengkaji ulang stakeholder atau aktor-aktor yang terlibat dalam pola komunikasi Suku Anak Dalam. Mengingat banyaknya aktor komunikasi yang merancang pesan, maka bisa dipastikan tidak ada kesamaan dari segi pesan yang disampaikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa masing-masing aktor komunikasi memainkan perannya sendiri dengan tujuan masing- masing.

  Maka sudah saatnya pemerintah menskrinkon para aktor-aktor ini dalam satu wadah, sehingga pemberdayaan bisa lebih terintegrasi dan komprehensif. Harus diakui pula bahwa tidak bisa dipercaya sepenuhnya bahwa semua aktor komunikasi akan membawa pesan positif. Bukan tidak mungkin, sebagian aktor komunikasi membawa pesan negatif yang akan menjadi kontraproduktif dengan komunikator dari pihak pemerintah. Berkaitan dengan komunikator yang melakukan operasional di lapangan dan langsung berhadapan dengan masyarakat, mestilah diutama- kan berasal dari kelompoknya sendiri atau masyarakat setempat yang cukup lama bergaul dengan masyarakat suku anak dalam.

  Untuk masyarakat suku anak dalam yang sudah maju, pembawa pesan seharusnya adalah diambil dari kelompoknya, sedangkan untuk suku anak dalam yang belum maju, maka komunikator diambil dari masyarakat terdekat, atau dalam istilah suku anak dalam disebut Jenang. Jenang ini harus diberi fasilitas oleh pemerintah untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pemerintah.

  Materi pesan hendaklah lebih ditekankan kepada pembangunan mental, dengan isi pesan pada penekanan bahwa mereka adalah sama seperti warga negara Indonesia yang lain, yang memiliki hak yang sama, namun harus memiliki kewajiban yang sama pula. Tidak ada hak privasi yang berlebihan terhadap seseorang atau sekelompok orang di dalam negara. Setiap warga negara bisa menuntut haknya, namun bisa pula dihukum apabila tidak menjalankan kewajiban ataupun melanggar hukum negara. Konflik yang terjadi selama ini diakibatkan karena mereka tidak mengetahui hukum negara.

  Saluran yang digunakan tentunya adalah saluran yang dekat dengan kehidupan suku anak dalam. Inilah letak kepentingan komunikator yang berasal dari kelompoknya dan atau orang yang dengan kelompoknya, sehingga bisa melihat saluran pesan dengan baik.

  Penerima atau khalayak sasaran mestilah diperluas. Kalau selama ini sasaran komunikasi lebih banyak kepada ketua suku (tumenggung), maka perlu diperluas dengan melibatkan semua komponen dalam kelompok suku anak dalam tersebut. Intensitas komunikasi tidak bersifat sporadik, namun harus bersifat reguler dan dengan intensitas yang tinggi. Bagaimana memukimkan mereka adalah merupakan tantangan untuk memperluas jangkauan khalayak komunikasi yang bisa menerima pesan.

  Mengkaji Ulang Pola Komunikasi Pemerintah… Nahri Idris

  Nigeria. Environmental Research Journal, D.

KESIMPULAN DAN SARAN 6(3):239-245.

A. Kesimpulan Ajzen, I., 1991. The Theory of Planned Behavior.

  Pemerintah sudah berupaya melakukan Organizational Behavior and Human pemberdayaan terhadap suku anak dalam bersama- Decision Processes. 50:179-211. sama dengan stakeholder terkait seperti LSM/NGO

  Akhtar, H. dan H.P. Soetjipto. 2014. Peran Sikap dan perusahaan. dalam Memediasi Pengaruh Pengetahuan

  Pemberdayaan yang dilakukan masih kurang Terhadap Perilaku Minimisasi Sampah pada menunjukkan tingkat keberhasilan seperti yang Masyarakat Terban, Yogyakarta. Jurnal diharapkan. Salah satu penyebabnya karena pola Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.3, komunikasi yang masih perlu diperbaiki. Pola November 2014: 386-392 pemberdayaan selama ini menimbulkan dampak-

  Azwar, S. 2011. Sikap Manusia: Teori dan dampak negatif terhadap suku anak dalam itu Pengukurannya Edisi ke-2. Pustaka Pelajar sendiri. Yogyakarta

  Chambers, R. 1987. Sustainable Livelihoods, B.

   Saran

  Environment and Development: Putting Poor 1. Perubahan pola komunikasi harus dilakukan Rural People First. IDS Discussion Paper. dengan lebih menekankan aspek kognitif agar IDS. Brighton. perubahan lebih cepat tercapai Dalam hal ini

  Effendy, O.I. 1985. Ilmu Komunikasi Teori dan perubahan merujuk kepada Komunikator, praktek. Bandung: CV. Remaja Karya. Pesan, Media, dan Khalayak.

  Giyarsih, SR. 2014. Pengentasan Kemiskinan yang 2. Agar komunikasi lintas budaya yang terjadi

  Komprehensif di Bagian Wilayah Terluar bisa lebih berjalan baik dan efekif, diperlukan Indonesia- Kasus Kabupaten Nunukan suatu public sphere bagi komunitas masyarakat Provinsi Kalimantan Utara. Jurnal Manusia setempat dan Lingkungan, Vol. 21, No.2, Juli 2014: 239-246.

  Kaiser, F.G., Wolfing, S., dan Fuhrer, U., 1999.

UCAPAN TERIMA KASIH

  Environmental Attitude and Ecological Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang Behaviour. J. Environ. Psychology. 19:1-19. tidak bisa disebutkan satu persatu atas selesainya

  Koespramoedyo, D dkk. 2004. Kajian penelitian ini.

  Perbandingan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program

DAFTAR PUSTAKA

  Pengembangan Wilayah Terpadu. Direktorat Abdullahi, M.B., dan Abdulhameed, A., 2012. An

  Pengembangan Kawasan Khusus dan Overview of Local People’s Livelihood and Tertinggal BAPPENAS.

  Biodiversity Conservation in Maladumba Nimmo, D. 1989. Komunikasi Politik.

  Lake and Forest Reserve (MLFR) Bauchi, Komunikator, Pesan dan Media. Jalaludin

  Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 21 No.1 Juni 2017: 37-48

  Rahmat (Penyunting). Bandung (ID): PT. Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Remaja Rosdakarya. Praktek Kehutanan Indonesia. Forci Nimmo, D. 2000. Komunikasi Politik. Khalayak Development, Bogor. dan Efek. Jalaludin Rahmat (Penyunting). Uphoff, N., 1986. Local Institutional Development: Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya. Analytical Sourcebook with Cases. Kumarian Ostrom, E., 1990. Governing the Common: The Press, New York.

  Evolution of Institution for Collective Action. Vallino, E., 2014. The Tragedy of The Park: An Cambridge University Press, New York Agent-Based Model of Endogenous and

  Pattiselanno, F., 2008. Man-wildlife Interaction: Exogenous Institutions for Forest Understanding the Concept of Conservation Management. Ecology and Society, 19(1):35- Ethics in Papua. Tigerpaper, 35(4):10-12.

  54. Pattiselano, F, J. Manusawai, AYS Arobaya dan H. Manusawai. 2015. Pengelolaan dan Konservasi Satwa Berbasis Kearifan Tradisional di Papua. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. 22, No.1, Maret 2015: 106- 112

  Rinaldi, A. 2013. Upaya Pembinaan dan Pemberdayaan Suku Anak Dalam Jambi.

  Internet. Diakses 04-12-2016. Tersedia pada: http://kerincitime.co.id/upaya-pembinaan- dan-pemberdayaan-suku-anak-dalam- jambi.html

  Salosa, SD, SA Awang, P. Suryanto dan RH Purwanto. 2014. Hutan dalam Kehiduan Masyarakat Hatam di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arpak. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.3, November 2014: 349-355

  Safitri, M.A., 2013. Keniscayaan Trans- disiplinaritas dalam Studi Sosio-Legal terhadap Hutan Hukum dan Masyarakat, dlam: Kartodihardjo H, (ed), Kembali ke

  48

Dokumen yang terkait

KERAGAMAN GENETIK TETUA DAN ANAKAN DARI KEBUN BENIH SEMAI Acacia mangium GRUP D (AM004) DI SUMATERA SELATAN, INDONESIA (Genetic Diversity of the Parental and Offspring of Acacia mangium Seedling of Seed Orchard Group D (AM004) in South Sumatera, Indonesia

0 0 10

RESPON HIDROLOGI AKIBAT PENERAPAN POLA AGROFORESTRI PADA PENGGUNAAN LAHAN YANG TIDAK SESUAI KESESUAIAN LAHAN (STUDI KASUS DI DAS CIMUNTUR) (Hydrological Responses of Agroforestry System Application which is Not Based on Land Suitability, A Case Study in C

0 1 13

Analisis Sentimen Sosial Media Twitter Dengan Algoritma Machine Learning Menggunakan Software R

0 2 5

PENGARUH WAKTU PENCUCIAN TERHADAP SIFAT MEKANIS PRODUK LATEKS KARET ALAM RENDAH PROTEIN

0 0 6

Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan di Pusat Kota Kupang The Analysis Of Compatibility For A Local Vegetation In Green Open Space On The Main Road At The Center Of Kupang City

0 0 10

A Method for Assessing Household Vulnerability to Flood at Regencial (Kabupaten) Level in Indonesia

0 0 6

A Study on The Independence of Malang Waste Bank (BSM) Based on Swot Analysis

0 0 8

PENGARUH CITRA MEREK, KUALITAS PRODUK DAN STRATEGI PROMOSI TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK AMDK JAVA (Studi Kasus Pada Konsumen Mahasiswa STIE AMA, IAIN dan UKSW Salatiga) Oleh : Yen Yen Silfiani Alumni STIE AMA Salatiga Hardi Utomo Dosen Tetap STIE A

0 4 18

Birds as Landscape Elements in Urban Parks: A Comparative Study on the Perception between Indonesian and Japanese People

0 0 10

R EVIEWING OFG OVERNMENT CO MMUNICATIONP ATTERN INE MPOWERINGS UKU A NAK D ALAM INJ

0 0 12