Artikel ini mengenai hotel bermerek Ritz
Artikel ini mengenai hotel bermerek RitzCarlton Hotels, untuk kegunaan
lain, lihat Ritz (disambiguasi)
The RitzCarlton, Washington, D.C.
RitzCarlton adalah sebuah merek hotel dan resor mewah dengan 70
properti yang terletak di kotakota besar dan tempat resor eksklusif di 23
negara di seluruh dunia[1]. Merek The RitzCarlton dikelola oleh Ritz
Carlton Hotel Company LLC, sebuah anak perusahaan dari Marriott
International. RitzCarlton Hotel Company saat ini memiliki 32.000
karyawan. Kantor pusat The RitzCarlton terletak di Chevy Chase,
Maryland, sebuah permukiman di perbatasan Washington, D.C..
Daftar isi [sembunyikan]
Se
jar 2
ah
Ho
Fa
tel
lsa
ter
fa 2. tin 2.
h 1
ggi 2
Ho
di
tel
du
nia
Pranala luar
Pe
ng
ha 2.
rg 3
aa
n
Pe
ng
eb
o
3
m
an
20
09
Pr
op
ert
i
4
ter
ke
nal
Ca
tat
an 5
ka
ki
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Hotel RitzCarlton pertama dibangun di Boston pada tahun 1927
(bangunan aslinya telah dijual pada Taj Hotels Resorts and Palaces).
The RitzCarlton New York terletak di Fortysixth and Madison Avenue.
Sejak 1910 Louis Diat menjalankan dapurnya dan "vichyssoise
temuannya yang terkenal".[2] Zack Karleskint membuka semua hotel ini
setiap tahun. The RitzCarlton Hotel Montreal di Sherbrooke Street
dibangun tahun 1912, tetapi secara resmi, bukanlah bagian dari jaringan
hotel RitzCarlton.
Naples, Florida adalah satusatunya kota dengan dua hotel RitzCarlton
di jalan yang sama.
RitzCarlton menawarkan penghunian di sekitar Amerika Serikat
dibawah nama RitzCarlton Club. Propertinya meliputi Aspen Highlands
dan Bachelor Gulch di Colorado, St. Thomas di Kepulauan Virgin AS,
San Francisco, CA dan Jupiter, FL.
Logo The RitzCarlton pada propertinya di Hong Kong
Falsafah Hotel[sunting | sunting sumber]
1. The RitzCarlton adalah tempat di mana pelayanan dan kenyamanan
tamu menjadi misi utama kami.
2. Kami bertekad untuk memberikan layanan pribadi dan fasilitas terbaik
bagi para tamu, sehingga mereka akan selalu menikmati suasana yang
hangat, santai namun penuh perhatian.
3. Pengalaman bersama The RitzCarlton memberikan rasa nyaman,
tenang serta memenuhi kebutuhan dan keinginan para tamu, bahkan
yang belum terungkapkan sekalipun.
Hotel tertinggi di dunia[sunting | sunting sumber]
RitzCarlton akan menempati 15 tingkat teratas di International
Commerce Centre di Kowloon, Hong Kong. Lobi hotel berada di
ketinggian 425 meter (1.394,9 kaki) di atas daratan, menjadi hotel
tertinggi di dunia bila selesai, mengalahkan hotel Park Hyatt di Shanghai
World Financial Center di Shanghai, Cina.
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
The RitzCarlton muncul dalam daftar terbaik Zagat Survey untuk
makanan, hotel dan pelayanan. Hotel di Dallas, TX dan Wolfsburg,
Jerman menerima penghargaan tertinggi dari Zagat tahun 2009,
termasuk Hotel Besar Terbaik di Dallas.[3]
Pengeboman 2009[sunting | sunting sumber]
Jumat, 17 Juli 2009, pukul 07:47 WIB, sebuah bom meledak di The Ritz
Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Indonesia yang menghancurkan
tingkat pertama hotel. Ledakan ini terjadi 2 menit setelah ledakan di J.W.
Marriott di dekatnya. Hotel ini rencananya akan menampung klub sepak
bola Manchester United dalam kunjungannya ke Indonesia sebagai
bagian dari Asia Tour mereka, tetapi kunjungan tersebut dibatalkan
karena pengeboman ini.[4] Sembilan orang termasuk dua pengebom
bunuh diri tewas.[5]
BIOGRAFI
Ritz-Carlton adalah sebuah jaringan hotel dan resort internasional. Sejarah The RitzCarlton Hotel Company, LLC berawal dari The Ritz-Carlton, Boston. Standar layanan
berupa makanan dan fasilitas dari Boston berfungsi sebagai patokan untuk hotel dan
resort Ritz-Carlton di seluruh dunia. Sebab hotel tersebut adalah hotel Ritz-Carlton
yang pertama dibangun pada 1927.
Hotel ini merevolusi perhotelan di Amerika dengan menciptakan kemewahan dan
pengaturan yakni : kamar mandi pribadi di setiap kamar, kain putih untuk membasuh
tangan para tamu, seragam khusus untuk tiap job desk karyawan hotel,
menyediakan pilihan makanan untuk pengunjung, ruang yang lebih personal untuk
makan malam.
Hotel dan resor bintang lima yang menyediakan kemewahan bagi para tamu ini telah
menerima penghargaan utama industri perhotelan. Ritz-Carlton adalah pertama dan
satu-satunya perusahaan hotel yang dua kali mendapat penghargaan Malcolm
Baldrige National Quality Award dari the United States Department of Commerce.
Ritz-Carlton memegang teguh motto "We are Ladies and Gentlemen serving Ladies
and Gentlemen". Motto ini mencontohkan layanan antisipatif yang disediakan oleh
semua anggota staf.
Last update 20 Agustus 2013 pukul 15:13
Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic
BUDAYA ORGANISASI HOTEL THE RITZ-CARLTON
A. Budaya yang Tumbuh dan Berkembang di Hotel Ritz-Carlton
Ritz-Carlton merupakan salah satu merek hotel dan resor mewah dengan 84 properti
yang terletak di kota-kota besar dan tempat resor eksklusif di 26 negara di seluruh dunia. The
Ritz-Carlton mulai dikelola pada tahun 1898 oleh Ritz-Carlton Hotel Company LLC, sebuah
anak perusahaan dari Marriott International. Ritz-Carlton Hotel Company saat ini memiliki
32.000 karyawan. Kantor pusat The Ritz-Carlton terletak di Chevy Chase, Maryland, sebuah
pemukiman di perbatasan Washington, D.C. Kejayaan Ritz-Carlton dimulai dari seorang
pengusaha terkenal, Cesaer Ritz, yang disebut sebagai raja perhotelan. Ia melakukan revolusi
dalam perhotelan dengan mengubah struktur sistem organisasi dan memberikan kemewahan
kepada setiap pengunjung. Tujuan hotel ini yaitu menyajikan produk dan service yang
berbeda dibandingkan perusahan lain di industri yang sejenis.
Ritz-Carlton hotel mencoba untuk tidak hanya menjual kamar hotel, makanan
restaurant dan bar saja, tetapi berkomitmen untuk menjual personalized servicedimana
pelanggan dapat merasakan sasuatu hal yang berbeda dibandingkan standar pelayanan yang
diberikan oleh hotel lainnya. Jaringan hotel Ritz-Carlton selalu memberikan kepada tamunya
pelayanan spesial yang berbeda di tiap negara seperti sambutan dan jamuan dengan piano
concertos, dan kamar hotel lengkap dengan armoire, tempat tidur, dan televisi, kamar mandi
dalam, adanya dress code untuk para pelayan, bunga-bunga yang diletakkan di setiap sudut
ruangan, penyajian makanan siap saji yang bisa dipilih oleh setiap pengunjung, serta suguhan
permainan musik yang memberikan dan menjaga privasi kepada para pengunjung. Hal
tersebut
dilakukan untuk
memberikan “personalized
touch”, Ritz
juga
selalu
menyesuaikantiap cabang hotelnya dengan kondisi setempat. Hal ini melingkupi, lokasi pintu
masuk dan keluar untuk tamu penting, penyesuaian menu dan delivery service, serta interior
yang bernuansa lokal.
Sesuai motto The Ritz-Carlton, “We are Ladies and Gentlemen serving Ladies and
Gentlemen” bahwa dalam pelayananya sebuah kemewahan yang tersaji untukpara
pengunjung dengan perawatan dan kenyamanan tamu merupakan tugas utama
mereka. Tiga langkah terpenting dalam melayani adalah menyapa para tamu dengan hangat
dan tulus dengan menggunakan nama mereka, siap selalu dalam mengantisipasi dan
memenuhi kebutuhan para tamu, perpisahan dengan senyuman dan selalu menggunakan
nama tamu sehingga dalam pelayanannya ada ikatan erat antar pengunjung dan pelayan.
Pada awal tahun 1990, pada saat Patrick Mene menjabat sebagai chief quality
officer, tantangan terberat yang dihadapi olehnya adalah dalam hal pengelolaan sumber daya
manusia yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Menurut Patrick Mene, untuk
menciptakan sumber daya manusia yang handal diperlukanya pengembangan proses dan
sistem yang ada. Selain itu penerapan konsep Total Quality Management(TQM) di dalam
struktur organisasi dan program pemenuhan kebutuhan spesifik pelanggan terus
dikembangkan.
Sumber daya manusia merupakan hal penting untuk organisasi di manajemen Ritz
Carlton. Dengan sumber daya manusia yang handal, akan didapatkan suatu bisnis yang
sukses. Tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut, Ritz Carlton tidak hanya melihat status
karyawan sebagai tenaga kerja saja, tetapi juga harus melihat dari sisi sumbangsih pikiran,
empati dan perasaan yang diberikan oleh karyawan kepada perusahaan. Dikarenakan Ritz
Carlton sangat memikirkan kesejahteraan karyawan, tidak heran turnover karyawan hanya
sekitar 20% dimana presentase ini jauh dibandingkan dengan rata-rata tuernover hotel baru di
perusahan lain.
Menurut Inghilleri, vice president of Human Resource, Ritz Carlton sangat
menghargai karyawan yang bekerja sehingga dapat meningkatkan dedikasi dan komitmen
kepada perusahaan. “Day 21” merupakan sebuah pelatihan pada saat karyawan yang baru
masuk, dimana pelatihan ini meneliti sejauh mana seorang karyawan dapat memberikan
komitmen yang tinggi kepada perusahaan. Tentu saja seorang karyawan berhak mendapatkan
jenjang karir yang lebih apabila dapat menyelaraskan tujuan pribadi dalam bekerja dengan
tujuan perusahaan. Seorang karyawan juga dimungkinkan untuk mendapatkan posisi dan
tanggung jawab yang lebih tinggi. Penilaian performa karyawan tidak hanya
diatur dari Service Quality Indicator, tetapi juga oleh karyawan itu sendiri dengan cara
pemilihan jenis pekerjaan yang berbeda-beda.
Pada tahun 1990 pula mulai diterapkan standar proses perubahan dan penyempurnaan
dari pembukaan hotel baru yang disebut The seven Day Countdown. Dalam dua hari pertama
dilakukan pengenalan mengenai nilai dan budaya perusahaan kepada karyawan. Lima hari
selanjutnya didiberikan pelatihan menyangkut keterampilan khusus dan cara-cara
memberikan service kepada pelanggan secara nyata.
Untuk memperkenalkan dan memfokuskan karyawan pada value perusahaan
diterapkanlah The Gold Standar yang terdiri dari Three steps of Service, The Motto, The
Employee Promises and The Credo. Untuk menyempurnakan konsep tersebut, Schulze
mencoba untuk mengajarkan suatu konsep yang baru dimana Ritz Carlton bukan sekedar
menjual kamar hotel saja tetapi lebih menitikberatkan pada customer service
excellence. Dengan konsep The Seven Day Countdown yang sudah berjalan selama ini harus
dipertimbangkan apakah strategi ini cukup relevan diterapkan lagi pada pembukaan hotel
baru apabila adanya kenaikan standar service pada suatu karyawan, mengingat semakin
kompleksnya pelatihan yang harus diberikan.
Menurut analisis kelompok kami, Hotel Ritz-Carlton memiliki budaya khas yang
telah melekat sejak lama. Hotel ini memiliki tujuan yang jelas dalam melayani pelanggannya,
karena pelayanan terhadap para tamu merupakan satu hal yang sangat diperhatikan di RitzCarlton.
Terdapat keterkaitan antara budaya Ritz-Carlton dengan teori dimensi budaya
organisasi. Diantara dimensi yang paling menonjol adalah; (1) Perhatian pada detail : RitzCarlton sangat memperhatikan detail, seperti telah dijelaskan bahwa di hotel ini, para
karyawan dituntut untuk melayani dengan sepenuh hati, seperti adanya sebutan “We are
Ladies and Gentlemen serving Ladies and Gentlemen” yang berarti “kami para wanita dan
laki-laki terhormat yang melayani wanita dan laki-laki terhormat pula”. Detail selanjutnya
ditunjukkan dengan cara menyapa para tamu dengan hangat dan tulus dengan menggunakan
nama mereka, sehingga terbentuk ikatan erat antara pengunjung dan pelayan; (2) Orientasi
Hasil : Ritz-Carlton sangat menekankan pencapaian tujuan organisasi yang terdiri dari nilai
atau value yang ingin dibentuk, value tersebut adalah The Gold Standard yang terdiri Three
steps of Service, The Motto, The Employee Promises and The Credo. Dalam pencapaian nilai
tersebut tentu Ritz-Carlton sangat memperhatikan proses, seperti adanya pelatihan untuk para
karyawan, pelatihan yang disebut dengan “Day 21” dan “The seven Day Countdown”; (3)
Orientasi Manusia : Ritz-Carlton juga membuka diri untuk menerima masukan dari para
karyawannya, hal ini dapat terlihat dari adanya sumbangsih pikiran empati dan perasaan yang
diberikan dari para karyawan dalam melihat perkembangan budaya Ritz-Carlton; (4)
Orientasi Tim : Ritz-Carlton merupakan salah satu organisasi yang mengutamakan orientasi
tim daripada agresivitas. Karena dalam hal pelayanan yang diberikan terhadap pelanggan,
biasanya tidak hanya dilayani oleh satu karyawan saja, tetapi saling berhubungan satu sama
lain. Sehingga jelas, dalam persaingan antar karyawan sangat minim dan lebih
mengutamakan kerja sama; (5) Inovasi dan pengambilan risiko : Ritz-Carlton telah berani
mengubah budaya dalam hal pelayanan, budaya yang semula menjadi kaku kini lebih natural.
Itulah teori dimensi budaya organisasi yang diterapkan oleh Ritz-Carlton.
B. Cara Ritz-Carlton Mengubah Budaya tanpa Mengubah Tujuan Awal Organisasi
Seiring berkembangnya jaman, semakin banyak hotel yang memberikan pelayanan
yang eksklusif terhadap pelanggannya. Untuk dapat bertahan dan mengembangkan budaya
yang sejak lama diterapkan di hotel ini, diperlukan pembaharuan untuk menyesuaikan dengan
kondisi pesaing yang terus meningkat. Kekuatan budaya organisasi yang terbentuk selama
ini terlihat dari berbagai penghargaan yang telah diterima, diantaranya penghargaan Malcolm
Baldrige National Quality Awards di tahun 1992 yang merupakan sebuah penghargaan
prestisius dalam bidang manajemen kualitas. Dalam satu dekade berikutnya, The Ritz-Carlton
berhasil memperoleh penghargaan dalam bidang quality awards sebanyak 121 kali.
Keberhasilannya ini bermula dari disiplin penerapan key performance indicator untuk
mengukur kinerja setiap unit kerja dalam perusahaannya.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya organisasi demi prestasi yang
telah dicapai. Ritz-Carlton cukup cermat menanggapinya, pada tahun 1992
dimulailah serangkaian aktifitas untuk menemukan indikator keberhasilan bisnis The Ritz.
The Ritz-Carlton Hotel kemudian melakukan focus group kepada para pelanggan internal dan
eksternal, karyawannya sendiri, dengan bantuan tenaga ahli untuk menginterpretasikan apa
yang sesungguhnya diinginkan pelanggan, Ritz membangun seperangkat indikator
keberhasilan pekerjaan. Lima puluh persen dari indikator tersebut adalah ukuran standar
finansial dan pemasaran. Lima puluh persen lainnya berhubungan dengan kualitas operasi,
kualitas karyawan dan kualitas kepuasan pelanggan.
Ritz-Carlton mulai menyadari tingginya tingkat persaingan dalam jasa
perhotelan, maka dari itu dibutuhkan keunggulan-keunggulan yang khas dan yang
membedakan dari perusahaan hotel lainnya. Dengan menyadari sejumlah orang dengan latar
belakang, kepribadian, emosi, dan ego yang beragam. Maka dibutuhkan budaya baru untuk
lebih menyesuaikan dengan keadaan para pesaing
Ritz-Carlton memiliki budaya yang kuat. Budaya yang kuat memang memiliki
keunggulan dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Namun, budaya organisasi yang kuat juga
memiliki kelemahan. Budaya organisasi yang kuat cenderung menghambat para karyawan
untuk berani mencoba cara-cara baru yang terutama dibutuhkan dalam menghadapi situasi
yang berubah cepat. Hal tersebut terilihat pada perubahan budaya dalam pelayanan pelanggan
di Hotel Ritz-Carlton pada pertengahan tahun 2006. Salah seorang eksekutif perusahaan
tersebut mengatakan “senyuman harus muncul secara alami”, karena pada awalnya cara-cara
lama para karyawan terkesan kaku terhadapa nilai-nilai yang ditanamkan dalam melayani
para pelanggan.
Untuk mengatasi hal tersebut dibuatlah pendekatan baru dalam melayani pelanggan,
dimana para karyawan mencari cara sendiri untuk membuat senang pelanggan. Budaya yang
kuat inilah yang kemudian dicoba untuk diubah. Meskipun cara-cara lama telah ditinggalkan
dan menerapkan pendekatan baru, hasil atau tujuan yang dimaksud tidak berubah
Setelah perubahan budaya tersebut, para karyawan yang pada awalnya terkesan kaku
dan seolah-olah mengulangi kata-kata yang ada didalam buku manual, sekarang lebih terlihat
alami, santai dan otentik. Kesan kaku dan lainnya yang ada pada cara lama itulah merupakan
kelemahan dari budaya organisasi yang kuat. Dalam hal ini, perusahaan melakukan
perubahan budaya organisasi agar tetap bertahan sebagai pelayanan terbaik. Para karyawan
diberi kebebasan untuk mecari dan menggunakan cara apa saja, tetapi dengan satu tujuan
yaitu bagaimana membuat pelanggan senang.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebuah perusahaan yang dinamis harus mengikuti
perkembangan untuk membuat perusahaannya mampu bertahan dan bersaing dengan
perusahaan lain. Dengan menciptakan budaya inofatif dan kreatif yang dibutuhkan adalah
adanya keterlibatan, komunikasi, kreativitas dari berbagai pihak.
Perusahaan yang sukses merupakan perusahaan yang mampu memunculkan inovasiinovasi terbaru. Untuk sebagian perusahaan budaya lama mungkin dianggap sebagai ciri dari
perusahaan tersebut, namun ada baiknya budaya lama diubah atau diperbaiki dengan
mengadopsi budaya baru yang tidak kalah lebih bagus dari budaya sebelumnya. Akan tetapi
terdapat beberapa tantangan yang dialami perusahaan dalam mengubah budaya lama. Inilah
yang kemudian menjadi tantangan bagi Ritz-Carlton dalam mengubah budaya lamanya.
Menurut peneliti manajemen, Goran Ekvall budaya inovatif memiliki ciri dan
tantangan sebagai berikut :
1. Tantangan dan keterlibatan : Apakah para karyawan terlibat, termotivasi dan berkomitmen
pada sasaran atau tujuan jangka-panjang serta kesuksesan perusahaan?
2. Kebebasan : Dapatkah para karyawan mendefinisikan pekerjaannya sendiri secara
independen, berpendapat secara bebas dan mengambil inisiatif dalam berbagai aktivitas kerja
mereka?
3. Kepercayaan dan keterbukaan : Apakah para karyawan memperlihatkan sikap saling
mendukung dan menghormati terhadap satu sama lain ?
4. Waktu bagi gagasan : Apakah para karyawan diberi cukup waktu untuk menggali lebih
jauh ide-ide sebelum diharuskan mengambil tindakan ?
5. Keceriaan atau humor : apakah tempat kerja organisasi bersifat ceria dan menyenangkan ?
6. Penyelesaian Konflik : Apakah dalam pengambilan berbagai keputusan dan penyelesaian
berbagai masalah para individu lebih mendahulukan organisasi atau pribadi ?
7. Silang Pendapat : Apakah para karyawan diperbolehkan untuk mengutarakan pendapat
pribadinya dan mengusulkan gagasan untuk ditinjau serta dipertimbangkan ?
8. Pengambilan Risiko : Apakah para manajer memberikan toleransi terhadap ketidakpastian
dan kerancuan serta apakah para karyawan dihargai atas keberaniannya mengambil risiko ?
Dengan adanya tantangan-tantangan tersebut maka Ritz-Carlton harus
mempertahankan budaya barunya agar tetap hidup. Sebuah budaya dalam Ritz Carlton
dipertahankan hidup oleh para anggota organisasi melalui berbagai cara. Cara pertama
dengan kriteria seleksi karyawan. Proses seleksi karyawan biasanya tidak hanya berdasarkan
kemampuan, tetapi juga dengan melihat apakah kandidat calon karyawan mampu berbaur
dengan baik dalam oraganisasi atau perusahaan tersebut. Pada saat seleksi pula kandidat
memperoleh informasi bagaimana kehidupan di dalam organisasi tersebut dan memutuskan
apakah dia merasa nyaman dengan apa yang didengar atau diketahuinya. Ritz-Carlton harus
selektif dalam menerima karyawan baru, karena tidak semua kandidat dapat beradaptasi
dengan budaya yang ada di Ritz-Carlton.
Cara kedua adalah tindakan jajaran manajemen puncak atau keputusan menejer
yang membawa dampak besar terhadap budaya sebuah organisasi. Pentingnyamengubah
budaya dengan selalu “melihat ke dalam” dan menjadikannya berorientasi pada pelanggan,
bila ingin bertahan dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan. Ritz-Carlton harus
cermat dalam melihat perkembangan yang ada di lingkungan eksternal, dengan tidak
melupakan perkembangan yang ada dalam organisasi tersebut. Hal ini berarti harus ada
kontrol terhadap lingkungan internal dan eksternal.
Cara ketiga dalam mempertahanka budaya baru adalah dengan proses
sosialisasi. Yaitu sebuah proses yang membantu para karyawan memahami cara-cara
organisasi menjalankan berbagai pekerjaan. Salah satu manfaat dari sosialisasi ini adalah
membantu karyawan memahami budaya organisasi dan menjadi lebih antusias serta
berpengetahuan dalam melayani pelanggan. Manfaat lain dari sosialisasi yaitu meminimalkan
peluang terjadi keguncangan pada tatanan prilaku dan kebiasaan dalam organisasi, akibat
masuknya karyawan yang kurang paham akan budaya organisasi.
Selain itu budaya organisasi dapat ditanamkan kepada karyawan melalui :
1. cerita-cerita : Dalam organisasi biasanya terdapat kenangan atau berbagai kejadian atau
orang-orang penting, termasuk hal-hal seperti pendirian kisah organisasi, pelanggaran atas
peraturan yang parah, renungan mengenai kesalahan-kesalahan di masa silam. Kisah ini bisa
menjadikan cerminan untuk para karyawan dalam membangkitkan gairah untuk mencapai
tujuan organisasi. Kisah-kisah perolehan penghargaan bagi hotel ini dapat memotivasi para
karyawan untuk terus memperbaiki kinerjanya.
2. Acara Simbolis (ritual) : Ritual merupakan kegiatan rutin yang bersifat sakral maupun
menjadi ciri khas dari sebuah organisasi. Biasanya ritual dilakukan untuk menumbuhkan
semangat dalam bekerja. Ritz-Carlton harus tetap mempertahankan waktu 15 menit pada pagi
hari untuk menumbuhkan semangat dan mengingatkan para karyawan terhadap tujuan awal
organisasi tersebut, yaitu melayani para pelanggan dengan baik.
3. Simbol-simbol kebendaan : Simbol-simbol kebendaan menyampaikan pesan kepada
karyawan tentang siapa yang dianggap penting dan perilaku apa yang dianggap patut di
dalam organisasi.
4. Bahasa : Bahasa ialah cara sebuah organisasi menggunakan bahasa untuk menyatukan para
anggotanya dalam sebuah budaya.
Dengan memperhatikan tantangan dan tata cara yang harus dilakukan dalam
mempertahankan organisasi. Maka Ritz-Carlton dapat berkembang dan terus bersaing dengan
hotel-hotel mewah lainnya. Berbagai penghargaan yang diterima oleh Ritz-Carlton dapat
menjadi motivasi untuk setiap karyawan dalam melayani para tamu. Ritz-Carlton cukup
cermat dalam memperhatikan lingkungan, itulah sebabnya hotel tersebut dengan percaya diri
mengambil inovasi baru dalam budaya organisasinya, dari konsep kaku menjadi lebih
natural. Ritz-Carlton telah sukses dalam menerapkan dan mengembangkan budaya organisasi
yang ada pada setiap para pekerja, sehingga menciptakan ciri khasnya sendiri yang
menjadikan bahwa ketika menginap di cabang hotelnya di seluruh dunia, pelanggan akan
sangat terpuaskan oleh kualitas pelayanan yang diberikan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan adanya budaya organisasi yang diciptakan The Ritz-Carlton, mereka dapat
menyajikan standar kualitas dari pelayanan yang diberikan berbeda dari hotel mewah lainnya.
The Ritz-Carlton menciptakan budaya pelayanan maksimal yang sangat menghargai para
tamunya tanpa mengurangi rasa menghargai pada setiap pekerjanya. Hotel ini membuat
budaya bahwa tujuan utama pada pelayanannya adalah kepuasan pelanggan dan pelayanan
yang tulus.
Walaupun budaya pada The Ritz-Carlton berubah dari kaku menuju lebih natural, hal
ini tidak menghilangkan proses “pelayanan jempolan” yang disuguhkan. Dengan berbagai
tantangan yang dihadapi, The Ritz-Carlton harus bisa mempertahankan budaya baru dengan
memperhatikan proses seleksi karyawan, keputusan manajer puncak dan sosialisasi antar
karyawan. Dengan demikian, Ritz-Carlton bisa mempertahankan prestasi yang selama ini
telah diraihnya.
B.
Saran
Organisasi lain perlu mencontoh dan menerapkan budaya organisasi dengan
memperhatikan pelayanan kepada para pelanggan. Selain itu organisasi harus membuka diri
terhadap perubahan positif yang diterima dari lingkungan internal maupun eksternal.
Sehingga organisasi tersebut mampu bersaing dengan organisasi lain dan dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
lain, lihat Ritz (disambiguasi)
The RitzCarlton, Washington, D.C.
RitzCarlton adalah sebuah merek hotel dan resor mewah dengan 70
properti yang terletak di kotakota besar dan tempat resor eksklusif di 23
negara di seluruh dunia[1]. Merek The RitzCarlton dikelola oleh Ritz
Carlton Hotel Company LLC, sebuah anak perusahaan dari Marriott
International. RitzCarlton Hotel Company saat ini memiliki 32.000
karyawan. Kantor pusat The RitzCarlton terletak di Chevy Chase,
Maryland, sebuah permukiman di perbatasan Washington, D.C..
Daftar isi [sembunyikan]
Se
jar 2
ah
Ho
Fa
tel
lsa
ter
fa 2. tin 2.
h 1
ggi 2
Ho
di
tel
du
nia
Pranala luar
Pe
ng
ha 2.
rg 3
aa
n
Pe
ng
eb
o
3
m
an
20
09
Pr
op
ert
i
4
ter
ke
nal
Ca
tat
an 5
ka
ki
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Hotel RitzCarlton pertama dibangun di Boston pada tahun 1927
(bangunan aslinya telah dijual pada Taj Hotels Resorts and Palaces).
The RitzCarlton New York terletak di Fortysixth and Madison Avenue.
Sejak 1910 Louis Diat menjalankan dapurnya dan "vichyssoise
temuannya yang terkenal".[2] Zack Karleskint membuka semua hotel ini
setiap tahun. The RitzCarlton Hotel Montreal di Sherbrooke Street
dibangun tahun 1912, tetapi secara resmi, bukanlah bagian dari jaringan
hotel RitzCarlton.
Naples, Florida adalah satusatunya kota dengan dua hotel RitzCarlton
di jalan yang sama.
RitzCarlton menawarkan penghunian di sekitar Amerika Serikat
dibawah nama RitzCarlton Club. Propertinya meliputi Aspen Highlands
dan Bachelor Gulch di Colorado, St. Thomas di Kepulauan Virgin AS,
San Francisco, CA dan Jupiter, FL.
Logo The RitzCarlton pada propertinya di Hong Kong
Falsafah Hotel[sunting | sunting sumber]
1. The RitzCarlton adalah tempat di mana pelayanan dan kenyamanan
tamu menjadi misi utama kami.
2. Kami bertekad untuk memberikan layanan pribadi dan fasilitas terbaik
bagi para tamu, sehingga mereka akan selalu menikmati suasana yang
hangat, santai namun penuh perhatian.
3. Pengalaman bersama The RitzCarlton memberikan rasa nyaman,
tenang serta memenuhi kebutuhan dan keinginan para tamu, bahkan
yang belum terungkapkan sekalipun.
Hotel tertinggi di dunia[sunting | sunting sumber]
RitzCarlton akan menempati 15 tingkat teratas di International
Commerce Centre di Kowloon, Hong Kong. Lobi hotel berada di
ketinggian 425 meter (1.394,9 kaki) di atas daratan, menjadi hotel
tertinggi di dunia bila selesai, mengalahkan hotel Park Hyatt di Shanghai
World Financial Center di Shanghai, Cina.
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
The RitzCarlton muncul dalam daftar terbaik Zagat Survey untuk
makanan, hotel dan pelayanan. Hotel di Dallas, TX dan Wolfsburg,
Jerman menerima penghargaan tertinggi dari Zagat tahun 2009,
termasuk Hotel Besar Terbaik di Dallas.[3]
Pengeboman 2009[sunting | sunting sumber]
Jumat, 17 Juli 2009, pukul 07:47 WIB, sebuah bom meledak di The Ritz
Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Indonesia yang menghancurkan
tingkat pertama hotel. Ledakan ini terjadi 2 menit setelah ledakan di J.W.
Marriott di dekatnya. Hotel ini rencananya akan menampung klub sepak
bola Manchester United dalam kunjungannya ke Indonesia sebagai
bagian dari Asia Tour mereka, tetapi kunjungan tersebut dibatalkan
karena pengeboman ini.[4] Sembilan orang termasuk dua pengebom
bunuh diri tewas.[5]
BIOGRAFI
Ritz-Carlton adalah sebuah jaringan hotel dan resort internasional. Sejarah The RitzCarlton Hotel Company, LLC berawal dari The Ritz-Carlton, Boston. Standar layanan
berupa makanan dan fasilitas dari Boston berfungsi sebagai patokan untuk hotel dan
resort Ritz-Carlton di seluruh dunia. Sebab hotel tersebut adalah hotel Ritz-Carlton
yang pertama dibangun pada 1927.
Hotel ini merevolusi perhotelan di Amerika dengan menciptakan kemewahan dan
pengaturan yakni : kamar mandi pribadi di setiap kamar, kain putih untuk membasuh
tangan para tamu, seragam khusus untuk tiap job desk karyawan hotel,
menyediakan pilihan makanan untuk pengunjung, ruang yang lebih personal untuk
makan malam.
Hotel dan resor bintang lima yang menyediakan kemewahan bagi para tamu ini telah
menerima penghargaan utama industri perhotelan. Ritz-Carlton adalah pertama dan
satu-satunya perusahaan hotel yang dua kali mendapat penghargaan Malcolm
Baldrige National Quality Award dari the United States Department of Commerce.
Ritz-Carlton memegang teguh motto "We are Ladies and Gentlemen serving Ladies
and Gentlemen". Motto ini mencontohkan layanan antisipatif yang disediakan oleh
semua anggota staf.
Last update 20 Agustus 2013 pukul 15:13
Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic
BUDAYA ORGANISASI HOTEL THE RITZ-CARLTON
A. Budaya yang Tumbuh dan Berkembang di Hotel Ritz-Carlton
Ritz-Carlton merupakan salah satu merek hotel dan resor mewah dengan 84 properti
yang terletak di kota-kota besar dan tempat resor eksklusif di 26 negara di seluruh dunia. The
Ritz-Carlton mulai dikelola pada tahun 1898 oleh Ritz-Carlton Hotel Company LLC, sebuah
anak perusahaan dari Marriott International. Ritz-Carlton Hotel Company saat ini memiliki
32.000 karyawan. Kantor pusat The Ritz-Carlton terletak di Chevy Chase, Maryland, sebuah
pemukiman di perbatasan Washington, D.C. Kejayaan Ritz-Carlton dimulai dari seorang
pengusaha terkenal, Cesaer Ritz, yang disebut sebagai raja perhotelan. Ia melakukan revolusi
dalam perhotelan dengan mengubah struktur sistem organisasi dan memberikan kemewahan
kepada setiap pengunjung. Tujuan hotel ini yaitu menyajikan produk dan service yang
berbeda dibandingkan perusahan lain di industri yang sejenis.
Ritz-Carlton hotel mencoba untuk tidak hanya menjual kamar hotel, makanan
restaurant dan bar saja, tetapi berkomitmen untuk menjual personalized servicedimana
pelanggan dapat merasakan sasuatu hal yang berbeda dibandingkan standar pelayanan yang
diberikan oleh hotel lainnya. Jaringan hotel Ritz-Carlton selalu memberikan kepada tamunya
pelayanan spesial yang berbeda di tiap negara seperti sambutan dan jamuan dengan piano
concertos, dan kamar hotel lengkap dengan armoire, tempat tidur, dan televisi, kamar mandi
dalam, adanya dress code untuk para pelayan, bunga-bunga yang diletakkan di setiap sudut
ruangan, penyajian makanan siap saji yang bisa dipilih oleh setiap pengunjung, serta suguhan
permainan musik yang memberikan dan menjaga privasi kepada para pengunjung. Hal
tersebut
dilakukan untuk
memberikan “personalized
touch”, Ritz
juga
selalu
menyesuaikantiap cabang hotelnya dengan kondisi setempat. Hal ini melingkupi, lokasi pintu
masuk dan keluar untuk tamu penting, penyesuaian menu dan delivery service, serta interior
yang bernuansa lokal.
Sesuai motto The Ritz-Carlton, “We are Ladies and Gentlemen serving Ladies and
Gentlemen” bahwa dalam pelayananya sebuah kemewahan yang tersaji untukpara
pengunjung dengan perawatan dan kenyamanan tamu merupakan tugas utama
mereka. Tiga langkah terpenting dalam melayani adalah menyapa para tamu dengan hangat
dan tulus dengan menggunakan nama mereka, siap selalu dalam mengantisipasi dan
memenuhi kebutuhan para tamu, perpisahan dengan senyuman dan selalu menggunakan
nama tamu sehingga dalam pelayanannya ada ikatan erat antar pengunjung dan pelayan.
Pada awal tahun 1990, pada saat Patrick Mene menjabat sebagai chief quality
officer, tantangan terberat yang dihadapi olehnya adalah dalam hal pengelolaan sumber daya
manusia yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Menurut Patrick Mene, untuk
menciptakan sumber daya manusia yang handal diperlukanya pengembangan proses dan
sistem yang ada. Selain itu penerapan konsep Total Quality Management(TQM) di dalam
struktur organisasi dan program pemenuhan kebutuhan spesifik pelanggan terus
dikembangkan.
Sumber daya manusia merupakan hal penting untuk organisasi di manajemen Ritz
Carlton. Dengan sumber daya manusia yang handal, akan didapatkan suatu bisnis yang
sukses. Tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut, Ritz Carlton tidak hanya melihat status
karyawan sebagai tenaga kerja saja, tetapi juga harus melihat dari sisi sumbangsih pikiran,
empati dan perasaan yang diberikan oleh karyawan kepada perusahaan. Dikarenakan Ritz
Carlton sangat memikirkan kesejahteraan karyawan, tidak heran turnover karyawan hanya
sekitar 20% dimana presentase ini jauh dibandingkan dengan rata-rata tuernover hotel baru di
perusahan lain.
Menurut Inghilleri, vice president of Human Resource, Ritz Carlton sangat
menghargai karyawan yang bekerja sehingga dapat meningkatkan dedikasi dan komitmen
kepada perusahaan. “Day 21” merupakan sebuah pelatihan pada saat karyawan yang baru
masuk, dimana pelatihan ini meneliti sejauh mana seorang karyawan dapat memberikan
komitmen yang tinggi kepada perusahaan. Tentu saja seorang karyawan berhak mendapatkan
jenjang karir yang lebih apabila dapat menyelaraskan tujuan pribadi dalam bekerja dengan
tujuan perusahaan. Seorang karyawan juga dimungkinkan untuk mendapatkan posisi dan
tanggung jawab yang lebih tinggi. Penilaian performa karyawan tidak hanya
diatur dari Service Quality Indicator, tetapi juga oleh karyawan itu sendiri dengan cara
pemilihan jenis pekerjaan yang berbeda-beda.
Pada tahun 1990 pula mulai diterapkan standar proses perubahan dan penyempurnaan
dari pembukaan hotel baru yang disebut The seven Day Countdown. Dalam dua hari pertama
dilakukan pengenalan mengenai nilai dan budaya perusahaan kepada karyawan. Lima hari
selanjutnya didiberikan pelatihan menyangkut keterampilan khusus dan cara-cara
memberikan service kepada pelanggan secara nyata.
Untuk memperkenalkan dan memfokuskan karyawan pada value perusahaan
diterapkanlah The Gold Standar yang terdiri dari Three steps of Service, The Motto, The
Employee Promises and The Credo. Untuk menyempurnakan konsep tersebut, Schulze
mencoba untuk mengajarkan suatu konsep yang baru dimana Ritz Carlton bukan sekedar
menjual kamar hotel saja tetapi lebih menitikberatkan pada customer service
excellence. Dengan konsep The Seven Day Countdown yang sudah berjalan selama ini harus
dipertimbangkan apakah strategi ini cukup relevan diterapkan lagi pada pembukaan hotel
baru apabila adanya kenaikan standar service pada suatu karyawan, mengingat semakin
kompleksnya pelatihan yang harus diberikan.
Menurut analisis kelompok kami, Hotel Ritz-Carlton memiliki budaya khas yang
telah melekat sejak lama. Hotel ini memiliki tujuan yang jelas dalam melayani pelanggannya,
karena pelayanan terhadap para tamu merupakan satu hal yang sangat diperhatikan di RitzCarlton.
Terdapat keterkaitan antara budaya Ritz-Carlton dengan teori dimensi budaya
organisasi. Diantara dimensi yang paling menonjol adalah; (1) Perhatian pada detail : RitzCarlton sangat memperhatikan detail, seperti telah dijelaskan bahwa di hotel ini, para
karyawan dituntut untuk melayani dengan sepenuh hati, seperti adanya sebutan “We are
Ladies and Gentlemen serving Ladies and Gentlemen” yang berarti “kami para wanita dan
laki-laki terhormat yang melayani wanita dan laki-laki terhormat pula”. Detail selanjutnya
ditunjukkan dengan cara menyapa para tamu dengan hangat dan tulus dengan menggunakan
nama mereka, sehingga terbentuk ikatan erat antara pengunjung dan pelayan; (2) Orientasi
Hasil : Ritz-Carlton sangat menekankan pencapaian tujuan organisasi yang terdiri dari nilai
atau value yang ingin dibentuk, value tersebut adalah The Gold Standard yang terdiri Three
steps of Service, The Motto, The Employee Promises and The Credo. Dalam pencapaian nilai
tersebut tentu Ritz-Carlton sangat memperhatikan proses, seperti adanya pelatihan untuk para
karyawan, pelatihan yang disebut dengan “Day 21” dan “The seven Day Countdown”; (3)
Orientasi Manusia : Ritz-Carlton juga membuka diri untuk menerima masukan dari para
karyawannya, hal ini dapat terlihat dari adanya sumbangsih pikiran empati dan perasaan yang
diberikan dari para karyawan dalam melihat perkembangan budaya Ritz-Carlton; (4)
Orientasi Tim : Ritz-Carlton merupakan salah satu organisasi yang mengutamakan orientasi
tim daripada agresivitas. Karena dalam hal pelayanan yang diberikan terhadap pelanggan,
biasanya tidak hanya dilayani oleh satu karyawan saja, tetapi saling berhubungan satu sama
lain. Sehingga jelas, dalam persaingan antar karyawan sangat minim dan lebih
mengutamakan kerja sama; (5) Inovasi dan pengambilan risiko : Ritz-Carlton telah berani
mengubah budaya dalam hal pelayanan, budaya yang semula menjadi kaku kini lebih natural.
Itulah teori dimensi budaya organisasi yang diterapkan oleh Ritz-Carlton.
B. Cara Ritz-Carlton Mengubah Budaya tanpa Mengubah Tujuan Awal Organisasi
Seiring berkembangnya jaman, semakin banyak hotel yang memberikan pelayanan
yang eksklusif terhadap pelanggannya. Untuk dapat bertahan dan mengembangkan budaya
yang sejak lama diterapkan di hotel ini, diperlukan pembaharuan untuk menyesuaikan dengan
kondisi pesaing yang terus meningkat. Kekuatan budaya organisasi yang terbentuk selama
ini terlihat dari berbagai penghargaan yang telah diterima, diantaranya penghargaan Malcolm
Baldrige National Quality Awards di tahun 1992 yang merupakan sebuah penghargaan
prestisius dalam bidang manajemen kualitas. Dalam satu dekade berikutnya, The Ritz-Carlton
berhasil memperoleh penghargaan dalam bidang quality awards sebanyak 121 kali.
Keberhasilannya ini bermula dari disiplin penerapan key performance indicator untuk
mengukur kinerja setiap unit kerja dalam perusahaannya.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya organisasi demi prestasi yang
telah dicapai. Ritz-Carlton cukup cermat menanggapinya, pada tahun 1992
dimulailah serangkaian aktifitas untuk menemukan indikator keberhasilan bisnis The Ritz.
The Ritz-Carlton Hotel kemudian melakukan focus group kepada para pelanggan internal dan
eksternal, karyawannya sendiri, dengan bantuan tenaga ahli untuk menginterpretasikan apa
yang sesungguhnya diinginkan pelanggan, Ritz membangun seperangkat indikator
keberhasilan pekerjaan. Lima puluh persen dari indikator tersebut adalah ukuran standar
finansial dan pemasaran. Lima puluh persen lainnya berhubungan dengan kualitas operasi,
kualitas karyawan dan kualitas kepuasan pelanggan.
Ritz-Carlton mulai menyadari tingginya tingkat persaingan dalam jasa
perhotelan, maka dari itu dibutuhkan keunggulan-keunggulan yang khas dan yang
membedakan dari perusahaan hotel lainnya. Dengan menyadari sejumlah orang dengan latar
belakang, kepribadian, emosi, dan ego yang beragam. Maka dibutuhkan budaya baru untuk
lebih menyesuaikan dengan keadaan para pesaing
Ritz-Carlton memiliki budaya yang kuat. Budaya yang kuat memang memiliki
keunggulan dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Namun, budaya organisasi yang kuat juga
memiliki kelemahan. Budaya organisasi yang kuat cenderung menghambat para karyawan
untuk berani mencoba cara-cara baru yang terutama dibutuhkan dalam menghadapi situasi
yang berubah cepat. Hal tersebut terilihat pada perubahan budaya dalam pelayanan pelanggan
di Hotel Ritz-Carlton pada pertengahan tahun 2006. Salah seorang eksekutif perusahaan
tersebut mengatakan “senyuman harus muncul secara alami”, karena pada awalnya cara-cara
lama para karyawan terkesan kaku terhadapa nilai-nilai yang ditanamkan dalam melayani
para pelanggan.
Untuk mengatasi hal tersebut dibuatlah pendekatan baru dalam melayani pelanggan,
dimana para karyawan mencari cara sendiri untuk membuat senang pelanggan. Budaya yang
kuat inilah yang kemudian dicoba untuk diubah. Meskipun cara-cara lama telah ditinggalkan
dan menerapkan pendekatan baru, hasil atau tujuan yang dimaksud tidak berubah
Setelah perubahan budaya tersebut, para karyawan yang pada awalnya terkesan kaku
dan seolah-olah mengulangi kata-kata yang ada didalam buku manual, sekarang lebih terlihat
alami, santai dan otentik. Kesan kaku dan lainnya yang ada pada cara lama itulah merupakan
kelemahan dari budaya organisasi yang kuat. Dalam hal ini, perusahaan melakukan
perubahan budaya organisasi agar tetap bertahan sebagai pelayanan terbaik. Para karyawan
diberi kebebasan untuk mecari dan menggunakan cara apa saja, tetapi dengan satu tujuan
yaitu bagaimana membuat pelanggan senang.
Seiring dengan berjalannya waktu, sebuah perusahaan yang dinamis harus mengikuti
perkembangan untuk membuat perusahaannya mampu bertahan dan bersaing dengan
perusahaan lain. Dengan menciptakan budaya inofatif dan kreatif yang dibutuhkan adalah
adanya keterlibatan, komunikasi, kreativitas dari berbagai pihak.
Perusahaan yang sukses merupakan perusahaan yang mampu memunculkan inovasiinovasi terbaru. Untuk sebagian perusahaan budaya lama mungkin dianggap sebagai ciri dari
perusahaan tersebut, namun ada baiknya budaya lama diubah atau diperbaiki dengan
mengadopsi budaya baru yang tidak kalah lebih bagus dari budaya sebelumnya. Akan tetapi
terdapat beberapa tantangan yang dialami perusahaan dalam mengubah budaya lama. Inilah
yang kemudian menjadi tantangan bagi Ritz-Carlton dalam mengubah budaya lamanya.
Menurut peneliti manajemen, Goran Ekvall budaya inovatif memiliki ciri dan
tantangan sebagai berikut :
1. Tantangan dan keterlibatan : Apakah para karyawan terlibat, termotivasi dan berkomitmen
pada sasaran atau tujuan jangka-panjang serta kesuksesan perusahaan?
2. Kebebasan : Dapatkah para karyawan mendefinisikan pekerjaannya sendiri secara
independen, berpendapat secara bebas dan mengambil inisiatif dalam berbagai aktivitas kerja
mereka?
3. Kepercayaan dan keterbukaan : Apakah para karyawan memperlihatkan sikap saling
mendukung dan menghormati terhadap satu sama lain ?
4. Waktu bagi gagasan : Apakah para karyawan diberi cukup waktu untuk menggali lebih
jauh ide-ide sebelum diharuskan mengambil tindakan ?
5. Keceriaan atau humor : apakah tempat kerja organisasi bersifat ceria dan menyenangkan ?
6. Penyelesaian Konflik : Apakah dalam pengambilan berbagai keputusan dan penyelesaian
berbagai masalah para individu lebih mendahulukan organisasi atau pribadi ?
7. Silang Pendapat : Apakah para karyawan diperbolehkan untuk mengutarakan pendapat
pribadinya dan mengusulkan gagasan untuk ditinjau serta dipertimbangkan ?
8. Pengambilan Risiko : Apakah para manajer memberikan toleransi terhadap ketidakpastian
dan kerancuan serta apakah para karyawan dihargai atas keberaniannya mengambil risiko ?
Dengan adanya tantangan-tantangan tersebut maka Ritz-Carlton harus
mempertahankan budaya barunya agar tetap hidup. Sebuah budaya dalam Ritz Carlton
dipertahankan hidup oleh para anggota organisasi melalui berbagai cara. Cara pertama
dengan kriteria seleksi karyawan. Proses seleksi karyawan biasanya tidak hanya berdasarkan
kemampuan, tetapi juga dengan melihat apakah kandidat calon karyawan mampu berbaur
dengan baik dalam oraganisasi atau perusahaan tersebut. Pada saat seleksi pula kandidat
memperoleh informasi bagaimana kehidupan di dalam organisasi tersebut dan memutuskan
apakah dia merasa nyaman dengan apa yang didengar atau diketahuinya. Ritz-Carlton harus
selektif dalam menerima karyawan baru, karena tidak semua kandidat dapat beradaptasi
dengan budaya yang ada di Ritz-Carlton.
Cara kedua adalah tindakan jajaran manajemen puncak atau keputusan menejer
yang membawa dampak besar terhadap budaya sebuah organisasi. Pentingnyamengubah
budaya dengan selalu “melihat ke dalam” dan menjadikannya berorientasi pada pelanggan,
bila ingin bertahan dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan. Ritz-Carlton harus
cermat dalam melihat perkembangan yang ada di lingkungan eksternal, dengan tidak
melupakan perkembangan yang ada dalam organisasi tersebut. Hal ini berarti harus ada
kontrol terhadap lingkungan internal dan eksternal.
Cara ketiga dalam mempertahanka budaya baru adalah dengan proses
sosialisasi. Yaitu sebuah proses yang membantu para karyawan memahami cara-cara
organisasi menjalankan berbagai pekerjaan. Salah satu manfaat dari sosialisasi ini adalah
membantu karyawan memahami budaya organisasi dan menjadi lebih antusias serta
berpengetahuan dalam melayani pelanggan. Manfaat lain dari sosialisasi yaitu meminimalkan
peluang terjadi keguncangan pada tatanan prilaku dan kebiasaan dalam organisasi, akibat
masuknya karyawan yang kurang paham akan budaya organisasi.
Selain itu budaya organisasi dapat ditanamkan kepada karyawan melalui :
1. cerita-cerita : Dalam organisasi biasanya terdapat kenangan atau berbagai kejadian atau
orang-orang penting, termasuk hal-hal seperti pendirian kisah organisasi, pelanggaran atas
peraturan yang parah, renungan mengenai kesalahan-kesalahan di masa silam. Kisah ini bisa
menjadikan cerminan untuk para karyawan dalam membangkitkan gairah untuk mencapai
tujuan organisasi. Kisah-kisah perolehan penghargaan bagi hotel ini dapat memotivasi para
karyawan untuk terus memperbaiki kinerjanya.
2. Acara Simbolis (ritual) : Ritual merupakan kegiatan rutin yang bersifat sakral maupun
menjadi ciri khas dari sebuah organisasi. Biasanya ritual dilakukan untuk menumbuhkan
semangat dalam bekerja. Ritz-Carlton harus tetap mempertahankan waktu 15 menit pada pagi
hari untuk menumbuhkan semangat dan mengingatkan para karyawan terhadap tujuan awal
organisasi tersebut, yaitu melayani para pelanggan dengan baik.
3. Simbol-simbol kebendaan : Simbol-simbol kebendaan menyampaikan pesan kepada
karyawan tentang siapa yang dianggap penting dan perilaku apa yang dianggap patut di
dalam organisasi.
4. Bahasa : Bahasa ialah cara sebuah organisasi menggunakan bahasa untuk menyatukan para
anggotanya dalam sebuah budaya.
Dengan memperhatikan tantangan dan tata cara yang harus dilakukan dalam
mempertahankan organisasi. Maka Ritz-Carlton dapat berkembang dan terus bersaing dengan
hotel-hotel mewah lainnya. Berbagai penghargaan yang diterima oleh Ritz-Carlton dapat
menjadi motivasi untuk setiap karyawan dalam melayani para tamu. Ritz-Carlton cukup
cermat dalam memperhatikan lingkungan, itulah sebabnya hotel tersebut dengan percaya diri
mengambil inovasi baru dalam budaya organisasinya, dari konsep kaku menjadi lebih
natural. Ritz-Carlton telah sukses dalam menerapkan dan mengembangkan budaya organisasi
yang ada pada setiap para pekerja, sehingga menciptakan ciri khasnya sendiri yang
menjadikan bahwa ketika menginap di cabang hotelnya di seluruh dunia, pelanggan akan
sangat terpuaskan oleh kualitas pelayanan yang diberikan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan adanya budaya organisasi yang diciptakan The Ritz-Carlton, mereka dapat
menyajikan standar kualitas dari pelayanan yang diberikan berbeda dari hotel mewah lainnya.
The Ritz-Carlton menciptakan budaya pelayanan maksimal yang sangat menghargai para
tamunya tanpa mengurangi rasa menghargai pada setiap pekerjanya. Hotel ini membuat
budaya bahwa tujuan utama pada pelayanannya adalah kepuasan pelanggan dan pelayanan
yang tulus.
Walaupun budaya pada The Ritz-Carlton berubah dari kaku menuju lebih natural, hal
ini tidak menghilangkan proses “pelayanan jempolan” yang disuguhkan. Dengan berbagai
tantangan yang dihadapi, The Ritz-Carlton harus bisa mempertahankan budaya baru dengan
memperhatikan proses seleksi karyawan, keputusan manajer puncak dan sosialisasi antar
karyawan. Dengan demikian, Ritz-Carlton bisa mempertahankan prestasi yang selama ini
telah diraihnya.
B.
Saran
Organisasi lain perlu mencontoh dan menerapkan budaya organisasi dengan
memperhatikan pelayanan kepada para pelanggan. Selain itu organisasi harus membuka diri
terhadap perubahan positif yang diterima dari lingkungan internal maupun eksternal.
Sehingga organisasi tersebut mampu bersaing dengan organisasi lain dan dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.