BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peranan - SLAMET WAHYUDIN, BAB II

  kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Kata "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian peran adalah :

  a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah pemain sandiwara atau pemain utama; b. Peran adalah bagian yang dimainkan oleh seorang pemain dalam sandiwara, ia berusaha bermain dengan baik dalam semua peran yang diberikan; c. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.

  Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang utama. Analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu :

  a. Ketentuan peranan;

  b. Gambaran peranan; c. Harapan peranan (Sarjono Sukamto 1984).

  Ketentuan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya.

  Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya. Dari berbagai pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan peranan adalah pernyataan formal dan terbuka tentang perilaku yang harus ditampilkan oleh seseorang dalam membawa perannya. Gambaran peranan adalah suatu gambaran tentang perilaku yang secara aktual ditampilkan seseorang dalam membawakan perannya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian peranan dalam hal ini peran pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya dalam pelayanan, pembangunan, pemberdaya, dan pengatur masyarakat. Peranan adalah merupakan aspek dinamis dari kedudukan apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia telah melakukan sebuah peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya (Soekanto 2009: 213).

  Peranan menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soekanto (2009: 213), sebagai berikut “Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat”. Soekanto (2009: 213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain:

  1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat;

  2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi;

  3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

  1. Pengertian Tindak Pidana Dasar patut dipidananya suatu perbuatan berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Istilah tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana yang dipakai sebagai pengganti atau dimaksudkan sebagai terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “straafbaarfeit”. Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai tindak pidana, yakni Menurut Moeljatno tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut” (Moeljatno 1983: 71).

  Menurut Evi Hartanti (2005: 5) tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

  Guse Prayudi (2010: 5) menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai terjemahan dari “straafbaarfeit”, dan mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana dilakukan penghukuman.

  Peristilahan untuk menyebutkan ”strafbaarfeit” tersebut di atas, Menurut Leden Marpaung, istilah “delik” lebih cocok, di mana “delik” berasal dari kata delict (Jerman dan Belanda), delit (Prancis) yang berarti perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.

  Perbedaan peristilahan tersebut hendaknya tidak membingungkan setiap orang, karena pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting ialah isi dari pengertian itu. Adanya perbedaan pemakaian istilah itu sebenarnya tidak menjadi suatu persoalan yang prinsipil apabila dalam suatu perumusan tindak pidana terdapat pengaturan yang jelas dalam arti terdapat kejelasan dari apa yang diatur. Istilah “tindak pidana” mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum, juga sangat praktis untuk diucapkan, di samping itu di dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia pada umumnya menggunakan istilah tindak pidana (Guse Prayudi 2010: 5).

  Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas tampaknya para pembentuk undang-undang lebih memilih istilah tindak pidana, hal ini terlihat dari istilah yang dipergunakan dalam undang-undang yaitu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

  Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

  Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan, dengan ancaman pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan yang berupa kejadian yang ditimbulkan orang yang melanggar larangan, dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana. Pengertian tersebut merujuk pada dua keadaan yaitu pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

  2. Unsur-unsur Tindak Pidana

  a. Unsur Subjektif 1) Kesengajaan atau kelalaian.

  2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP.

  3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

  4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana).

  5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

  b. Unsur Objektif 1) Sifat melawan hukum; 2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP; 3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyatan sebagai akibat.

  Proses penanganan perkara dimaksudkan untuk menunjukan rangkaian tindakan/perbuatan dalam rangka penanganan sesuatu perkara. Proses penanganan perkara antara lain sebagai berikut:

  1. Penyelidikan Pengertian “penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5 KUHAP yang berbunyi “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

  Berdasarkan adanya data awal tersebut diatas maka diterbitkan “Surat Perintah Penyelidikan” untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang terjadi, dengan diperolehnya bukti permulaan yang cukup.

  Tetapi dengan diterbitkan surat perintah penyelidikan, banyak orang berprasangka bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Hal demikian merupakan suatu kekeliruan karena adakalanya tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup.

  Jika tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan tersebut tidak dilanjutkan. Sedang jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan, dan selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

  2. Penyidikan Penyidikan berasal dari kata dasar “Sidik” yang mempunyai awalan

  “pe” dan akhiran “an”. Kata sidik mempunyai arti penyelidikan jari untuk mengetahui dan membedakan orang dengan meneliti garis-garis ujung jari (Sutarto, 1987: 943). Sedangkan istilah penyidikan menurut Suryono Sutarto adalah “Serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

  Pengertian penyidikan yang dimuat pada Pasal 1 angka 2 KUHAP yang berbunyi “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

  Tahap penyidikan sangat penting peranannya dalam menentukan apakah ada atau tidaknya tindak pidana. Sehingga sebelum diadakannya penyidikan diadakan penyelidikan, sebagai tindakan yang mendahului penyidikan terlebih dahulu harus ada dugaan atau pengetahuan tentang terjadinya suatu tindak pidana, yang mana dugaan tentang terjadinya tindak pidana ini dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu : a. Kedapatan tertangkap tangan;

  b. Karena laporan;

  c. Karena pengaduan; d. Diketahui sendiri.

  Aparat penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Perintah, segera membuat “Rencana Penyidikan” (Rendik) dengan memahami hasil penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat menentukan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang mendukung penyimpangan tersebut agar dengan demikian akan dapat ditentukan modus operandinya (Sutarto, 1987: 945).

  Penyidik tindak pidana korupsi akan mulai melakukan penyidikan setelah mendapatkan surat perintah penyidikan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila yang melakukan penyidikan adalah Jaksa pada kejaksaan negeri. Pelaksanaan penyidikan dalam praktek biasanya dilakukan oleh beberapa Jaksa. Terdiri dari tiga Jaksa satu orang Jaksa sebagi pimpinan dan dua orang Jaksa sebagai anggota. Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai :

  1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan;

  2. Kapan tindak pidana itu dilakukan;

  3. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

  4. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan; 5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.

  Hal yang harus diperhatikan oleh penyidik untuk memulai penyidikan adalah memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum.

  Apabila penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Polisi pemberitahuan ini sifatnya wajib, supaya tidak terjadi adanya dua penyidik yaitu dari Kejaksaan atau dari Polisi dalam tindak pidana tertentu khususnya korupsi.

  Dalam tindak pidana korupsi dimana yang menjadi penyidik Jaksa maka pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam praktek tidak dilakukan, karena Jaksa penyidik nantinya akan sebagai Jaksa penuntut umum sehingga Jaksa penuntut umum sudah jelas mengetahui dimulainya penyidikan. Dalam menjalankan tugasnya Penyidik dalam tindak pidana korupsi baik Jaksa maupun Polisi mempunyai kewenangan sama yaitu yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan : Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

  c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

  f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

  g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai terdakwa atau saksi;

  h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab (Leden marpaung, 2008:12)

  Tidak semua tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Jika ada salah satu unsur tidak didukung alat bukti, atau adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan Yurisprudensi, karena sifat melawan hukum tidak terbukti, maka perkara tersebut diterbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Apabila penyidikan telah selesai dilakukan, dan dari hasil penyidikan itu diperoleh bukti-bukti mengenai tindak pidana yang terjadi, maka hasil penyidikan tersebut dituangkan dalam berkas perkara.

  Jika perkara yang disidik didukung dengan alat bukti yang kuat maka penyidikan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Umumnya sebelum ditentukan suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan atau di SP3-kan, dilakukan pemaparan. Pada pemaparan tersebut tampak jelas hasil-hasil penyidikan.

  Penyidikan telah selesai apabila penuntut umum dalam waktu tujuh hari tidak mengembalikan hasil penyidikan atau sebelum waktu tersebut penuntut umum telah memberitahukan kepada penyidik bahwa berkas perkara penyidikan telah lengkap. Bila penyidikan telah selesai dan berkasnya diterima penuntut umum maka penuntut umum dengan berdasarkan hasil penyelidikan tersebut menyusun surat dakwaan dan kemudian melakukan penuntutan.

  3. Penuntutan Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan menurut penuntut umum berkas tersebut sudah lengkap dan dapat dilakukan penuntutan, maka selanjutnya penuntut umum secepat mungkin membuat surat dakwaan. Adapun pengertian penuntutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dilihat dalam pasal 1 butir 7 yang menyebutkan: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa oleh hakim disidang pengadilan”

  Dalam mempersiapkan penuntutan, Penuntut Umum setelah menerima berkas perkara yang sudah lengkap dari penyidik, segera menentukan apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan. Ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Penuntut umum terhadap berkas perkara tersebut, yaitu melakukan penuntutan atau menghentikan penuntutan. Penuntutan dalam hal ini dapat dilakukan, jika berkas perkara yang diajukan oleh penyidik dipandang sudah lengkap dan perkara tersebut dapat dilakukan penuntutan oleh Penuntut Umum, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan.

  Penghentian penuntutan dapat terjadi, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa : a. Tidak cukupnya bukti dalam perkara tersebut;

  b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; c. Perkara ditutup demi hukum.

  Penghentian penuntutan ini dilakukan oleh Penuntut Umum dengan membuat surat penetapan penghentian penuntutan. Dalam hal penuntutan dihentikan, maka bagi tersangka yang berada dalam tahanan harus dibebaskan, jika kemudian ada alasan baru yang diperoleh penuntutan umum dari penyidik, yang berasal dari keterangan saksi, benda atau petunjuk, maka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penuntutan.

  1. Pengertian korupsi Secara umum korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Robert Klitgaard (2002), merumuskan pengertian umum korupsi dalam rumus:

  C = M + D – A Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa, Korupsi (C=Corruption) adalah fungsi dari Monopoli (M=Monopoly) ditambah kewenangan

  (D=Discretion) dikurangi Akuntabilitas (A=Acuntability). Jadi korupsi dapat terjadi apabila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan, akan tetapi tidak ada mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik (Robert, 2002).

  Secara etimologi, kata korupsi berasal dari Bahasa Latin, yaitu

  corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang

  bermakna menghancurkan, com memiliki arti intensif atau keseungguh- sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan.

  Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif.

  Sejatinya ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli, Huntington (1968) menyebutkan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik atau para pegawai yang menyimpang dari norma- norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

  Secara Bahasa korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya (Andi Hamzah, 1984).

  Secara Hukum pengertian korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

  Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas atau tindakan secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasan (abuse

  of power ) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.

  2. Faktor Penyebab Korupsi Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.

  Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor- faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi (Hartanti, 2006).

  Selo Sumardjan mengatakan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu nafas karena ketiganya melanggar kaidah-kaidah kejujuran dan norma hukum. Adapaun faktor sosial pendukung KKN adalah :

  a. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi orientasi harta, kaya tanpa harta (sugih tanpo bondho) menjadi kaya dengan harta; b. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan sosial atau budaya; c. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta; d. Paternalisme, korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan menjadi kaya (aji mumpung);

  Evi Hartanti menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya sanksi yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi, struktur pemerintahan, perubahan radikal, dan keadaan masyarakat. Namun demikian faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat (Hartanti, 2006).

  3. Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 Pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor

  20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kerugian keuangan Negara.

  Pasal 2 (1); Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

  Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar ruiah).

  Melawan hukum dalam pasal tersebut mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yang perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum terasa sangat merugikan keuangan atau perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

  2. Suap-menyuap.

  Pasal 5 (1) : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

  a. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

  b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

  Pasal 5 (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana yang dimaksud pasal 5 (1) huruf a atau b diatas dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (1) tersebut.

  Pasal 6 (1) : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang : a. Memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

  b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  Pasal 11 : Dipidana dengan penjara pidana paling singkat 1 (satu ) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

  Pasal 12 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) : a. Pegawai negari atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan aagar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

  b. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

  c. Hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundng-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubungan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  Pasal 13 : Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan nya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

  3. Penggelapan dalam jabatan.

  Pasal 8 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu , dengan sengaja mengelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

  Pasal 9 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

  Pasal 10 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugasa menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja : a. Menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akata, surat, atau daftar tersebut; atau

  c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, memusnahkan,atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

  4. Pemerasan.

  Pasal 12 huruf e, f, g :

  e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

  f. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

  g. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas minta atau menerima pekerjaan atau menyerahkan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang.

  5. Perbuatan curang.

  Pasal 7 (1 ) : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan palinglama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

  a. Pemborong, ahli bagunan yang pada waktu membuat bangunan, atau menjual behan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang;

  b. Setiap orang yang bertugas mengawasi bangunan atau menyerahkan bahan bagunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud huruf a;

  c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negaara dalam keadaan perang; atau d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang Tentara

  Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

  Pasal 7 (2) : Bagi orang yang menerima penyerahankan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 7 huruf a atau huruf c dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal 7; Pasal 12 huruf h

  h. Pegawai negeri atau peyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.

  6. Gratifikasi.

  Pasal 12 B :

  1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

  2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

  Pasal 12 C :

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

  3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu palinglambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik Negara.

  4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Tindak pidana korupsi selain yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:

  a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

  b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;

  c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;

  d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu; f. Saksi yang membuka identitas pelapor.

  4 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi Unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana korupsi sebenarnya dapat kita lihat dengan sangat jelas jika dilihat pada pengertian tindak pidana korupsi atau delik yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan dan perundang- undangan yang berlaku, dan beberapa pengertian dan rumusan delik tindak pidana korupsi seperti di kemukakan di atas.

  Mengenai adanya kriteria utama, sehingga suatu tindakan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, menurut pendapat Romli Atmasasmita:

  Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, adanya unsur kerugian negara sebagai unsur utama sehingga tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, tetapi pada kenyataannya unsur kerugian negara sulit pembuktiannya karena deliknya delik materiil. Namun dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian negara tetap ada tetapi rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian negara atau tidak.

  Menurut Victor M. Situmorang dalam bukunya mengenai tindak pidana pegawai negeri sipil menyatakan bahwa korupsi yaitu : Secara umumnya dapat dikatakan sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau keuangan suatu badan yang menerima bantuan keuangan negara yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau wewenang yang ada padanya.

  Dari beberapa pengertian tindak pidana korupsi yang telah di kemukakan di atas, maka menurut Husein (1991: 66) tindak pidana korupsi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang;

  b. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan;

  c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

  d. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran hukum; e. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka mampui mempengaruhi keputusan; f. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat; g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;

  h. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

  Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dapat penulis inventarisir dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:

  1. Tindakan seorang atau atau badan hukum melawan hukum.

  2. Tindakan tersebut menyalahgunakan wewenang.

  3. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

  4. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian.

  5. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatanya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

  6. Memberikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dalam jabatannya.

  7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang deserahkan kepadanya untuk diadili.

  8. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

  9. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadi perbuatan curang tersebut.

  10. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatan, atau membiarkan uang sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

  11. Dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak, atau membuat barang tidak dapat dipakai,atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatanya dan membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat barang tidak dapat dipakai, akta, surat, atau daftar tersebut.

  12. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatan.

  Dengan memiliki unsur tindak pidana korupsi yang ditempatkan dalam peraturan perundang-undangan, maka setiap perilaku atau tindakan setiap korporasi yang memenuhi rumusan delik diatas, dapat kepadanya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  1. Pengertian Kejaksaan Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan (Efendy, 2005:1).

  Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya yang strategis di dalam suatu negara hukum karena Lembaga Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum (Efendy, 2005:2).

  Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004).

  Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 33 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi dan 497 Kepala Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa Lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

  Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pengadilan (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang.

  2. Tugas Jaksa Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

  Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi (Hartanti,2005: 32).

  Pada dasarnya lembaga Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum. Lembaga Kejaksaan dengan demikian berperan sebagai penegak hukum. Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan lembaga-lembaga atau badan-badan penegak hukum lain.

  Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi.

  Kejaksaan sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi, maka kejaksaan berwenang untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan.