BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hipertensi - INDA GALUH LESTARI BAB II

  1. Definisi Hipertensi Hipertensi adalah masalah kesehatan ditandai oleh tekanan darah sistolik persisten di atas 140 mmhg dan tekanan darah diastolik di atas 85 mmhg (Brooker chris, 2009 dalam Nisfiani A, 2014). Definisi Hipertensi

  atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.

  2. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO (Worlth Health Organization), tekanan darah dianggap normal bila kurang dari 135/85 mmHg, dikatakan hipertensi bila lebih dari 140/90 mmHg. Sedangkan klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasarkan tekanan diastolik (Martuti, 2009: 4) dalam Nawangsari S & Fitria (2012), yaitu:

  a. Hipertensi derajat I, yaitu jika tekanan diastoliknya 95 – 109 mmHg.

  b. Hipertensi derajat II, yaitu jika tekanan diastoliknya 110 – 119 mmHg.

  c. Hipertensi derajat III, yaitu jika tekanan diastoliknya lebih dari 120 mmHg.

  15

Menurut kutipan Brunner & Suddarth’s (2013) pada individu lansia,diagnosis hipertensi diklasifikasikan sebagai berikut :

  a. Hipertensi sistolik saja dimana tekanan sistolik terukur melebihi 160 mmHg, dengan tekanan diastolik normal atau mendekati normal (di bawah 90 mmHg)

  b. Hipertensi esensial dimana diastoliknya lebih besar atau sama dengan 90 mmHg berapapun tekanan sistoliknya c. Hipertensi sekunder atau hipertensi yang dapat disebabkan oleh penyebab yang mendasarinya

  Kriteria untuk menilai apakah seseorang itu menderita penyakit hipertensi atau tidak haruslah ada suatu standar nilai ukur dari tensi atau tekanan darah. berbagai macam klasifikasi hipertensi yang digunakan di masing-masing negara seperti klasifikasi menurut Joint National

  

Committee 7 (JNC 7) yang digunakan di negara Amerika Serikat,

  klasifikasi menurut Chinese Hypertension Society yang digunakan di Cina, Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH) yang digunakan negara-negara di Eropa, Klasifikasi menurut International

  

Society on Hypertension in Blacks (ISHIB) yang khusus digunakan untuk

warga keturunan Afrika yang tinggal di Amerika.

  JNC telah mengeluarkan guideline terbaru yang dikeluarkan pada tahun 2013 JNC 8 mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi. Mengingat bahwa hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang dengan banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan diterapi dengan tepat, dirasakan perlu untuk terus menggali strategi tatalaksana yang efektif dan efisien, dengan begitu, terapi yang dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal.

  

Tabel. 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 8

  Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik Klasifikasi

  (mmHg) (mmHg) Normal < 120 < 80 Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89 Stadium I 140

  90

  • – 159 – 99 Stadium II

  ≥ 160 ≥ 100

  3. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Hipertensi

  a. Hipertensi primer/ esensial adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya diantaranya adalah genetik, jenis kelamin dan usia, konsumsi diit tinggi garam dan lemak, berat badan (Obesitas atau >25 % diatas BB ideal), gaya hidup seringnya merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah (Udjianti, 2010).

  b. Hipertensi sekunder misalnya dalam penggunaan kontrasepsi oral, neurogenik (tumor otak, gangguan psikiatris), kehamilan dan stres (Udjianti, 2010).

  Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya hipertensi meliputi risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) dan faktor risiko yang dapat dikendalikan (minor). Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) seperti keturunan, jenis kelamin, ras dan usia. Sedangkan faktor risiko yang dapat dikendalikan (minor) yaitu obesitas, kurang olah raga atau aktivitas, merokok, minum kopi, sensitivitas natrium, kadar kalium rendah, alkoholisme, stress, pekerjaan, pendidikan dan pola makan (Suhadak, 2010 dalam Andria K, 2013).

  4. Penyebab Sekitar 90% hipertensi dengan penyebab yang belum diketahui pasti disebut dengan hipertensi primer atau esensial. Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan hipertensi primer/esensial yaitu asupan natrium yang meningkat dan asupan kalium yang menurun, factor genetic, stress psikologis, pengaturan abnormal terhadap norepineprin, dan hipersensitivitas. Sedangkan 7% disebabkan oleh kelainan ginjal atau hipertensi renalis dan 3% disebabkan oleh kelainan hormonal atau hipertensi hormonal dan penyebab lain (Arif Muttaqin,2014).

  5. Manifestasi Klinis Penderita hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.

  Hipertensi yang berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala seperti berikut : a. Sakit kepala

  b. Kelelahan

  c. Mual

  d. Gelisah/cemas

  e. Muntah

  f. Sesak nafas

  g. Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak (Lily I . Rilantono, 2013).

  6. Patofisiologi Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin.

  Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.

  Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.

  Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

  Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

  Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. (Bianti Nuraini, 2015).

  7. Manajemen Hipertensi Hipertensi adalah suatu kondisi kronis dan menyebabkan komplikasi serius jika seseorang tidak dapat mengontrol tekanan darah, manajemen hipertensi terdiri dari 2 bagian utama, terapi farmakologi dan modifikasi gaya hidup.

  a. Terapi farmakologis Terapi farmakologis adalah terapi untuk mengobati tekanan darah tinggi yang dapat membantu mencegah yang lebih serius, bahkan mengancam kehidupan komplikasi. Jenis utama dari obat yang digunakan untuk kontrol tekanan darah tinggi termasuk obat diuretik, dikombinasikan alpha dan beta blocker, Beta-blocker, angiotensin- converting enzyme inhibitor, angiotensin receptor II Blocker, antagonis kalsium, dan vasodilator. (smeltzer & bare, 2004 dalam Akhter, N;2010)

  b. Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi gaya hidup adalah terapi tambahan untuk semua klien dengan hipertensi yang menerima terapi farmakologis. Praktek gaya hidup sehat terus bisa mengurangi jumlah dan dosis obat antihipertensi (Black & Hawks, 2005 dalam Akhter, N; 2010). Ada bukti bahwa tekanan darah orang yang mampu memodifikasi gaya hidup mereka yang lebih rendah dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular lainnya. Mereka yang dimodifikasi gaya hidup mereka bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung, stroke,dan diabetes (Kaplan, 2002 dalam Akhter, N; 2010). Perawat dapat membantu pasien memodifikasi gaya hidup mereka dengan memberitahu mereka bahwa ada beberapa faktor yang dapat dimodifikasi yang telah terbukti berkontribusi hipertensi, meliputi: obesitas; kurangnya olahraga aerobik yang teratur; asupan alkohol setiap hari melebihi 1 oz etanol secara teratur; asupan natrium yang berlebihan; dan gaya hidup stres. Selain itu perawat dapat membantu klien untuk mengidentifikasi bagaimana dia / dia bisa membuat perubahan yang sesuai gaya hidup untuk memodifikasi faktor di atas. Modifikasi gaya hidup untuk penderita hipertensi meliputi penurunan berat badan, manajemen diet, pembatasan alkohol, berhenti merokok, olahraga teratur, manajmen stress, dan kepatuhan pengobatan biasa. 1) Penurunan berat badan

Penurunan berat badan penting bagi pasien yang indeks massa tubuhnya yang ≥ 25. Penurunan berat badan membantu dalam

  mengurangi tekanan darah. Penurunan berat badan juga meningkatkan efektivitas obat antihipertensi (black & hawks, 2005; kaplan,2002 dalam Akhter,N; 2010). Kejadian hipertensi meningkat tiga kali lipat pada indeks massa tubuh (BMI) dari 26 dibandingkan dengan BMI 21. Pemeliharaan berat badan yang signifikan sulit bagi pasien obesitas. Berat badan menurunkan tekanan darah melalui beberapa efek termasuk peningkatan sensitivitas insulin. Hal ini dapat mengakibatkan: penurunan lemak visceral; penurunan aktivitas sistem saraf simpatik; peningkatan tingkat leptin plasma; dan pembalikan disfungsi endotel dilakukan oleh oksida nitrat, vasodilatasi yang diinduksi (Kaplan,2002 dalam Akhter,N; 2010).

  Penurunan berat badan dapat dilakukan dengan menyeimbangkan diet,mengurangi asupan garam, dan melakukan olahraga teratur.

  2) Manajemen diet Pengaturan pola makan dapat mengurangi keparahan hipertensi dan dalam beberapa kasus, mengurangi kebutuhan untuk obat- obatan. Orang-orang dengan hipertensi harus makan diet rendah garam, kalori, kolesterol, dan lemak jenuh. Orang dengan hipertensi harus makan lebih banyak buah, sayuran, biji-bijian dan kacang- kacangan dibandingkan dengan lemak. Sebagai tambahan, mereka harus mengganti daging sapi dalam diet mereka dengan alternatif seperti ikan atau ayam. Hal ini juga menyarankan bahwa makanan panggang atau rebus lebih baik daripada digoreng. The Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) menunjukkan bahwa modifikasi diet dapat membantu dalam mengontrol tekanan darah.

  DASH yang direkomendasikan pola makan sehat untuk mengontrol hipertensi (Chen, Litvak, Howe, Parvez, 2006 dalam Akhter,N; 2010)

  3) Pembatasan natrium Pembatasan natrium, perkiraan menunjukkan 40% orang dengan hipertensi adalah sensitif dengan natrium (Black & Hawks,

  2005). Pembatasan untuk asupan natrium dapat menurunkan tekanan darah pada beberapa kasus hipertensi stadium I, jika asupan natrium diturunkan, jumlah obat yang dibutuhkan mungkin akan menurun.

  Sodium merupakan bahan yang tersembunyi di banyak makanan olahan. Secara umum, rata-rata orang dewasa asupan garam 5 sampai 15 gram/hari, tetapi efek terapi pengurangan sodium pada tekanan darah tidak terjadi sampai asupan garam dikurangi menjadi 6 gram / hari atau lebih rendah (Black & Hawks,2005 dalam Akhter,N; 2010).

  4) Modifikasi diet lemak Modifikasi asupan makanan lemak dengan mengurangi fraksi/tingkatan lemak jenuh dan meningkatkan lemak tak jenuh ganda mengarah ke penurunan kadar tekanan darah dan kolesterol secara signifikan. Karena dislipidemia merupakan faktor risiko utama dalam perkembangan penyakit arteri koroner, terapi diet bertujuan mengurangi lipid dalam total rejimen diet (Black & Hawks, 2005 dalam Nargis Akhter,2010). 5) Suplemen kalium

  Suplemen yang tinggi natrium untuk kalium dalam diet modern ditemukan bertanggung jawab untuk pengembangan hipertensi. Banyak studi meneliti efek kalium pada tekanan darah dan kebanyakan dari mereka mengidentifikasi efek yang bermanfaat (Ducher, Fauvel, & Cerutti, 2006). Pembatasan kalium menyebabkan defisit kalium seluler yang memicu sel untuk memperoleh natrium untuk mempertahankan tonisitas dan volume kalium. Untuk defisit kalium, natrium, dan klorida dalam tubuh yang pertma kali terkena mereka dikontrak baik intraseluler dan ekstraseluler kompartemen, sehingga rendering menurunkan tekanan darah (Adrogue & Madias, 2007 dalam Akhter,N; 2010). 6) Pembatasan alkohol

  Konsumsi lebih dari 1 ons alkohol/hari dikaitkan dengan prevalensi lebih tinggi hipertensi dan ketidakpatuhan terhadap terapi antihipertensi (Black & Hawks, 2005). Selain mekanisme yang terlibat, masalah yang belum terselesaikan tentang hubungan tekanan darah dengan alkohol termasuk apakah ada ambang batas dosis alkohol untuk asosiasi dengan hipertensi, alkohol terkait hipertensi dan peran interaksi dengan jenis kelamin, suku, ciri-ciri gaya hidup lainnya, pola minum, dan pilihan minuman (Klatsky & Gunderson, 2008 dalam Akhter,N; 2010). 7) Berhenti merokok

  Berhenti merokok pada pasien hipertensi dapat memberikan pengurangan resiko kematian dengan pengurangan permanen 40 mmHg tekanan darah, atas dan di atas obat antihipertensi. Penggunaan "kesetaraan tekanan darah denagn merokok "dapat menghubungkan dua faktor risiko terpisah dan dapat menyebabkan pergeseran paradigma dalam mengatasi tantangan klinis yang ada (Wen, Tsai, Chan, Tsai, Cheng & Chiang, 2008). Berhenti merokok sangat dianjurkan untuk mengurangi risiko Penyakit kardiovaskular (Black & Hawks, 2005 dalam Akhter,N; 2010).

  8) Olahraga Gaya hidup yang berupa aktivitas fisik dapat mengurangi risiko pengembangan hipertensi. Terdapat sebuah program reguler latihan aerobik mencapai tingkat moderat kebugaran fisik untuk penyejuk kardiovaskular dan dapat membantu klien hipertensi obesitas berat reduksi dan juga meminimalkan risiko penyakit kardiovaskular. Latihan aerobik adalah Latihan yang melibatkan atau meningkatkan konsumsi oksigen tubuh. Erobik berarti "dengan oksigen", dan mengacu pada penggunaan oksigen dalam metabolisme tubuh atau proses energi yang menghasilkan (Donatelle, 2005). Latihan aerobik sangat membantu untuk pasien dan harus dilakukan pada tingkat yang moderat intensitas untuk periode waktu yang panjang. Sebuah kegiatan olahraga teratur dapat menurunkan tekanan darah pada klien hipertensi. Olahraga dapat meningkatkan pasien dengan rasa kesejahteraan, mengurangi ketegangan emosional dan menimbulkan tingkat lipoprotein densitas tinggi (HDL), memungkinkan lipid seperti kolesterol dan trigliserida akan diangkut dalam aliran darah berbasis air dan mengurangi risiko morbiditas cardio-vascular dan mortalitas (Black & Hawks, 2005 dalam Akhter,N; 2010). Latihan yang direkomendasikan untuk penderita hipertensi melibatkan berjalan, jogging atau bersepeda dengan intensitas sedang mulai 4-52 minggu panjang dan setiap sesi biasanya berlangsung 30-60 menit (Baster & Baster-Brooks, 2005 dalam Akhter,N; 2010). Berjalan, berenang, bersepeda dan berlatih yoga juga dianjurkan.

  9) Manajemen stress Berbagai terapi relaksasi, termasuk meditasi, yoga, musik, istirahat dan psikoterapi dapat mengurangi tekanan darah. Relaksasi sangat bermanfaat jika dipraktekkan secara rutin dalam kehidupan sehari-hari. Teknik yang melibatkan relaksasi secara luas digunakan oleh orang-orang untuk mengurangi kecemasan dan mengatasi masalah yang berhubungan dengan stres. Prosedur relaksasi adalah bentuk aktif dan pendidikan terapi yang dapat menurunkan terjadinya ketegangan dan gangguan kecemasan (Schneider, Staggers, Alexander,Sheppard, Rainforth, Kondwani, et al., 1995). 10) Kepatuhan pasien dalam pengobatan

  Hipertensi merupakan penyakit kronis yang membutuhkan seseorang untuk mematuhi pengobatan dan perawatan. Orang dengan hipertensi harus minum obat sebagai ditentukan dan harus melakukan kunjungan rutin ke dokter untuk membuat janji untuk pemantauan tekanan darah mereka.

  Menurut Mc Donald dan Gibson (2006), manajemen diri kemampuan pasien untuk mengelola gejala, pengobatan, fisik dan psikologis dan gaya hidup berubah melekat dalam hidup dengan kondisi kronis.

  De Monaco dan Hippel (2007) mendefinisikan manajemen diri sebagai perilaku seseorang dalam : 1) terlibat dalam kegiatan yang melindungi dan meningkatkan kesehatan; 2) pemantauan dan mengelola gejala dan tanda penyakit; 3) mengelola dampak penyakit pada fungsi, emosi, dan hubungan interpersonal; dan 4) mengikuti rejimen pengobatan.

  Lin, KW (2006) mendefinisikan penyakit manajemen diri yang kronis sebagai intervensi penyakit sistemik yang melibatkan pemantauan diri dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, atau keduanya.

  Menurut teori self-regulatory atau regulasi diri istilah manajemen diri adalah, proses reaktif aktif menetapkan tujuan, memilih strategi, mengamati diri sendiri, membuat penilaian berdasarkan pengamatan, dan bereaksi dengan tepat dan jelas dalam salah satu strategi (Bartholomew, Parcel, Kok, & Gottliels, 2006). Kesimpulannya, manajemen diri adalah kemampuan atau kesediaan pasien untuk mengubah dan mempertahankan perilaku tertentu yang bertujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan.

B. Tinjauan Umum Tentang Lansia

  1. Definisi Lansia Menua (= menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. (Constantinides, 1994., Martono, H. Hadi & Kris Pranaka, Edisi ke-4, 2011).

  Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anakanak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap pada masa ini (Azizah, 2011 dalam Anni Sinaga, 2015).

  Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini dan memasuki selanjutnya yaitu usia lanjut kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Darmojo, 2004) Menurut (Keliat, 1999) Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Christine B, 2013 dalam Taufik Nugroho, 2014).

  2. Proses Menua Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2012 dalam Taufik Nugroho, 2014). Toeri-teori proses menua ( Siti Bandiyah, 2009) diantaranya :

  a. Teori-teori Biologi 1) Teori genetik dan Mutasi (Somatic Mutatie Theory)

  Menurut teori menua telah terprogram secara geenetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogrma oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)

  2) Pemakaian dan Rusak kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel- sel tubuh lelah (terpakai) 3) Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh yang disebut teori akumulasi dari produk sisa. Sebagai contoh adanya pigmen

  Lipofuchine di sel otot jantung dan sel susunan saraf pusat pada orang lanjut usia yang mengakibatkan mengganggu fungsi sel itu sendiri

  4) Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan 5) Tidak ada perlindungan terhadap radiadi, penyakit dan kekurangan gizi 6) Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory)

  Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh ialah tambahan kelenjar timus yang ada pada usia dewasa berinvolusi dan semenjak itu terjadilah kelainan autoimun (menurut GOLDTERIS & BROCKLEHURST, 1989 dalam Siti Bandiyah, 2009). 7) Theory Immunology Slow Virus (immunology Slow Virus Theory)

  System immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

  8) Teori stress Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Rgenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

  9) Teori Radikal bebas Radikal bebas dapat terbentuk dindalam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organic seperti karbohidrat dan proteon. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

  10) Teori Rantai Silang Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis kekacauan dan hilangnya fungsi. 11) Teori Program

  Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-sel tersebut mati.

  b. Teori kejiwaan Sosial 1) Akitivitas atau kegiatan (Activity Theory) 2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory) 3) Teori pembebasan (Didengagement Theory)

  a) Kehilangan peran (Loss of Role) b) Hambatan kontak sosial (Restrastion of Contacts and Relation Ships)

  c) Berkurangnya komitmen (Reuced commitment to Social Mores and Values)

  3. Batasan Usia Lanjut Batasan usia lanjut didasarkan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 adalah 60 tahun. Namun,berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program kesehatan usia lanjut. Departemen kesehatan membuat pengelompokan seperti dibawah ini : a. Kelompokan Pertengahan Umur

  Kelompokan usia dalam masa verilitas,yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).

  b. Kelompok Usia Lanjut Dini Kelompok dalam masa prasenium,yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun) c. Kelompok Usia Lanjut

  Kelompok dalam masa Senium (65 tahun keatas)

  d. Kelompok Usia Lanjut dengan Risiko Tinggi Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri,terpencil,menderita penyakit berat atau cacat.

  Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Notoatmodjo (2011) lanjut usia meliputi : a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun .

  b. Usia Lanjut (elderly) adalah kelompo usia 60-70 tahun.

  c. Usia Lanjut Tua (old) adalah kelompok usia antara 70-90 tahun d. Usia Sangat Tua (very old) adalah kelompok usia diantara 90 tahun.

  4. Klasifikasi Lansia Menurut Maryam (2008) dalam Wulandari D (2015) klasifikasi lansia dibagi lima, yaitu : a. Pralansia (prasenelis), yaitu seseorang yang berusia antara 45 sampai 59 tahun.

  b. Lansia yaitu, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

  c. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun lebih dengan masalah kesehatan.

  d. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

  e. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak bisa mencari nafkah, sehingga hidup bergantung pada orang lain.

  5. Tipe Lansia Menurut Effendi & Makhfudi, (2009) dalam Wulandari D (2015) tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya. Tipe tersebut yaitu : a. Tipe mandiri Lansia tersebut bisa mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, dan dapat bergaul dengan teman.

  b. Tipe arif bijaksana Lansia tersebut bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, dermawan, dan menjadi panutan.

  c. Tipe pasrah Lansia tersebut hanya menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

  d. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.

  e. Tipe bingung Lansia biasanya suka kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

  6. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

  a. Perubahan system tubuh yang berhubungan dengan usia menurut (Brunner & Suddarth, 2013) :

  1) Perubahan pada system kardiovaskuler Perubahan struktural yang terjadi akibat penuaan pada jantung dan system karidovaskular mengakibatkan penurunan curah jantung, penurunan kemampuan merespons stress; frekuensi jantung dan volume sekuncup tidak meningkat dengan kebutuhan maksimal; kecepatan pemulihan jantung lebih lambat; peningkatan tekanan darah. Seperti, keluhan keletihan dengan peningkatan aktivitas.

  2) Perubahan system pernapasan Perubahan system respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi; peningkatan diameter anterioposterior dada, kolpas osteoporotik vertebra yang mengakibatkan peningkatan kurvatura konveks tulang belakang, penurunan mobilitas kosta dan penurunan efisiensi otot pernapasan, peningkatan volume residual paru; penurunan gas dan kapasitas difusi membuat lansia lebih rentan terhadap infeksi respirasi. Seperti, keletihan dan sesak napas setelah beraktivitas; kesulitan membatukkan sekret. 3) Perubahan system integument

  Dengan bertambahnya usia, terjadilah perubahan instrinksik dan ekstrinksik yang mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit.

  Epidermis dan dermis menjadi lebih tipis. Serat elastik berkurang jumlahnya, kolagen menjadi kaku, lemak subkutan berkurang terutama pada ekstermitas. Hilangnya kapiler kulit mengakibatkan penurunan suplai darah, penurunan perlindungan terhadap trauma dan pajanan matahari; penurunan perlindungan terhadap suhu yang ekstrim; berkurangnya sekresi minyak alami dan keringat. Seperti, kulit Nampak tipis dan keriput; keluhan cedera; memar dan terbakar matahari, dan lain-lain. 4) Perubahan system reproduksi

  Produksi estrogen dan progesterone oleh ovarium menurun saat menopause. Perubahan yang terjadi pada system reproduksi wanita meliputi penipisan dinding vagina dengan pengecilan ukuran dan hilangnya elastisitas; penurunan ssekresi vagina, mengakibatkan kekeringan, gatal, dan menurunnya keasaman vagina; involusi (atropi) uterus dan ovarium; dan penurunan tonus muskulus pubokoksigeus, mengakibatkan lemasnya vagina dan perineum.

  Perubahan tersebut berakibat perdarahan vagina dan nyeri saat bersenggama. Pada pria lansia, penis dan testis menurun ukurannya dan kadar androgen berkurang. Seperti, wanita; nyeri saat beruhubungan kelamin, pria; ereksi dan pencapaian orgasme melambat. 5) Perubahan system musculoskeletal

  Perubahan pada system musculoskeletal pada usia lanjut mengakibatkan kehilangan kepadatan tulang, kehilangan ukuran dan kekuatan otot, degenerasi tulang rawan sendi. Seperti, penurunan tinggi badan; rentan terhdap fraktur; kifosis; keluhan nyeri punggung; kehilangan kekuatan; fleksibilitas dan ketahanan serta nyeri sendi.

  6) Perubahan system genitourinarius Pada system ini, tetap berfungsi secara adekuat pada individu lansia, meskipun terjadi penurunan massa ginjal akibat kehilangan primer beberapa nefron. Perubahan fungsi ginjal meliputi penurunan laju filtrasi; penurunan fungsi tubuler dengan penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urin, dan perlambatan restorasi keseimbangan asam basa terhadap stres. Pria dan Wanita; kapasitas kandung kemih menurun, keterlambatan rasa ingin berkemih. Pria; hiperplasi prostat jinak, wanita; otot dasar panggul melemah. Seperti, retensi urin, kesulitan berkemih, urgensi, frekuensi dan inkontinensia urin.

  7) Perubahan system gastrointestinal Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter gastroesofageus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat. Terjadi penurunan salivasi, kesulitan menelan makanan, dan penurunan motilitas gastrointestinal. Seperti, keluhan mulut kering, keluhan sesak, nyeri uluh hati, dan gangguan pencernaan. Keluhan konstipasi, flatulens dan ketidaknyamanan abdomen.

  8) Perubahan system saraf Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel saraf yang tidak bisa diganti. Terjadi penurunan sintesis dan metabolisme neurotransmitter utama. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat, sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespons dan bereaksi. Kinerja system saraf otonom berkurang efisiennya, dan hipotensi postural, yang menyebabkan seseorang merasa pusing saat berdiri dengan cepat, dapat terjadi. Iskemia serebral dengan pusing akan mempengaruhi mobilitas dan keamanan. Homeostasis lebih sulit dijaga, namun bila tanpa perubahan patologis, seorang lansia dapat berfungsi dengan adekuat dan mempertahankan kemampuan kognitif dan intelektual.

  Bersama dengan perubahan system saraf adalah penurunan aliran darah otak. Seperti, respons dan reaksi melambat; keluhan pingsan dan sering jatuh. Namun, dalam kondisi normal, pasokan glukosa dan oksigen masih mencukupi.

  9) Perubahan system indera khusus Kehilangan sensorik akibat penuaan mengenai semua organ sensorik dan mengancam interaksi. Merupakan saat dimana lansia menjadi kurang kemampuan kinerja fisiknya dan lebih banyak duduk. Penurunan fungsi organ ini, mengakibatkan kehilangan sensorik yang biasanya dapat dibantu . beberapa penurunan fungsi diantaranya : penglihatan; berkurangnya kemampuan memusatkan pada benda dekat, ketidakmampuan menerima cahaya yang menyilaukan, kesulitan menyesuaiakan terhadap perubahan intensitas cahaya; penurunan kemampuan membedakan warna.

  Seperti, pegang benda jauh dari wajah, keluhan silau dan lain-lain. Pada indera pendengaran; penurunan kemampuan untuk mendengar suara dengan frekuensi yang tinggi, seperti : memberikan respons yang tidak sesuai, minta individu mengulang kta-kata. Pada indera kecap dan penghidu ; penurunan kemampuan terhadap pengecapan dan penciuman. Seperti, menggunakan gula dan garam yang berlebihan.

  b. Menurut Nugroho, ( 2008) dalam Wulandari D (2015) ada tiga perubahan yang terjadi pada lansia, yaitu : 1) Perubahan atau kemunduran biologis

  a) Kulit menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi, fungsi kulit sebagai penyekat suhu tubuh lingkungan terhadap masuknya kuman.

  b) Rambut rontok, berwarna putih kering, dan tidak mengkilat. Hal ini berkaitan dengan perubahan degenerative kulit.

  c) Gigi mulai habis.

  d) Penglihatan dan pendengaran berkurang.

  e) Mudah lelah, gerakan menjadi gambaran lamban dan kurang lincah. f) Kerampingan tubuh menghilang terjadi timbunan lemak terutama di bagian perut dan panggul.

  g) Jumlah sel otot berkurang mengalami atrofi sementara jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsi dan kekuatan menurun atau berkurang.

  h) Berbagai pembuluh darah sangat penting, khususnya di jantung dan otak yang mengalami kekakuan. Lapisan intim menjadi kasar akibat merokok, hipertensi, diabetes mellitus, kadar kolesterol tinggi dan lain-lain yang memudahkan timbulnya penggumpalan darah dan thrombosis. i) Tulang pada proses menua pada kapur (kalsium) menurun akibat tulang menjadi kropos dan mudah patah. j) Seks yaitu produksi hormone testoteron pada pria dan hormone progesterone dan estrogen wanita menurun dengan bertambahnya umur. 2) Perubahan atau kemunduran kognitif a) Mudah lupa karena ingatan tidak berfungsi dengan baik.

  b) Ingatan kepada hal-hal dimasa muda lebih baik dari pada yang terjadi pada masa tuanya.

  c) Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang atau tempat juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingatan yang sudah mundur dan juga karena pandangan yang sudah menyempit. d) Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman skor yang dicapai dalam test-test intelegensi menjadi lebih rendah sehingga lansia tidak mudah untuk menerima hal-hal yang baru. 3) Perubahan-perubahan psikososial

  a) Pensiun, merupakan produktifitas selain itu identitas pensiun dikaitkan dengan peranan dalam sebuah pekerjaan.

  b) Merasakan atau sadar akan kematian.

  c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak yang lebih sempit.

  d) Penyakit kronis dan ketidak mampuan.

  e) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

  f) Gangguan syaraf panca indra.

  g) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

  h) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dan teman maupun family. i) Hilangnya kemampuan dan ketegapan fisik. j) Perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.

C. Tinjauan Umum Tentang Tekanan Darah Pada Lansia

  1. Definisi Tekanan Darah Menurut Wirawan (2013) dalam Zuliani & Yani (2014) Penyakit darah tinggi atau hipertensi (Hypertension) adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal.

  Hipertensi pada lanjut usia adalah pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan/atau tekanan diastolic sama atau lebih besar dari 90 mmHg (Darmojo, 2006).

  Pada tahap awal, ganngguan dari dinding pembuluh darah yang menyebabkan elastisitasnya bekurang akan memacu jantung bekerja lebih keras, karena terjadi hipertensi. Selanjutnya, bila terjadi sumbatan maka jaringan akan dialiri zat asam oleh pembuluh darah ini kan rusak dan mati, hal inilah yang disebut infark. Bila terjadi dijantung, dapat saja menyebebkan infark jantung, atau infark miokard, atau bila masih lebih ringan dapat tejadi angina pictoris dan gangguan koroner lainnya (Stanley 2006).

  Pada lanjut usia, tekanan darah akan naik secara bertahap. Elastisitas Jantung pada orang berusia 70 tahun menurun sekitar 50% disbanding orang berusia 20 tahun, maka dari itu tekanan darah wanita dan pria tua itu relative tinggi.

  2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Lansia Menurut Darmojo (2006) dalam Zuliani & Yani (2014), faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia adalah : a. Renin : Tingginya kadar renin menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan volume darah (akibat meningkatnya retensi garam dan cairan pada ginjal), mengakibatkan tingginya kadar tekanan darah.

  b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan garam : Dengan bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium. Ini menyebabkan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus.

  c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer : Akibat proses menua akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang mengakibatkan hipertensi sistolik.

  d. Perubahan ateromatous : Akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan substansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan resorbi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.

  3. Klasifikasi Hipertensi

Tabel 2.2 : Klasifikasi Hipertensi pada Orang Dewasa Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO Tahun 1999 Kategori Tekanan sistolik (mmhg) Tekanan diastolic (mmhg)

  Tensi optimal < 120 < 80 Tensi normal < 130 < 85 Tensi normal tinggi 130-139 85-89 Tingkat 1 : hipertensi ringan 140-159 90-99 Subgroup: batas 140-149 90-94 Tingkat 2 : hipertensi sedang 160-179 100-109 Tingkat 3 : hipertensi berat 180-209 110-119 Hipertensi sistolik isolasi > 140 < 90 Subgroup: batas 140-149 < 90 Tingkat 4 : hipertensi maligna > 210 > 120

  Sumber : Junaidi 2010

  Sementara itu, seorang bapak ilmu penyakit dalam Kaplan memberikan batasan atau ukuran-ukuran tertentu dalam memutuskan orang dikatakan menderita hipertensi atau tidak. Batasan ini didasarkan terutama pada perbedaan usia dan jenis kelamin masing-masing orang. Kaplan membuat ketentuan semacam ini :

  a. Seorang pria yang berusia < 45 tahun dapat dikatakan menderita hipertensi apabila tekanan darahnya pada waktu istirahat > 130/90 mmHg.

  b. Seorang pria berusia > 45 tahun juga dapat dikatakan menderita hipertensi apabila tekanan darahnya > 145/95 mmHg.

  c. Bagi seorang wanita yang tekanan darahnya > 160/95 mmHg, maka dinyatakan hipertensi (Santoso, 2010) dalam Zuliani & Yani (2014).

  4. Komplikasi Hipertensi Adapun komplikasi hipertensi di antanya: Menyebabkan aterosklersis sehingga mempercepat terjadinya penyakit jantung iskemik;

  Gagal jantung; System saraf menyebabkan perdarahan intraserebral; Ginjal menyebabkan glomerulu atau nekrosis, proteinuria; Gangguan penglihatan; Gangguan neurology; Gagal jantung; Gangguan fungsi ginjal; Gangguan serebral; Tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara.

D. Tinjauan Umum Tentang Self-Management

  1. Pengertian Self management

  Self-management diartikan sebagai sebuah penguatan bagi individu

  dengan penyakit kronik sebaik cara untuk meningkatkan status kesehatan dan mengurangi besarnya biaya perawatan kesehatan ( Wilson, 2001 dalam Chaplin et al., tanpa tahun dan Brilliati P, 2016).

  Self-management didefinisikan dalam cara yang berbeda-beda, tetapi

  secara umum hal ini dideskripsikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur gejala-gejala, pengobatan, kensekuensi fisik dan psikis, dan perubahan gaya hidup yang melekat pada kehidupan seseorang dengan penyakit kronis ( Barlow et al., 2002 dalam Lennon et al, 2013 dan Brilliati P, 2016).

  Perawatan diri adalah istilah yang lebih luas. Menurut Riegel dan

  Carlson (2002) manajemen diri merupakan salah satu komponen dari perawatan diri yang melibatkan proses menjaga kesehatan melalui praktik kesehatan yang positif, dan mengelola penyakit. Manajemen diri merujuk pada perilaku individu dimaksudkan untuk mempertahankan atau meningkatkan kesehatan dan mencegah eksaserbasi (Deaton, 2000). Dokter sering mendefinisikan manajemen diri sebagai kepatuhan pasien atau kepatuhan terhadap rejimen pengobatan, mengenai manajemen diri, pasien juga bertanggung jawab untuk memantau dan menanggapi perubahan dalam status kesehatan mereka dan kehidupan sehari-hari, menjaga kesehatan umum mereka dan menghindari faktor risiko untuk penyakit lain, misalnya dengan makan makanan yang sehat dan berpartisipasi dalam olahraga teratur (Deaton). Faktor utama dari manajemen diri dari penyakit kronis adalah bahwa orang berpartisipasi secara efektif dalam mengelola perawatan kesehatan mereka sendiri secara terus-menerus (Gallagher, Donoghue, Chenoweth, & Stein-Parbury, 2008 dalam Akhter,N; 2010).

  2. Teori-teori Self Management Menurut Boger (2014) dalam Brilliati P (2016) teori-teori yang menonjol yang mungkin menopang keberhasilan self-management adalah sebagai berikut :

  a. Model Perawatan Kronik ( The Chronic Care Model) Model perawaatan kronik menyatakan bahwa ada 6 elemen yang berpengauh pada peningkatan kualitas klinis seseorang, yaitu komunitas, sistem kesehatan, dukungan self-management, delivery

  system design , dukungan keputusan, dan informasi klinis ( Wagner,

  1998;1999 dalm Boger, 2014 dan Brillianti P 2016)

  b. Perceived Control Kontrol perasaan didefinisikan sebagai keyakinan bahwa seseorang dapat menentukan keadaan internal dan kebiasaan mereka sendiri, mempengaruhi lingkungannya, dan/atau tujuan yang diharapkan (Wallston et al.,1987 dalam Booger, 2014 dan Brilianti P, 2016)

  c. Locus of control

  Locus didikotomikan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal

  (Rotter, 1966 dalam Booger 2014 dan Brilianti P, 2016). Seseorang dengan internal locus control didefinisikan sebagai seseorang yang percaya bahwa hasil atau penguatan yang dinilai terjadi sebagai konsekuensi langsung dari tindakan pribadi. Sedangkan eksternal locus control menandakan sebuah kepercayaan bahwa penguatan atau hasil adalah hasil dari kebiasaan orang lain atau dipengaruhi oleh nasib, keberuntungan, atau kesempatan. Namun banyak keterbatasan dalam teori ini dalam penerapan self-management.

  d. The Transtheoretical Of Change Teori ini dalam hal perubahan kebiasaan digunakan untuk mengklasifikasikan tingkatan-tingkatan yang berbeda atas kesiapan motivasi untuk berubah (Prochaska et al., 1992 dalam Booger 2014 dan Brilianti P 2016), The Transtheoretical Of Change berakar dari tugas seputar kecanduan, namun diaplikasikan pada sejumlah kebiasaan yang relevan pada self-management seperti peningkatan aktifias fisik, kontrol berat badan, dan diet (Sarkin et al., 2001 dalam Booger, 2014 dan Brilianti P, 2016), dan kepatuhan pengobatan pada kondisi seseorang dengan penyakit kronis (Willey et al., 2003 dalam Booger, 2014 dan Brillianti, 2016).

  e. Self-efficacy

  Self-efficacy didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang untuk