Anak-anak tiri ibu pertiwi : ruang waktu garinian dan molekularitas pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan - USD Repository

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

  

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogayakarta

RUDY RONALD SIANTURI

  

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

  

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

  

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

RUDY RONALD SIANTURI

  

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2006

  

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Ujian Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

  Oleh:

RUDY RONALD SIANTURI

  

NIM: 026322010

Dr. St. Sunardi …………………… Pembimbing Utama

  7 Oktober 2006 Dr. Antonius Sudiarja …………………… Pembimbing Kedua

  7 Oktober 2006

  

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

  

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Oleh:

RUDY RONALD SIANTURI

  

NIM: 026322010

Telah dipetahankan di depan dewan penguji pada tanggal 14 Oktober

2006 dan dinyatakan memenuhi syarat

Tim Penguji

  Ketua merangkap Moderator: Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………………..

Anggota : 1. Dr. St. Sunardi ……………….

  2. Prof. Dr. A. Sudiarja , S.J. ………………..

  3. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. ……………….

  Yogyakarta, 4 Oktober 2011 Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma

  

Pernyataan

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tulisan ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk meraih gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 14 Oktober 2006 Rudy Ronald Sianturi

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : RUDY RONALD SIANTURI Nomor Mahasiswa : 026322010

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

  RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 1 September 2008 Yang menyatakan, Cokrowihasto

  

A DAWN

  I woke up quite early at dawn. Through the window, I realized that the rain was still pouring down. Silently, I got off not to make any sound while out there a dog was barking ceaselessly. It was chilling out there. Drinking some water, I fel t so much better. The dog was still barking when someone’s cock flapping its wings so loudly. Where he hid it, I wondered. I have never seen any down there.

  A memory came back. Several years ago, I loved reading John Steinbeck’s novels. My friend introduced him to me. I t is always like this. Wailing dogs, cocks and hens fighting over corns, the farmers starting their day with whistle while horses kicking in the barn. Simple things, a simple life matrix that led him to Nobel Prize in literature. I got out of our unit to listen to another kind of sound. It was like somebody was singing in the alley. The wind blowing was entrapped in the corridor creating mysterious sounds like Indian songs at night. Even Pavarotti would not be able to produce such a beautiful harmony.

  I went up to the top of the building to have some exercise. In the swimming pool, falling leaves were being pushed gently by the ripples. The water was crystal, the breeze was refreshing. It was like a triangular love: the breeze, the leaves, and the water. I stayed there for an hour watching the sun emerging slowly from the east. I enjoyed it until the first birds came out from nowhere.

  Coming back, I looked at my wife sleeping peacefully. Her chest signaled the beat, the beats of life, a scene so simple so alive: a dawn.

  Manila, 2006

  

Ucapan Terima Kasih

  Penelitian ini tidak akan selesai tanpa dukungan, dorongan dan doa-restu banyak pihak. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikannya sebagai berikut:

  1. Sujud syukur bagi Tuhan yang berkenan bergulat dalam arena tarung batin bersama penulis yang sedang mencari dirinya secara terus-menerus.

  Ada begitu banyak pengalaman intelektual, emosional terlebih spiritual yang penulis petik selama ini. Penelitian ini menjadi latihan rohani bersama sang Guru yang menjelaskan begitu banyak hal yang saling terkait secara indah.

  2. Terima kasih untuk Bapak Dr. St. Sunardi yang berperan sangat besar dalam proses formasi intelektual penulis. Selama proses pembimbingan, penulis sungguh merasakan dedikasi yang mendalam terhadap profesi dan panggilan hidupnya sebagai pendidik dan scholar sekaligus. Bukan cuma ilmu yang penulis dapatkan namun ilmu kehidupan yang memancar dalam kesehariannya, dalam kesederhanaannya dan dalam kedalaman ilmunya yang mencengangkan. Terima kasih pula untuk Rm. Dr. Agustinus Sudiarja S.J dan Rm. Dr. Budi Susanto S.J yang berkenan menjadi pembaca ke-2 dan ke-3. Beliau berdua adalah dosen-dosen penulis yang punya peran besar langsung atau tidak langsung dalam proses formasi intelektual penulis.

  3. Khususnya untuk Rm. Dr. G. Budi Subanar S.J dan Rm. Dr. T. Baskara S.J yang sangat membantu penulis ketika penulis masih berada di Manila.

  Terima kasih untuk keramahtamaan dan pengertiannya yang sangat luar biasa bagi siapa saja. Kiranya Tuhan memberkati perjalanan panggilan Romo berdua.

  4. Untuk Rm. Dr. T. Baskara S.J, Rm. G. Budi Subanar S.J, Rm. Dr. Harry Susanto S.J, Rm. Dr. Harriatmoko S.J, Rm. Dr. Budi Susanto S.J, Rm. Dr.

  Budiawan, Dr. Fransisko, Prof. Dr. Mahasin dan semua dosen lainnya), terima kasih untuk setiap sentuhan dan pengaruh intelektual selama penulis belajar di IRB. Penulis beruntung boleh mempunyai orang-orang yang santai namun sangat mendalam ilmu dan daya analisanya dan tak pernah ragu membagikannya dalam diskusi, dalam canda dan dalam setiap perjumpaan.

  5. Untuk teman-teman IRB yang secara luar biasa mewarnai secara mendalam kehidupan penulis dengan canda-candanya yang luar biasa.

  Terima kasih kalian telah banyak bertanya, mempertanyakan dan menjawab banyak soal pada serta dengan penulis yang sangat merangsang rasa ingin tahu penulis secara terus-menerus. Takkan kulupakan wajah- wajah kalian dan kuyakin kalian pun demikian. Untuk Fitri, Rudy Ambon, Pak Viktor, Mas Ali, Muklis, Singgih, Meli, Kemal, Wahid, Siska, Samuel, Melati, Iyus, Tina dan semuanya saja ‘you are the best!’.

  6. Tentu saja, tak lupa teman-teman KBI yang beberapa di antaranya menunjukkan perhatian tulus terhadap penelitian penulis. Kiranya Tuhan saja yang membalaskan jasa kalian.

  7. Untuk teman-teman sesama peneliti Nusakambangan (Mas Ali, Iyus Brekele dan Sri), terima kasih untuk kesempatan bersama dalam susah- senang. Sungguh indah pengalaman bersama kalian semua. Sungguh beruntung penulis mendapat kesempatan mencicipi bagaimana rasanya menjadi peneliti yang melakukan penelitian di lapangan.

  8. Terima kasih untuk Mbak Hengki yang selalu siap-sedia membantu penulis menyelesaikan berbagai urusan dengan seyum manisnya dan sikapnya yang sangat ramah. Kiranya Chelsea menjadi anak yang membawa berkat bagi kedua orangtuanya.

  9. Untuk para sahabat baru di Manila (Prof. Cirilo, Prof. Marjoire, Prof.

  Antony, Prof. May-an, Prof. David, Prof. Nerissa), terima kasih untuk setiap undangan diskusinya, untuk seyum sejuta kasihnya dan untuk setiap rasa ketertarikannya pada penelitian penulis. Untuk Ate Tres, terima kasih menemukan buku-buku yang tidak sempat penulis bawa ke Manila. Sungguh, semua itu sangat memotivasi penulis dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini.

  10. Untuk teman-teman di geng Yahoo!360, terima kasih untuk cerita-cerita dan sharing kalian. Sungguh semua itu mengisi hari-hari penulis secara bermakna. Untuk Susan, Debbie, Turtle, Evi, Avi, Tris, Kellianah, Peach, Agent Q., I miss you all!

  11. Terima kasih juga untuk Bayu adikku yang dengan ketulusan dan kecerdasannya membantu penulis untuk optimis dan belajar selalu bersedekah. Kiranya puasa kamu diterima Tuhan.

  12. Untuk Herlin Untailawal, teman SMP penulis, dan Tila, terima kasih untuk doa-doanya dan pelajaran rohaninya yang sangat mendalam.

  13. Abang Lisa, Abang Sisco, Mama Kris, Mama Pemri, Mama Vita dan yang terkasih adikku Rian, terima kasih setulusnya karena kalian selalu percaya dengan saudaramu ini. Kalian adalah malaikat-malaikatku yang dikirim Tuhan untuk mengingatkan dan membantu dengan setiap sms dan telepon kalian. Mama Kris, terima kasih untuk begitu banyak bantuannya. Lae Pemri dan Mama Pemri, terima kasih untuk pendampingan kalian yang sungguh membuka pikiranku.

  14. Untuk kalian keponakan-keponakanku, terima kasih untuk canda dan setiap pertanyaan yang sangat mengusik kalbu dan otakku. Aku akan selalu merindukan kalian dan dalam doa-doaku, wajah-wajah kalian selalu muncul secara spontan.

  15. Untuk para ipar di Manila dan di mana-mana, penulis haturkan terima kasih mendalam untuk cinta kalian yang tak terukur dengan apapun.

  Manang Nica, Sister Flora dan Sister Gloria, George, David, Larry dan Eddy, terima kasih untuk setiap traktiran makannya, untuk setiap ketertarikan pada proses penulisan tesis ini dan untuk setiap dorongan tanpa batas yang telah kalian berikan. Penulis juga tidak akan melupakan mertua penulis, Tatay, yang dalam sakitnya terus bercanda dan menyapa

  Sisco,Inangbao Anik, terima kasih untuk setiap doa-restunya. Khusus untuk Lae Vita dan Mama Vita, terima kasih untuk bulan-bulan indah bersama penulis di Pangkal Pinang.

  16. Terima kasih untuk Mama dan Bapa yang sudah bersabar dan selalu percaya akan bahwa anaknya sanggup menyelesaikan satu lagi fase perjalanannya. Mama dan Bapa selalu duduk bersama penulis meskipun tanpa kata menemani hari-hari penuh pergulatan di depan layar komputer. Tidak ada kata yang sanggup mengekspresikan keindahan setiap gelas kopi yang Mama sediakan, untuk candanya setiap kali kesulitan menghadang dan untuk setiap pertanyaan dari Mama dan Bapa mengenai penelitian ini yang membantu menstimulasi pikiran penulis.

  17. Terima kasih setulusnya untuk istri penulis yang rela ‘berpisah’ demi penyelesaian tesis ini, untuk setiap diskusi dan rangsangan intelektual yang mengembangkan minat akademik dan daya analitik penulis secara luar biasa. Sebagai seorang penyair dan penulis professional, sang Istri banyak membantu penulis mendalami elemen-elemen puitis dalam Puisi

  Tak Terkuburkan. Tak lupa pula, terima kasih untuk setiap canda dan tawa

  yang boleh kami lalui di tengah-tengah setiap tantangan kehidupan bersama.

  18. Yang terakhir, terima kasih setulusnya untuk Yoshua, keponakan penulis, yang selalu menyambut penulis dengan cerita dan pelukan kasihnya yang membuat penulis selalu merasa dicintai dengan tulus.

  Penulis telah belajar mencurahkan energi minat untuk mampu menyelesaikan keseluruhan proses pendidikan formal ini. Tentu saja, studi ini masih jauh dari sempurna dan untuk setiap kekurangannya menjadi tanggung- jawab penulis.

  

Daftar Isi

  Judul i

  Halaman Persetujuan Pembimbing ii

  Halaman Pengesahan iii

  Pernyataan iv

  Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah v Halaman Persembahan vi

  Ucapan Terima Kasih vii

  Daftar Isi xi

  Abstrak xiv

  Abstract xv

  Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik ..................................... 1

  1. Mengapa Sinema dan Filsafat? ........................................................... 2

  2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan? .............................................. 5

  B. Status Questionis .................................................................................... 10

  C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 11

  D. Metodologi .............................................................................................. 11

  E. Relevansi Penelitian ................................................................................ 12

  F. Skema Penulisan ..................................................................................... 12

  Bab II Film Sebagai Diskursus: Dari Saussure Menuju Semiotika Bahasa Film Hingga Deleuzian Time-Image

  15 A. Produksi Makna Saussurian .................................................................... 18

  B. Semiotika Film: Saussurian atau anti Saussurian ................................... 21

  C. Gilles Deleuze: Dari Action-Image ke Time-Image ................................ 28 C.1 Durasi Bergsonian ............................................................................ 28 C.2 Akumulasi Krisis dan Patahnya Proses Identifikasi ......................... 33

  C.2.3 Munculnya Pikiran dan Time-Image ...................................... 37 C.3 Gerakan Ganda Cipta dan Hapus ..................................................... 40

  C.3.2 Sinema adalah Pengetahuan, Aktor adalah Medium .............. 41 C.4 Beberapa Kategori Deleuzian Lainnya ............................................ 43

  Bab III Menguak Bahasa Film Garin Nugroho

  47 A. Kontradiksi, Fragmen Visualisasi dan Dialog Internal ........................... 51

  1. Trauma: Fiksasi Ruang-Waktu dan Pergolakan Perseptual .............. 51

  2. Perbedaan Reaksi Para Tahanan Perempuan dan Laki-Laki............. 56

  3. Pengalaman akan Waktu: Garinian Time-Image? ............................ 62

  B. Garinian Images: Pergeseran dari Movement-Image ke Time-Image..... 66

  1. Sudut Pandang Kamera dan Kontinuitas Temporal .......................... 66

  2. Dialog Internal dan Konseptualisasi Ruang-Waktu Garinian .......... 69

  C. Musik dan Syair ...................................................................................... 72

  Bab IV Membongkar Garinian Time-Image: Menuju Estetika Baru dan Originalitas Pikiran

  73 A. Ruang Garinian ........................................................................................ 75

  1. Ruang dan Kematian: Sebuah Distorsi ............................................. 76

  2. Diskontinuitas dan Ekstensivikasi Ruang: Intensivikasi Emosional .......................................................................................... 80

  B. Waktu Garinian ...................................................................................... 84

  1. Reduksi dan Paradoks Waktu Penjara............................................... 85

  2. Ruang-Waktu Garinian: Kontras, Pembalikan dan Partisipasi Penonton ............................................................................................ 89

  C. Suara, Bunyi dan Musik: Monotonitas Dinamis, Simultanitas dan

  Doppler Effect ......................................................................................... 95

  D. Garinian Time-Image .............................................................................. 100

  1. Proses Menjadi: Konfrontasi dan Filmic Caesura ............................ 100

  2. Filmic Alliteration ............................................................................. 110

  4. Dialog Internal, Trial and Error serta Visualisasi ............................ 120

  5. Munculnya Pikiran: Material Capture, Machinic Assemblage dan Rhizome ...................................................................................... 132

  Bab V Estetika Baru dan Proses Menjadi Indonesia: Sebuah Tawaran Garinian 143

  A. Estetika Baru: Molekularitas dan Sensasi ............................................... 147

  B. Menjadi Indonesia Model Garinian ........................................................ 155

  C. Menuju Praxis Filsafat Kontemporer Indonesia ..................................... 163 Daftar Pustaka

  170 Sinopsis

  172 Daftar Istilah

  175

  

Abstrak

Anak-Anak Tiri Ibu Pertiwi: Ruang-Waktu Garinian dan Molekularitas

Pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan

  Film Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh ke dalam tragedi kemanusiaan dan trauma 1965. Film ini akan dianalisa secara Deleuzian.

  Penelitian ini hendak menjawab empat pertanyaan yaitu: (1) Simbolisme apa yang ada dalam film tersebut?; (2) Bagaimanakah pengalaman waktu sinematik kita?; (3) Kesadaran seperti apa yang sedang ditawarkan?; dan (4) Bagaimanakah film berfungsi dalam proses menjadi Indonesia baru?

  Studi ini bergerak melalui dinamika cipta-hapus dengan melibatkan penonton dalam konteks (zone of indeterminancy). Cipta-hapus ini adalah relasi-relasi antar real-imaginer, fisikal-mental, obyektif-subyektif, deskriptif- naratif, aktual-virtual yang saling merefleksikan dan menubruk hingga pada titik tertentu tak terbedakan lagi (point of indiscernibility). Konfrontasi ini memprovokasi pikiran yang terus bercabang seiring multiplikasi transformatif

  

affective images. Inilah jaringan sirkular antar image yang sepenuhnya optikal-

  suara serta antar time-image dan thought-image. Praktisnya, proses analisa akan simultan dengan pengalaman sinematik (experiential) dalam bentuk retelling.

  Hasil studi menunjukkan berbagai capaian Garin khususnya filmic

  

ceasura, filmic alliteration, Doppler effect, medan vibrasi berkombinasi dengan

  dialog internal serta aneka ‘mutasi’ indrawi, gestural, pola dan dimensi interaksi. Selain menciptakan tanda-tanda, Garin juga mengembangkan filsafat waktunya lewat konfrontasi antar yang mekanis, represif dan affective images dengan vibrasi pada level personal maupun kolektif. Ia bahkan mendestabilisasikan distingsi waktu dan ruang (yaitu pertukaran bentuk dan isi secara intens-frontal dalam benak pemain maupun penonton) seraya menciptakan dimensi ruang-waktu Garinian.

  Ada tawaran estetika baru berkat penciptaan sensasi tanpa henti yang membuat subyektivitas terjadi secara molekuler. Dalam konteks menjadi Indonesia, Garin menawarkan sejarah sebagai pertumbuhan dan percabangan multi dimensi berkat konfrontasi dinamis dengan daya-daya hidup. Ia adalah diskontinuitas yang mengandaikan partisipasi pencecapan sensoris secara dinamis-mobile. Yang lampau (former present) hanya dimengerti sepenuhnya via pengalaman bukan via analisa intelektual-ideologis semata. Dengan lebih peka pada tubuh (locus sejarah) sebagai interkoneksivitas afektif-perseptif, Garin membuat pikiran berpikir di lua r ‘pikiran resmi’ (subversif) seraya menjaganya dari bahaya pengeroposan dan penyeragaman ideologis-visual. Ada juga tawaran mendinamisasi filsafat kontemporer Indonesia lewat konsep biografi affective

  

images di sepanjang contact zones (basis field work) yang bertumbuh (ekstensif

dan intensif) seraya mentranformasikan sejarah secara radikal (konstruktivisme).

  Biografi ini dipresentasikan secara konseptual-provokatif pada tataran duratif.

  

Abstract

The Outcasts of the Motherland: Garinian Time-Space and the Molecularity

of Experience in The Poem Unburied.

  The Poem Unburied the

  represents Garin Nugroho’s filmic effort to retell 1965 tragedy. The study adapts Deleuze's approach to film analysis. This research explores four questions: (1) What symbolism exists in the film?; (2) What kind of cinematic experience of time is being offered?; (3) What kind of consciousness is being constructed?; and (4) How does film function in the process of becoming a new Indonesia?

  This study makes use of the double movement of creation and erasure. It accommodates . The the audience’s cinematic experience in terms of creation-erasure is the relations between real-imaginer, physical-mental, objective-subjective, actual-virtual which reflect and collide with each other to the point of indiscernibility. This collision provokes thought to keep splitting proportionally to the transcendent plurality of affective images. This process gives rise to the fibrous web of connections among the images which are fully optical and audio and among time-image and thought-image. Shortly, the analysis process parallels the audience’s cinematic experience in the form of retelling.

  T he research shows Garin’s various achievements as evidenced in the way he used devices such as filmic caesura, filmic alliteration, Doppler effect and the vibration field in combination with the many types of sensory mutation, gestures, patterns and interactions. While creating new signs, Garin also develops his own philosophy of time through the confrontational encounters between the mechanical, repressive and affective images with the vibration is on the personal and collective level. He even destabilizes time-space distinction (making it intense and frontal exchanges between form and volume in the minds of characters and audience) creating the so-called Garinian time-space

  Garin offers new aesthetics by continuously producing sensation that can be experienced in the minutest level. In terms of becoming Indonesia, he offers the notion of history as the multi-dimensional growth and multiplication resulting from the dynamic confrontation with the forces of life. History is a discontinuity calling for sensory participation in a fluid manner. The past (former present) can fully be comprehended experientially, not through an intellectual-ideological analysis. Being more sensitive to the body (locus of history) as the interconnectivities of affect-percept, he enables thought to think outside the ‘official’ thinking making it well-guarded from the dangers of ideological-visual uniformity and monolithic politicized subjectivity.

  Garin inspires us to conceptualize the so-called biography of affective images as a way of dynamizing Indonesia’s contemporary philosophy. These affective images are those across the contact zones (the field-work basis). They are always in a growth (both extensively and intensively) while transforming history radically (constructivism). This biography is then presented conceptually and provocatively along the field of . The big project implied is the

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik Hidup tanpa lingkaran refleksi dan praktik, bagaimana mungkin bisa

  merespon, mengantisipasi dan mentransformasi sarat dimensi pengalaman dan interaksi antar pengalaman secara maksimal? Pertanyaan ini bisa direspon dari tiga bidang yang berbeda yaitu sains, estetika dan filsafat. Di sisi lain, pengalaman mengajarkan kita bahwa operasionalitas sebuah sudut pandang seringkali membutuhkan sumbangan-sumbangan dari wilayah disiplin lainnya secara langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, tetap dimungkinkan aplikasi satu sudut pandang secara ketat untuk mengupas tuntas sebuah permasalahan yang sudah didefinisikan secara sistematis. Akan tetapi, pada titik tertentu biasanya mono-analisis seperti itu mengalami kejenuhan dan membuka jalan bagi operasionalitas disiplin-disiplin lainnya. Inilah yang kita kenal sebagai lintas disiplin yang memungkinkan sesuatu ditelaah menurut dimensi-dimensi sains, estetis maupun filosofisnya seperti yang kerap kita temukan dalam ranah cultural

  studies.

  Studi ini merupakan upaya menggabungkan ketika bidang di atas dengan tekanan kuat pada dimensi estetis dan filosofis. Salah satu produk kultural yang paling kuat merepresentasikan ketiganya adalah film. Dengan asumsi bahwa film secara ketat ataupun longgar mengekspresikan estetika dan filsafat sang pembuatnya, olah film sangat potensial untuk membawa kita pada temuan-temuan baru dalam berbagai bidang termasuk filsafat itu sendiri.

  Filsafat patut mendapat perhatian khusus tanpa meremehkan estetika dan sains tentunya. Seringkali diasosiasikan dengan tradisi Yunani yang kemudian menjadi tradisi pemikiran dunia Kristen Barat, filsafat di Indonesia tampaknya gejala umum yang bisa menjelaskan situasi ini adalah fakta penerapan berpikir secara filosofis atau lintas disipliner yang cenderung apatis, terlalu linier, kurang reflektif namun mekanistis atau sekedar melekatkan teori seperti misalnya dalam proses kritik sastra di kalangan mahasiswa umumnya.

  Lemahnya tradisi filsafat di Indonesia paling tidak menyangkut dua hal. Pengajaran filsafat di universitas-universitas swasta selalu berada di bawah bayang-bayang teologi tertentu. Sementara itu, di universitas-universitas negeri, filsafat selalu menjadi subordinasi Pancasila. Tanpa institusi-institusi yang independen, bagaimana mungkin mengharapkan dialog sistematis yang kontinu dan menyentuh setiap level pergulatan baik secara internal maupun lintas ilmu. Filsafat tidak berpikir dan melibati apa yang sedang dihadapi masyarakatnya. Sebaliknya, filsafat boleh dikatakan mengalami stagnasi dan juga begitu ilmu- ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, filsafat harus menemukan dirinya kembali dan mereorientasikan daya-daya hidupnya dalam rangka memberdayakan dirinya dan/atau ilmu-ilmu humaniora lainnya dengan membuat berbagai pilihan dan aliansi strategis.

1. Mengapa Sinema dan Filsafat?

  Pada titik kritis inilah filsafat berhadap-hadapan dengan sinema baik pada level teori maupun proses. Sebagai salah satu produk budaya yang paling berpengaruh, sinema adalah harmoni adonan teknologi dan estetika yang terolah kreatif dengan organisasi naratif tertentu seturut pilihan dan pesan tematik tertentu (kandungan sosial sinema).

  Di sisi lain, di dalam dirinya sendiri, sinema adalah industri kecerdasan sekaligus perjalanan budaya material manusia yang hakikatnya diarahkan pada eksplorasi dan eksploitasi ruang-ruang pengalaman manusia baik dengan dirinya, sesamanya, dunia realitas dan berbagai sarana ataupun produk kulturalnya. Inilah pusat pergulatan estetik individual (sutradara, misalnya) maupun kolektif (penonton, misalnya), lingkaran produksi-distribusi-konsumsi yang mengandaikan

  1

  konsumsi. Secara semiotik, pengalaman sinematik adalah resultansi pengalaman dengan gerak (movement) dan waktu (time). Harmoni sinematografis justru tercipta lewat tumpang-tindih presentasi dan pengalaman signifikasi dalam

  

2

konteks hubungan-hubungan ruang-waktu .

  Dewasa ini, level dan corak pengalaman sinematik sekali lagi mengalami transformasi revolusioner, menapaki tataran citraan-waktu spontan (direct time-

  

image). Sebelumnya, meskipun objek dan setting sudah memiliki realitasnya

  sendiri, realitas itu sifatnya fungsional melulu tergantung tuntutan situasi. Ruang (space) identik dengan sebuah setting yang mengandaikan serangkaian tindakan untuk membukanya atau untuk mengantisipasi maupun memodifikasi ruang tersebut. Gerak atau tindakan itu secara logis menghasilkan gagasan dan pengalaman akan waktu. Waktu tergantung pada sang protagonis yang

  3

  mengkonsumsi setting dan aneka objek untuk mengekspresikan makna sekaligus tindakannya (action-image based cinema).

  Kini objek dan setting mewujud dalam realitas material otonom yang menghasilkan signifikasi dalam dirinya sendiri. Secara esensial, penonton maupun para pemain menciptakan berbagai setting dan objek dengan tatapan (gaze) mereka. Mereka melihat dan mendengar objek-objek dan orang-orang di dalam film itu seraya menunggu pematangan momen untuk aksi atau hasrat (passion) terlahir secara langsung-spontan serta berkesinambungan (a pre-existing daily

  

life). Logika linear dan kontinuitas berbasis gerakan (movement-based continuity)

1 menjadi masa lalu. Kaitan-kaitan (rational cuts) yang mengandaikan gerak sang

Menurut hemat penulis, terlepas dari suguhan estetis yang terkandung dalam setiap proses

produksi sinematik, setiap proses konsumsi (secara aktif, pasif, skeptis, dan seterusnya) pasti

menghasilkan struktur pengalaman tertentu. Hal ini dimungkinkan karena sinema tanpa henti

melibatkan pencerapan sensoris dan intelektual serta berbagai lapisan struktur pengalaman

individual maupun kolektif (efek audiovisual versus derajad keterbukaan seseorang atau audiens

terhadap tawaran sinematik tertentu), melibatkan memori (yang sifatnya sensoris, afektif,

2 intelektual, sosial, religius, kultural, ideologis) maupun filter sosiokultural.

  

Bagian ini yang menyangkut direct time-image adalah buah pemikiran Gilles Deleuze seperti

yang ia paparkan secara menyeluruh dalam bukunya Cinema 2, The Time-Image, Hugh Tomlinson

3 dan Robert Galeta (trans), (London: The Athlone Press, 2000).

  

Konsumsi yang penulis maksudkan adalah segala proses bergerak dan bertindak dalam setting

dan aneka objek sedemikian sehingga menghasilkan logika, makna dan gerakan narasi (yang pada pemain (shot to sequence) dibekukan hanya menyisakan melulu optikal dan suara yang dicerap indra sebelum sebuah tindakan mengambil ekspresinya. Waktu hadir

  4

  secara spontan, dialami secara simultan dengan sebuah situasi sinematik . Waktu sepenuhnya independen, tak tergantung lagi pada gerakan.

  Seorang filsuf mengalami bagaimana sinema sedang menstrukturasi dan merestrukturasi masyarakat secara keseluruhan. Struktur budaya dan identitas sosial selalu dalam proses menjadi (in the process of becoming). Hadir situasi baru. Hadir tantangan baru untuk melakukan refleksi filosofis-sistematis dan respon-tindakan nyata (praksis). Inilah yang kiranya dilakukan Gilles Delauze, salah satu teoritisi film sekaligus filsuf terkemuka. Ia percaya bahwa seorang filsuf seyogyanya bekerja seiring perkembangan sinema. Filsuf adalah penyelam dalam dunia tanda-tanda sinematik. Aktivitas ini adalah upaya untuk mengklasifikasikan berbagai citra dan tanda namun kemudian diurutkan kembali untuk tujuan-tujuan baru. Daya tarik sinema yang terpenting adalah kemampuannya mentransformasikan konstruksi-konstruksi konseptual menjadi dimensi-dimensi baru. Konseptualisasi itu sendiri selayaknya mengintegrasikan

  

percept dan affect (yang tidak boleh dikacaukan dengan istilah persepsi dan

  perasaan atau feeling). Ketiganya membentuk kompleks kekuatan yang tak terpisahkan yang bergerak dari seni ke filsafat dan dari filsafat ke seni. Jelas sekali praksis dimaksud bukanlah untuk mengaplikasikan konsep-konsep filosofis dalam sinema melainkan bekerja dengan konsep-konsep yang ditimbulkan dalam dan oleh sinema. Pada gilirannya dialog intens terjadi antar keduanya dan antara filsafat dan bidang-bidang ilmu lain secara umum.

  4

2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan?

  Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh

  ke dalam trauma dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia di

  5

  tahun 1965 . Berawal dan berpuncak pada terbunuhnya tujuh jenderal Angkatan Darat di sebuah tempat yang disebut Lubang Buaya, kisah setelahnya adalah mobilisasi tanpa batas, angkara murka, balas-dendam, aniaya, orgi penggorokan masal di berbagai titik eksekusi di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya. Indonesia tak pernah lagi sama sejak kemenangan mutlak ABRI khususnya Angkatan Darat terhadap musuh-musuh Pancasila (yang praktisnya diterjemahkan sebagai Partai Komunis Indonesia beserta organisasi-organisasi 5 Keith Foulcher mencatat bagaimana ingatan sejarah (remembered history) menjadi bagian

  

perkembangan sastra dan pergulatan para penulis Indonesia. Ia mencatat bahwa di sepanjang 1970-

an, kebanyakan produk sastra bungkam terhadap peristiwa 1965 maupun dampaknya bagi

kehidupan bangsa ini pada level individual, komunitas maupun sebagai bangsa. Ia mencatat bahwa

paska 1965, ada sejumlah cerita pendek yang terbit namun tujuannya untuk menggalang

pengertian (understanding) ataupun membersihkan nama. Sejarah mulai muncul kembali dalam

khazanah kesusastraan Indonesia di tahun 1979 tidak lewat sastra seni (art literature) namun justru

dalam genre sastra pop sebagai konsekuensi praktis dari pertumbuhan kelas elit menengah

perkotaan yang diwakili kelompok muda yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung

berbeda dari generasi penulis cerita pendek di atas. Akhirnya sejarah kembali secara serius digarap

dengan kemunculan Yudhistira Ardi Noegraha dalam Mencoba Tidak Menyerah (Jakarta:

Gramedia, 1979) yang merepresentasikan kombinasi sastra dan dokumen sosial. Dalam

perkembangan selanjutnya, kita melihat kebangkitan sastra seni lewat para penulis „kiri‟ yang

dipenjara karenan afiliasinya dengan peristiwa 1965. Begitulah, Pramoedya Ananta Toer

menggelegar dengan Bumi Manusia di tahun 1980 selain banyak penulis cemerlang lainnya.

Hingga akhirnya muncul Ajip Rosidi dengan Anak Tanah Air, Secercah Kisah (Jakarta: Gramedia,

1985) yang dengan Rendra merepresentasikan kelompok penulis muda Indonesia yang

menekankan „regional identities and regional cultural roots as a basis for the development in the

national literary tradition‟. Mereka mengklaim sebutan Angkatan Terbaru. Novelnya ini sangat

berbeda dari konvensi sastra angkatan sebelumnya seperti misalnya Nyali (Putu Wijaya). Anak

Tanah Air, Secercah Kisah karena merepresentasikan „a realist historical novel, in part a historical

documentary, full of autobiographical elements and peopled by actual historical figures, either

under their own names or thinly disguised behind pseudonyms‟. Buku dan posisi Ajip Rosidi yang

independen tidak memihak kiri (Lekra) atau kalangan nasionalis ini menyulut polemik

sebagaimana yang terekam dalam beberapa edisi Horison, April hingga Agustus 1987. Arief

Budiman waktu itu sempat menulis editorial bertajuk „Do we have the courage to look at our past

history?‟. Untuk lengkapnya, silahkan baca Keith Foulcher, 1991. “Making History: Recent

Indonesian Literature and the Events of 1965

  ,” dalam Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965

  • – 1966. Studies from Java and Bali (Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash

  University, 1991), hlm. 101 –119.

Kita bisa menempatkan Garin Nugroho dan Puisi tak Terkuburkan dalam konteks ini. Akan tetapi,

  

onderbow-nya sekaligus anggota-anggota dan para simpatisan langsung atau tidak

  langsung). Kemenangan Pancasila terhadap “G 30S PKI” menjadi titik nol sejarah republik ini, titik awal penulisan kemajuan bangsa, justifikasi ideologi pembangunan, justifikasi etis kamp-kamp konsentrasi untuk mencerca, menjerat dan mengisolasi berbagai anasir komunis dan antek-anteknya. Penjara-penjara penuh sesak, Nusakambangan dan Pulau Buru identik dengan kaum buangan.

  Terperangkap dalam puting-beliung tebasan clurit dan sayatan sembilu ini adalah seorang seniman didong (musik tradisional rakyat Aceh) Ibrahim Kadir. Tertuding anggota PKI, ia dilucuti dari desanya di Takengon, Aceh tengah, dan „hanya‟ dipenjara selama 11 (ditangkap 12 Oktober 1965) dan sebelum dibebaskan (22 oktober 1965) karena terbukti sekedar korban dari kekacauan dan eforia kekerasan saat itu. Lewat panca indera sang seniman (yang dimainkan Ibrahim Kadir sendiri), saksi hidup lusinan tahanan digiring ke ladang pembantaian, Garin memainkan tutur sinematiknya. Didong sang seniman menjadi musik sekaligus ritme dan tuturan sinematik di sana-sini sebelum layar menutup 90 menit kemudian.

  Dengan begitu, film produksi 1999 ini sangat menarik dan sangat menantang untuk dipertemukan dengan proses sinesemiotik Deleuzian justru karena kontroversi sejarah, mekanisme penjara yang hendak membungkam kemanusiaan dan sentralitas didong terhadap dialog dan gerak. Pertama, penjara adalah asumsi masyarakat demokratik. Penjara adalah konsekuensi logis prinsip- prinsip retributif, korektif dan remedial. Pemenjaraan adalah kondisi ideal ketika keadilan ditegakkan. Lebih dalam lagi ke diskursus penjara, kita akan menemukan ada begitu banyak elemen dalam konstruk penjara dan pemenjaraan. Penjara menunjukkan kesadaran sejarah yang meluas akan kesucian hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai universal dari demokrasi itu sendiri seperti kesetaraan, kebebasan, kebebasan mengemukakan pendapat, individualitas, hak kepemilikan, dan seterusnya.

  Pada titik ini, kita berhadapan dengan paradoks penjara. Ketika penjara dianggap bagian integral sebuah masyarakat demokratis dengan sistimatisasi

  6

  isolasi eksklusif berkat sistem tertutup dan prinsip panoptikumnya , penjara juga sekaligus miniatur dari masyarakat yang melahirkannya (sebuah relasi diferensial) dan sebuah masyarakat dalam dirinya sendiri (jadi sebuah sistem signifikasi yang independen). Pertukaran serta komunikasi antar tanda pada setiap level di antara „subyek-subyek penjara‟ selalu menghadirkan keunikan dan kekuatan potensial kreatif penciptaan dalam rangka memaknai proses-proses kodifikasi dan konvensionalisasi. Artinya, prinsip demokrasi justru mengalami banyak pertanyaan dalam dinamisme kehidupan penjara. Demokrasi ternyata bukanlah sebuah entitas yang given dan stabil tapi entitas labil yang terus-menerus berbenturan dengan motivasi subversif, pemberontakan terhadap segala upaya represi sistematis proses simbolik kontra ideologi resmi.

  Garin mengkonfrontasikan institusi penjara dan olah rasa sang seniman yang mendendang saat lidah kelu kehilangan kata tercekam realitas yang melampaui kapasitas panca indra. Garin mengambil posisi sebagai pencipta

  

tanda-tanda yang memproduksi cara-cara baru dalam mengkonsumsi dan

  memproduksi jaringan tanda, kontras-anarkhis dengan kebiasaan ingatan dan sirkuit pencerap (perceptual circuits) bangsa ini.

  Kedua, pengalaman sinematik direct time-image menisbihkan dikotomi film-audiens. Penjara dan segala sesuatu dan setiap orang di dalamnya independen menciptakan simbol-simbol dan sistem pertukaran tandanya masing-masing (intertekstualitas dan intersubyektivitas). Berbagai hal menjelmakan dirinya

  7 6 secara spontan! Aspek menjadi (becoming) ini bukan barang asing dalam karya- Jeremy Benthan (1748

  • – 1832), seorang hakim Inggris dan filsuf utilitarian adalah yang pertama

    memformulasikan prinsip pengawasan minor dengan efek maksimum. Penjara ditandai dengan

    menara pengawas yang memungkinkan penjaga melihat setiap terhukum sejelas siang hari

    sementara para napi tak pernah bisa memastikan apakah mereka sedang diamati atau tidak. Ini

    menghasilkan perasaan sedang diawasi secara terus-menerus. Disiplin ditegakkan lewat prisnip

    conditioning operant ketika para tahanan mengawasi tindak-tanduk mereka secara sukarela.

    Utilitarianisme ini secara khusus ditandai dengan evaluasi moral dan etis dalam kaitannya dengan

    kekuatan moral dan etika memproduksi kesenangan (pleasure) yaitu yang satu-satunya baik (the

    only good) atau penderitaan (pain) yaitu yang satu-satunya jahat (the only evil). Lihat Clarence L.

    Barnhart (ed), The American College Encyclopedia Dictionary (Chicago: Spencer Press, Inc.,

  • 7 1958), hlm. 114.

      Konsep becoming yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan Deleuze, “Cinema always

      8