Tinjauan Hukum Islam terhadap Wali Nasab yang Enggan Menikahkan Calon Mempelai Perempuan di Pengadilan Agama Polewali Kelas I B - Repositori UIN Alauddin Makassar

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NASAB YANG
ENGGAN MENIKAHKAN CALON MEMPELAI PEREMPUAN
DI PENGADILAN AGAMA POLEWALI KELAS I B

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum pada Jurusan Hukum Acara Peradilan Agama dan Kekeluargaan
pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar

Oleh
MUSYARRAFAH M
10100113098

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017

i


PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
   
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama

: MUSYARRAFAH M.

Nim

: 10100113098

Tempat /Tgl. Lahir

: Polewali, 15 November 1995

Jurusan

: Peradilan Agama

Fakultas


: Syariah dan Hukum

Judul

: Tinjauan Hukum Islam terhadap Wali Nasab Yang
Enggan Menikahkan Calon mempelai Perempuan di
Pengadilan Agama Kelas I B

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya
penyusun sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini merupakan duplikat,
tiruan, plagiat, dibuat atau dibantu orang lain secara keseluruhan (tanpa campur
tangan penyusun), maka skripsi dan gelar yang diperoleh batal demi hukum.
Makassar, 22 Agustus 2017
Penyusun

MUSYARRAFAH M
Nim: 10100113098

ii


iii

KATA PENGANTAR

   
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini
sebagaimana mestinya.
Kebesaran jiwa dan kasih sayang yang tak bertepi, doa yang tiada terputus
dari kedua orang tuaku yang tercinta, Ayahanda Drs. Musa S, M.Si. dan Ibunda
tercinta Yasdariah D., yang senantiasa memberikan penulis curahan kasih sayang,
nasihat, perhatian, bimbingan serta doa restu yang selalu diberikan sampai saat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudariku yang tercinta
beserta keluarga besar penulis, terima kasih atas perhatian dan kasih sayangnya
selama ini dan serta berbagai pihak yang tulus dan ikhlas memberikan andil sejak
awal hingga usainya penulis menempuh pendidikan di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1)
pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit kekurangan dan kesulitan yang dialami
oleh penulis, baik dalam kepustakaan, penelitian lapangan, maupun hal-hal lainnya.
Tetapi berkat ketekunan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari pihak lain
akhirnya dapatlah disusun dan diselesaikan skripsi ini menurut kemampuan penulis.
Kendatipun isinya mungkin terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, baik
mengenai materinya, bahasanya serta sistematikanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini disusun dan diselesaikan berkat
petunjuk, bimbingan dan bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, sudah pada
tempatnyalah penulis menghanturkan ucapan penghargaan dan terima kasih yang
tak terhingga kepada semua pihak yang telah rela memberikan, baik berupa moril
maupun berupa materil dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

iv

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang terdalam dan tak terhingga
terutama kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si. selaku Rektor UIN
Alauddin Makassar;
2. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar beserta

jajarannya;
3. Bapak Dr. H. Supardin M.H.I. selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama
UIN Alauddin Makassar beserta ibu Dr. Hj. Patimah, M.Ag. selaku
Sekertaris Jurusan Peradilan Agama;
4. Ibu Dra. Hj. Hartini, M.H.I. selaku pembimbing I dan Bapak Dr. H.
Muh. Jamal Jamil, M.Ag. selaku pembimbing II. Kedua beliau, di
tengah kesibukan dan aktifitasnya bersedia meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan bimbingan dalam proses
penulisan dan penyelesaian skripsi ini;
5. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staf akademik dan pegawai Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar;
6. Instansi terkait dan responden yang telah bersedia membantu dan
memberikan data kepada penulis dalam hal ini yakni dari pihak
Pengadilan Agama Larantuka yang telah memberikan masukan dan
saran selama penyusunan skripsi ini;
7. Seluruh Sahabat-Sahabati di UIN Alauddin Makassar terima kasih atas
dukungan dan motivasinya selama ini;
8. Seluruh teman kuliah Jurusan Peradilan Agama Angkatan 2013
Khususnya Ibnu Shobirin, Munira Hamzah S.H., Kasmanita S.H.,
Ummu Kalsum S.h., dan Fauzan Ismail Ratuloly S.H. terima kasih

atas kesetiakawanan, dukungan dan motivasinya selama ini;

v

9. Seluruh teman KKN UIN Alauddin Makassar Angkatan 53 khususnya
posko Desa Bontolangkasa Rezty Arianti, Irmawati S.Pd., Sitti
Nurhajja, Andi Wali Nono dan Irham Terima Kasih atas doa,
dukungan dan motivasinya selama ini.
10. Kepada sahabat terbaikku sekaligus teman Seperjuangan SMK Negeri 1
Polewali Angkatan 2013, Khususnya Qurrata’ayyunin J, A.Md. dan
Irwan Ansyari yang selalu memberi semangat kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
11. Kepada seluruh keluarga besarku yang tidak bosan memberikan
bantuan, semangat kepada penulis sehingga dapat terselasaikan skripsi
ini.
Atas segala bantuan, kerjasama, uluran tangan yang telah diberikan dengan
ikhlas hati kepada penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya skripsi
ini. Begitu banyak bantuan yang telah diberikan bagi penulis, namun melalui doa
dan harapan penulis, Semoga jasa-jasa beliau yang telah diberikan kepada penulis
mendapat imbalan pahala yang setimpal dengannya dari Allah swt.

Akhirnya dengan penuh rendah hati penulis mengharap tegur sapa manakala
terdapat kekeliruan menuju kebenaran dengan mendahulukan ucapan terima kasih
yang tak terhingga.
Makassar, 14 Agustus 2017
Penulis

MUSYARRAFAH M.

vi

DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .........................................................

ii

PENGESAHAN SKRIPSI ...............................................................................


iii

KATA PENGANTAR ....................................................................................

iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................

ix

ABSTRAK .......................................................................................................

xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................

1
1

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus .................................................

3

C. Rumusan Masalah ...............................................................................

4

D. Kajian Pustaka .....................................................................................

5

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .........................................................

6


BAB II TINJAUAN TEORITIS ......................................................................

8

A. Perkawinan ...........................................................................................

8

1. Pengertian Perkawinan ...................................................................

8

2. Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan...........................................

10

3. Asas-asa Perkawinan ......................................................................

16


4. Syarat dan Rukun Perkawinan .......................................................

20

B. Perwalian ..............................................................................................

23

1. Pengertian Wali .............................................................................

23

2. Kedudukan dan Syarat-Syarat Wali Nikah ....................................

24

3. Macam-macam Wali ......................................................................

32

4. Wali Adhal .....................................................................................

38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................

40

A. Lokasi dan Jenis Penelitian ..................................................................

40

vii

B. Pendekatan Penelitian ..........................................................................

40

C. Sumber Data .........................................................................................

41

D. Metode Pengumpulan Data ..................................................................

41

E. Instrumen Penelitian .............................................................................

42

F. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data.................................................

43

BAB IV ...........................................................................................................

44

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Polewali ...................................

44

B. Alasan Wali Nasab Menolak Menikahkan Calon Mempelai Perempaun
diPengadilan Agama Polewali .............................................................
C. Dasar

Pertimbangan Hakim

Pengadilan Agama

Polewali

56

Dalam

Mengabulkan Pemohona Penetapan Wali Aḍal ...................................

60

D. Pandangan Hukum Islam tentang Wali Adhal .....................................

64

BAB V PENUTUP ...........................................................................................
A. Kesimpulan .........................................................................................

71
71

B. Implikasi Penelitian .............................................................................

73

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

74

LAMPIRAN-LAMPIRAN ..............................................................................

77

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................

97

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Huruf
Arab

Nama

Huruf Latin

‫ا‬

Alif

‫ب‬

ba

Tidak
dilambangkan
b

‫ت‬

ta

t

Te

‫ث‬

sa

s

es (dengan titik di atas)

‫ج‬

jim

j

Je

‫ح‬

ha

h

‫خ‬

kha

kh

ha (dengan titk di
bawah)
ka dan ha

‫د‬

dal

d

De

‫ذ‬

zal

z

zet (dengan titik di atas)

‫ر‬

ra

r

Er

‫ز‬

zai

z

Zet

‫س‬

sin

s

Es

‫ش‬

syin

sy

es dan ye

‫ص‬

sad

s

‫ض‬

dad

d

‫ط‬

ta

t

‫ظ‬

za

z

‘ain



es (dengan titik di
bawah)
de (dengan titik di
bawah)
te (dengan titik di
bawah)
zet (dengan titk di
bawah)
apostrop terbalik

‫ع‬

ix

Nama
Tidak dilambangkan
Be

‫غ‬

gain

g

Ge

‫ف‬

fa

f

Ef

‫ق‬

qaf

q

Qi

‫ك‬

kaf

k

Ka

‫ل‬

lam

l

El

‫م‬

mim

m

Em

‫ن‬

nun

n

En

‫و‬

wau

w

We

‫ه‬

ha

h

Ha

‫ء‬

hamzah

,

Apostop

‫ي‬

ya

y

Ye

Hamzah yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda
apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda
().
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tungggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut :
Tanda

Nama

Huruf Latin

Nama

Fathah

A

A

Kasrah

i

I

Dammah

u

U

x

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu :
Tanda

Nama

Huruf Latin

Nama

fathah dan ya

ai

a dan i

fathah dan wau

au

a dan u

3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :

Harkat dan
Huruf

Nama

Huruf dan
Tanda

Nama

fathah dan alif
atau ya

a

a dan garis di
atas

kasrah dan ya

i

i dan garis di
atas

dammah dan
wau

u

u dan garis di
atas

4. Ta Marbutah
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua, yaitu: ta marbutah yang hidup
atau mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, yang transliterasinya
adalah [t]. Sedangkan ta marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun
transliterasinya adalah [h].

xi

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka
ta marbutah itu transliterasinya dengan [h].
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydid (ّ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

‫ ي‬ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (‫)ﹻ‬, maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah(i).
Jika huruf

6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

‫( ال‬alif

lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah
Maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf
langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop (‘) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak
di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa
alif.
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak

xii

lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari
al-Qur’an), sunnah,khusus dan umum. Namun, bila kata-katatersebut
menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus
ditransliterasi secara utuh.
9. Lafz al-Jalalah

(‫)هللا‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi
tanpa huruf hamzah.
Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-ljalalah,
ditransliterasi dengan huruf [t].
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan
huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku
(EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal
nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan
kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata
sandang tersebut menggunakan huruf kapital (AL-). Ketentuan yang sama
juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata
sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan
(CK,DP, CDK, dan DR).

xiii

ABSTRAK
NAMA

: MUSYARRAFAH M

NIM

: 10100113098

JUDUL SKRIPSI

: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP WALI NASAB
YANG ENGGAN MENIKAHKAN CALON MEMPELAI
PEREMPUAN DI PENGADILAN AGAMA POLEWALI
KELAS I B

Keberadaan wali dalam suatu perkawinan yang merupakan salah satu rukun
perkawinan dimaksudkan agar rumah tangga yang didirikan oleh sang pengantin
tetap mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga dan orang tuanya. Selain
itu wali dalam perkawinan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili
pihak mempelai perempuan atau memberi izin perkawinannya. Dalam praktek di
masyarakat khususnya di daerah Polewali Mandar, ada kalanya orang yang berhak
menjadi wali nikah enggan untuk menikahkan anaknya karena beberapa alasan,
baik alasan yang dibenarkan oleh syar’i maupun yang tidak dibenarkan oleh syar’i.
Oleh karena itu, yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini bagaimana
tinjauan hukum Islam terhadap wali nasab yang enggan menikahkan calon
mempelai perempuan di Pengadilan Agama Polewali kelas I B, dari pokok
permasalahan terebut terdapat tiga sub masalah yaitu apa yang menjadi alasan wali
nasab menolak menikahkan calon mempelai perempuan pada Pengadilan Agama
Polewali, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Polewali
dalam mengabulkan permohonan penetapan Wali Adhal dan bagaimana pandangan
hukum Islam tentang Wali Adhal.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field reseach) dengan
menggunakan metode kualitatif, yang mengambil lokasi di Kantor Pengadilan
Agama Polewali, sedangkan respondennya adalah hakim-hakim yang ada di
Pengadilan Agama Polewali. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder, teknik pengumpulan data menggunakan observasi
wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa alasan wali nasab yang enggan
menikahkan calon mempelai perempuan tidak berdasarkan hukum, sehingga hakim
mengabulkan permohonan penetapan wali adhal dengan pertimbangan
kemaslahatan berbagai pihak.

xiv

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dalam dua jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan, hal ini menyebabkan keduanya saling berinteraksi
satu sama lain, saling melengkapi dan saling membina hubungan. Hubungan
antara laki-laki dan perempuan tersebut menyebabkan adanya hubungan yang
lebih bersifat khusus. Hubungan khusus antara manusia yang berlainan jenis
dikenal masyarakat sebagai hubungan dalam perkawinan: “perkawinan adalah
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan”.1
Allah swt. tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup
mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik atau
tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia,
maka Allah swt. mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya sehingga lakilaki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu
ikatan berupa perkawinan.2
Perkawinan merupakan upaya positif dalam rangka hubungan lebih lanjut
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga
yang sakinah, mawaddah, dan warahmah di hadapan Allah swt. Hal ini sesuai

1

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1 (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1999), h. 9.
2

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h. 10.

1

2

dengan pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang perempuan dan seorang
laki-laki sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3
Perkawinan dalam tata hukum Indonesia, khususnya bagi yang memeluk
agama Islam mewajibkan adanya wali nikah yang diatur dalam Pasal 19 sampai
dengan Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 18 Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Orang tua
sebagai wali nikah yang sah bagi pihak perempuan seharusnya berpihak pada
tujuan dari perkawinan yang positif sesuai dengan kehendak anaknya dan menjadi
wali akad nikah anaknya, sehingga tujuan dari perkawinan tersebut dapat tercapai.
Keberadaan wali dalam suatu perkawinan yang merupakan salah satu
rukun perkawinan dimaksudkan agar rumah tangga yang didirikan oleh sang
pengantin tetap mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga dan orang
tuanya. Selain itu wali dalam perkawinan adalah orang yang melakukan akad
nikah mewakili pihak mempelai perempuan4 atau memberi izin perkawinannya.
Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk
dinikahkan dengan seorang laki-laki yang seimbang (se-kufu), dan walinya
keberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah
mengetahui bahwa keduanya se-kufu.
Dalam praktek di masyarakat, ada kalanya orang yang berhak menjadi
wali enggan untuk menikahkan anaknya karena beberapa alasan. Beberapa alasan
3

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional (Cet. I; Surabaya:
Kencana, 2008), h. 103.
4

Andi Intan Cahyani, Peradilan dan Hukum Keperdataan Islam (Makassar: Alauddin
Universitas Press, 2014), h. 134.

3

yang sering di kemukakan oleh wali dalam persidangan diantaranya uang belanja
yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki tidak sesuai dengan keinginan wali
calon mempelai perempuan, wali calon mempelai perempuan tidak menyukai
calon mempelai laki-laki, ada juga wali enggan menikahkan karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat tertentu yang diberikan kepada calon mempelai lakilaki. Termasuk di daerah Polewali Mandar, wali nikah seringkali menjadi
halangan dalam melangsungkan suatu perkawinan karena wali nikah yang berhak
ternyata tidak bersedia atau menolak (adhal) menjadi wali nikah bagi calon
mempelai perempuan dengan berbagai alasan, baik alasan yang dibenarkan oleh
syar’i maupun yang tidak dibenarkan oleh syar’i.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengkaji dan menulis
skripsi tentang bagaimanakah ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Wali Nasab
yang Enggan Menikahkan Calon Mempelai Perempuan di Pengadilan Agama
Polewali Kelas IB”.
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
1. Deskripsi Fokus
Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pembahasan
skripsi ini, diperlukan beberapa penjelasan yang berkaitan dengan judul skripsi:
“Tinjauan Hukum Islam terhadap Wali Nasab yang Enggan Menikahkan Calon
Mempelai Perempuan di Pengadilan Agama Polewali Kelas IB”.
Tinjauan berasal dari kata tinjau yang berarti melihat dan mempelajari
secara cermat. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tinjauan berarti

4

hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan
sebagainya).5
Hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah swt.
dan atau sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. 6
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai
perempuan dan berhak menjadi wali.7
Enggan menikahkan adalah tidak mau menikahkan atau tidak menyetujui
pernikahan anak perempuannya dan wali yang enggan menikahkan anak
perempuannya disebut dengan wali adhal.
2. Fokus Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama polewali dan penulis
mengambil batasan objek penelitian dari penetapan wali adhal yang ada di
Pengadilan Agama polewali serta hakim-hakim yang ada di Pengadilan Agama
Polewali.
C. Rumusan Masalah
Berdasaran dari latar belakang tersebut maka yang menjadi pokok
permasalan adalah Tinjauan Hukum Islam terhadap Wali Nasab yang Enggan
Menikahkan Calon Mempelai Perempuan di Pengadilan Agama Polewali Kelas

5

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 1470.
6

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2003), h. 9.

7

Andi Intan Cahyani, Peradilan dan Hukum Keperdataan Islam, h. 136.

5

IB, dari pokok permasalahan tersebut terdapat tiga sub masalah, yaitu sebagai
berikut:
1. Apa yang menjadi alasan wali nasab menolak menikahkan calon mempelai
perempuan pada Pengadilan Agama Polewali ?
2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Polewali
dalam mengabulkan permohonan penetapan wali adhal ?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang wali adhal?
D. Kajian Pustaka
Eksistensi kajian pustaka dalam poin dimaksudkan memberi pemahaman
serta penegasan bahwa terdapat beberapa buku yang menjadi rujukan dan
tentunya relevan dengan judul skripsi penulis yakni: Tinjauan Hukum Islam
terhadap Wali Nasab yang Enggan Menikahkan Calon Mempelai Perempuan di
Pengadilan Agama Polewali Kelas IB. Adapun buku yang menjadi rujukan dalam
pembuatan skripsi ini yakni, sebagai berikut:
1) Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003). Buku
ini berisikan tentang penjelasan mengenai kegiatan manusia yang langsung
berhubungan dengan kehidupan beragama sehari-hari yang mecakup empat
rubu’ yaitu: Ibadah, Munakahat (perkawinan), Faraidh (Kewarisan),
Mu’amalat, Jinayah.
2) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2004). Buku ini membahas mengenai aspek-aspek dalam
perkawinan berdasarkan hukum perundang-undagan yang ada di Indonesia
dan kitab-kita fikih dari beberapa mazhab.
3) M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). Buku ini membahas mengenai

6

hukum pernikahan dan segala masalah yang terkait dari sebelum akad nikah
sampai bubarnya sebuah rumah tangga.
4) Moh. Rifa’I, Ilmi Fiqih Islam Lengkap (Semarang: Karya Toha Putra,
1978). Buku ini berisikan penjelasan tentang ilmu fikih Islam yang
didalamnya

dilengkapi

dalil-dalil

Al-Qur’an

dan

Al-Hadits

yang

berhubungan dengan permasalahan fikih dan juga terdapat beberapa
pendapat dalam kitab-kitab fikih yang terkenal.
5) Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka
Setia, 1999). Buku ini berisikan tentang penjelasan mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan Hukum Perkawinan dalam Islam yang meliputi: tata cara
peminangan dalam Islam, akad perkawinan, wali dan saksi dalam
perkawinan, jenis mahar, kedudukan harta dalam perkawinan dan lain
sebagainya.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian:
1) Untuk mengetahui alasan wali nasab menolak menikahkan calon
mempelai perempuan pada Pengadilan Agama Polewali.
2) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Polewali dalam mengabulkan permohonan penetapan wali adhal.
3) Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam tentang wali
adhal.
2. Kegunaan dari penelitian:
1) Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang Hukum Islam.

7

2) Dapat

memberikan

bantuan

pemikiran

bagi

mahasiswa

yang

membutuhkan penjelasan dalam masalah-masalah perkawinan khususnya
mengenai wali dalam perkawinan.
3) Memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai aspek-aspek
pernikahan terutama mengenai hal wali dalam perkawinan.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan yang ada dalam istilah hukum Islam
disebut “Nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua
belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
meliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah
swt.2sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisa/4: 24:

َّ‫للا ُ َعلَ ْي ُك ُْم ُ َوأُ ِحلَّ َّلَ ُكم َّما َّ َو َراء‬
ُِّ ُ ‫َاب‬
َُ ‫ت ُأَيْ َمانُ ُك ُْم ُ ِكت‬
ُْ ‫لا ُ َما ُ َملَ َك‬
ُ ِ‫ن ُالنِّ َساء ُإ‬
َُ ‫َات ُ ِم‬
ُُ ‫صن‬
َ ْ‫َوالْ ُمح‬
ُ‫ن‬
ُ‫ين ُفَ َما ُا ْستَ ْمتَ ْعتُم ُبِ ُِه ُ ِمنْه اُُن ُفَآتُوهُ ا‬
ََّ ‫سافِ ِح‬
ََّ ِ‫صن‬
َ ‫ين َّ َغي ََّر َّ ُم‬
ِ ‫َذلِ ُكمَّ َّأَن َّتَبتَغُواَّ َّبِأَم َوالِ ُكم َّ ُّمح‬
ُ‫ان‬
َُ ‫للاَ ُ َك‬
ُّ ُ ‫ن‬
ُ‫ض ُِة ُإِ ا‬
َُ ‫لَ ُ ُجنَا‬
ُ ‫ضةُ ُ َو‬
ُ‫أُجُو َرهُ ا‬
َ ‫اضيْتُم ُبِ ُِه ُ ِمن ُبَ ْع ُِد ُ ْالفَ ِري‬
َ ‫ح ُ َعلَ ْي ُك ُْم ُفِي َما ُت ََر‬
َ ‫ن ُفَ ِري‬
ُ -٤٢-ُُ‫َعلِيماُُ َح ِكيما‬

Artinya:
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali
hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai
ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuanperempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu
untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang
telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka
sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu
1

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah lengkap (Cet 4;
Jakarta: Rajawali Pers, 2014) h. 7
2

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, h. 102

8

9

telah saling merelakannya, setelah ditetapkan.Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana.”3
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4 Oleh
karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran Islam memiliki nilai ibadah,
sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah
akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah swt. dan melaksanakannya
merupakan ibadah.5
Adapun pendapat beberapa para ahli mengenai perkawinan sebagai
berikut:
1) Ibrahim Husen: Nikah dapat berarti aqad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, sedangkan menurut arti
lain adalah bersetubuh.6
2) Kamal Muchtar: perkawinan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti
sebenarnya dan arti kiasan. Arti sebanarnya nikah adalah “dhaam” atau
menghimpit, menindih dan berkumpul. Sedangkan arti kiasannya adalah
sama dengan “wathaa” atau bersetubuh.”7

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:
Diponegoro, 2011), h. 82.
3

4

Andi Intan Cahyani, Peradilan dan Hukum Keperdataan Islam, h. 122.

5

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.7.

6

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah dan Rujuk (Jakarta:
Ulumudin, 1971), h. 65.
7

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 11.

10

3) Sajuti Thalib : Perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, tentram dan bahagia.8
4) Yahya Harahap : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang lakilaki dan seorang perempuan sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu sejahtera berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa.9
5) Mahmud Yunus: menurut syara’ nikah itu pada dasarnya ialah aqad antara
calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul suami isteri.10
Perkawinan dalam hukum Islam sesuai tuntunan Rasulullah saw.
merupakan sunnah dan anjuran bagi umat manusia yang sudah mampu baik lahir
maupun batin. Perkawinan diharapkan dapat menjaga hawa nafsu dan untuk
mendapatkan keturunan yang sah dalam kehidupan yang bahagia dan kekal atas
ridho Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan
Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing
individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun
demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang
akan melakukan perkawinan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan lahir batin
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
8

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 2.

9

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (Medan: CV. Zahi Trading CO, 1975), h.
11.
10

h.1.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981),

11

Tujuan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal (3) adalah
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Sedangkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan bertujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini berarti perkawinan itu berlangsung seumur hidup, cerai
memerperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami
isteri membantu untuk mengembangkan diri.
Hukum Islam memberikan pandangan yang dalam tentang pengaruh
perkawinan dan kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah
tangga, dan umat. Perkawinan dinyatakan oleh Allah swt. sebagai suatu ikatan
yang teguh dan janji yang kuat, sukar untuk membuka dan meninggalkannya.
Disamping itu, perkawinan amat penting sebagai suatu bentuk perikatan karena
tujuan yang terkandung dalam perkawinan itu sendiri.
Zakiyah Darajat dkk. mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan11
yaitu:
1) Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan.
2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal.

11

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 15

12

5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Lebih lanjut Soemijati, S.H. memberikan penjelasan mengenai tujuan
perkawinan yaitu untuk memenuhi tuntutan hajat

tabiat

kemanusiaan,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
yang telah diatur oleh syariah.12
Dasar Hukum Perkawinan13:
Pada dasarnya perkawinan itu diperintahkan atau dianjurkan oleh syara’.
a. Al-Qur’an
QS an-Nisa/4: 3:

ْ ُ‫ُخ ْفتُ ْمُأَلاُتُ ْق ِسط‬
َ َ‫ىَّوثُال‬
َّ‫ث‬
َ ِّ‫ابَّلَ ُكمَّ ِّم َنَّالن‬
َ َ‫واُفِيُالْيَتَا َمىُفَان ِك ُحواَّ َماَّط‬
ِ ‫ُ َوإِ ْن‬
َ َ‫ساءَّ َمثن‬
ْ ُ ‫كُأَ ْدنَىُأَلاُتَعُول‬
ْ ‫اح َدةَُّأَ ْوُ َماُ َملَ َك‬
ُ -٣-ُ‫وا‬
َ ِ‫تُأَيْ َمانُ ُك ْمُ َذل‬
ِ ‫َّخفتُمَّأَالَّتَع ِدلُواَّفَ َو‬
ِ ‫َو ُربَا َعَّفَإِن‬
Terjemahnya:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”14

12

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 27.
13

Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap (Semarang: Karya Toha Putra, 1978) h. 454.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:
Diponegoro, 2011), h. 77.
14

13

QS an-Nur/24: 32:

ُْ ‫ّللا‬
َْ ْ‫صالِحِينَ مِنأ عِ َبا ِد ُك أم َوإِ َمائِ ُكمْْإِنْ َي ُكو ُنواْفُ َق َراءْيُغن ِِه ُْم‬
َّ ‫َوأَن ِك ُحوا أاْلَ َيا َمى مِن ُك أم َوال‬
-٢٣-ْْ‫ّللاُْ َواسِ عْْ َعلِيم‬
َْ ‫مِنْ َفضلِ ِْهْ َو‬
Terjemahnya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,
dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
Memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”15
b. Hadits
HR Bukhari dan Muslim:

ُ‫ُو َسُلا َم‬
ُ ُ ‫ض َي‬
َ ِ‫ال ُلَنَاُ َرس ُْو ُل ُللا‬
َ َ‫ق‬:‫للاُُ َع ْنهُُقَا َل‬
ِ ‫َع ْن ُ َع ْب ِدللاِ ُ ْب ِن ُ َم ْسع ُْو ٍد ُ َر‬
َ ‫ُصلاىُللاُُ َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫ب ُ َم ِن ُا ْستَطَا َع ُ ِمنْ ُك ُم‬
ْ ‫ق‬
ُ‫ن‬
ُُ ‫ص‬
َ ‫ُالبَا َءةَ ُفَ ْليَتَ َز‬
َ ْ‫ُواَح‬
َ َ‫ُخ ُفَاِناه ُ ُاَغَضُّ ُلِلْب‬
ِ ‫يَا َم ْع َش َرال اشبَا‬:
َ ‫ص ِر‬
ْ
ُ )‫(رواهُالبخاُرىُوُمسلم‬.ُ‫ُُو َجاء‬
َ ‫ج‬
ِ ‫ُو َم ْنُلَ ْمُيَ ْست َِطعُْفَ َعلَ ْي ِهُبِاُلص ْاو ِمُفَاُِناهُُلَه‬،
ِ ْ‫لِلفَر‬
Artinya:
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada
kami: “hai kaum pemuda, apa bila diantara kamu kuasa untuk kawin,
hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan
kemaluan; barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu
jadi penjaga baginya”. (HR Bukhari dan Muslim).
HR Bukhari dan Muslim:

ُ‫ُواَ ْثنَا‬
َ ُ‫ي‬
َ ‫َس ُب ِْن ُ َماُلِ ٍك‬
‫ض َي ُللاُ ُ َع ْنهُُاَ ان ُا ُلنابِ ا‬
ِ ‫ُر‬
َ َ‫ُو َسلا َُم ُ َح َم َدللا‬
َ ‫صلاىُللاُ ُ َعلَ ْي ِه‬
ِ ‫َع ْن ُاَن‬
ُ‫ْس‬
َُ ُ ‫ب‬
َ ‫ُ َواُ ْف ِط ُر ُ َواَتَ َز‬،‫صلِّ ْي‬
َ ‫ع ْن ُ ُسناتِ ْي ُفَنَي‬
َ ‫ُر ِغ‬
َ ‫ُفَ َم ْن‬،‫ق ُ ُجُالنِّ َسا َء‬
َ ُ‫ُلَ ِكنا ْي ُاَنَاا‬:‫َعلَ ْي ِهُ َو ُقَال‬
)‫ُ(رواهُالبخاُرىُوُمسلم‬.‫ِمنِّ ْى‬
Artinya:

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:
Diponegoro, 2011), h. 354.
15

14

Dari Anas bin Malik ra. bahwasanya Nabi saw. memuji Allah dan
menyanjung-Nya beliau berkata: “akan tetapi aku shalat, aku tidur, aku
berpuasa, aku makan dan aku mengawini perempuan; barangsiapa yang
tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR Bukhari
dan Muslim).
Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur berpendapat bahwa menikah
itu hukumnya sunnah, sedangkan golongan Zahiri mengatakan bahwa menikah itu
wajib. Para ulama Maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib
untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah bagi
golongan lainnya.
Secara rinci hukum perkawinan adalah sebagai berikut16:
a.

Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah

mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinahan. Menjauhkan diri dari
perbuatan haram adalah wajib, maka jalan yang terbaik adalah menikah.
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang
menyukainya dan takut dirinya akan terjerumus ke jurang perzinahan manakala ia
tidak menikah, sedangkan berpuasa ia tidak sanggup.
b.

Sunnah
Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu

mengendalikan diri dari perbuatan zina, maka hukum menikah baginya adalah
sunnah.
Baik ulama Hanafiyah maupun Hambaliyah, mereka sependapat bahwa
menikah itu sunnah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus
dalam lembah perzinahan. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu
16

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h. 31- 36

15

sunnah bagi orang yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan
karena ia mampu melakukan kewajiban dengan mencari rezeki yang halal serta
mampu melakukan hubungan seksual. Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap
bahwa menikah itu sunnah bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk
mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.
c.

Haram
Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu memberi

nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah batin kepada isterinya serta nafsunya
tidak mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah ia akan
keluar dari Islam, maka hukum menikah adalah haram.

d.

Makruh
Hukum menikah menjadi makruh bagi seorang yang lemah syahwat dan

tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya walaupun tidak merugikannya
karena ia kaya dan tidak mampu mempunyai keinginan syahwat yang kuat.
Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu hukumnya makruh
bagi seorang yang tidak memiliki keinginan dan takut kalau tidak mampu
memenuhi kewajibannya kepada isterinya. Adapun ulama syafi’iyah mengatakan
bahwa menikah itu hukumnya bagi orang-orang yang mempunyai kekhawatiran
tidak mampu memberikan kewajibannya pada isterinya.
e.

Mubah
Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan segera

nikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah, maka hukumnya

16

mubah. Ulama Hambali mengatakan bahwa mubah hukumnya, bagi orang yang
tidak mempunyai keiginan untuk menikah.
3. Asas-Asas Perkawinan
Yang dimaksud dengan asas dan prinsip perkawinan dalam undangundang perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan
dikembangkan dalam materi batang tubuh dari undang-undang ini. Adapun asasasas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh undang-undang perkawinan adalah
sebagaimana yang terdapat pada Penjelasan Umum undang-undang perkawinan,
sebagai berikut17:
1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
2) Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan.
3) Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
17

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 25

17

demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari satu isteri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan
oleh pengadilan.
4) Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus
telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah
umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
perempuan untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubungan dengan
itu, maka undang-undang ini menentukan bahwa untuk kawin baik bagi
laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun
untuk perempuan.
5) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
6) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga

dengan demikian segala

sesuatu dalam

keluarga

dapat

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.
Apabila kita coba perhatikan asas-asas perkawinan di atas, kita dapat
mengacu pada ketentuan atau informasi nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah.

18

1) Asas pertama, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan
firman Allah swt. dalam QS ar-Rum/30:21.
2) Asas kedua, keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan pihak yang melaksankan perkawinan dan harus dicatat.
3) Asas ketiga, asas monogami sejalan dengan firman Allas swt. dalam QS alNisa/4:3.
4) Asas keempat, juga sejalan dengan QS ar-Rum/30:21 seperti telah dikutip
diatas. Karena tujuan perkawinan akan dapat lebih mudah dicapai apabila
kedua mempelai telah masak jiwa raganya.
5) Asas kelima, mempersulit terjadi perceraian.
6) Asas keenam, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kewajiban suami, hal ini sejalan dengan firman Allah swt. QS alNisa/4:32.18
Asas-asas dalam undang-undang perkawinan19 adalah sebagai berikut :
a. Asas sukarela.
orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan lakilaki atau perempuan pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan
menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran
agama yang mereka anut. untuk kedua calon mempelai harus ada kerelaan mutlak
untuk melangsungkan perkawinan yang mereka

harapkan. Mereka harus

mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk
mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya.
18

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1997), h. 57-59.
19

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Cet. II; Jakarta:
Kencana, 2008), h. 6- 12.

19

b. Asas Partisipasi Keluarga
Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan
hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi pertisipasi keluarga sangat diharapkan
didalam pelaksanaan akad perkawinan. Pihak keluarga masing-masing pihak
diharapkan memberi restu perkawinan yang dilaksanakan. Oleh karena itu,
partisipasi keluarga sangat diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal
pelaksanaan perkawinan.
c. Perceraian Dipersulit
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan
dan menekan angka perceraian pada titik yang paling rendah. Undang-undang ini
merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan.
Perceraian yang dilaksanakan diluar sidang pengadilan dianggap tidak
mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui keberadaannya.
Undang-undang perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit
pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya
memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan secara
baik di hadapan sidang pengadilan.
d. Poligami Dibatasi dengan Ketat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menggunakan istilah “Poligami” yang sudah popular dalam masyarakat. Menurut
undang-undang perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami,

20

namun demikian beristeri lebih dari seorang dapat dibenarkan asalkan tidak
bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Undang-undang perkawinan
ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan lebih dari seorang dengan
alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu.
e. Kematangan Calon Mempelai
Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan
sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang
selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Agar hal in
dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan,
kematangan dimaksud disini adalah kematangan umur perkawinan, kematangan
dalam berpikir dan bertindak.
f. Memperbaiki Derajat Kaum Perempuan
Sebelum berlakunya undang-undang Perkawinan ini, banyak suami yang
memperlakukan isterinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan
isterinya tapa alasan yang jelas. Kebanyakan kaum perempuan segan menuntut
suaminya ke pengadilan, kebanyakan mereka memilih diam dan menanggung
derita yang tidak habis-habisnya. Oleh karena itu, Kehadiran undang-undang
perkawinan ini diharapkan dapat melindungi kaum perempuan agar dapat hidup
sesuai norma-norma hukum dan adat istiadat yang berlaku.
4. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya

21

tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada
pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur
rukun.20
Dalam hukum Islam member

Dokumen yang terkait

Penerapan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Makassar Perspektif Hukum Islam - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 153

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Agama ditinjau dari Hukum Islam - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 94

Tinjauan Hukum tentang Perlindungan Perempuan dalam Penanganan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan (Studi Komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Nasional) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 124

Tinjauan Yuridis terhadap Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Agama Polewali Mandar (No.308/Ptd.P/2016.PA.Plw) - Repositori UIN Alauddin Makassar

1 1 125

Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan di Pengadilan Negeri Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 94

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tingginya Kasus Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Bulukumba. - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 86

Tinjauan Hukum Islam Mengenai Kesaksian Non-Muslim Terhadap Perkara Perdata di Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 86

Tinjauan Hukum terhadap Pencurian yang Dilakukan oleh Kleptomania Berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 91

Efektivitas Mediasi dalam Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Polewali Kelas II (Studi Kasus Tahun 2014-2015) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 99

Tinjauan Hukum Islam terhadap Pelaksanaan Perkawinan Adat Mandar di Kab. Polewali Mandar Sulawesi Barat; Studi Kasus tentang Passorong - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 76