REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA A. Latar Belakang - REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA - Unissula Repository

  

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA

MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

A. Latar Belakang

  Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945. KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958.

  KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental (Civil Law

  System

  ) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Family” atau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and

  individual rights”.

  Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identitas dan perumusan ciri negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh karena itu perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembaharuan hukum nasional.

  Adian Husaini menuturkan arti pentingnya Pancasila sebagai worldview dan pijakan nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila, yakni nilai ketuhanan (religius), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan merupakan nilai-nilai filosofi bangsa dalam membangun hukum Indonesia ke depan. Pancasila sebagai ideologi, dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia inilah yang bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, di sisi lain Pancasila mempunyai nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong persoalan kekinian dan kemasadepanan.

  Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila menjadi sangat relevan dalam rangka membangun jati diri hukum yang bercorak Indonesia. Bangunan hukum yang mencerminkan nilai-nilai, norma, falsafah bangsa Indonesia. Demikian pula dalam ranah hukum pidana yang masih memberlakukan Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie untuk selanjutnya disingkat W.v.S.N.I. atau W.v.S. (KUHP)) yang berasal dari Belanda. W.v.S. Belanda ini berasal dari Code Penal Perancis buatan Tahun 1791 Masehi. KUHP (W.v.S) yang masih dipakai di Indonesia ini sudah berusia sekitar 3 abad lamanya. Apabila dilihat dari rentang waktu yang demikian panjang dengan kultur masyarakat yang berbeda antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Eropa (Perancis dan Belanda), maka terdapat perbedaan latar belakang sejarah yang diiringi dengan perbedaan nilai diantara kedua budaya (kultur) bangsa ini.

  Dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka KUHP (W.v.S.) sebagai produk hukum kolonial bukanlah harga mati yang harus dipertahankan di negeri kita. Terlebih ketika di negeri asalnya, W.v.S. sudah berkali-kali mengalami rekonstruksi. Masih patutkah KUHP dipertahankan seiring dengan dinamika masyakarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat? Demikian pula aturan yang mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP (W.v.S.) dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang saat ini dinilai masih terfragmentaris.

  Bertolak dari pendapat di atas, maka disertasi ini akan mengkaji komponen norma hukum dan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan pidana pokok dalam hukum pelaksanaan pidana (hukum penitensier) yang bercelup Indonesia. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk kaidah tertib negara hukum Indonesia yang berjiwa Pancasila dengan judul penelitian disertasi ,“Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati

  Berbasis Nilai-Nilai Pancasila ”.

  B. Rumusan Masalah

  Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membatasi permasalahan sebagaimana point-point di bawah ini:

  1. Bagaimana kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini?

  2. Bagaimana kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini?

  3. Bagaimana rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila?

  C. Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini.

  2. Untuk mengkaji dan menganalisis kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini.

  3. Untuk menganalisis dan merekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila.

D. Kegunaan Penelitian

  Penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat/kegunaan baik secara teoretis maupun praktis;

1. Kegunaan Teoretis

  Menemukan teori baru kebijakan hukum pelaksanaan pidana dalam upaya pembangunan hukum pidana yang bercelup Indonesia, sesuai dengan jati diri, falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.

2. Kegunaan Praktis

  Memberi masukan bagi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan masyarakat guna mempertimbangkan seberapa efektif kebijakan hukum pelaksanaan pidana saat ini yang masih mempertahankan produk hukum kolonial.

E. Metode Penelitian 1.

  Pendekatan Penelitian Hakikat penelitian ini adalah menganalisis kebijakan legislatif/formulatif dalam menetapkan dan merumuskan sistem hukum pidana/sistem pemidanaan yang meliputi hukum pelaksanaan pidana. Oleh karena itu pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

  Dalam penelitian hukum normatif digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute appproach), pendekatan konseptual

  (conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).

  2. Spesifikasi Penelitian

  Spesifikasi penelitian yang dilakukan dalam menyusun disertasi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dalam penelitian hukum normatif, perbandingan hukum merupakan suatu metode. Dengan metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap pelbagai sub-sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum pelbagai masyarakat yang berbeda-beda.

  3. Jenis dan Sumber Data

  Jenis dan data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang bahan-bahannya diambil dari pustaka/bahan-bahan pustaka. Data sekunder yang diteliti dalam disertasi yang disusun ini terdiri dari: a.

  Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri: 1.

  Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

  2. Peraturan Dasar; Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/PJP (Pembangunan Jangka Panjang).

  3. Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya mencantumkan ketentuan hukum pelaksanaan pidana, serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah.

  4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat dan hukum agama.

  5. Yurisprudensi.

  6. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana /KUHP/W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).

  b.

  Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang (yang diteliti meliputi; RUU KUHP Tahun 2015 dan Konsep KUHAP Baru Tahun 2009), Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana Negara Lain, hasil-hasil penelitian dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum (pidana).

  c.

  Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya, kamus, ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

  Berpijak dari penelitian yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada data sekunder melalui studi pustaka, maka bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan, kemudian diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

5. Metode Analisis Data

  Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Penggunaan metode analisis deskriptif kualitatif ini sangat berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam disertasi, seperti yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah. Analisis kualitatif normatif terhadap data yang disajikan secara kuantitatif, berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif.

  F.

  Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana

  Positif Saat Ini

  Hukum Pelaksanaan Pidana berupa pidana mati di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Penetapan Presiden yang dimaksud adalah Penpres No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

  Ketentuan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati ini merubah ketentuan dalam Pasal 11 KUHP yang berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.” Pelaksanaan pidana mati oleh algojo di tiang gantungan ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan. Oleh karena itu perlu diadakan penyesuaian sebagaimana diatur dalam Penpres No. 2 Tahun 1964.

  Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dan Penpres No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer, ternyata tak semua senjata diisi peluru tajam. Hanya tiga senapan laras panjang diisi peluru tajam, sementara sembilan G.

  Kelemahan-Kelemahan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum

  Pidana Positif Saat Ini

  Dalam konteks Indonesia, berkaitan dengan membatasi penerapan pidana mati dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2-3/PUU- V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting:

  a) Pidana mati bukan merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif.

  b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.

  d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

  Kontroversi seputar pidana mati mengemuka antara aliran abolitionist yang kontra dengan pidana mati dengan penganut yang menyatakan masih perlunya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana (retentionist).

  Ada dua golongan tentang pidana mati ini: Golongan yang tidak setuju, alasannya: a.

  Sifatnya mutlak, tidak dapat ditarik kembali b. Kesesatan hakim c. Bertentangan dengan perikemanusiaan, moral dan etika d. Berhubungan dengan tujuan pemidanaan: Tujuan perbaikan tidak tercapai dan

  Pelaksanaannya tidak di muka umum, sehingga rasa takut (generale preventie) tidak tercapai.

  e.

  Adanya rasa belas kasihan kepada si terpidana Golongan yang setuju, alasannya: a.

  Pelaku sudah melakukan tindakan yang melanggar HAM dan sila-sila b.

  Alat keamanan kurang c. Heterogenitas penduduk Indonesia, terjadi bentrokan d. Perlu untuk tindak pidana tertentu, yaitu misalnya untuk pembunuhan berencana, tindak pidana korupsi, tindak pidana HAM, tindak pidana bagi pengedar narkotika.

  Terlepas dari kontroversi pendapat yang pro maupun yang kontra terhadap pidana mati, namun secara yuridis formal pidana mati masih diterapkan di Indonesia.

  Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu. Namun, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran- pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat telah terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk undang-undang maupun hakim karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah masyarakatnya.

  

H. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-

Nilai Pancasila

  Melakukan kebijakan hukum pidana termasuk didalamnya kebijakan hukum pelaksanaan pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach). Jadi sudah semestinya antara pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai tidak dipandang secara dikotomi. Dimana di dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor nilai.

  Terlebih bagi negara Indonesia yang memiliki Pancasila yang sarat akan nilai-nilai dan garis kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Pendekatan humanistis menjadi hal yang penting diperhatikan bukan hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

  Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.

  Selain itu, langkah pembaharuan juga perlu memperhatikan landasan sosio-filosofis dan sosiokultural sistem hukum nasional yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/penggantian KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform”(pembaharuan hukum pidana). Termasuk dalam pembaharuan ini adalah pembaharuan hukum acara pidana (criminal procedur law) dan hukum pelaksanaan pidana (criminal

  law implementation ).

  Bertolak dari pemikiran di atas, maka ide pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius (ketuhanan); (b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi; (e) keadilan sosial.

  Dengan mengemukakan hal-hal di atas ingin ditekankan, bahwa bahkan dapat dikatakan merupakan “tuntutan zaman”. Khususnya bagi bangsa Indonesia, hal itu jelas merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan “kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan direkomendasikan dalam berbagai perundang-undangan dan seminar-seminar nasional selama ini. Masalahnya adalah bagaimana menggali, mentransformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai hukum tradisional (hukum adat) dan nilai-nilai hukum agama sehingga dapat diterima menjadi norma-norma yang terintegrasi dalam sistem hukum nasional.

  Oleh karena itu disertasi ini menjadikan RUU KUHP2015 sebagai dasar rujukan mengingat adanya pembaharuan orientasi nilai yang dicita-citakan yang bermuatan nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik, dan sosiokultural bangsa Indonesia yang berbasis nilai-nilai Pancasila didalamnya.

  Pasal 10 KUHP menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok. Pidana mati merupakan pidana paling berat dalam susunan jenis pidana (straf soort). Pelaksanaan pidana mati saat ini dilakukan oleh regu tembak dengan cara ditembak sampai mati dan dilakukan secara tertutup. Tata cara pelaksanaan pidana mati ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militerjo Peraturan Kapolri (Kapolri) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

  Ide (gagasan) keseimbangan terdapat dalam prinsip-prinsip dalam hukum (pidana) Islam secara substansial sudah banyak diadopsi dalam hukum nasional yang secara historis merupakan peninggalan hukum Barat, namun masih ada yang kurang mendapat tempat sewajarnya dalam hukum pidana positif Indonesia,

  1

  diantaranya:

1 Lihat, Mahmutarom HR, 2016, Rekonstruksi Konsep Keadilan (Studi tentang

  

Perlindungan Korban Tindak Pidana Terhadap Nyawa Menurut Hukum Islam, Konstruksi

Masyarakat dan Instrumen Internasional, Cetakan Ke-3, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 338-339. a.

  Perlu adanya transparansi dalam proses peradilan pidana sebagai bentuk peradilan yang jujur, tidak memihak dengan mengedepankan keadilan dan kebenaran (Rule of Justice atau Rule of Morality) dan bukan sekedar menegakkan undang-undang (Rule of Law). Terlebih peradilan yang mengancam pidana mati terhadap terdakwa. Peradilan yang ketat dalam hal pembuktian, transparan, mengedepankan keadilan, kebenaran, kejujuran dan bermartabat sangat dibutuhkan dalam me nentukan ‘nasib’ seorang terdakwa.

  b.

  Eksekusi hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang saat ini diterapkan di Indonesia dengan cara ditembak sampai mati dalam beberapa kasus tidak langsung menyebabkan kematian terhadap terpidana mati. Hal ini tentu saja menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu perlu dipertimbangan untuk eksekusi yang langsung menyebabkan kematian dengan meminimalisir rasa sakit yang memutus “kabel” (spinal cord) antara dua titik sentral kehidupan manusia yakni jantung dan otak.

  c.

  Hakim hendaknya memiliki keberanian, progresif dan bersifat aktif dalam mencari dan menemukan kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

  d.

  Perlu ditingkatkan perlindungan terhadap masyarakat terutama korban dan wali korban melalui peran sertanya dalam proses peradilan pidana di bawah koordinasi hakim. Termasuk perlindungan terhadap bayi (anak) bagi terpidana mati yang sedang hamil, hendaknya eksekusi ditangguhkan minimal selama 2 tahun agar terpidana (Ibu) dapat memberikan ASI (Air Susu Ibu) untuk anaknya. Demikia pula untuk terpidana mati yang sakit jiwa dan sakit keras ditunda eksekusinya hingga terpidana sembuh dari sakitnya.

  Pemeriksaan terhadap kondisi terpidana mati dilakukan oleh tim medis (dokter) terkait.

  e.

  Dibukanya peluang untuk melakukan rekonsiliasi melalui permintaan maaf dari pelaku kepada korban/keluarga korban melalui hakim dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum.

  f.

  Dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pelaku akan kelangsungan hidup korban atau keluarga korban (dalam kasus tindak pidana (kejahatan) terhadap nyawa) dalam jumlah yang disepakati sesuai dengan kondisi korban dan kemampuan pelaku berdasar kebijaksanaan hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.

  g.

  Adanya pemberian maaf dan/atau pemberian santunan atau ganti rugi bukan merupakan akhir dari perkara, hakim sebagai wakil dari negara dengan kearifan dan kebijaksanaannya dapat memberikan sanksi tambahan atas dasar pertimbangan kepentingan masyarakat dalam arti luas.

  h.

  Pelaksanaan hukum tidak hanya sekedar untuk mewujudkan kemaslahatan/kepentingan umum, tetapi juga harus mampu menghindari datangnya kemungkinan kerusakan atau kemaksiatan. Dalam hal terjadi benturan kepentingan, maka menghindari kerusakan harus lebih diutamakan sekalipun juga pada sisi lain dapat mendatangkan kemaslahatan. i.

  Penerapan hukum hendaknya memperhatikan ide-ide, nilai-nilai, konsep serta tujuan hukum yang dibalik ketentuan undang-undang, karena undang-undang haruslah tunduk kepada ide-ide, nilai-nilai serta tujuan hukum tersebut. Di samping itu juga harus memperhatikan kondisi-kondisi riil yang ada dalam masyarakat yang meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan masyarakat yang meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan serta norma-norma sosial yang ada, sehingga tidak harus serba seragam. j.

  Penerapan hukum pelaksanaan pidana mati hendaknya juga memperhatikan pendapat maupun instrumen internasional terutama penolakan pidana mati dari aliran abolitionist dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dengan tidak memasukkan pidana mati sebagai pidana pokok akan tetapi sebagai pidana khusus yang diatur secara alternatif. Disertai dengan ketatnya dalam hal pembuktian dan proses persidangan yang menegakkan keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pidana mati hanya diterapkan untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori the most seroius crimes, seperti: tindak pidana terhadap nyawa manusia (seperti: pembunuhan, terorisme, genoside), korupsi, pengedar narkotika dan psikotropika, dan tindak pidana lainnya yang perlu dirumuskan secara nasional dalam rangka terciptanya masyarakat yang adil, makmur, aman,nbahagia dan sejahtera.

  Berdasarkan uraian di atas, maka rekonstruksi nilai kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban secara seimbang. Asas-asas hukum yang dapat dijadikan pondasi dalam kerangka rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati yang berkaitan dengan perlindungan pelaku dan dan korban secara seimbang diantaranya dijabarkan sebagai berikut:

1. Asas Ketuhanan dapat diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana menjalankan

  2

  kewajiban agama (hukum yang hidup) seperti kewajiban untuk berpuasa 2 bulan berturut-turut bagi pelaku pembunuhan, korupsi, pengedar narkotika, psikotropika, dan terorisme yang tidak dipidana mati, membebaskan budak (untuk saat ini dapat digantikan dengan kewajiban memberi makan orang miskin dalam jumlah tertentu atau kewajiban-kewajiban lain) berdasarkan ajaran agama yang dianutnya sebagai upaya membebaskan rasa berdosa pada si pelaku yang menjadi salah satu tujuan pemidanaan.

  2. Asas Kemanusiaan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian ganti rugi kerugian sebagai jaminan kelanjutan hidup yang relatif layak tanpa harus membedakan siapa pelaku dan siapa korbannya, kewajiban untuk membiayai perawatan, pemakaman maupun biaya selamatan dan tidak mempermasalahkan dari mana sumber keuangannya (bagi terpidana tindak pidana terhadap nyawa). Pemberian ganti kerugian terhadap korban pengedaran narkotika dan psikotropika baik itu berupa pembiayaan rehabilitasi (bagi terpidana pengedar narkotika dan psikotropika).

  Pengembalian uang korupsi kepada negara (bagi terpidana korupsi).

  3. Asas Persatuan yang dapat diwujudkan dengan menciptakan rekonsiliasi dan pemulihan hubungan baik yang telah rusak sebagai akibat tindak pidana tersebut. Dengan rekonsiliasi sekaligus mengakhiri konflik dengan prinsip 2 Kewajiban agama dalam hal ini diartikan dalam jargon politik untuk kesatuan pandangan,

  

sehingga menjadi hak negara untuk menafsir dan melaksanakan dan bukan dalam jargon musyawarah yang berkeseimbangan dan berkeadilan. Rekonsiliasi ini hendaknya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum untuk menghindari tekanan-tekanan yang tidak diharapkan dan dapat merusak keseimbangan dan keadilan. Sekaligus juga memberi ruang gerak bagi negara melalui hakim untuk melakukan kontrol agar kepentingan negara dan masyarakat dalam arti luas dapat terlindungi.

4. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan /

  Perwakilan diwujudkan dalam bentuk penegakan asas legalitas namun lentur dalam pelaksanaannya dengan mengedepankan kepentingan rakyat (masyarakat) luas, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, keadilan dan kemanfaatan. Baik dalam upaya menciptakan kemaslahatan maupun dalam upaya menghindari kemadlaratan maupun dalam upaya menghindari kemadlaratan melalui peran aktif hakim. Penyelesaian dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga formal maupun non formal melalui musyawarah yang memadukan unsur ketuhanan, religius (hikmah) dan unsur kebijaksanaan (hati nurani), yang semuanya tetap dikemas dalam putusan hakim. Di samping itu, korban juga diberi kesempatan untuk mengakses atau paling tidak ada hak untuk memonitor atau diberi tahu akhir dari perkara yang menimpa dirinya sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penegak hukum.

  Transparansi dan kejujuran kinerja lembaga penegak hukum diperlukan dalam rangka membangun kepercayaan publik terhadap intitusi penegak hukum.

  5. Asas Keadilan Sosial yang dapat diwujudkan dengan menciptakan keseimbangan dalam pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Tidak hanya kepada korban, tetapi juga kepada masyarakat dan negara maupun kepada ALLAH melalui kewajiban menjalankan ketentuan agama. Dengan keseimbangan ini diharapkan tercipta kemaslahatan umat dengan tetap lebih mengutamakan menghindari kemadlaratan yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Sehingga terwujud masyarakat yang adil, makmur, bahagia dan sejahtera. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai- nilai Pancasila diawali dengan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai seluruh proses pembangunan dan pembaharuan ilmu hukum pidana nasional. Bukan saja karena letaknya yang berada di urutan pertama dalam tata urutan sila Pancasila, namun begitu kuatnya jiwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai keseluruhan pembangunan dan pembaharuan sistem hukum nasional.

  Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati di beberapa negara asing mengambil contoh 3 negara asing sebagai studi perbandingan (comparative

  

approach ) yaitu Negara Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Jepang. Negara Arab

  Saudi dengan eksekusi qishash dengan cara dipancung. Negara Jepang dengan cara digantung. Sementara di Negara Amerika Serikat dengan cara disetrum dengan kursi listrik, disuntik mati, atau ditembak. Namun studi perbandingan itu menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana dengan cara dipancung dinilai lebih manusiawi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Untuk itu Penulis menghasilkan temuan bahwa pelaksanaan pidana mati lebih religius, manusiawi, berkeadilan dan beradab karena tidak menimbulkan rasa sakit pada diri terpidana mati disebabkan putusnya urat atau “kabel” yang memutus hubungan antara jantung dan otak (spinal cord) secara langsung dan berbarengan. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah proses pembuktian yang ketat dimana proses persidangan yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Dengan demikian rekonstruksi Penulis adalah amandemen terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal

  1 UU No. 2/Pnps/1964 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana dengan cara ditembak sampai mati dan amandemen Pasal 15 huruf x Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang menyebut penembakan pengakhir dilakukan dengan menempelkan ujung laras senjatagenggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga.

  Amandemen juga perlu dilakukan terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal

  7 UU No. 2/Pnps/1964 yang berbunyi, “Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan” direkonstruksi menjadi, “Penjatuhan pidana mati bagi terpidana yang sedang hamil sampai terpidana melahirkan anaknya dan menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) selama 2 tahun danpenjatuhan pidana mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana mati oleh tim medis (dokter).

  ”

  TABEL REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA JENIS PIDANA SEBELUM REKONSTRUKSI KELEMAHAN- KELEMAHAN SESUDAH REKONSTRUKSI NILAI-NILAI PANCASILA SILA KE-

  1

  2

  3

  4

  5 PIDANA MATI

  1. UU No. 5 Tahun 1969jo Pasal 1 UU No.2/Pnps/1964 berbunyi,” Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan- ketentuan dalam pasal-pasal berikut.

  1. Pidana mati dengan cara ditembak sampai mati, belum solutif karena tidak langsung menyebabkan kematian dan menimbulkan rasa sakit pada terpidana mati.

  1. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dengan cara qishash berdasarkan QS Al Baqaroh Ayat 178 dan 179 dan HR Muslim yakni dengan cara dipancung karena dinilai merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu), cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dimana memutus urat atau “kabel” yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord). v V - - v

  2. UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964 berbunyi,”Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelahanaknya dilahirkan.

  ”

  2. Pengaturan bagi terpidana hamil belum memberikan perlindungan bagi anak dari terpidana hamil yang masih membutuhkan ASI (Air Susu Ibu) dan belum diatur tentang pidana mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras hingga sembuh dari sakitnya.

  2. Penjatuhan pidana mati bagi terpidana yang sedang hamil sampai terpidana melahirkan anaknya dan menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) selama 2 tahun dan penjatuhan pidana mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana mati oleh tim medis (dokter). v V - - v

  3.UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 15 Huruf x Perkap No.

  12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, berbunyi,”Komand an Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;

  3.Penembakan pengakhir dengan cara menempel ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga dinilai tidak manusiawi karena sebelumnya sudah merasakan penderitaan akibat diawali dengan tembak di jantung dan tembak kepala menyebabkan otak terpidana terburai.

  3. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dengan cara qishash berdasarkan QS Al Baqaroh Ayat 178 dan 179 dan HR Muslim yakni dengan cara dipancung karena dinilai merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu ), cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dimana memutus urat atau “kabel” yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord). v V - - v

I. Simpulan

  Berdasarkan analisis kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, serta paradigma kontruktivisme, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.

  Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1962jo Peraturan Kapolisian (Perkap) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

  2. Kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati saat ini, antara lain tidak ada bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai efektivitas pidana mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan pidana, akurasi dan keadilan terhadap putusan pidana mati ini, kekhawatiran mengeksekusi orang yang salah, dan dinilai tidak manusiawi.

  3. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai- nilai Pancasila adalah mewujudkan kebijakan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban secara seimbang. Sedangkan rekonstruksi hukumnya mengamandemen beberapa ketentuan yang mengatur tentang pidana mati.

  Pasal-pasal tersebut antara lain: Mengamandemen ketentuan UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964 danUU No. 5 Tahun 1969 jo

  Pasal 15 Huruf x Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dimana pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati diamandemen dengan cara dipancung, mengingat eksekusi tersebut merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu), cepat, dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dengan cara memutus urat atau “kabel”yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord). Mengamandemen ketentuan UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964 tentang pelaksanaan pidana mati bagi terpidana hamil pelaksanaan pidana baru dapat dilaksanakan setelah terpidana melahirkan anaknya dan menyusui anaknya (ASI) selama 2 tahun. Penjatuhan pidana mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana sakit jiwa dan atau sakit keras ditentukan oleh tim medis (dokter) terkait.

  J. Implikasi Kajian Disertasi

  Berdasarkan temuan yang telah dikemukakan di atas, maka dihasilkan implikasi teoritis dan implikasi praktis: (1)

  Implikasi Teoritis Terjadi pergeseran kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati yang melindungi pelaku tindak pidana menjadi kebijakan hukum pelaksanaan pidana yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban secara seimbang. (2)

  Implikasi Praktis a.

  Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana yang berbasis nilai- nilai Pancasila, yakni nilai: Ketuhanan (religius), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan. b.

  Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila ini bersinergi dengan kebijakan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

  c.

  Respon akademisi terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila terutama dalam hal penguatan (penegasan) terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila.

  d.

  Respon aparat penegak hukum dalam menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila sehingga terbangun sistem yang kondusif, manusiawi, terstruktur, masif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan evaluasi secara terus menerus.

  e.

  Penerapan kebijakan hukum pelaksanaan pidana ini membutuhkan pemahaman yang menyeluruh dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk Polri, jaksa, hakim, pengacara dan petugas di Lembaga Pemasyarakatan, serta pemahaman masyarakat Indonesia secara luas agar bersinergi dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah UUD NRI Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

  K. Saran-saran 1.

  Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengamandemen UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964, UU No. 5 Tahun

  1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964, dan UU No. 5 Tahun 1964 jo Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

2. Berdasarkan fakta yang ada, meski negara Indonesia sudah merdeka sejak

  17 Agustus 1945, namun beberapa produk hukumnya masih menggunakan warisan penjajah Belanda. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Untuk itu, sebagai negara yang berdaulat sudah saatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berdaulat secara hukum. Terlebih dari sisi hukum pidananya. Dimana produk hukum pidana merupakan cermin peradaban masyarakatnya. Baik itu produk hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Diharapkan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana (KUHPP) yang berbasis nilai-nilai Pancasila, yang dibuat oleh bangsa Indonesia yang mengambil sari pati nilai dari masyarakat Indonesia, yakni nilai Ketuhanan (religius), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

  3. Diharapkan ada penelitian lanjutan kebijakan hukum pelaksanaan pidana pada pidana pokok lain (seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan) serta penelitian pada pidana tambahan.

  

SUMMARY OF DISERTATION

RECONSTRUCTION OF THE LAW POLICY OF

DEADIMPLEMENTATION BASED ON PANCASILA VALUES

A.

   Background

As it is known that until now the Criminal Code (hereinafter abbreviated as the

Criminal Code) is a legacy of the Dutch colonial heritage still prevails in the

Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) that has been sovereign and

independent since August 17, 1945. Criminal Code (Wetboek van Strafrecht for

the next abbreviated as WvS) is still valid in Indonesia based on Law no. 1 of

1946 jo Law no. 73 of 1958. The Criminal Code (WvS) comes from a Civil Law

System or called by Rene David as "the Romano Germanic Family" or "Civil Law

System" which accentuates the notion of "individualism, liberalism and individual

rights" .

While the conception of Indonesian legal state has characteristics and

characteristics based on the spirit and spirit of the nation (volkgeist) Indonesia,

namely Pancasila. Although the identity and formulation of Indonesian state

characteristics based on Pancasila has been formulated, the conception of the

Pancasila legal state has not been well implemented and institutionalized.

Therefore, there is a need for systematic, structured, and massive efforts to

internalize the concept of Pancasila law state into aspects of national and state

life, particularly in the renewal of national law.

AdianHusaini said the importance of Pancasila as a worldview and a foothold of

values for the nation of Indonesia. The values contained in the precepts of

Pancasila, namely the value of divinity (religious), humanity, unity, democracy,

and justice are the values of the nation's philosophy in developing Indonesian law

in the future. Pancasila as the ideology, the foundation and the philosophy of life

of the Indonesian nation is what our nation and country live the life of the state in

accordance with its identity that distinguishes it from other nations in the world.

  

Along with the dynamics of life of nation and state, Pancasila has become the

primary source in solving multidimensional nation problem. Admittedly,

Pancasila has a strong historical value that can improve the spirit of nationality,

on the other hand Pancasila has a spiritual-ideological value that can be used as

a power to examine the problems of present and kemadya.

In this context, the values of Pancasila become very relevant in order to build an

Indonesian legal identity. Building law that reflects the values, norms, philosophy

of the Indonesian nation. Similarly, in the realm of criminal law that still apply

the Criminal Code (Wetboek van StrafrechtvoorNederlands Indie hereinafter

abbreviated as W.v.S.N.I. or W.v.S. (KUHP)) originating from the Netherlands.

W.v.S. The Netherlands is derived from the French Penal Code made in 1791 AD.

KUHP (W.v.S) which is still used in Indonesia is already around 3 centuries old.

When viewed from such a long span of time with different cultures of society

between Indonesian society and European society (French and Dutch), there is a

difference of historical background which is accompanied by different values

between the two cultures (culture) of this nation.

In order to replace the legislation of the colonial legacy and refine the existing

legislation that is no longer in accordance with the times, the Criminal Code

(W.v.S.) as a product of colonial law is not a fixed price to be maintained in our

country. Especially when in his native country, W.v.S. has reconstructed many

times. Is it still appropriate to keep the Criminal Code in line with the dynamics of

an independent and sovereign Indonesian society? Similarly, the rules governing

the criminal law contained in Article 10 of the Criminal Code (W.v.S.) and some

related legislation that is currently assessed are still fragmented.

Based on the above opinion, this dissertation will examine the components of

legal norms and legislation, especially in relation to the underlying penalty in