BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja - PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, MOTIVASI, DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT MADUBARU PG PS MADUKISMO YOGYAKARTA - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja

  Kinerja (Job Performance) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara 2005:67). Menurut Prawirosentono (2014:87), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

  Definisi lain prestasi kerja atau kinerja menurut Hasibuan (2001:160) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya atas kecakapan, usaha dan kesempatan.

  Simamora (2006:34) berpendapat bahwa kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang dapat dilihat secara nyata dengan standar kerja yang telah ditetapkan organisasi.

  Sedangkan Rivai (2009:532) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

  Beberapa pengertian kinerja diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang telah dibebankan kepadanya menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.

2.1.2. Penilaian Kinerja

  Penilaian kinerja adalah proses dimana organisasi- organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan (Handoko, 2008:135). Sedangkan menurut Simamora (2006:338) penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan.

  Menurut Cumming dan Worley (2005) terdapat lima elemen penting dalam penilaian kinerja, yaitu tujuan penilaian, penilai, peran karyawan yang dinilai, pengukuran dan waktu penilaian. Pendekatan baru dalam penilaian kerja lebih menekankan keterlibatan pada proses penilaian yang berlangsung. Pada pendekatan ini kinerja seseorang karyawan akan dinilai oleh atasan, rekan kerja, orang lain, dan oleh diri sendiri.

  Kinerja individu dengan self assesment yaitu penilaian yang dilakukan karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-keuatan dan kelemahan-kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang. Keuntungan dari penilaian diri sendiri (self assessment) yaitu dapat berpartisipasi dalam proses penilaian prestasi kerja, meningkatkan motivasi kerja, melatih kejujuran dalam organisasi, memperbaiki diri sendiri, dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri dan melatih diri karyawan untuk menentukan serta merencanakan kinerjanya dimasa yang akan datang (Timple, 1999).

  Menurut Mangkunegara, (2009) model penilaian kinerja self

  assessment yaitu:

  a. Penilaian sendiri Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu.

  Akurasi didefinisikan sebagai sikap kesepakatan antara penilaian diri sendiri dan penilaian lainnya. Other Rating dapat diberikan oleh atasan, bawahan, mitra kerja atau dari individu itu sendiri. Penilaian sendiri biasanya digunakan pada bidang sumber daya manusia seperti: penilaian kinerja, penilaian kebutuhan pelatihan, analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan dan lainnya. Penilaian sendiri dilakukan bila personal mampu melakukan penilaian terhadap proses dan hasil karya yang mereka laksanakan sebagai bagian dari tugas organisasi. Penilaian sendiri atau dipengaruhi oleh sejumlah faktor kepribadian, pengalaman, pengetahuan dan sosio demografi seperti suku dan kependidikan. Dengan demikian tingkat kematangan personal dalam menilai hasil karya menjadi hal yang patut diperhatikan.

  b. Penilaian atasan Pada organisasai pada kematangan tingkat majemuk, personal biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi, penilaian ini yang termasuk dilakukan oleh supervisor atau atasan langsung.

  c. Penilaian mitra Penilaian mitra lebih cocok digunakan pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup tinggi. Dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota kinerja kelompok kerja. Penilaian mitra dilakukan oleh seluruh anggota kerja kelompok dan umpan balik untuk personal yang dinilai yang dilakukan oleh komite kerja dan bukan oleh supervisor. Penilaian mitra biasanya lebih ditujukan untuk pengembangan personal dibandingkan untuk evaluasi.

  d. Penilaian bawahan Penilaian bawahan terhadap kinerja personal terutama dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan dan umpan balik personal. Bila penilaian ini digunakan untuk administratif dan evaluasi, menetapkan gaji dan promosi maka penggunaan penilaian ini kurang mendapat dukungan, program penilaian bawahan terhadap manajer dalam rangka perencanaan dan penilaian kinerja manajer. Program ini meminta kepada manajer untuk dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan manajemen mereka.

  Menurut Campbell dan Garfinkel (1996:74) pengelolaan kinerja membantu mengintegrasikan tujuan perusahaan, individu dan kelompok kerja, sehingga diperlukan peningkatan efektivitas penilaian kinerja dengan melibatkan diri sendiri dan manajer senior dalam proses penilaian, integrasi tujuan penilaian dengan tujuan perusahaan, mengembangkan training bagi appraiser dan appraisee, mengukur kinerja dan menekankan feedback dan coaching. Sedangkan menurut Ken dan Blanchard (2001:65), eksekutif harus memperhatikan berbagai situasi dalam pengelolaan kinerja. Dalam mengambil keputusan eksekutif harus terbuka dengan informasi, mengarahkan kreativitas karyawan, melaksanakan tindakan secara efisien dan melepaskan karyawan yang bermoral rendah. Keberhasilan perusahaan dalam pengelolaan kinerja berkaitan dengan efektivitas sistem penilaian kinerja.

  Metode penilaian 360 derajat feedback adalah proses dimana seorang karyawan menerima informasi tentang bagaimana dirinya sendiri dinilai oleh sekelompok orang yang berinteraksi sehari- hari dalam pekerjaannya serta penilaian yang dilakukan oleh dirinya sendiri (Yukl, 2006: 64). Pada konsep penilaian 360 derajat feedback, setiap individu tenaga kerja atau karyawan menilai diri mereka sendiri dan menerima feedback dari karyawan lain atau rekan sekerja, atasan, maupun konsumen. Seluruh personel perusahaan dengan proses penilaian 360 derajat feedback bertanggung jawab menilai kinerja karyawannya. Setiap karyawan berusaha menunjukkan kinerja yang berkualitas dihadapan atasan, bawahan, rekan kerja, konsumen dan pihak eksternal lainnya. Karyawan mendapat umpan balik dari berbagai sumber termasuk dari dirinya sendiri dalam mengevaluasi kontribusinya untuk perusahaan. Menurut Antonioni (2003:146) perusahaan dalam mengembangkan proses penilaian kinerja 360 derajat feedback akan mendapatkan manfaat seperti: meningkatkan kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh penilai (appraiser), meningkatkan management learning, mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap appraiser, meningkatkan tanggung jawab karyawan terhadap kinerja mereka dan menciptakan budaya organisasi perusahaan akan menjadi lebih jujur.

  Keuntungan dari menggunakan penilaian 360 derajat feedback diantara adalah meningkatkan kesadaran akan kelemahan dan kekuatan ada penerima feedback, menciptakan suasana dialog yang membangun, meningkatkan penggunaan umpan balik secara formal dan informal, meningkatkan pembelajaran organisasi, dan perilaku manajerial serta mendorong terciptanya perubahan (Atwater 2005).

2.1.3. Tujuan Penilaian Kinerja

  Robbins (2002:258) menjelaskan bahwa tujuan penilaian kinerja adalah :

  1. Manajemen menggunakan penilaian untuk mengambil keputusan personalia secara umum.

  2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan.

  3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan.

  4. Penilaian kinerja juga untuk memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka.

  5. Penilaian kinerja digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menetukan penghargaan.

  Tujuan dilakukannya penilaian kinerja secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada karyawan dalam upaya memperbaiki tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktivitas organisasi, dan secara khusus dilakukan dalam kaitannya dengan berbagai kebijaksanaan terhadap karyawan seperti untuk promosi, kenikan gaji, pendidikan, latihan, dan lain sebagainya Hariandja (2002:195). Sedangkan menurut Simamora (2006:343) tujuan utama sistem penilaian kinerja adalah untuk menghasilkan informasi yang akurat dan sahih tentang perilaku dan kinerja anggota oraganisasi. Sedangkan tujuan khusunya adalah evaluasi dan pengembangan.

2.1.4. Faktor -Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

  Bernardin (dalam Robbins, 2016:263) mengemukakan bahwa kinerja dikatakan baik bila karyawan memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1.

  Kualitas kerja Tingkat dimana hasil aktivitas yang dikehendaki mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas, maupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawan terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan karyawan.

  2. Kuantitas Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.

  Kuantitas yang diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah aktifitas yang ditugaskan beserta hasilnya.

  3. Ketepatan waktu Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.

  Ketepatan waktu diukur dari persepsi pegawai terhadap suatu aktifitas yang diselesaikan dari awal waktu sampai menjadi

  output .

  4. Efektivitas Tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikan hasil dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya. Efektifitas kerja diukur dari persepsi karyawan dalam menilai pemanfaatan waktu dalam menjalankan tugas, efektifitas menyelesaikan tugas yang dibebankan organisasi.

  5. Kemandirian Tingkat dimana karyawan dapat melakukan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan atau bimbingan dari orang lain.

  Kemandirian diukur dari persepsi karyawan dalam melakukan fungsi kerjanya masing-masing, sesuai dengan tanggung jawabnya.

  6. Komitmen kerja Tingkat dimana karyawan mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor. Diukur dari persepsi pegawai dalam membina hubungan dengan instansi serta tanggung jawab dan loyalitas pegawai.

  Sedangkan menurut Dharma, 2001:554 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja adalah :

  1. Kuantitas kerja (quantity of work), yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan.

  2. Kualitas kerja (quality of work), yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.

  3. Kreativitas (creativeness), yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.

  4. Pengetahuan mengenai pekerjaan (knowledge of job), yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.

  5. Kerjasama (cooperation), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain sesama anggota organisasi.

  6. Inisiatif (initiative), yaitu semangat untuk melaksanakan tugas- tugas baru.

  7. Ketergantungan (dependability), yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dalam melaksanakan pekerjaan.

  8. Kualitas pribadi (personal quality), yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahan, dan integritas pribadi.

2.1.5. Indikator Kinerja

  Menurut Prawirosentono (2014:87), kinerja dapat dinilai atau diukur dengan beberapa indikator yaitu:

  1. Jumlah pekerjaan Hal ini berkaitan dengan kuantitas (jumlah) hasil pekerjaan yang mampu diselesaikan oleh seorang karyawan.

  2. Kualitas pekerjaan.

  Pengecekan atas hasil pekerjaan adalah bagian dari ketelitian yang dimiliki oleh karyawan bersangkutan.

  3. Pengetahuan atas tugas Pengetahuan seorang karyawan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

  4. Kerja sama Ketergantungan kepada orang lain dari seorang karyawan perlu dinilai, karena berkaitan dengan kemandirian (self confidence) seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya.

  5. Tanggung jawab Kemampuan karyawan membuat perencanaan dan jadwal pekerjaannya, hal ini dinilai penting sebab akan mempengaruhi ketepatan waktu hasil pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seorang karyawan.

  6. Sikap kerja Judgement atau kebijakan yang bersifat naluriah yang dimiliki seorang karyawan dapat mempengaruhi kinerja, karena dia mempunyai kemampuan menyesuaikan dan menilai tugasnya dalam menunjang tujuan organisasi.

  7. Inisiatif Kehadiran dalam rapat disertai dengan kemampuan menyampaikan gagasan-gagasannya kepada orang lain mempunyai nilai tersendiri dalam menilai kinerja seorang karyawan.

  8. Keterampilan teknis Pengetahuan teknis atas pekerjaan yang menjadi tugas seorang karyawan harus dinilai, karena hal ini berkaitan dengan mutu pekerjaan dan kecepatan seorang karyawan mentelesaikan suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

  9. Kemampuan mengambil keputusan Kepemimpinan menjadi faktor yang harus dinilai dalam menilai kinerja seorang karyawan.

  10. Kepemimpinan Kemampuan berkomunikasi dari seorang karyawan, baik dengan sesama karyawan maupun dengan atasannya dapat mempengaruhi kinerjanya.

  11. Administrasi Kemampuan bekerja sama seorang karyawan dengan orang-orang lain sangat berperan dalam menentukan kinerjanya.

  12. Kreativitas Kemampuan mengatur pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk membuat jadwal kerja, umumnya mempengaruhi kinerja seorang karyawan.

  Seperti telah dijelaskan bahwa yang memegang peranan penting dalam suatu organisasi tergantung pada kinerja pegawainya.

  Agar pegawai dapat bekerja sesuai yang diharapkan, maka dalam diri seorang pegawai harus ditumbuhkan motivasi bekerja untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan. Apabila semangat kerja menjadi tinggi maka semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya akan lebih cepat dan tepat selesai. Pekerjaan yang dengan cepat dan tepat selesai adalah merupakan suatu prestasi kerja yang baik.

2.2. Gaya Kepemimpinan 2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan

  Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian. Seorang pemimpin merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan yang berperilaku secara bersama-sama dengan anggota kelompok dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu, sehingga kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang mendorong, memotivasi dan mengkordinasikan perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  Menurut Kartono (2008:34), Menyatakan sebagai berikut “Gaya kepemimpinan adalah sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian yang membedakan seorang pemimpin dalam berinteraksi dengan orang lain”. Menurut Thoha (2010:49) mengemukakan bahwa “Gaya kepemimpinan merupakan norma prilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi prilaku orang la in atau bawahan”.

  Menurut Supardo (2006:4), Gaya kepemimpinan adalah suatu cara dan proses kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau suatu sasaran dan mengarahkan organisasi dengan cara yang lebih masuk a kal”. Sedangkan menurut Mariam (2009:26), gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas bawahannya.

  Berdasarkan pengertian - pengertian gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

2.2.2. Tipe Gaya Kepemimpinan

  Menurut Robbins (2016:287) mengidentifikasi empat jenis gaya kepemimpinan antara lain:

1. Gaya kepemimpinan kharismatik

  Para pengikut terpacu kemampuan kepemimpinan yang heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilaku- perilaku tertentu pemimpin mereka. Terdapat lima karakteristik pokok pemimpin kharismatik: a.

  Visi dan artikulasi, yaitu pemimpin memiliki visi ditujukan dengan sasaran ideal yang berharap masa depan lebih baik daripada status quo, dan mampu mengklarifikasi pentingnya visi yang dapat dipahami orang lain.

  b.

  Rasio personal, pemimpin kharismatik bersedia menempuh risiko personal tinggi, menanggung biaya besar, dan terlibat kedalam pengorbanan diri untuk meraih visi. c.

  Peka terhadap lingkungan, mereka mampu menilai secara realistis kendala lingkungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat perubahan.

  d.

  Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut, pemimpin kharismatik perseptif (sangat pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan responsif terhadap kebutuhan dan perasaan mereka.

  e.

  Perilaku tidak konvensional, pemimpin kharismatik terlibat dalam perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan norma.

2. Gaya kepemimpinan transaksional

  Pemimpin transaksional merupakan pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Gaya kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin-bawahan tanpa adanya usaha untuk menciptakan perubahan bagi bawahannya. Terdapat empat karakteristik pemimpin transaksional: a.

  Imbalan kontingen merupakan kontrak pertukaran imbalan atas upaya yang dilakukan, menjanjikan imbalan atas kinerja baik, mengakui pencapaian. b.

  Manajemen berdasar pengecualian (aktif) yaitu melihat dengan mencari penyimpangan dari aturan dan standar, menempuh tindakan perbaikan.

  c.

  Manajemen berdasar pengecualian (pasif) merupakan suatu tindakan mengintervensi jika standar tidak dipenuhi.

  d.

  Laissez-Faire yaitu melepas tanggung jawab, menghindari pembuatan keputusan.

3. Gaya kepemimpinan transformasional

  Pemimpin transformasional mencurahkan perhatian pada hal-hal dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikut, Pemimpin transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok. Terdapat empat karakteristik pemimpin transformasional: a.

  Kharisma yaitu pemimpim memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan kepada bawahannya.

  b.

  Inspirasi yaitu pemimpin mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara sederhana. c.

  Stimulasi intelektual yaitu pemimin mendorong intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara hati-hati.

  d.

  Pertimbangan individual yaitu pemimpin memberikan perhatian pribadi, melayani karyawan secara pribadi, melatih dan menasehati.

4. Gaya kepemimpinan visioner

  Kemamuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh dan membaik dibanding saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat, mempunyai kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal ke masa depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya untuk mewujudkannya.

2.2.3. Gaya Kepemimpinan Transformasional

  Menurut Robbins (2007:471) pemimpin transformasional mencurahkan perhatian pada hal-hal dan kebutuhan pengembangan dari masing-masing pengikut. Pemimpin transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok.

  Modiani (2012:47), kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan untuk memberikan inspirasi dan memotivasi para pengikutnya untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal.

  Sedangkan menurut Yukl (2009:290), gaya kepemimpinan transformasional menyerukan nilai-nilai moral dari pengikut dalam upayanya untuk meningkatkan kesadaran karyawannya tentang masalah etis dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya mereka untuk mereformasi institusi.

  Menurut Burns dalam Safaria (2004:62), Kepemimpinan transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai – nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik dimasa depan. Pemimpin transformasional merupakan seorang agen perubahan yang berusaha keras melakukan transformasi ulang organisasi secara menyeluruh sehingga organisasi bisa mencapai kinerja yang lebih maksimal dimasa depan.

  Sedangkan menurut Yukl (2005:305), tingkat seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungan efek kepemimpinan terhadap para pengikutnya. Para pengikut seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin serta para bawahan termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan. Pemimpin transformasional memotivasi para bawahannya dengan : a.

  Membuat para bawahan lebih sadar mengenai pentingnya hasil suatu pekerjaan.

  b.

  Mendorong para bawahan untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan individu.

  c.

  Mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan para bawahan pada kebutuhan yang lebih tingi.

2.2.4. Karakteristik Kepemimpinan Transformasional

  Menurut Robbins dan Judge (2011:292), bahwa pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang menginspirasi para pengikut untuk mengesampingkan kepentingan pribadi demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri pengikutnya. Berikut merupakan macam-macam karakteristik gaya kepemimpinan transformasional :

  a.

   Charismatic leadership

  Pemimpin transformasional memiliki suatu karisma yang dikagumi dan dihormati, sehingga dengan pengaruh dan kekuatan karisma tersebut pemimpin mudah untuk mengkomunikasikan visi atau misi organisasi kepada pengikut. Melalui karisma yang dimiliki tersebut pemimpin dapat membentuk dan memperbanyak anggotanya melalui keyakinan, ambisi, energi, jeli melihat dan memanfaatkan peluang yang ada. Disamping itu melalui karismanya, pemimpin dapat mengilhami loyalitas, ketekunan, menanamkan kebanggaan dan kesetiaan, serta membangkitkan rasa hormat.

  b.

   Inspirational leadership

  Pemimpin transformasional mampu untuk membangkitkan semangat pengikutnya yang merasa ragu-ragu atau tidak mampu dalam menyelesaikan suatu tugas. Pemimpin dapat memberikan inspirasi, secara emosional membangkitkan, menggerakkan, dan menyemarakkan kondisi yang sudah tidak lagi menggairahkan.

  c.

   Belief

  Pemimpin transformasional memiliki insting atau naluri yang kuat, dapat melihat dan membuat keputusan-keputusan tepat yang berdampak positif bagi organisasi, sehingga mampu bertindak dengan penuh keyakinan dan menanamkan kepercayaan kepada para pengikutnya.

  d.

   Intellectual stimulation

  Pemimpin transformasional mampu memberikan dan melakukan stimuli-stimuli intelektual kepada para pengikutnya, mampu mendorong para pengikutnya untuk bertindak secara kreatif,mengajak bawahan untuk berpikir dengan cara-cara baru, berani memunculkan ide-ide dan berpikir rasional dalam menyelesaikan suatu masalah tidak berdasarkan opini atau dugaan saja.

  e.

   Individualized consideration

  Ciri ini berkaitan dengan tanggung jawab dan kemampuan pemimpin dalam memberikan kepuasan dan meningkatkan produktifitas para pengikutnya. Pemimpin transformasional cenderung bersikap membaur menjadi satu dengan pengikutnya sebagaimana layaknya individu dengan kebutuhan masing - masing. Pemimpin transformasional memperhatikan faktor-faktor individual, karena adanya perbedaan, kepentingan, dan pengembangan diri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

2.2.5. Faktor Yang Mempengaruhi KepemimpinanTransformasional

  Robbins (2010:263), menjelaskan bahwa seorang pemimpin dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat komponen yang terdiri dari : a.

  Kharismatik (Charismatic Leadership) Pemimpin tersebut mempunyai power dan pengaruh. karyawan dibangkitkan, sehingga mempunyai tingkat kepercayaan dan keyakinan.Pemimpin membangkitkan dan menyenangkan karyawannya dengan meyakinkan bahwa mereka mampu menyelesaikan sesuatu yang lebih besar dengan usaha ekstra.

  b.

  Motivasi inspiratif (Inspirational Motivation) Pemimpin transformasional selalu memotivasi dan merangsang bawahannya dengan menyiapkan pekerjaan yang berarti dan menantang, antusiasme, dan optimisme ditunjukan. Pemimpin selalu mengkomunikasikan visi, misi dan harapan-harapan dengan tujuan agar bawahan mempunyai komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan.

  c.

  Stimulasi intelektual (Intellectual Stimulation) Pemimpin selalu menstimuli bawahannya secara intelektual, sehingga mereka menjadi inovatif dan kreatif dalam menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang baru. Selain itu, pemimpin mengajarkan dengan melihat kesulitan sebagai masalah yang harus diselesaikan dan memberikan penyelesaian masalah secara rasional.

  d.

  Konsiderasi individual (Individualized Consideration) Pemimpin memberikan perhatian kepada karyawan secara individual, seperti : kebutuhan karyawan untuk berprestasi, memberikan gaji, memberi nasehat kepada karyawan sehingga karyawan dapat tumbuh dan berkembang.

2.2.6. Indikator Kepemimpinan Transformasional

  Ada beberapa indikator gaya kepemimpinan transformasional menurut Robbins (2010:263): a.

  Kharisma Karisma dianggap sebagai kombinasi dari pesona dan daya tarik pribadi yang berkontribusi terhadap kemampuan luar biasa untuk membuat orang lain mendukung visi dan juga mempromosikannya dengan bersemangat. Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang mewujudkan atmosfir motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi, dan gaya mereka dalam diri bawahanya.

  b.

  Motivasi Inspiratif Motivasi inspiratif menggambarkan pemimpin bergairah dalam mengkomunikasikan masa depan organisasi yang idealis.

  Pemimpin menggunakan komunikasi verbal atau penggunaan simbol- simbol yang ditujukan untuk memacu semangat bawahan. Pemimpin memotivasi bawahan akan arti penting visi dan misi organisasi sehingga seluruh bawahannya terdorong untuk memiliki visi yang sama. Kesamaan visi ini memacu bawahan untuk bekerja sama mencapai tujuan jangka panjang dengan optimis. Sehingga pemimpin tidak saja membangkitkan semangat individu tapi juga semangat tim.

  c.

  Stimulasi Intelektual Stimulasi intelektual menggambarkan pemimpin mampu mendorong karyawan untuk memecahkan masalah lama dengan cara yang baru. Pemimpin berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahannya akan permasalahan yang seang dihadapi bawahannya.

  Pemimpinan kemudian berusaha mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan- pendekatan atau perspektif baru.

  d.

  Pertimbangan Individu Perhatian yang individual menggambarkan bahwa pimpinan selalu memperhatikan karyawannya, memperlakukan karyawan secara individual, melatih dan menasehati. Pemimpin mengajak karyawan untuk jeli melihat kemampuan orang lain. Pemimpin memfokuskan karyawan untuk mengembangkan kelebihan pribadi.

  Indikator gaya kepemimpinan transformasional menurut Yukl (2009:305) yaitu: a. Pengaruh ideal atau kharismatik yaitu perilaku yang membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin.

  b.

  Pertimbangan individual meliputi pemberian dorongan, dukungan dan pelatihan terhadap pengikut.

  c.

  Motivasi inspirasional yang meliputi penyampaian visi yang menarik, untuk memfokuskan bawahan, dan model perilaku yang tepat.

  d.

  Stimulasi intelektual perilaku yang meningkatkan kesadaran pengikut yang membangkitkan emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut untuk memandag masalah dari perspektif yang baru.

  Indikator gaya kepemimpinan transformasional yang dipakai di dalam penelitian ini adalah dari pendapat yang dikemukakan oleh Robbins (2010:263), Indikator tersebut adalah sebagai berikut : a.

  Kharisma b.

  Motivasi Inspiratif c. Stimulasi Intelektual d.

2.3. Motivasi 2.3.1. Pengertian Motivasi

  Motivasi mempunyai kaitan erat dengan gaya kepemimpinan. Karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain sangat tergantung kepada kewibawaan dan bagaimana menciptakan motivasi dalam diri setiap karyawan, sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai. Karyawan sangat membutuhkan motivasi dari pimpinan untuk mewujudkan cita-cita di masa mendatang baik melalui pelatihan pada saat bekerja, sehingga terbentuk suatu sinergi yang dapat meningkatkan produktivitas. Pada dasarnya motivasi kerja dapat memacu karyawan untuk bekerja keras sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Hal ini akan meningkatkan produktivitas kerja karyawan sehingga berpengaruh pada pencapaian tujuan perusahaan.

  Menurut Samsudin (2010:281), mengemukakan bahwa motivasi adalah proses mempengaruhi atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja agar mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Siagian (2009:102), menyatakan bahwa motivasi merupakan daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya.

  Selain itu menurut Handoko (2001:252), mengartikan motivasi sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya.

  Motivasi sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Motivasi umumnya terkait dengan upaya ke arah sasaran, tapi fokus dalam hal ini adalah tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Selanjutnya dikenal teori dua faktor atau teori motivasi higiene yang dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg: a.

  Faktor motivator (satisfiers), situasi yang merupakan sumber kepuasan kerja, sehingga mendorong orang untuk berperilaku tertentu dan memotivasi untuk bekerja lebih giat dan semangat, sehingga memberikan kepuasan kerja, terdiri dari penghargaan, tanggung jawab, pekerjaan yang menarik, pertumbuhan dan perkembangan, prestasi kerja dan lain-lain.

  b.

  Faktor hygiene (dissatisfiers), yang menjadi penyebab seseorang untuk tidak melakukan sesuatu, karena jika dilakukan akan menghadapi ketidakpuasan, kebijakan organisasi, supervisi, kondisi lingkungan, hubungan antar manusia, gaji, keamanan, dan lain-lain (Robbins, 2006:124).

  Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006:114), motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena satu alasan yaitu untuk mencapai tujuan. Jadi motivasi adalah sebuah dorongan yang diatur oleh tujuan dan jarang muncul dalam kekosongan. Kebutuhan, keinginan, hasrat dan dorongan, semuanya serupa dengan motif, yang merupakan asal dari kata motivasi. Memahami motivasi sangatlah penting karena kinerja, reaksi terhadap kompensasi, dan persoalan sumber daya manusia yang lain dipengaruhi dan mempengaruhi motivasi.

  Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu keahlian dalam mengarahkan atau mengendalikan dan menggerakan seseorang untuk melakukan tindakan akan perilaku yang diinginkan berdasarkan sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan untuk mencapai tujuan tertentu.

2.3.2. Teori Motivasi

2.3.2.1 Teori Hirarki Kebutuhan Maslow

  Teori motivasi yang paling dikenal adalah Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow. Maslow adalah psikolog humanistik yang berpendapat bahwa pada diri setiap orang terdapat hirarki lima kebutuhan, yaitu: 1.

  Kebutuhan fisiologis (Physiological needs): makanan, minuman, tempat tinggal, kepuasan seksual, dan kebutuhan fisik lain.

  2. Kebutuhan keamanan (Safety needs): keamanan dan perlindungan dari gangguan fisik dan emosi, dan juga kepastian bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi.

3. Kebutuhan sosial (Social needs): kasih sayang, menjadi bagian dari kelompoknya, diterima oleh teman-teman, dan persahabatan.

  4. Kebutuhan harga diri (Esteem needs): faktor harga diri internal, seperti penghargaan diri, otonomi, pencapaian prestasi dan harga diri eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.

  5. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization needs ): pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri yaitu dorongan untuk menjadi apa yang dia mampu capai.

  Seorang individu bergerak naik ke hirarki kebutuhan dari satu tingkat ke tingkat yang berikutnya. Selain itu, Maslow memisahkan lima kebutuhan ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan dianggap kebutuhan yang lebih rendah, sedangkan kebutuhan sosial, harga diri, dan aktualisasi diri dianggap kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan urutan lebih rendah didominasi oleh kepuasan eksternal sementara kebutuhan tingkat tinggi didominasi oleh kepuasan internal.

2.3.2.2 Mc. Clelland’s Achievement Motivation Theory oleh Mc. Clelland

  Teori ini berpendapat bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Mc. Celland (Robbins 2016 : 120) mengelompokkan tiga kebutuhanan manusia yang dapat memotivasi gairah bekerja, yaitu: a.

  Kebutuhan untuk berprestasi (Need for Achievement), merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang.

  Karena itu kebutuhanakan berprestasi akan mendorng seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan akan mencapai prestasi kerja yang optimal.

  b.

  Kebutuhan untuk berafiliasi (Need for Affliation), kebutuhan ini menjadi daya penggerak yang akaan memotivasi semangat bekerja seseorang. Hal itu dikarenakan kebutuhan akan afiliasi ini dapat merangsang gairah kerja seseorang.

  c.

  Kebutuhan untuk berkuasa (Need for Power), Ego manusia yang ingin lebih berkuasa dari manusia lainnya sehinnga menimbulkan persaingan yang sengaja ditumbuhkan secara sehat oleh atasannya dapat dijadikan motivasi untuk merangsang dan memotivasi gairah kerja karyawan. Sehingga kebutuhan akan kekuasaan ini termasuk gaya penggerak yang dapat meningkatkan motivasi karyawan.

  Faktor-faktor yang merupakan penggerak motivasi (faktor- faktor intrinsik) ialah:

  1. Prestasi (Achievement), artinya karyawan memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi.

  2. Pengakuan (Recognition), artinya karyawan memperoleh pengakuan dari pihak perusahaan bahwa mereka berprestasi, baik, diberi penghargaan, pujian, dimanusiakan, dan sebagainya.

  3. Pekerjaan itu sendiri (Work Itself), artinya memang pekerjaan yang dilakukan itu sesuai dan menyenangkan bagi karyawan.

  4. Tanggung jawab (Responsibility), artinya karyawan diserahi tanggung jawab dalam pekerjaan yang dilaksanakannya, tidak hanya semata-mata melaksanakan pekerjaan.

  5. Pertumbuhan dan perkembangan (Advancement and

  Growth ), artinya dalam setiap pekerjaan itu ada kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.

  Adapun faktor-faktor pemelihara motivasi (faktor-faktor ekstrinsik) meliputi :

  1. Pengawasan (Supervision) terhadap karyawan.

  2. Kebijakan dalam perusahaan (Company Policy).

  3. Hubungan dengan atasan (Relationship with Supervisor).

  4.

  5. Gaji (Salary) yang diterima karyawan.

  6. Hubungan dengan rekan-rekan kerja sederajat (Relationship with Peers ).

  7. Kehidupan pribadi para karyawan (Personal Life). 8. dengan bawahan (Relationship with

  Hubungan Subordinates ).

  9. Kedudukan (Status) karyawan.

  10. Keamanan dan keselamatan kerja (Security).

2.3.3. Indikator Motivasi

  Indikator-indikator motivasi menurut (Maslow Dalam Robbins,2006:124 ) yaitu : 1.

  Kebutuhan Fisiologis (Physiological need) Kebutuhan Fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, perumahan, oksigen, tidur dan sebagainya.

2. Kebutuhan rasa aman (safety need)

  Apabila kebutuhan fisiologis relative sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman.

  Kebutuhan akan rasa aman ini meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja.

  3. Kebutuhan sosial (social need) Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka akan muncul kebutuhan sosial. Yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervise yang baik, rekreasi bersama dan sebagainya.

  4. Kebutuhan penghargaan (Esteem need) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas kerja seseorang.

  5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization need) Aktualisasi diri merupaka hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Kebutuhan aktualisasi diri ada kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan perilakunya.

  Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.

2.4. Disiplin Kerja 2.4.1. Pengertian Disiplin Kerja

  Singodimenjo (2011:86) “Disiplin adalah sikap kesediaan dan kerelaan seseorang untuk mematuhi dan mentaati norma-norma peraturan yang berlaku di sekitarnya”. Hasibuan dalam Barnawi (2012:112) Disiplin kerja adalah kemampuan kerja seseorang untuk secara teratur, tekun, terus-menerus, dan bekerja sesuai dengan aturan- aturan yang berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Menurut Simamora (2004:234), disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur. Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004:444).

  Menurut Hasibuan (2013:193), Disiplin kerja adalah “Kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma- norma sosial yang berlaku”. Menurut

  Mangkunegara (2013:129) bahwa : “Disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman- pedoman organisasi.” Menurut Sutrisno (2014:86) menyatakan bahwa disiplin kerja adalah “Kesediaan dan kerelaan seseorang untuk menaati dan menjalankan norma- norma atau aturan yang berlaku”.

  Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa disiplin kerja merupakan suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, dan bila melanggar akan ada sanksi atas pelanggarannya. Setiyawan dan Waridin (2006:101), ada 5 faktor dalam penilaian disiplin kerja yaitu : a.

  Kualitas kedisiplinan kerja, meliputi datang dan pulang yang tepat waktu, pemanfaatan waktu untuk pelaksanaan tugas dankemampuan mengembangkan potensi diri berdasarkan motivasi yang positif.

  b.

  Kuantitas pekerjaan meliputi volume keluaran dan kontribusi.

  c.

  Kompensasi yang diperlukan meliputi saran, arahan atau perbaikan.

  d.

  Lokasi tempat kerja atau tempat tinggal.

  e.

  Konservasi meliputi penghormatan terhadap aturan dengan keberanian untuk selalu melakukan pencegahan terjadinya tindakan yang bertentangan dengan aturan.

  Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja menurut Rivai (2004:444): a.

  Disiplin retributif (retributive discipline) yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah.

  b.

  Disiplin korektif (corrective discipline) yaitu berusaha membantu karyawan mengkoreksi perilakunya yang tidak tepat. c.

  Perspektif hak-hak individu (individual right perspective) yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan- tindakan disipliner.

  d.

  Perspektif utilitarian (utilitarian perspective) yaitu berfokus kepada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi- konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.

2.4.2. Tujuan Disiplin Kerja

  Penerapan disiplin dalam kehidupan perusahaan ditujukan agar semua karyawan yang ada dalam perusahaan bersedia dengan sukarela mematuhi dan mentaati segala peraturan dan tata tertib yang berlaku dalam perusahaan itu tanpa paksaan. Apabila setiap orang dalam perusahaan itu dapat mengendalikan diri dan mematuhi semua norma-norma yang berlaku, maka hal ini dapat menjadi modal utama yang amat menentukan dalam pencapaian tujuan perusahaan. Mematuhi peraturan berarti memberi dukungan positif pada perusahaan dalam melaksanakan program – program yang telah ditetapkan, sehingga akan lebih memudahkan tercapainya tujuan perusahaan. Menurut Sutrisno (2009:126), mengemukakan bahwa tujuan disiplin kerja adalah sebagai berikut : a.

  Tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan perusahaan. b.

  Tingginya semangat dan gairah kerja dan inisiatif para karyawaan untuk melaksanakan pekerjaan.

  c.

  Besarnya rasa tanggung jawab pada karyawan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.