Identifikasi Sumberdaya Desa.

IDENTIFIKASI DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA DESA UNTUK PEMBANGUNAN

Oleh: Dr. GPB Suka Arjawa, Staf Pengajar FISIP, Universitas Udayana

Abstrak

Pembangunan desa merupakan sasaran tepat bagi Indonesia untuk mengembangkan
kesejahteraan rakyatnya. Ini disebabkan karena mayoritas penduduk Indonesia berdomisili di
pedesaan dengan pekerjaan berbasis pada sektor pertanian. Disamping itu, sumber daya yang
dimiliki, baik yang tidak kelihatan maupun yang kelihatan juga ada di desa. Dengan perpaduan
antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia itulah kemudian pembangunan dapat
dimaksimalkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang
Desa yang telah mulai diimplementasikan tahun 2015, menekankan bahwa negara berupaya dan
memberikan dorongan untuk memberdayakan pembangunan desa tersebut, dengan
memanfaatkan sumber yang ada. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten
Tabanan, Bali dengan alasan kecamatan ini mempunyai perpaduan antara modernisasi, serta
tradisionalitas yang berimbang. Suasana alamnya juga masih alami. Metode yang digunakan
adalah kualitatif dengan harapan mampu lebih melihat kenyataan yang ada secara langsung.
Dengan memakai teori pilihan rasional sebagai panduan, penelitian ini menemukan bahwa di
kecamatan ini terdapat cukup banyak sumber daya yang dapat diberdayakan. Temuan itu adalah

sarana listrik yang telah dimiliki seluruh desa, jalan yang sudah terhubung menuju desa-desa
lain, akses jalan raya utama di tengah-tengah kecamatan, jarak yang tidak terlalu jauh dari pusat
ibukota Bali maupun kota kabupaten, sumber air, tingkat pendidikan, kearifan lokal, sampai
dengan suasana pedesaan yang masih sejuk dan hijau.
Kata Kunci: Desa, Sumberdaya, Prasarana
Village development is the perfect poin by Indonesia to ensure social prosperity. This is because
the most Indonesian people living at village, with agricultural as a base of their life. The
resources, both intangible and tangible, exist at village to. With the existence of both human
resources and natural resources, we can maximalized the development at villade to endorse
social prosperity. The Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (the regulation number
6/2014 about Village), have implemented since 2015, urged that the state give, try and endors
the society to develop with basic on the natural resource wich take place at village. This research
take place at Kerambitan subdistrict, Tabanan Regency, Bali, with reasons that this subdistrict
have both modern scane of society and traditional scane. Most of the village panorama still fresh
and natural. Kualitatif method is implied in this research. With this method, researcher have to
do his work directly contact with the social life at field. With rational choice theory, this
research found that this subdistrick have varied resources which can be empowerded. There are,
all the village at that subdistrict had powerd by electricity, all the village at this subdistrick have
connected with road to any others, the locations at the Jawa-Bali main road, the locations not far


from Denpasar and the Tabanan city, have water resources, the intellectual resources, local
wisdom, untill the fresh air and situation at the villages.
Keywords: Village, Resources, and Infrastructure

Pendahuluan
Desa menjadi pusat perhatian pembangunan Indonesia di masa depan. Ini terlihat dengan
diberlakukannya undang-undang No. 6 Tahun 2014, dengan berbagai aturan pelaksananya.
Pilihan ini tidak keliru karena desa menjadi identitas kehidupan sosial Indonesia. Sebagai negara
yang berada di wilayah khatulistiwa, memungkinkan tumbuhnya aberbagai tanaman dan hutan
tropis. Dan sebagai negara yang berada di garis patahan benua, memungkinkan bagi Indonesia
untuk bermunculannya gunung berapi. Perpaduan kedua inilah yang membuat hutan dan
tanaman tropis serta hujan yang teratur terjadi di Indonesia. Komunitas sosial desa terbentuk oleh
kejadian-kejadian seperti itu yang membuat Indonesia menjadi negara berbudaya agraris.
Pada jaman Orde Baru, pemerintah menetapkan konsep pembangunan yang disebut
dengan pelita, yaitu Pembangunan Lima Tahun, dimana seluruh dasar pijakan dari pembangunan
tersebut didasarkan pada pertanian. Tidak lain ini disebabkan karena mayoritas penduduk
Indonesia berkehidupan dari pertanian. Meskipun sekarang Pemerintahan Joko Widodo sering
menyebutkan tentang pemanfaatan laut sebagai sumber daya kehidupan, akan tetapi sejarah
sosial dan konteks kehidupan sosial masyarakat Indoensia lebih banyak kepada sktor pertanian.
Pancasila sebagai lambang dasar negara, juga jelas mencantumkan bagaimana kehidupan

pertanian tersebut menjadi dasar bernegara, dengan simbol sila kelima sebagai padi dan kapas
untuk meujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kehidupan agraris tersebut,
berpusat di pedesaan.
Dengan demikian, munculnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 dengan peraturan
pelaksanannya, membuat adanya upaya penyadaran untuk menggerakkan pembangunan tersebut
dari tingkat dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Pembangunan yang mengedepankan kota
sebagai lokus perkembangan negara, menjadi pengingkaran karena akan menimbulkan
perbedaan cara membangun dan strategi pembangunan. Kota mempunyai identitas dan cara
pengembangan yang berbeda dengan desa. Kota lebih banyak kepada upaya pragmatis
pencapaian tujuan karena cara hidup, geografis, pola pergaulan serta tujuan hidup mereka
berbeda. Misalnya orang kota lebih mementingkan mendatangkan modal tanpa melihat

bagaimana akibat modal tersebut kepada lingkungan. Desa memakai rasionalitas akan tetapi
tetap melihat pola lingkungan sosial dan alam dalam perkembangannya ketika melihat modal
sebagai penggerak.
Dalam hal mengembangkan pembangunan desa, banyak sumber daya yang dapat
diperhitungkan. Desa sebagai sebuah daerah geografis serta tempat beraktifitasnya masyarakat
mempunyai berbagai potensi, baik kelihatan dan tidak kelihatan untuk mengembangkan
kesejahteraan warga. Selama ini potensi-potensi tersebut tidak mendapatkan perhatian besar
karena sejak jaman Orde Baru, bahkan Orde Lama, potensi ini tidak dikembangkan dengan baik.

Orde Lama lebih banyak mempertimbangkan pembangunan politik dan nasionalisme bangsa
yang kemudian dihiasi dengan berbagai konflik politik. Orde Baru meskipun secara politik telah
mengembangkan konsep kebijakan Pelita, akan tetapi perkembangan selanjutnya kebijakan ini
tidak berlangsung dengan baik karena faktor-faktor politik dominasi dan kekerabatan yang
kemudian berkembang. Orde Reformasi pun pada awal-awalnya tidak memberikan jaminan akan
perkembangan desa karena masih harus menghadapi masalah-masalah konsolidasi politik.
Maka ketika Presiden Joko Widodo yang mempunyai karakter merakyat, diantaranya
dengan menyukai blusukan sebagai sebuah tindakan politis, mempunyai kesempatan dan
tanggung jawab besar untuk melaksanakan pembangunan berbasis pedesaan ini. Kesempatan
karena telah ada paynung hukum berupa undang-undang desa tersebut. Joko Widodo pun
dipersepsikan sebagai presiden yang merakyat, lebih kepada pendekatan keraakyatan. Dan itu
berarti menyentuh mayoritas masyarakat yang ada di pedesaan.

Tanggung jawab harus

dilakukan karena sebagai presiden menjadi pembimbing utama agar apa yang diamanatkan oleh
Undang Undang tentang Desa tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Masalah yang Ada di Pedesaan
Sebagian besar persoalan yang muncul dari upaya pembangunan pedesaan disebabkan

oleh kekeliruan pemerintah di masa lalu mengaktualisasikan konsep pola pembangunannya.
Meski Orde Baru menekankan pada pembangunan pertanian sebagai basis pembangunan lima
tahun, tetapi kota tetap menjadi sentra dari pergerakan pembangunan tersebut. Ini misalnya
dilihat dari perencanaan untuk pembangunan dilakukan oleh mereka-mereka yang tinggal di
perkotaan. Juga sentra pupuk, lebih banyak didirikan di kota. Desa menjadi teralienasi oleh cara
ini sehingga terjadi berbagai macam kesenjangan. Penghasilan orang kota lebih banyak

dibandingkan dengan desa, lowongan pekerjaan lebih banyak ada di kota, sampai kalangan
intelektual berkecimpung banyak di kota. Satu akibat dari hal ini adalah tersendatnya
pembangunan di desa dan menimbulkan adanya urbanisasi. Undang-undang Desa ini spiritnya
adalah berupaya menghilangkan urbanisasi tersebut. Atau paling tidak mampu menekan jumlah
urbanisasi apabila desa sudah dapat digerakkan dengan baik untuk mencapai peningkatan
kesejahteraan.
Persoalan lain yang muncul di desa adalah tidak mampunya masyarakat memahami
berbagai potensi yang ada di lingkungannya sendiri. Urbanisasi merupakan sebab dari
ketidaktahuan masyarakat tentang potensi yang dimiliki desa. Padahal, seperti yang telah
diutarakan, sumber daya yang menjadi soko guru pergerakan kesejahteraan Indonesia itu ada di
pedesaan. Terlalu lamanya dominasi orientasi pembangunan di kota, menyebabkan masyarakat
tidak mengerti tentang sumber daya yang mampu diberdayakan masyarakat. Padahal, desa
mempunyai berbagai macam potensi tersebut kalau memang mampu dimanfaatkan dengan baik.

Sumber daya itu bermacam-macam, dalam bentuk sumber daya kelihatan maupun yang tidak
kelihatan seperti suasana pedesaan, semangat kebersamaan, gotong-royong, sumber air, tanah
luas dan lain sebagainya. Undang-undang tentang Desa secara tidak langsung mengarahkan
masyarakat dan pejabat-pejabat desa untuk menemukan dan memberdayakan sumber daya ini
demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kualifikasi dan kualitas sumber daya manusia di pedesaan juga menjadi salah satu
kendala untuk memajukan desa. Sudah menjadi umum, bahwa pusat pembangunan di kota
membuat banyak anggota masyarakat yang berkualifikasi sarjana atau ahli pada bidang-bidang
tertentu, menetap di kota. Penekanan kehidupan ekonomi di perkotaan memungkinkan
munculnya berbagai spesialisasi pada ilmu pengetahuan, teknologi, jasa dan keterampilan
(Suparlan, 1991: 8). Masyarakat yang berkualifikasi seperti ini lebih mampu menjamin
kehidupannya apabila berada di kota. Disamping itu sarana yang mampu dipakai penopang
keahliannya, banyak berada di pedesaan. Seorang dosen misalnya, akan memilih menetap di kota
karena mampu mengakses ilmu pengethuan di perpustakaan-perpustakaan yang ada di kota.
Demikian juga dengan ahli lainnya. Hal ini kemudian menyebabkan desa kekurangan tenaga
yang mampu dipakai untuk mendiskusikan berbagaii persoalan. Juga tidak memiliki tenaga ahli
untuk mengenali berbagai potensi yang ada di desa, meskipun secara potensial sumber daya
tersebut banyak. Maka, melalui keinginan pemerintahlah kemudian hal ini dicoba diubah cara

pandangnya sehingga pemusatan pembangunan di desa akan membuat para ahli tersebut

bertempat tinggal di desa untuk mampu memberdayakan desanya.
Pemusatan para ahli di perkotaan membuat berbagai sumber daya yang dimiliki tidak
tidak mampu dikenali dengan baik. Akibat dari hal inilah kemudian berbagai kekayaan desa
yang ada tidak dapat dieksplorasi dengan maksimal guna mensejahterakan rakyatnya. Desa di
Indonesia, baik yang ada di Jawa maupun di luar pulau itu, memiliki potensi-potensi yang besar
untuk dikembangkan.

Tujuan Penelitian dan Metodologi yang Digunakan
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengidentifikasi berbagai sumber daya yang ada
di desa tersebut, dan kemudian memberikan saran untuk memberdayakannya demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Penelitian ini juga bertujuan menjelaskan berbagai
manfaat dari sumber daya itu, serta memberikan strategi agar masyarakat desa mampu secara
maksimal menggunakan tenaga dan waktunya untuk pemberdayaan tersebut.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif sebagai strategi mengumpulkan data.
Metode ini lebih mampu memberikan gambaran yang lebih nyata tentang kondisi di lapangan .
(Bryman, 2004:267). Melalui penelitian kualitatif penliti langsung terjun ke lapangan, berdialog
dengan masyarakat dan mencatat segala kejadian serta fenomena secara langsung.
Sebagai lokasi penerlitiannya adalah di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.
Kecamatan ini berada sekitar 10-15 kilometer dari ibukota kabupaten, mempunyai wilayah yang
lebih komplit dari kecamatan lainnya karena berada jalur jalan utama Jawa-Bali, mempunyai sisi

yang berbatasan dengan Samudera Indonesia, serta daerah pertanian dan persawahan yang luas.

Teori yang Digunakan
Dalam penelitian ini, teori utama yang dipakai, adalah Teori Pilihan Rasional. Teori ini
merefleksikan upaya manusia mengembangkan pengetahuan demi tujuan-tujuan yang dipandang
penting bagi masyarakat.
Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan pilihan-pilihan yang menguntungkan dan
terbaik dari berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk meraih manfat maksimal
kepada desa. Sumber daya di desa terdiri dari berbagai macam ragam dan karena itu mesti
dipilih

yang paling tepat dan pantas untuk mendorong kemajuan. Karena itulah, dalam

penelitian ini teori paling relevan yang dipakai sebagai pembimbing dan pendorong aplikasi
adalah teori pilihan rasional. Teori ini merupakan teori sosial yang diterapkan pada masyarakat
dan mempunyai sentuhan dengan perilaku-perilaku ekonomi, terutama pada aspek yang
menyangkut pilihan yang menguntungkan tersebut. Ritzer yang mengutip Coleman mengatakan
bahwa dalam teori pilihan rasional ini, aktor akan memilih tindakan yang memaksimalkan
keuntungannya (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Aktor tersebut bisa individu, kelompok, lembaga,
komunitas atau masyarakat itu sendiri.

Teori Pilihan Rasional diungkapkan pertama kali oleh James C.Coleman, dengan dasar
pemahaman bahwa orang bertindak secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan, dimana tujuan
dan tindakannya ini mempunyai satu nilai atau preferensi (Ritzer, Nurhadi, 2011: 480). Coleman
juga menyebutkan bahwa dalam melakukan pilihan untuk mendapatkan manfaat maksimal ini,
aktor akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kognitif. Pemahaman inilah yang
kemudian diperluas maknanya oleh Darren Sherkat bahwa untuk mendukung keuntungan
maksimal itu, diperlukan banyak informasi dalam proses pembalajaran (Mellor, 2000: 284).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori pilihan rasional itu menekankan kepada
pemampuan manusia atau kelompok sebagai aktor dalam memilih berbagai sumber yang ada,
untuk kemajuan demi mencapai tujuannya. Untuk melakukan pilihan yang tepat itu, haruslah
dilakukan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, dimana
pengetahuan ini didapatkan secara akumulatif. Bisa melalui pengetahuan lewat teman-teman,
informasi dan sebagainya. Dalam hubungan meraih keuntungan maksimal antara individu dan
kelompok, ada dua kondisi yang bisa diungkap oleh teori pilihan rasional, yakni ketika
pemikiran individu yang digunakan oleh kelompok dan pada saat pemikiran atau tindakan
kelompok atau korporat ditujukan untuk mencapai keuntungan bersama (lihat pembahasan Suka
Arjawa, 2014: 53).
Dalam konteks desa atau desa pakraman menghadapi penerapan Undang Undang No. 6
Tahun 2014, maka untuk dapat menjalankan amanat undang-undang ini yang berupa
kemandirian dan memberdayakan segala sumber daya yang ada, tidak lain dengan cara

mengenali sumber daya yang dimilikinya, kemudian memilih dari sumber daya tersebut untuk
dimaksimalkan manfaatnya agar dapat mencapai tujuan bersama. Penelitian ini membantu
mengenalkan dan menggali potensi sumber daya manusia yang ada di desa tersebut, dan

kemudian memberikan pemahaman tentang manfaat dan upaya untuk memaksimalkan
pemberdayaan sumber daya tersebut.

Pemaknaan dan Pengertian tentang Desa
Ada berbagai pengertian tentang desa, termasuk juga pemahamannya. Pada UndangUndang Desa (UU No. 6 Tahun 2014), yang dimaksudkan dengan desa adalah

kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusann pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia. Disini tidak disebutkan secara jelas apakah desa mempunyai karakter
masyarakat yang berbeda apabila dikaitkan dengan budayanya atau apabila dibandingkan dengan
masyarakat yang ada di kota. Dengan demikian, komunitas masyarakat yang ada di kota pun
dapat disebut dengan desa apabila sesuai dengan pengertian diatas.
Di Bali, kelompok desa ada dua, dan dalam hubungan dengan lahirnya Undang Undang

No. 6 tahun 2014 ini, sering memicu kontroversi. Dua desa itu adalah desa dinas, yang disebut
dengan keperbekelan atau kelurahan dan desa pakraman. Desa dinas ini mempunyai hubungan
dengan pemerintah dan fungsi adminsitratif (Windya, Sudantra, 2006: 40). Sedangkan desa
pakraman berhubungan dengan hal budaya dan keagamaan. Desa pakraman yang sebelumnya
disebut dengan desa adat, mempunyai kaitan dengan tradisi yang ada di Bali. Apabila dikaitkan
dengan sejarah munculnya Khayangan Tiga di Bali, desa pakraman itu lebih banyak mengatur
tentang persoalan agama dan stabilitas sosial. Munculnya Khayangan Tiga tidak lain merupakan
strategi sosial politik dari Mpu Kuturan, yang mungkin mempunyai hubungan untuk
mengendalikan perbedaan pendapat, dan mengendalikan konflik pada abad ke-11, saat mana
pada waktu itu Bali mempunyai banyak sekte. Kemungkinan banyak sekte ini memunculkan
konflik.
Dalam konteks literatur-literatur sosiologi, pengertian desa lain lagi. Desa merupakan
komunitas masyarakat yang mempunyai cara hidup gotong royong lebih tinggi dibanding
masyarakat kota. Desa mempunyai kontak sosial yang lebih tinggi, dengan sifat keguyuban lebih
tinggi kalau dibandingkan dengan masyarakat kota. Pengertian yang lebih ekstrim tentang desa
menyebutkan bahwa desa sebuah wilayah dengan anggota masyarakatnya melakukan aktivitas
kehidupan mayoritas pada bidang pertnian, dengan hewan yang masih berkeliaran baik di ladang

maupun di halaman rumah. Secara sosiologis, ada beberapa hal penting terlihat di dalam
pengertian ini, yaitu adanya dikotomi antara desa dengan kota, lebih melihat pada kondisi
masyarakat, baik perilaku maupun pekerjaan dalam menjalankan kehidupan sosial sehari-hari .

Beberapa Pertimbangan dalam Pembangunan Desa
Dengan demikian, dalam hal membicarakan soal desa demi pembangunan negara, yang
harus digarisbawahi adalah campuran antara pengertian yang ditetapkan pada undang Undang
No. 6 Tahun 2014 dengan berbagai pengertian yang ada dalam terminologi sosiologi, termasuk
juga dengan pengertian desa yang ada di Bali
Pertama adalah posisi atau letak geografis desa tersebut. Mempertimbangkan posisi desa
ini penting karena akan menentukan bagaimana potensi yang dimiliki desa tersebut dalam
hubungannya dengan pembangunan masa depan. Dalam pengertian desa seperti yang tercantum
dalam undang-undang, maka dimungkinkan desa itu ada di perkotaan. Juga dalam pengertian
desa pakraman di Bali. Desa pakraman ini tidak mengenal pembatasan antara desa dengan kota.
Contohnya adalah Desa Pakraman Kota Tabanan, di Kabupaten Tabanan, Bali. Kota Tabanan
mempunyau tiga tempat persembahyangan yang disebut Khayangan Tiga. Itulah yang membuat
kota ini disebut dengan Desa Pakraman Kota Tabanan. Memperhitungkan posisi geografis desa
itu akan memberikan pilihan serta perencanaan sosial yang penting untuk membangun masa
depan. Misalnya, apabila desa pakraman itu ada di kota, pembiayaan pembangunan bisa
dilakukan dengan memungut sumbangan pada kompleks pertokoan, menyewakan tanah untuk
aktivitas ekonomi, sumbangan parkir, masyarakat yang membangun ekonomi berbasisikan
aktivitas kota dan sebagainya. Tetapi bagi desa yang berasal dekat dengan pegunungan,
pembangunan masyatakat desa tersebut dapat dilakukan melalui pertanian atau upaya jasa
pariwisata pegunungan.
Kedua, identitas dan karakter desa tersebut. Salah satu pengertian dari desa seperti yang
diutarakan undang-undang adalah hal ketradisionalan dan asal-usul masyarakat. Karakter ini
penting untuk mengembangkan pembangunan. Desa tradisional mempunyai karakter condong
mempertahankan nilai-nilai tradisi yang ada di dalam desa tersebut. Banyak wilayah di Indonesia
mempertahankan nilai tradisi ini seperti di Batak, Minangkabau, Lampung dan lainnya
(Wulansari, 2012: 15). Bukan tidak mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka berpatokan
kepada nilai-nilai tradisi tersebut. Dengan konteks seperti ini, baik lokasinya ada di kota maupun

jauh dari perkotaan, nilai-nilaii tradisi akan menjadi patokan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Untuk mengembangkan pembangunan masyarakatnya, mau tidak mau harus bertitik tolak pada
cara pandang tradisi tersebut. Artinya apakah tradisi itu disederhanakan demi memberikan
kesempatan kepada pembangunan lainnya di luar tradisi, atau justru memanfaatkan tradisi
tersebut untuk pembangunan. Misalnya masyarakat Tenganan mengijinkan tradisi Perang Pandan
untuk ditonton oleh masyarakat luar. Dengan dibolehkannya tradisi itu ditonton, maka ada
potensi biaya untuk melakukan pembangunan di dalam masyarakatnya itu. Jika asal-usul desa
tersebut berasal dari pembentukan desa baru, misalnya di daerah transmigrasi, maka lebih mudah
untuk membangun pola-pola perencanaan untuk kesejahteraan. Desa seperti ini relatif mudah
untuk mengarahkan pembangunan karena berasal dari masyarakat multietnik yang memadukan
berbagai pemikiran yang ada.
Ketiga, pengertian desa juga menekankan tentang karakter individu atau kelompok di
desa tersebut. Desa pada hakekatnya adalah kumpulan individu dan kelompok, yang masingmasing mempunyai karakter, sifat dan pembawaan. Sedangkan sebagai komunitas, pembangunan
di desa memerlukan kesepakatan atau persetujuan mayoritas. Persetujuan ini sangat memerlukan
pemikiran-pemikiran positif yang berasal dari berbagai perpaduan pemikiran yang ada. Desa
yang individunya mempunyai karakter keras, suka memprotes atau sok tahu, persaingan internal
yang tinggi, akan sulit mencapai kesepakatan untuk membangun. Perencanaan sosial
pembangunan memerlukan diskusi intelektual untuk menetapkan prioritas. Sebaliknya, desa
yang mempunyai karakter masyarakat toleran, entah didasari oleh nilai-nilai intelektual atau
toleransi, akan lebih mudah melakukan kesepakatan membuat prioritas.
Keempat, yang tidak dapat diabaikan adalah peran tokoh. Terutama di Indonesia (apalagi
di jaman Orde Baru), tokoh desa merupakan faktor utama penggerak pembangunan. Tokoh itu
dapat berupa tetua, intelektual atau mereka-mereka yang mempunyai sifat-sifat positif yang
mampu memberikan pengarahan kepada pembangunan desa.

Ragam Sumberdaya yang Ada
Dalam perkembangannya, di lapangan ternyata cukup banyak sumber daya yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal. Yang pertama adalah adanya bendungan. Di
Kecamatan Kerambitan, ada yang disebut dengan Embung Telaga Tunjung. Bendungan ini ada
di

Desa Timpag yang pemanfaatannya bisa beragam seperti pariwisata, usaha perikanan,

pembangkit listrik, sampai dengan sumber daya untuk mengairi persawahan. Tujuan utamanya
adalah demi mengairi persawahan yang ada di wilayah Kerambitan. Tetapi hal lain yang bisa
dimanfaatkan dari bendungan ini adalah untuk kebutuhan seperti yang disebutkan diatas. Akan
tetapi, sampai saat ini bendungan ini hanya dimanfaatkan untuk pertanian saja. Tidak ada pihak
swasta yang terlibat di dalam upaya pengembangan sumber daya tersebut. Demikian juga,
organisasi tradisional di Bali, seperti misalnya desa pakraman, tidak berusaha untuk
mengembangkan kawasan ini menjadi potensi pariwisata. Usaha pengembangan ikan juga tidak
dilakukan.
Kecamatan Kerambitan, sebagian menjadi wilayah yang ditembus oleh jalan raya utama
poros Jawa-Bali. Pemanfaatan jalur ini untuk mengembangkan potensi sudah dilakukan. Apabila
dilihat dari seluruh potensi yang ada di kecamatan ini, jalur ini yang baru dimanfaatkan oleh
masyarakat secara maksimal. Ukuran maksimal ini sesuai dengan kemampuan masyarakat di
sekitar wilayah tersebut, seperti misalnya usaha dengan pertokoan dengan segala jenis. Termasuk
juga disini dengan berbagai usaha di luar pertokoan seperti membuka koperasi, perbengkelan,
dan jasa perbangkan. Akan tetapi, masih belum mampu memberikan pengembangan maksimal
pada bidang pendidikan dan pengembangan keterampilan seperti kursus dan sejenisnya. Sebagai
daerah yang berada di jalur utama jalan raya antar pulau dan antar propinsi, seharusnya daerah
ini mampu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas
keterampilan atau keilmuannya. Ini yang masih belum kelihatan di wilayah Kerambitan.
Disamping itu, desa-desa dan banjar yang ada di Kecamatan Kerambitan telah
dihubungkan dengan jalan lebar yang mampu dilewati oleh kendaraan roda empat. Namun
demikian, ada dua jalur yang menghubungkan antara jalan utama menuju Kerambitan di bagian
selatan, masih tidak terawat. Seharusnya ini menjadi perhatian karena infrastruktur jalan ini
menjadi kunci utama keberhasilan ekonomi di pedalaman. Dua jalur itu adalah dari Meliling
menuju Kerambitan dan dari Mandung menuju Kerambitan selatan. Jika jalan ini dperbaiki dan
mendapat perhatian baik, jalur pengangkutan sarana ekonomi dari dan menuju Kerambitan
menjadi lanacar.
Sudah menjadi pemandangan umum, bahwa di jaman sekarang jumlah sarjana
membengkak sampai ke desa-desa. Demikian pula halnya dengan sarjana yang ada di Kecamatan
Kerambitan. Sarjana ini masih banyak belum dimanfaatkan secara baik untuk mengembangkan
segala potensi yang ada. Banyak yang kemudian membiarkan diri mereka bekerja yang tidak

memanfaatkan kesarjanannya secara maksimal, seperti menjadi perantara penjual tanah atau
menjadi pengantar anak ke sekolah.
Salah satu aset yang harus diperhatikan dengan baik adalah sumber air. Di Kecamatan
Kerambitan ada cukup banyak sumber air. Misalnya di wilayah Banjar Penyalin,

Banjar

Samsam, Selingsing, Lumajang, Meliling dan lainnya yang sampai sekarang masih mengalir
lancar. Seharusnya aset ini dapat dimanfaatkan secara ekonomis, yaitu untuk membuat air
kemasan. Sumber air ini dapat saja direkaysana dengan teknik tertentu sehingga menyamai
produksi air kemasan lainnya.
Kecamatan Kerambitan seluruhnya sudah dialiri oleh aliran listrik. Ini menjadi potensi
yang sangat penting untuk dapat mengembangkan sumber daya yang ada. Tenaga listrik tersebut
dapat membangkitkan segala macam keperluan sosial sekarang. Karena itu, dipadukan dengan
suasana pedesaan yang masih sejuk serta tempat lokasi ruang yang masih luas, daerah ini dapat
dipakai untuk mengembangkan usaha. Apabila hotel telah banyak di Kabupaten Badung, di
Kecamatan Kerambitan bisa dikembangkan usaha yang mendukung pariwisata non-hotel.
Misalnya dengan pariwisata kuliner tradisional. Dengan ruang yang luas, masyarakat dapat
mengembangkan usaha berupa praktik membuat masakan tradisionil dengan langsung dapat
dilihat oleh turis. Usaha ini dikembangkan dengan kesenian-kesenian tradisionil yang masih ada,
seperti misalnya penari tektekan sampai dengan barong. Upaya tersebut akan dapat dilakukan
secara lebih baik, dengan dukung tenaga listrik, misalnya apabila memerlukan visualisasi film,
atau penerangan yang tinggi.
Disamping itu, upaya ini tidak terlalu jauh dari pusat perhotelan di Badung karena jarak
kecamatan ini relatif dekat, yaitu kurang lebih ditempuh satu jam kendaraan dari kota Denpasar
dan dari wilayah Kuta.

Strategi Pemberdayaan Desa
Sumber daya di desa sesungguhnya cukup banyak. Berkisar dari yang sifatnya tidak
kelihatan, sampai dengan yang tampak secara kasat mata. Semangat gotong royong, nilai-nilai
tradisional, lokasi geografis yang strategis sampai dengan kekayaan tanah yang dimiliki oleh
desa menjadi sumber daya desa tersebut. Yang penjadi pekerjaan rumah bagi desa adalah
bagaimana memberdayaan dari sumber daya yang ada. Disini diperlukan perencanaan yang baik
demi pemantapan masa depan sebuah organisasi (Fathoni, 2009: 99). Sebab bagaimanapun, desa

adalah sebuah orgaanisasi juga. Pemberdayaan dalam hal ini dapat disebut sebagai upaya
memaksimalkan manfaat dari segala potensi tersebut agar mampu memberikan keuntungan dan
manfaat bagi warga dan orang lain. Tujuannya, bukan sekedar menambah penghasilan tetapi juga
menjadi lahan hidup dari masyarakat setempat.
Ada beberapa strategi pemberdayaan yang mesti dilakukan, yang secara konseptual mesti
diperhatikan oleh aparat desa. Yang pertama, tentu saja melatih aparat desa agar berdaya. Sikap
profesional, merupakan tujuan. Tetapi pada masa awal, aparat desa harus mampu
menerjemahkan apa yang dimaksudkan seperti yang tertera dalam peraturan dan perundangan,
tetapi juga sekaligus mengerti bagaimana kondisi sosial. Jadi, aparat desa pada tahap awal ini
mesti

dapat membuat kebijakan

terhadap pekerjaannya. Kebijakan itu adalah membuat

keputusan antara apa yang dimaksud antara peraturan dengan kondisi sosial. Ini merupakan jalan
tengah. Sekaligus juga memberi pendidikan dan keterangan kepada masyarakat bahwa
keputusannya itu merupakan kebijakan sehingga apabila pada hari berikutnya, harus dipahami
kebijakan tersebut tidak akan dikeluarkan. Sebagai pejabat yang berada paling bawah dan
langsung bersentuhan dengan masyarakat, aparat desa mesti banyak belajar, berdiskusi tentang
persoalan-persoalan desa yang dihadapi. Pemerintah, dalam hal ini, harus mampu memahami
posisi aparat desa itu sehingga mempersiapkan dana dan langkah untuk meningkatkan
kemampaun aparat desa. Paling bagus, lulusan aparat desa itu paling kurang diploma atau
mereka yang telah mempunyai pengalaman organisasi sekurang-kurangnya lima tahun.
Kedua, terhadap masyarakat, harus diubah mental masyarakat tentang cara menjalani
kehidupan. Dalam hal pekerjaan, sejarah masyarakat Indonesia boleh dikatakan ironis karena
sangat dipengaruhi oleh tradisi feodal kerajaan. Dalam arti anggota masyarakat yang berhasil
masuk bekerja pada kelompok istana, dipandang telah “bekerja” dan mapan dengan
pekerjaannya itu sampai akhir hayat. Secara sosial, mereka yang bekerja di kalangan istana juga
mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Di masa kemerdekaan, orientasi istana itu
bergeser menuju pemerintah. Di sini, pemerintahlah yang dipandang sebagai “kerajaan dan
istana”. Anggota masyarakat yang berhasil menjadi pegawai pemerintah, dipandang mempunyai
pekerjaan mapan dan mampu menjamin sampai akhir hayat. Dana pensiun yang didapatkan para
pegawai pemerintah, dipandang sebagai salah satu jaminan yang membuat kemapanan itu terjadi.
Seperti juga pada masa kerajaan, pegawai pemerintah mendapat status kedudukan lebih tinggi di
masyarakat, apalagi mempunyai seragam khusus sebagaii pegawai negeri.

Harus diakui

bahwa sampai dekade tujuhpuluhan atau pertengahan dekade

delapanpuluhan, menjadi pegawai pemerintah cenderung lebih mudah. Faktor krisis politik G 30
S juga mempengaruhi hal itu karena banyak pegawai negeri sipil yang hilang pada saat krisis
politik tersebut. Ini yang membuat menjadi pegawai negeri pada waktu itu lebih mudah.
Akan tetapi, fenomena yang terjadi sejak paruh kedua dekade delapanpuluhan,
kondisinya sudah berbeda. Masuknya investasi asing dan terbatsanya dana pemerintah, serta
semakin bertambahnya penduduk, membuat

upaya menjadi pegawai pemerintah menjadi

semakin berkurang, dan banyak anggota masyarakat yang masuk diserap oleh perusahan swasta,
sebagian berbasis investor asing. Akan tetapi, fenomena “bekerja” ikut orang atau bekerja di
kantor, tetap menjadi orientasi masyarakat. Padahal, mulai pertengahan dekade sembilanpuluhan,
fenomena globalisasi yang memperkenalkan berbagai macam informasi itu, memungkinkan
masyarakat untuk bekerja secara mandiri. Bekerja mandiri ini mengeksplorasi keterampilan
yang dimiliki, mendukungnya dengan hasil pendidikan yang didapatkan di sekolah, baik sekolah
menengah maupun perguruan tinggi dan kemudian memadukan dengan ketekunan yang dimiliki.
Inilah yang tidak dimiliki oleh masyarakat Indonesia sekarang, padahal potensi yang dimiliki
melimpah-ruah. Sumber daya itu ada di desa.
Karena itu, desa sekarang harus mampu mengubah orientasi bekerja itu, dari yang bekerja
ikut orang atau masuk kantor, menuju bekerja mandiri dengan mengkreasi dan berkarya untuk
itu. Basis keterampilan yang dimiliki masyarakat harus diketahui

oleh keluarga dan desa

menyediakan sarana untuk mengembangkan bakat tersebut. Atau paling tidak desa mampu
menjadi fasilitator untuk menjadi perantara antara desa dengan pemerintah untuk
mengembangkan bakat anggota masyarakatnya. Sebagai lokasi paling dekat dengan sumber
daya (alam) yang ada, maka desa merupakan pusat untuk mengembangkan bakat, keterampilan
untuk mengolah dan mamanfaatkan sumber daya alam yang ada di desa. Tempat yang paling
bagus untuk mewujudkan maksimalisasi keterampilan itu adalah di desa, dengan segala sumber
daya alam yang dimilikinya.
Ketiga, menyederhanakan upacara dan ritual agama. Di Bali, tradisi ritual agama sangat
kuat dan telah turun-menurun dipraktikkan. Fenomena ini membuat ritual itu dipandang sebagai
kebiasaan, kemudian pada akhirnya menjadi kebudayaan. Bahkan ritual tersebut nyaris
dipandang sebagai agama itu sendiri. Karena tradisi ini sudah turun-temurun, wajar apabila
kemudian dipandang sebagai agam itu sendiri. Karena itu wajar pula mengubah tradisi tersebut

sangat sulit. Padahal, kalau dilihat dari perbincangan umum pada masyarakat lapis bawah, yaitu
yang ada di desa, banyak yang merasa keberatan dengan banyaknya ritual tersebut. Paling tidak
hal itu kelihatan dari kalimat-kalimat yang meluncur

dari mereka. Misalnya ada yang

mengatakan sibuk ada ritual di kampung sehingga tidak dapat bekerja, atau sulit naik jabatan
karena tidak dapat kosentrasi di kantor, atau kelelahan bahkan sakit karena berhari-hari bekerja
ritual. Atau malah yang paling ironis adalah menjual tanah hanya karena ritual agama. Keluhankeluhan ini juga wajar karena ritual yang diselenggarakan itu menyita tenaga, waktu dan biaya.
Padahal, untuk mencapai target maksimal dalam menjalankan kehidupan ini, tenaga, waktu dan
biaya itu sangat penting. Memaksimalkan potensi sumber daya desa seperti yang dicanangkan
dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tersebut, juga memerlukan kosentrasi tinggi yang
artinya memerlukan tenaga, waktu dan biaya. Bahkan juga ruangan. Karena itu diperlukan
pemikiran serius untuk meyediakan tenaga, waktu, biaya dan ruang itu demi mencapai amanat
yang digaariskan dalam

undang-undang tersebut. Karena itu penyederhaaan upacara ini

diperlukan, dan secara pelan-pelan mesti diperkenalkan kepada masyarakat desa.
Apabila dilihat dari sejarahnya, upaya penyederhanaan upacara dalam agama Hindu di
Bali, sesungguhnya dimungkinkan. Pemahaman harus dimulai dari sehajar penyederhanaan
sekte-sekte agama yang ada di Bali abad ke-11 (sekitar tahun 1039), oleh Mpu Kuturan. Konon
pada saat itu di Bali ada belasan sekte, yang mungkin saling konflik atau tidak harmonis. Atau
memang Mpu Kuturan yang datang dari Jawa Timur ingin menyederhanakan kehidupan agama
di Bali. Karena itulah kemudian, belasan sekte tersebut disederhanakan menjadi tiga, yang
masing-masing menyembah Tuhan sebagai pencipta yaitu Brahma, sebagai pemelihara yaitu
Wisnu dan sebagai pemranila yaitu Siwa (Tohjaya, 1991) Inilah

simbolik Tuhan sebagai

kekuatan saktinya. Mungkin juga sebagai representasi dari keseluruhan sekte yang ada di Bali
pada saat itu sehingga merasa terwakili agar tidak menimbulkan konflik. Karena itu, demi
mencegah konflik yang ada dari tingkat keluarga sampai tingkat masyarakat, dibuatlah tiga
tempat sembahyang itu di tempat keluarga sampai tingkat masyarakat. Kemungkinan pada
waktu itu, satu keluarga, anggota-anggotanya menganut sekte yang berbeda.
Maka, pada tingkat keluarga dibuatkan rong tiga atau disebut kemulan yang berasal dari
kata “mula” menjadi “kemulaan”, yaitu asal manusia yang diciptakan oleh Brahma lalu
dipelihara oleh Wisnu dan kemudian dilebur lagi oleh Siwa. Pada tingkat masyarakat dibuatkan
tempat sembahyang yang disebut dengan Pura Desa untuk menyembah Brahma, pura Puseh untk

menyembah Wisnu dan Pura Dalem untuk menyembah Siwa. Ketika pura ini semestinya berada
di dalam satu kompleks karena keseluruhan pura itu merupakan simbolis manifestasi saktinya
Tuhan. Ketiganya disebut Khayangan Tiga. Untuk lebih menyederhanakan lagi, Brahma itu
disembolkan sebagai api, yang dikesankan sebagai warna merah. Wisnu itu sebagai pemelihara
dipandang layaknya sebagai air. Kumpulan air dalam jumlah banyak itu, warnanya gelap. Maka,
disimbolkanlah warna hitam untuk

Wisnu. Dan Siwa sebagai pelebur dipandang sebagai

panguasa alam semesta. Warna alam semesta itu, seperti halnya kita lihat di siang hari dengan
cahaya matahari, disimbolkan putih. Maka Siwa disimbolkan putih. Jadi, warna Merah, Hitam,
Putih, tidak lain adalah Brahma, Wisnu, Siwa. Penyederhanaan yang lain lagi adalah soal wujud
dari api, air dan alam semesta itu. Karena api itu lancip ketika hidup, maka ada juga dimbol
lancip dalam upacara seperti kojong. Karena air itu datar, maka simbol dalam upacara adalah
wujud yang datar seperti pada ceper, dan karena alam semesta itu bulat, maka ada juga simbol
bulat dalam sarana upakara, seperti kue matahari atau sirat atau bisa juga kelapa. Lebih
sederhana dari itu, adalah bentuk padma yang tidak lain merupakan perwujudan singasana
Tuhan, Sang Hyang Widhi. Brahma, Wisnu, Siwa; Pura Desa, Puseh, Dalem;

rong tiga;

Kemulan, Merah, Hitam, Putih; Lancip, Datar, Bulat, dan Padma, sesungguhnya mempunyai
makna, yaitu manifestasi kekuatan Tuhan.
Jadi begitu sederhananya Hindu yang ada di Bali yang sudah diciptakan sejak abad ke11. Maka ketika melihat benang tridatu (trimurti) itulah simbol Tuhan dan sesungguhnya sudah
cukup itu melakat pada jiwa kita. Ketika melihat porosan, yang juga dihiasi warna merah hitam
putih, itu saja sudah cukup sebagai simbol Tuhan. Juga apabila melihat pelangkiran, ini
merupakan simbolisasi Tuhan yang tunggal Pelangkiran adalah “penggalan” bagian atas dari
Padma. Juga ketika melihat daksina, juga simbolisasi Tuhan. Itu saja sesungguhnya sudah cukup
dipakai upacara.
Kalau boleh dibandingkan, malah sudah amat sederhana dari praktik Hindu yang ada di
India. Karena Tuhan Maha Tahu, dan maha segalanya maka sesungguhnya dengan mencakupkan
tangan saja sudah cukup untuk bersembahyang. Maka, boleh dikatakan inti dari simbolisiasi
upacara Hindu di Bali itu seperti yang diungkapkan diatas tadi. Bahwa kemudian ada kerumitan
dan kompleksitas ritual yang diselenggarakan sekarang, yang boleh dikatakan menyita waktu,
tenaga, dana dan ruangan, harusnya menjadi bahan kajian, perenungan dan langkah-langkah

baru. Inti simbolisasi Hindu ada pada Brahma, Wisnu, Siwa dengan simbolisasi lain seperti yang
diungkapkan diatas. Hal lain di luar itu, layaknya dapat sebagai kebudayaan.
Pemikiran untuk menyederhanakan ritual upacara agama ini sebaiknya menjadi fokus
dalam kerangka pelaksanaan

undang-undang desa ini. Penyederhaan itu demi memberikan

waktu, tenaga, dana serta ruang yang lebih banyak untuk membangkitkan dan memberdayakan
sumber daya desa. Para pendeta dan intelektual agama mempunyai tugas utama untuk hal ini.
Masyarakat juga harus mampu memberikan pandangan kritis.

Kesimpulan

Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, mempunyai sumber daya besar untuk
dikembangkan demi pembangunan desa. Di wilayah tersebut, sarana jalan sudah cukup untuk
menghubungkan antara satu desa dengan desa lain. Adanya sarana ini akan memudahkan
kerjasama antar desa untuk mengembangkan potensi yang ada. Sarana jalan juga berkualitas
baik, meskipun ditemui sebagian kecil jalan yang masih rusak dan belum beraspal. Jarak
kecamatan ini dengan ibukota propinsi

dan pusat pariwisata juga tidaka jauh sehingga

memungkinkan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas yang berkaitan dengan pariwisata.
Jakar itu sekitar satu setengah jam. Posisi sebagian kecamatan di wilayah jalan utama Jawa-Bali
juga membuat masyarakat berpotensi mengembangkan usahanya. Kecamatan ini masih
mempunyai desa yang sejuk, wilayah yang luas serta berbagai kearifan lokal yang dapat
dikembangkan untuk topangan hidup.
Strategi yang perlu dikembangkan adalah dengan mendidik sumber daya manusianya,
seperti memperdalam pengetahuan bagi mereka yang telah mempunyai keterampilan, mendidik
aparatur desa, baik desa pakraman maupun desa dinas agar mampu melakukan pelayanan secara
lebih baik. Pendampingan oleh pemerintah juga perlu. Ini merupakan strategi agar masyarakat
dapat mengetahui sumber daya yang dimilikinya. Para pendamping ini bukan saja mereka yang
bergelar sarjana tetapi juga yang mempunyai keterampilan untuk menularkannya kepada
masyarakat.
Ritual yang terlalu besar serta biaya yang tinggi segera ditekan dan harus ada pembaruan
dalam melakukan ritual agama. Tujuannya bukan saja untuk mengirit biaya dan mampu
membelokkan biaya tersebut untuk menggali dan mengembangkan sumber daya tetapi juga

menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengembangkan sumber daya yang ada. Ritual
agama di Bali masih terlalu banyak memakan biaya dan waktu, padahal sesungguhnya dapat
disederhanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bryman, Alan, 2004, Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press
Catur Utama, Fransisca Romana, 2014, “Pemberdayaan dan Pemanfaatan Teknologi yang
Mencerdaskan Masyarakat, dalam Menuju Teknologi Transkomunitas, Supraja, Muhamad
(ed.), 2014, UGM, Lingkar Studi Mikrososiologi.
Fathoni, Abdurrahmat, 2009, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung,
Rineka Cipta
Mellor, Philip, A., 2000, “Rationali Choice or Sacred Contagion? ‘Rationality Non-Rationality
and Religion” dalam Social Compas, 47 (2).
Ritzer, George, Nurhadi (Pen.), 2011, Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul, Kreasi Wacana
Tohjaya, I Nyoman Gde Bendesa, 1991, Riwayat Mpu Kuturan, Denpasar, Ria
Windya, Wayan P., 2014, Hukum Adat Bali: Aneka Kasus dan Penylesaiannya, Denpasar,
Udayana University Press
Windya, I Wayan P., Sudantra Ketut, 2006, Pengantar Hukum Ada Bali, Denpasar, fakultas
Hukum Universitas Udayana
Wulansari, Dewi, 2012, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, Bandung, Rafika Aditama

Tulisan di Jurnal Ilmiah
Sarman, Mukhtar, 1997, “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Pelajaran dari
Program IDT, dalam Prisma, 1, Januari 1997
Suka Arjawa, GPB, 2014, “Pilihan Rasional di Balik Pembebasan Corby”, dalam Global dan
Strategis, Th. 8, No. 1, Januari-Juni 2014.

Suparlan, Parsudi, 1991, “Struktur Perkotaan dan Kehidupan Hunian Liar”, dalam Jurnal Ilmuilmu Sosial 1, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Perundang-Undangan dan Peraturan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undng No 6
Tahun 2014 tentang Desa
Catatan:
Untuk simbol lancip, datar serta bulat dalam pemahaman simbolik Brahma, Wisnu, Siwa, berasal
dari diskusi dengan I Gusti Ketut Widana, dosen, penulis masalah agama Hindu, IHD, Denpasar.
Selanjutnya, kojong, ceper dan jajan matahari serta jajan yang bulat di dalam perlengkapan
banten masyarakat Hindu di Bali, merupakan penafsiran penulis atas simbolik lancip, datar dan
bulat tersebut.